***"Astaga, Mas Birru ... aku kaget banget waktu Pak Andreas telepon, dia bilang kamu mau ketemu aku, ya?" Ayesha terpaku ketika mendapati Diandra berada di dalam ruangan Birru. Ruangan yang selama tiga tahun ini dipakai oleh Pak Andreas. "Ck!" Ayesha berdecak sebal. "Anak kampung itu mau ngapain?" Matanya menatap jengah pada sosok perempuan yang duduk di samping Birru. "Duduk saja dulu, Sha, ada yang ingin kami tanyakan ke kamu," jawab Birru. Ayesha memasang wajah malas, "Aku kira kita bertemu cuma berdua, Mas," ucapnya sedih."Aleetha di Rumah Sakit," sahut Birru. Kedua mata Ayesha melotot sempurna kemudian bertanya, "Hah, kenapa?""Ada yang mendorongnya dari tangga," jawab Birru tak acuh. Ayesha menutup mulutnya dengan dua tangan, matanya menyipit seolah sedang berusaha mengeluarkan air mata."Leetha, astaga ...." Ayesha mulai menangis, "Lalu bagaimana keadaannya sekarang, Mas? Dia baik-baik saja, kan?"Birru menggeleng, dadanya kembali sesak mendapati kenyataan bahwa kondisi
***"Seyakin itu kamu pada gadis kampung ini, Mas?" tanya Ayesha parau. "Selama ini aku yang menemani keterpurukan kamu setelah kematian Hana, tapi ... ha ... ha ... aku tidak menyangka seleramu ternyata daun muda," imbuh Ayesha sambil tertawa sumbang, namun matanya berkaca-kaca."Tiga tahun aku rela menemani kamu tanpa ikatan. Tiga tahun kamu menggantung perasaanku dan ... dan sekarang kamu menunjukkan di depan mata kepalaku sendiri betapa brengseknya kamu, Mas Birru!" Ayesha menuding wajah Birru dengan penuh emosi. "Selama ini aku berusaha menjadi calon Ibu yang baik untuk Aleetha ....""Kalau kamu baik, harusnya Leetha tidak terbaring di Rumah Sakit saat ini, Sha!" bentak Birru. Napasnya memburu, urat-urat di lehernya menegang, matanya berkaca-kaca membayangkan wajah Aleetha yang tertidur pulas di ruang ICU, gadis itu seperti enggan membuka mata, atau Hana sedang berdongeng hingga Aleetha menolak untuk pulang? Entahlah. "Ini bukan kesalahanku!" Suara Ayesha tak kalah tinggi. "Gadi
***"Bi, tenanglah!" Bu Salma mendekat dan menepuk-nepuk punggung putranya dengan tangan gemetar. "Aleetha anak yang kuat, dia pasti bisa melewati ini semua."Birru mengangkat wajahnya dari bahu Diandra. Wajah yang biasa terlihat teduh, siang ini berubah sendu dengan keadaan rambut yang cukup berantakan. Birru mengusap air mata di pipi Diandra sebelum akhirnya duduk di salah satu bangku tunggu. Diandra terpaku dengan sorot mata yang masih saja menatap pintu ruang ICU. "Nduk," panggil Bu Anis. Diandra menoleh, air matanya sudah kering sementara bibirnya terasa kelu untuk sekedar menjawab panggilan dari Sang Ibu. "Kamu belum salat?""Belum, Bu.""Pergilah ke musala, salat lah dulu," pinta Bu Anis.Diandra melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Benar saja, jarum jam sudah menunjukkan pukul 13.00 siang."Salat sama saya." Birru berdiri. "Saya juga belum salat, Diandra. Ayo!""Ya, Pak."Tidak ada percakapan apapun sepanjang perjalanan menuju musala Rumah Sakit. Setelah wu
***"Dia pikir calon suaminya yang duda itu kaya raya?" Aluna menggerutu. "Itu cuma mobil rentalan. Diandra goblok!""Ada apa, Lun?"Aluna berjingkat kaget mendengar suara Bu Anis. Perlahan, putri Bibi Melani itu menoleh dan menjawab, "Lain kali Diandra itu dinasehati lah, Budhe. Jangan sombong, jangan songong, toh mobil yang dipakai cuma mobil sewaan.""Mobil sewaan?" tanya Bu Anis. Aluna mengangguk, "Iya kan? Mobil yang dipakai calon suaminya Diandra itu mobil sewaan kan, Budhe?"Bu Anis melongo menatap Aluna yang menggebu-gebu merendahkan Birru. "Cuma bisa sewa mobil aja sombongnya minta ampun. Nih ya, Mas Bara yang jelas-jelas kaya dan punya mobil mewah ....""Lun, kamu gak lupa kan kalau Bara itu dulu calon suami siapa?" sela Bu Anis menohok. "Kamu gak malu membangga-banggakan seseorang yang didapat dari hasil merebut?""Eh, Budhe ... kok nyolot sih," sahut Aluna tidak senang. "Mas Bara sama Diandra itu gak jodoh, jadi jangan salahkan aku dong! Lagipula Mas Bara yang mau sama a
