***"Mama gak setuju, Birru!"Salma Diana Ranajaya, para pekerja di rumahnya memanggil dengan sebutan Nyonya, wanita paruh baya yang pandai memadu padankan pakaian itu terlihat gusar dengan penuturan Birru tentang lamarannya pada seorang gadis. Bu Salma menganggapnya gadis, karena Birru yang mengatakan bahwa usia Diandra masih dua puluh empat tahun, dan bagi Bu Salma itu usia yang terlalu muda untuk bisa merawat anak seusia Aleetha. "Menikah lagi itu artinya kamu harus siap mengesampingkan perasaanmu, Birru. Mau tidak mau, setuju atau tidak, kamu memang sedang mencari Ibu sambung untuk Aleetha, bukan hanya seorang istri," tutur Bu Salma. "Ayesha bagi Mama sudah cocok menjadi istri dan ibu untuk Aleetha, kenapa tiba-tiba bilang mau melamar gadis dua puluh tahunan?" Kening Bu Salma mengkerut, kepalanya menggeleng lemah sembari menatap Birru yang sedang duduk di depannya."Kamu dan Ayesha sudah setahun ini menjalin hubungan, dan Mama kira itu sudah cukup membuktikan kalau kamu memang be
***"Aku bukan menangisi acara lamaran Aluna dan Mas Bara, Bu," aku Diandra dengan sisa tangisnya. "Ucapan Mbak Hani ... astaghfirullah ...." Diandra menghela napas berat, tetangga depan rumahnya itu memang terkenal bermulut pedas, padahal putrinya sedang menanggung aib, tapi ternyata itu tidak lantas menyurutkan niat Mbak Hani untuk menyakiti hati Diandra. "Tenanglah ...." Bu Anis mengurut punggung Diandra dengan telapak tangan. "Tenanglah, Nduk."Diandra mengusap sisa air mata di pipi. Dadanya berangsur longgar, tangisnya mereda, namun luka akibat perkataan pedas Mbak Hani masih membekas di hati. Di depan pintu yang tertutup, Diandra duduk sambil memeluk lutut. "Aku tidak mencintai Papanya Aleetha, Bu." Ucapan Diandra tidak membuat Bu Anis terkejut. "Sejujurnya ini terasa aneh, aku dan beliau baru bertemu dua kali, tapi tadi malam tiba-tiba pria itu melamarku di depan Ibu. Kurasa ... dia hanya sedang mencari pengasuh untuk Aleetha. Ya, meskipun dengan menikahiku, aku tetap pada po
***"Huh, astaghfirullah ...." Diandra mengurut dadanya perlahan. Kalimat istighfar berulang kali keluar dari bibirnya berharap semua rasa kesal di dalam dadanya berangsur terurai. "Lun." Mbak Hani memanggil. "Aluna!" ulangnya. Diandra yang masih berdiri di balik pintu seketika menajamkan pendengaran. "Apa, Mbak Hani?" jawab Aluna ketus. "Kamu beneran hamil, Lun? Jadi benar yang orang-orang bilang kalau kamu sengaja merebut calon suami Diandra?" Diandra hampir tertawa mendengar pertanyaan Mbak Hani pada Aluna. Rasa kesal yang baru saja ia rasakan benar-benar lenyap, apalagi ketika membayangkan wajah Aluna yang dongkol dan marah, puas sekali senyum Diandra kali ini. "Ih, Lun ... makanya bilang sama Ibumu, jangan suka ngatain anak orang. Melani suka banget ngatain Zeya hamil tanpa suami, eh gak taunya anaknya sendiri ....""Eh, Mbak Hani," sela Aluna terdengar marah. "Aku sama Mas Bara minggu depan mau menikah, Mbak Hani lihat sendiri kan kami berdua bertunangan kemarin? Jadi, ya ...
