***"Mau apa?"Diandra berdiri di ambang pintu tanpa mempersilahkan tamunya untuk masuk. Wajahnya ketus, sengaja agar pria di depannya segera hengkang."Setidaknya biarkan aku masuk, Di," jawab Bara. "Kita bicara di dalam. Apa begini cara kamu menyambut tamu?""Aku gak ada waktu, Mas," sahut Diandra. "Bicara sekarang kalau memang ada hal penting, kalau gak ... aku tutup pintunya!"Bara tertawa lirih. "Kamu berubah, Di," ucapnya. "Apa luka yang aku ciptakan masih membekas di hati kamu? Tidak bisakah aku obati luka itu dengan kita kembali bersama? Hmm?"Gila!" hardik Diandra setengah berbisik. "Ayolah, aku tau pria itu tidak jadi melamar." Bara menatap wajah Diandra yang berubah masam. "Cuma aku yang serius ke kamu, Diandra, pertimbangan tawaranku ini."Diandra menyentak napas dengan kasar. "Pergilah, Mas! Salah-salah orang lain bisa mengira aku sedang menggoda calon suami sepupuku sendiri. Muak sekali berurusan dengan kekasih kamu itu." Diandra berbicara tanpa menatap wajah Bara. "Lag
***"Tha ...." Diandra mengecup punggung tangan Aleetha yang memucat. "Tante Diandra datang, Sayang." Tangis Diandra pecah. Matanya nanar menatap tubuh mungil yang terbaring lemah di depannya. Senyum yang biasanya terlempar ceria, kini bibirnya mengatup rapat seperti sedang menikmati rasa sakit yang mendera. Di ruang ICU, hanya ada Diandra dan Aleetha, sementara keluarga yang lain menunggu di ruang tunggu. Setelah operasi karena pendarahan di otak, kondisi Aleetha masih dipantau ketat oleh Dokter yang bertugas. Gadis mungil berkulit putih itu terbaring dengan kondisi yang mampu membuat siapapun yang menatapnya menangis sesenggukan."Tante disini, Sayang ...." Bahu Diandra bergetar. Seluruh wajahnya basah bahkan punggung tangan Aleetha tak luput dari air matanya yang berjatuhan. Di balik pintu ruang ICU, Birru menatap pemandangan di depan matanya dengan perasaan hancur. Pewaris tunggal Perusahaan Ranajaya itu berkali-kali mendongak agar air matanya tidak kembali berjatuhan. Setelah
***Birru sudah berada di rumah Diandra sejak pukul delapan pagi. Rencananya, hari ini dia dan Diandra akan menemui teman Aleetha, meskipun Birru sendiri tidak yakin jika gadis kecil yang mendorong putrinya itu mau membuka mulut. Bu Anis menyuguhkan secangkir kopi di atas meja sementara Diandra masih belum keluar dari dalam kamar."Diminum dulu, Nak!" pinta Bu Anis. "Bapak gak bisa ikut jaga Aleetha, jatah liburnya sudah habis."Birru mengangguk mengerti, "Tidak apa-apa, Bu. Saya justru gak enak kalau seperti ini, saya merepotkan Bapak dan Ibu.""Ngomong apa kamu ini, Le. Aleetha itu sudah kami anggap seperti cucu sendiri," sahut Bu Anis. "Bapak semalaman gak bisa tidur, kepikiran Aleetha katanya."Birru menunduk menyembunyikan raut mukanya yang sendu. Bukan hanya Pak Basuki, semua keluarganya pun kesulitan mengistirahatkan tubuh karena khawatir dengan keadaan Aleetha."Ini sudah hampir 48 jam pasca operasi, tapi Aleetha bahkan belum membuka matanya, Bu. Saya cemas sekali," ucap Birr
***"Tunggu!" Diandra berbicara setelah cukup lama menikmati keterkejutan. "Albirru Fahrian Ranajaya." Gadis itu mengeja nama Birru kemudian memekik, "Pak Birru ...." Birru hampir tertawa mendengar Diandra menyebut namanya. "Iya. Itu Perusahaan Papa," jawab Birru."Hah?" Diandra cengo. "Ja-- jadi ....""Jadi apa?" tanya Birru."Ini bukan mimpi kan, Pak?" Diandra bertanya lagi. "Maksud saya ... bagaimana bisa saya yang cuma pramuniaga Mall dan putri dari seorang satpam di Perumahan Elit menikah dengan pewaris tunggal? Bagaimana bisa, Pak Birru?" Diandra geleng-geleng tidak percaya. Birru terkekeh. "Memang aneh?""Ya Tuhan!" pekik Diandra. "Pasti ada banyak sekali wanita-wanita berkelas dan yang jauh lebih cantik daripada saya, Pak Birru yakin mau menikahi bocah ingusan tanpa harta ini?" Diandra menunjuk dirinya sendiri sambil meringis. Birru tertawa, tawa yang benar-benar lepas setelah dua hari bertarung dengan ketegangan tentang kabar Aleetha di Rumah Sakit. "Harta saya sudah bany
