***Birru sudah berada di rumah Diandra sejak pukul delapan pagi. Rencananya, hari ini dia dan Diandra akan menemui teman Aleetha, meskipun Birru sendiri tidak yakin jika gadis kecil yang mendorong putrinya itu mau membuka mulut. Bu Anis menyuguhkan secangkir kopi di atas meja sementara Diandra masih belum keluar dari dalam kamar."Diminum dulu, Nak!" pinta Bu Anis. "Bapak gak bisa ikut jaga Aleetha, jatah liburnya sudah habis."Birru mengangguk mengerti, "Tidak apa-apa, Bu. Saya justru gak enak kalau seperti ini, saya merepotkan Bapak dan Ibu.""Ngomong apa kamu ini, Le. Aleetha itu sudah kami anggap seperti cucu sendiri," sahut Bu Anis. "Bapak semalaman gak bisa tidur, kepikiran Aleetha katanya."Birru menunduk menyembunyikan raut mukanya yang sendu. Bukan hanya Pak Basuki, semua keluarganya pun kesulitan mengistirahatkan tubuh karena khawatir dengan keadaan Aleetha."Ini sudah hampir 48 jam pasca operasi, tapi Aleetha bahkan belum membuka matanya, Bu. Saya cemas sekali," ucap Birr
***"Tunggu!" Diandra berbicara setelah cukup lama menikmati keterkejutan. "Albirru Fahrian Ranajaya." Gadis itu mengeja nama Birru kemudian memekik, "Pak Birru ...." Birru hampir tertawa mendengar Diandra menyebut namanya. "Iya. Itu Perusahaan Papa," jawab Birru."Hah?" Diandra cengo. "Ja-- jadi ....""Jadi apa?" tanya Birru."Ini bukan mimpi kan, Pak?" Diandra bertanya lagi. "Maksud saya ... bagaimana bisa saya yang cuma pramuniaga Mall dan putri dari seorang satpam di Perumahan Elit menikah dengan pewaris tunggal? Bagaimana bisa, Pak Birru?" Diandra geleng-geleng tidak percaya. Birru terkekeh. "Memang aneh?""Ya Tuhan!" pekik Diandra. "Pasti ada banyak sekali wanita-wanita berkelas dan yang jauh lebih cantik daripada saya, Pak Birru yakin mau menikahi bocah ingusan tanpa harta ini?" Diandra menunjuk dirinya sendiri sambil meringis. Birru tertawa, tawa yang benar-benar lepas setelah dua hari bertarung dengan ketegangan tentang kabar Aleetha di Rumah Sakit. "Harta saya sudah bany
***"Brengsek!" desis Birru, kedua tangannya mengepal, rahangnya mengeras, kepalanya mendadak pening mendapati kebenaran tentang siapa yang sudah menyebabkan Aleetha terbaring lemah di ruang ICU.Napas Diandra tak kalah memburu, matanya memanas melihat anggukan kepala Karina pada sebuah foto yang baru saja Birru perlihatkan. "Karina yakin ini orangnya, Sayang?" Diandra mencoba memastikan, khawatir gadis mungil di depannya salah memperhatikan.Karina mengangguk lemah, "Iya, Tante."Diandra memejamkan matanya sejenak, kemudian berkata, "Bu, terima kasih sudah mengijinkan saya berbicara dengan Karina."Bu Manda menangis sambil memeluk putrinya. Matanya sendu menatap Diandra yang bersiap berdiri. "Maafkan Karina, Mbak ...."Diandra bergeming. Karina masih di bawah umur, namun tindakannya sangat membahayakan orang lain, salah-salah atau telat penanganan, Aleetha bisa tertidur nyenyak di bawah tanah saat ini. "Terpaksa kami harus membuat laporan tentang kecelakaan yang menimpa Aleetha, Bu
***"Astaga, Mas Birru ... aku kaget banget waktu Pak Andreas telepon, dia bilang kamu mau ketemu aku, ya?" Ayesha terpaku ketika mendapati Diandra berada di dalam ruangan Birru. Ruangan yang selama tiga tahun ini dipakai oleh Pak Andreas. "Ck!" Ayesha berdecak sebal. "Anak kampung itu mau ngapain?" Matanya menatap jengah pada sosok perempuan yang duduk di samping Birru. "Duduk saja dulu, Sha, ada yang ingin kami tanyakan ke kamu," jawab Birru. Ayesha memasang wajah malas, "Aku kira kita bertemu cuma berdua, Mas," ucapnya sedih."Aleetha di Rumah Sakit," sahut Birru. Kedua mata Ayesha melotot sempurna kemudian bertanya, "Hah, kenapa?""Ada yang mendorongnya dari tangga," jawab Birru tak acuh. Ayesha menutup mulutnya dengan dua tangan, matanya menyipit seolah sedang berusaha mengeluarkan air mata."Leetha, astaga ...." Ayesha mulai menangis, "Lalu bagaimana keadaannya sekarang, Mas? Dia baik-baik saja, kan?"Birru menggeleng, dadanya kembali sesak mendapati kenyataan bahwa kondisi
