***"Saya ....""Kamu mulai ragu karena kedatangan Khansa, Diandra?" tanya Birru menyelidik. "Kenapa, apa karena dia adik Hana? Kamu tidak percaya kalau saya ingin memulai kehidupan dengan orang yang baru? Denganmu?"Diandra menggeleng lemah. Pikirannya berkecamuk bukan karena ragu pada perasaan Birru, hanya saja ... ada sedikit rasa takut mengingat tatapan mata mengerikan yang Khansa lemparkan padanya. Tatapan mata tajam yang seolah-olah berkata, ‘Aku akan menyingkirkan kamu secepatnya.’Dengan berkata ‘setuju’ itu artinya dia harus siap melindungi Aleetha, juga Birru dalam hidupnya. "Saya tidak menaruh hati pada Khansa, Dian," ucap Birru meyakinkan. "Tidak sedikitpun.""Saya percaya, Pak," jawab Diandra nyaris tidak bersuara. "Tapi ...."Birru mengernyit menatap Diandra yang masih saja menggantung pembicaraan. ***Plak ....!Bibi Melani merasakan telapak tangannya panas setelah melayangkan tamparan keras di pipi Bara, calon menantunya. Sementara Aluna, perempuan yang mengenakan dr
***"Ini gapapa kalau Pak ... eh, Mas Birru menginap di rumah, Bu?" Ragu Diandra bertanya pada Bu Anis yang duduk di sebelahnya. "Apa kata tetangga ....""Memang apa kata tetangga, Dian?" sahut Pak Basuki seraya menahan tawa. "La wong kalian saja sudah menikah, bapak yang jadi walinya, kalian menikah juga dinikahkan penghulu, memangnya nanti apa kata tetangga?"Diandra menggaruk alisnya yang tidal gatal. "Entahlah, Pak," jawabnya asal. Birru melirik Diandra lalu menyahut, "Atau saya pulang saja, besok pagi saya jemput ....""Tidak perlu, Le," sela Bu Anis. "Menginap saja, apa yang kamu takutkan, Nak?"Birru mengangguk patuh. Pria berwajah tegas nan tampan itu terlihat begitu tenang, namun siapa yang tahu dalamnya hati seseorang? Perlahan, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. ***"P-- Pak Birru mau ngapain?" Diandra yang bersiap tidur tiba-tiba terduduk dengan sorot mata ketakutan. Birru melongo, namun beberapa detik kemudian pria bertubuh tinggi itu terkekeh lirih. "Saya s
***"Kamu sudah gila, Mas?! Hah?!" Diandra memekik sambil melayangkan telunjuknya tepat di wajah Bara, pria yang sudah lebih dari tiga tahun menjadi tunangannya itu terlihat mengusap wajah sambil sesekali meremas rambutnya yang berwarna hitam kecoklatan. "Bulan depan kita menikah, undangan bahkan sudah disebar, kenapa tiba-tiba ....""Cinta tidak bisa dipaksakan, Diandra," sela Aluna sambil bersedekap dada. "Terima saja keputusan Mas Bara, itu artinya kalian tidak berjodoh. Berpisah sebelum menikah itu lebih baik, bukan, atau ... kamu justru ingin menyandang status janda dengan buru-buru?" cibir Aluna sarkas. "Jangan ikut campur, Lun!" Rahang Diandra mengatup rapat. Dadanya yang nyeri dan sesak terasa semakin menguasai hati tatkala Aluna turut membuka suara. "Sayangnya aku harus ikut campur, Di. Mas Bara melamarku siang ini." Aluna memamerkan cincin solitaire bermata putih dengan cara melambai-lambaikan jemarinya di depan wajah Diandra. "Mas ...." Diandra berdesis. Matanya seketika
***"Enak sekali Aluna mau dijadikan istri kedua, tidak bisa!" Bibi Melani-- Mama Aluna berkacak pinggang di depan pintu. Wanita bertubuh tambun dan tidak terlalu tinggi itu meringsek masuk sambil memasang wajah garang. "Heh, Bara ... Aluna itu hamil anak kamu, sudah seharusnya kamu bertanggung jawab. Enak sekali kamu bilang mau tetap menikahi Diandra sementara putriku jadi yang kedua. Saya tidak setuju!"Kedua orang tua Bara saling tatap. Pak Basuki berdiri mendekati iparnya sambil berkata, "Jangan teriak-teriak. Tidak perlu pakai otot, Mel. Tenang saja, lagipula Dian pasti menolak ....""Alah, Mas Bas kan Bapaknya, tentulah membela Diandra," sela Bibi Melani sengit. "Harusnya Mas Bas sama Mbak Anis itu sedikit punya empati lah! Aluna itu keponakan kalian, tega-teganya kalian bikin dia jadi istri kedua. Kamu juga, Di ... apa kamu gak kasihan sama Aluna, hah? Dia itu sedang mengandung anak Bara, enak aja malah kamu yang jadi istri pertama. Aturan Aluna yang dia nikahi dulu, baru kamu.