***"Brengsek!" desis Birru, kedua tangannya mengepal, rahangnya mengeras, kepalanya mendadak pening mendapati kebenaran tentang siapa yang sudah menyebabkan Aleetha terbaring lemah di ruang ICU.Napas Diandra tak kalah memburu, matanya memanas melihat anggukan kepala Karina pada sebuah foto yang baru saja Birru perlihatkan. "Karina yakin ini orangnya, Sayang?" Diandra mencoba memastikan, khawatir gadis mungil di depannya salah memperhatikan.Karina mengangguk lemah, "Iya, Tante."Diandra memejamkan matanya sejenak, kemudian berkata, "Bu, terima kasih sudah mengijinkan saya berbicara dengan Karina."Bu Manda menangis sambil memeluk putrinya. Matanya sendu menatap Diandra yang bersiap berdiri. "Maafkan Karina, Mbak ...."Diandra bergeming. Karina masih di bawah umur, namun tindakannya sangat membahayakan orang lain, salah-salah atau telat penanganan, Aleetha bisa tertidur nyenyak di bawah tanah saat ini. "Terpaksa kami harus membuat laporan tentang kecelakaan yang menimpa Aleetha, Bu
***"Astaga, Mas Birru ... aku kaget banget waktu Pak Andreas telepon, dia bilang kamu mau ketemu aku, ya?" Ayesha terpaku ketika mendapati Diandra berada di dalam ruangan Birru. Ruangan yang selama tiga tahun ini dipakai oleh Pak Andreas. "Ck!" Ayesha berdecak sebal. "Anak kampung itu mau ngapain?" Matanya menatap jengah pada sosok perempuan yang duduk di samping Birru. "Duduk saja dulu, Sha, ada yang ingin kami tanyakan ke kamu," jawab Birru. Ayesha memasang wajah malas, "Aku kira kita bertemu cuma berdua, Mas," ucapnya sedih."Aleetha di Rumah Sakit," sahut Birru. Kedua mata Ayesha melotot sempurna kemudian bertanya, "Hah, kenapa?""Ada yang mendorongnya dari tangga," jawab Birru tak acuh. Ayesha menutup mulutnya dengan dua tangan, matanya menyipit seolah sedang berusaha mengeluarkan air mata."Leetha, astaga ...." Ayesha mulai menangis, "Lalu bagaimana keadaannya sekarang, Mas? Dia baik-baik saja, kan?"Birru menggeleng, dadanya kembali sesak mendapati kenyataan bahwa kondisi
***"Seyakin itu kamu pada gadis kampung ini, Mas?" tanya Ayesha parau. "Selama ini aku yang menemani keterpurukan kamu setelah kematian Hana, tapi ... ha ... ha ... aku tidak menyangka seleramu ternyata daun muda," imbuh Ayesha sambil tertawa sumbang, namun matanya berkaca-kaca."Tiga tahun aku rela menemani kamu tanpa ikatan. Tiga tahun kamu menggantung perasaanku dan ... dan sekarang kamu menunjukkan di depan mata kepalaku sendiri betapa brengseknya kamu, Mas Birru!" Ayesha menuding wajah Birru dengan penuh emosi. "Selama ini aku berusaha menjadi calon Ibu yang baik untuk Aleetha ....""Kalau kamu baik, harusnya Leetha tidak terbaring di Rumah Sakit saat ini, Sha!" bentak Birru. Napasnya memburu, urat-urat di lehernya menegang, matanya berkaca-kaca membayangkan wajah Aleetha yang tertidur pulas di ruang ICU, gadis itu seperti enggan membuka mata, atau Hana sedang berdongeng hingga Aleetha menolak untuk pulang? Entahlah. "Ini bukan kesalahanku!" Suara Ayesha tak kalah tinggi. "Gadi
***"Bi, tenanglah!" Bu Salma mendekat dan menepuk-nepuk punggung putranya dengan tangan gemetar. "Aleetha anak yang kuat, dia pasti bisa melewati ini semua."Birru mengangkat wajahnya dari bahu Diandra. Wajah yang biasa terlihat teduh, siang ini berubah sendu dengan keadaan rambut yang cukup berantakan. Birru mengusap air mata di pipi Diandra sebelum akhirnya duduk di salah satu bangku tunggu. Diandra terpaku dengan sorot mata yang masih saja menatap pintu ruang ICU. "Nduk," panggil Bu Anis. Diandra menoleh, air matanya sudah kering sementara bibirnya terasa kelu untuk sekedar menjawab panggilan dari Sang Ibu. "Kamu belum salat?""Belum, Bu.""Pergilah ke musala, salat lah dulu," pinta Bu Anis.Diandra melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Benar saja, jarum jam sudah menunjukkan pukul 13.00 siang."Salat sama saya." Birru berdiri. "Saya juga belum salat, Diandra. Ayo!""Ya, Pak."Tidak ada percakapan apapun sepanjang perjalanan menuju musala Rumah Sakit. Setelah wu