***"Seyakin itu kamu pada gadis kampung ini, Mas?" tanya Ayesha parau. "Selama ini aku yang menemani keterpurukan kamu setelah kematian Hana, tapi ... ha ... ha ... aku tidak menyangka seleramu ternyata daun muda," imbuh Ayesha sambil tertawa sumbang, namun matanya berkaca-kaca."Tiga tahun aku rela menemani kamu tanpa ikatan. Tiga tahun kamu menggantung perasaanku dan ... dan sekarang kamu menunjukkan di depan mata kepalaku sendiri betapa brengseknya kamu, Mas Birru!" Ayesha menuding wajah Birru dengan penuh emosi. "Selama ini aku berusaha menjadi calon Ibu yang baik untuk Aleetha ....""Kalau kamu baik, harusnya Leetha tidak terbaring di Rumah Sakit saat ini, Sha!" bentak Birru. Napasnya memburu, urat-urat di lehernya menegang, matanya berkaca-kaca membayangkan wajah Aleetha yang tertidur pulas di ruang ICU, gadis itu seperti enggan membuka mata, atau Hana sedang berdongeng hingga Aleetha menolak untuk pulang? Entahlah. "Ini bukan kesalahanku!" Suara Ayesha tak kalah tinggi. "Gadi
***"Bi, tenanglah!" Bu Salma mendekat dan menepuk-nepuk punggung putranya dengan tangan gemetar. "Aleetha anak yang kuat, dia pasti bisa melewati ini semua."Birru mengangkat wajahnya dari bahu Diandra. Wajah yang biasa terlihat teduh, siang ini berubah sendu dengan keadaan rambut yang cukup berantakan. Birru mengusap air mata di pipi Diandra sebelum akhirnya duduk di salah satu bangku tunggu. Diandra terpaku dengan sorot mata yang masih saja menatap pintu ruang ICU. "Nduk," panggil Bu Anis. Diandra menoleh, air matanya sudah kering sementara bibirnya terasa kelu untuk sekedar menjawab panggilan dari Sang Ibu. "Kamu belum salat?""Belum, Bu.""Pergilah ke musala, salat lah dulu," pinta Bu Anis.Diandra melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Benar saja, jarum jam sudah menunjukkan pukul 13.00 siang."Salat sama saya." Birru berdiri. "Saya juga belum salat, Diandra. Ayo!""Ya, Pak."Tidak ada percakapan apapun sepanjang perjalanan menuju musala Rumah Sakit. Setelah wu
***"Dia pikir calon suaminya yang duda itu kaya raya?" Aluna menggerutu. "Itu cuma mobil rentalan. Diandra goblok!""Ada apa, Lun?"Aluna berjingkat kaget mendengar suara Bu Anis. Perlahan, putri Bibi Melani itu menoleh dan menjawab, "Lain kali Diandra itu dinasehati lah, Budhe. Jangan sombong, jangan songong, toh mobil yang dipakai cuma mobil sewaan.""Mobil sewaan?" tanya Bu Anis. Aluna mengangguk, "Iya kan? Mobil yang dipakai calon suaminya Diandra itu mobil sewaan kan, Budhe?"Bu Anis melongo menatap Aluna yang menggebu-gebu merendahkan Birru. "Cuma bisa sewa mobil aja sombongnya minta ampun. Nih ya, Mas Bara yang jelas-jelas kaya dan punya mobil mewah ....""Lun, kamu gak lupa kan kalau Bara itu dulu calon suami siapa?" sela Bu Anis menohok. "Kamu gak malu membangga-banggakan seseorang yang didapat dari hasil merebut?""Eh, Budhe ... kok nyolot sih," sahut Aluna tidak senang. "Mas Bara sama Diandra itu gak jodoh, jadi jangan salahkan aku dong! Lagipula Mas Bara yang mau sama a
***"Nih, lihat, Lun!"Diandra yang hendak memasuki mobil seketika menoleh. "Ada apa, Bi?" tanyanya kebingungan. Aluna geleng-geleng melihat Diandra, kemudian bertanya, "Dia calon mertua kamu?"Melihat ada hal yang kurang beres, Pak Ranajaya keluar dan mendekati Diandra yang nampak jengah. "Saya Ranajaya, calon mertua Diandra." Pria paruh baya itu mengulurkan tangan dan disambut kikuk oleh Aluna juga Bibi Melani. "Emang ada calon mertua dan calon menantu sedekat ini?" sindir Aluna. "Jangan-jangan kamu main-main sama keduanya ....""Aku bukan kamu, Lun," sela Diandra sengit. "Halah, ngaku aja! Aku sama Papanya Mas Bara aja gak sedekat ini loh, kita masih ada jarak," sahut Aluna membanggakan diri. "Jaman sekarang main sama anak dan Bapaknya itu udah lumrah, udahlah, ngaku aja!""Astaghfirullah, Aluna!" teriak Bu Anis dari ambang pintu. "Apa sih, Budhe, teriak-teriak, aku gak budek!" gerutu Aluna kesal. "Kamu jangan keterlaluan ya, Lun ...." Bu Anis menuding wajah Aluna dengan telu