Bu Anis mondar-mandir di depan pintu kamar Diandra yang masih tertutup rapat. Biasanya, putri semata wayangnya itu keluar setelah salat subuh, namun sekarang, saat jarum jam sudah bertengger di angka tujuh, Diandra tidak juga menampakkan batang hidungnya. Bu Anis khawatir. Sebagai seorang Ibu, tentulah turut merasakan pedihnya takdir yang Diandra terima."Di, kamu gak kerja, Nak?" Bu Anis memberanikan diri mengetuk pintu kamar putrinya. "Diandra ...." Untuk kedua kalinya Bu Anis memanggil. "Ya, Bu," jawab Diandra malas. "Aku ambil jatah libur, mau jalan-jalan sama Erika."Bu Anis yang mendengar jawaban Diandra pun hanya bisa menghela napas panjang kemudian berlalu meninggalkan depan pintu kamar Diandra. Wanita paruh baya itu tahu jika Diandra sedang tidak ingin diganggu. Bohong jika putrinya baik-baik saja saat ini. Tentulah Diandra terluka karena tunangannya bermain api dengan sepupunya sendiri bahkan sampai menghasilkan calon bayi. ***"Aluna, Di? Kamu bercanda?"Erika memekik k
***Erika menatap takut-takut pada pria berwajah tegas yang sedang menggendong Aleetha. "Anu ... maaf sekali, tadi saya cuma asal ngomong. Lagian anak sekecil Aleetha dibiarkan sendirian di alun-alun yang ramai kan bahaya, jadi ... ya, saya kira dia sengaja dibuang. Duh, maaf ya, Pak, mulut saya memang sedikit kurang bisa dikondisikan. Maaf ya." Erika menyenggol lengan Diandra berharap sahabatnya itu turut membela. "Beneran Papa mau buang Aleetha?" tanya Aleetha polos. "Tante Ayesha gak mau punya anak kayak Aleetha ya, Pa? Kalau gitu, Papa jangan menikah sama Tante Ayesha, menikah saja sama Tante Diandra. Tante Diandra mau kan jadi Mama Aleetha?" Aleetha menatap Diandra dengan kedua matanya yang bulat. Diandra kikuk mendapat pertanyaan yang keluar dari bibir gadis mungil nan lugu di depannya."Benar kamu tinggalkan Aleetha di sini sendirian, Sha?" tanya Papa Leetha mengacuhkan pertanyaan putrinya pada Diandra."M-- Mas, mana mungkin ....""Aleetha belum pernah berbohong, Sha," sela
***"Jangan ikut campur urusan kami, minggir!" Bara yang hendak menarik lengan Diandra sontak didorong kasar oleh pria berwajah tegas di depannya. "Dia calon istriku, lepaskan tanganmu ...."Plak!!!Diandra tiba-tiba berbalik dan menampar pipi Bara tanpa ragu. "Aku tidak akan pernah lupa betapa sakitnya tamparanmu sore ini, Mas," ucap Diandra parau. "Setelah merobek hatiku dengan perselingkuhan hingga berujung kehamilan, sekarang kamu menamparku hanya karena aku bilang sudah punya penggantimu, kamu marah, hah?" Diandra berbicara sambil berteriak mengeluarkan semua sesak yang ada di dalam dadanya. "Kau pikir seberapa dalam aku menyimpan namamu dalam hati? Kau pikir aku tidak bisa mencari pria yang jauh lebih baik, begitu?""Mas Bara, dengarkan aku baik-baik!" Setelah menghela napas panjang, Diandra kembali berbicara, "Bagiku kamu adalah pria paling menjijikkan! Aku sangat beruntung kita berdua gagal menikah. Jika tidak, oh ... aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya berbagi suami
***"Masuk kuburan aja dianjurkan baca salam, masa masuk rumah orang main nyelonong aja," sindir Diandra. "Lagian kenapa kalau tamuku ini lelaki yang bawa anak? Kamu kalau gak tau apa-apa jangan asal nuduh, Lun. Jangan suka menebar fitnah," ucap Diandra lirih namun penuh penekanan."Halah, ngaku aja, Di," sahut Aluna. "Dia suami orang kan?"Aku mengangguk, "Bisa iya, bisa juga tidak," jawab Diandra asal. "Lalu kenapa?"Aluna bergidik kemudian menyahut, "Hih, tuh kan ... kamu emang perempuan gak bener. Bibit pelakor tuh udah mulai muncul di diri kamu, Diandra." Aluna menggandeng lengan Bibi Melani dan berkata lagi, "Gagal menikah sama Mas Bara bukannya jadi makin baik, ini malah bawa pulang laki orang."Aluna menatap takut-takut ke arah Birru, sementara pria yang sedang diperhatikan oleh Ibu dan anak itu justru terlihat begitu tenang, bahkan sesekali dia meneguk minuman yang ada di hadapan. "Kenapa sih, Di, ada apa?" Bu Anis datang bersama Aleetha. "Loh, Lun ... ngapain?"Aluna menceb