***"Nih, lihat, Lun!"Diandra yang hendak memasuki mobil seketika menoleh. "Ada apa, Bi?" tanyanya kebingungan. Aluna geleng-geleng melihat Diandra, kemudian bertanya, "Dia calon mertua kamu?"Melihat ada hal yang kurang beres, Pak Ranajaya keluar dan mendekati Diandra yang nampak jengah. "Saya Ranajaya, calon mertua Diandra." Pria paruh baya itu mengulurkan tangan dan disambut kikuk oleh Aluna juga Bibi Melani. "Emang ada calon mertua dan calon menantu sedekat ini?" sindir Aluna. "Jangan-jangan kamu main-main sama keduanya ....""Aku bukan kamu, Lun," sela Diandra sengit. "Halah, ngaku aja! Aku sama Papanya Mas Bara aja gak sedekat ini loh, kita masih ada jarak," sahut Aluna membanggakan diri. "Jaman sekarang main sama anak dan Bapaknya itu udah lumrah, udahlah, ngaku aja!""Astaghfirullah, Aluna!" teriak Bu Anis dari ambang pintu. "Apa sih, Budhe, teriak-teriak, aku gak budek!" gerutu Aluna kesal. "Kamu jangan keterlaluan ya, Lun ...." Bu Anis menuding wajah Aluna dengan telu
***"Ibu datang hanya untuk membahas masalah ini?" tanya Birru dengan kening mengernyit. "Aleetha terbaring tidak berdaya di dalam, dan Ibu datang hanya untuk mencaci keputusan yang saya buat?"Bu Mirna gelagapan, wanita paruh baya itu sempat membuang muka kemudian menatap kedua mata Birru yang masih menyisakan basah. "Ibu-- Ibu hanya terbawa emosi, Birru. Kamu bahkan memutuskan ini semua tanpa persetujuan Ibu," elak Bu Marni parau. "Meskipun Hana sudah tiada, tapi ada Aleetha diantara kalian, Ibu gak bisa membayangkan bagaimana hancurnya dia jika nanti diasuh oleh wanita asing."Birru menelisik wajah Diandra yang semakin tenggelam menatap lantai Rumah Sakit. Sepuluh jemari perempuannya itu saling bertaut. Birru bisa melihat dengan jelas jika Diandra sedang gemetar hebat saat ini."Kamu sudah berjanji tidak akan menikahi siapapun setelah kepergian Hana, Nak. Tapi apa yang Ibu dengar, hah? Ini kabar buruk, Ibu mendengar kabar yang teramat menyakitkan bagi Ibu, dan kamu tau ... Hana pas
***"Pikirkan baik-baik perkataan Ibu, Birru." Bu Mirna berbicara sambil melirik sinis ke arah Diandra. "Kamu boleh menikahi wanita lain, tapi jangan harap Aleetha akan hidup bersamamu."Birru membuang muka seraya menghela napas kasar. "Kita bahas ini setelah Aleetha sembuh total ya, Bu," ucapnya jengah. "Tidak bisa," sahut Bu Mirna. "Ibu butuh kepastian. Sekarang katakan di depan kami semua, kamu lebih memilih perempuan ini atau memilih Aleetha.""Bu, ini keterlaluan ....""Keterlaluan?" Ulang Bu Mirna. "Ibu hanya ingin memastikan keadaan Aleetha baik-baik saja. Ibu tidak mau tidak punya Mama tiri yang tidak jelas asal-usulnya.""Diandra punya orang tua," sergah Birru sambil menahan geram. "Dia perempuan baik, santun, dan bahkan Aleetha sendiri lah yang memintanya untuk menjadi Ibu sambung. Ini semua kemauan Aleetha, Bu!""Cukup, Birru!" bentak Bu Mirna. "Jangan mengkambinghitamkan cucuku!"Deru napas Birru memburu. Emosinya hampir tidak bisa dikendalikan mendengar penolakan Bu Mirn
***"Lun, bagaimana kalau kita menikah setelah kamu melahirkan?"Aluna yang sedang menyeruput minuman dingin di depannya seketika tersedak. "Uhuk ... apa, Mas?" tanya Aluna. "Bisa kamu katakan sekali lagi?"Bara menggaruk rambutnya dengan gusar, "Begini, Lun ....""Kamu mau menikahiku setelah aku melahirkan, begitu?"Bara mengangguk ragu, "Lun, menikah butuh biaya besar, keluargaku dan keluargamu sama-sama ingin pesta meriah untuk pernikahan kita, jadi apa salahnya kita menabung lebih dulu supaya ....""Supaya kamu bisa kembali pada Diandra setelah aku melahirkan, begitu? Supaya kamu tidak perlu repot-repot menikahiku karena sudah tidak ada janin di perutku, iya, Mas?" Aluna mendelik, dadanya naik turun meluapkan emosi. "Pintar ya kamu!" sindir Aluna kemudian tertawa sumbang. "Bukan seperti itu, Lun ....""Lalu seperti apa?" bentak Aluna menyela. "Kamu mau aku menanggung malu ini seorang diri, hah?" Air mata Aluna berkejaran luruh membasahi pipi. "Aku hamil anak kamu, Mas, tega seka