***"Ih, gak cocok di kakiku, ya kan, Sayang?"Bara mendengus kesal melihat sikap Aluna yang dianggap keterlaluan. Pasalnya, sudah lebih dari lima sepatu ia coba, namun wanita hamil itu selalu berkata jika pilihan Diandra tidak cocok di kakinya. "Pilihkan yang bagus dong!" pinta Aluna. "Masa gak punya sepatu yang rekomended sih, daritadi kenapa yang jelek-jelek yang dikasih ke aku. Ih, gak profesional, kamu pasti marah karena aku datang sama Mas Bara, ya kan, Di?"Diandra menoleh dengan malas. "Jangan menyangkut pautkan hal-hal pribadi disini, Lun. Aku sedang bekerja," sahut Diandra berusaha tidak terpancing emosi. "Sepatu yang saya bawa ini keluaran terbaru semua, Bu. Insya Allah rekomended sih ...." "Halah, rekomended apaan, dari tadi yang disodorkan gak ada yang menarik. Kamu sengaja ngasih pilihan yang jelek-jelek, ya kan? Ngaku!"Diandra menarik napas dalam-dalam. "Kalau begitu, silahkan Ibu lihat-lihat dulu, barangkali ada yang cocok di hati ....""Mana manager kalian?!" Alun
***"Arek gendeng!" hardik Erika geram. "Dia yang merebut Bara, dia pula yang bersikap seolah-olah paling tersakiti. Memang bawang merah, jahat lu, Lun!" Erika berkacak pinggang menatap Aluna yang mulai berlari mengejar langkah kaki Bara yang terlihat semakin menjauh. Diandra menghembuskan napas lega, meskipun keributan barusan tidak dapat ia hindari, setidaknya ada banyak orang yang mendukungnya dan berbalik menyerang Aluna. Sedih?Tentu saja. Diandra masih merasakan kehilangan yang luar biasa karena terkadang ketika Bara libur, maka pria itu akan mengunjungi Diandra dan mengajaknya makan siang bersama. Keduanya lalu mencari restoran yang berada di dalam Mall, namun kali ini, sudah hampir sebulan ia tidak pernah mengunjungi restoran langganannya bersama Bara. Diandra menatap punggung Bara yang mulai mengecil. Pria yang mendiami hatinya sejak tiga tahun yang lalu itu mulai menuruni eskalator menuju lantai satu. Di belakangnya, nampak Aluna tergopoh-gopoh mengejar sambil sesekali me
***"Kalian berdua baru pulang?"Diandra dan Erika saling melempar pandang sebelum akhirnya keduanya mengangguk bersamaan. "Iya, Bu," jawab Erika memecah rasa canggung. "Wah, malam juga ya pulangnya," gumam Bu Salma seraya menatap dua wanita berusia muda di depannya. "Maaf ya, gara-gara saya kalian malah kesini larut malam begini. Saya gak tau kalau pulang kerja kalian berdua semalam ini.""Tidak apa-apa, Bu. Saya yang seharusnya minta maaf karena sudah teledor memakai sepatu yang sudah Ibu beli. Maafkan saya." Diandra membungkukkan badan mengiringi permintaan maaf yang keluar dari bibirnya. "Kebetulan kami berdua memang jaga shift sore, jadi pulangnya cukup malam, Bu." Diandra berusaha tersenyum meskipun canggung dengan situasi yang ia hadapi saat ini. "Duh, saya jadi merasa bersalah. Ayo, masuk dulu!" Bu Salma menggandeng lengan Diandra sementara Erika masih terpaku di tempatnya. "Ayo!" Bu Salma menoleh ke belakang membuat sahabat Diandra itu gelagapan. "I-- iya, Bu," jawabnya ga
***"Rik, kamu baik-baik saja kan?"Erika yang duduk di belakang Diandra hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Jangan tidur, awas kamu!" ancam Diandra ketika merasakan dagu Erika menempel di bahunya. "Di, aku rasa setelah kamu menikah nanti, Pak Duda bakalan ngelarang kamu buat temenan sama aku." Diandra tersenyum mendengar suara Erika yang tetiba melemah. "Keterlaluan gak sih, tadi aku nuduh dia itu supir, Di. Bahkan ... bahkan aku minta supaya dia mundur buat bisa dapetin kamu," ucap Erika menggebu-gebu. "Lagian kenapa kamu bilangnya dia pengangguran sih, Diandra?" gerutu Erika makin gemas. "Y-- ya mana aku tahu, kan yang bilang begitu bukan aku, tapi Aleetha." Diandra membela diri. "Ck, jelek sudah image-ku di depan Pak Duda. Padahal ini peluang, ya kan? Siapa tau setelah kalian menikah, lalu kamu butuh ART, aku siap jadi pembantu di rumah kamu, Di. Gaji bisa kita bicarakan, ya kan? Argh, aku membuang kesempatan emas." Diandra geleng-geleng mendengar perkataan Erika yang s
***"Ini berlian, Di. Gila!"Diandra buru-buru membekap mulut Erika dengan satu tangan. "Jangan keras-keras ngomongnya!" bisik Diandra gemas. Erika menampik tangan Diandra kemudian tersenyum memamerkan barisan giginya yang putih. "Ya, Maaf ....""Berlian dipadukan dengan blue sapphire, Oh Tuhan ... ini cincin mahal, Diandra." Erika geleng-geleng sembari terus menatap gambar cincin dari kontak bernama ‘Leetha’ di ponsel Diandra. "Orang kaya memang effort-nya gak main-main." Erika masih berdecak kagum."Di, hari minggu kita ke alun-alun ya, siapa tahu ada bocah seperti Aleetha. Dia hilang, lalu kita temukan dan ... ternyata bapaknya kaya raya, duda pula. Pokoknya hari minggu kita harus ...."Pletak!Diandra melempar bulpen tepat di kepala Erika. "Mulai gak waras!" cibirnya lirih. "Ck!" Erika memasang wajah kesal. "Sakit tau!" gerutunya. Diandra melirik Erika yang sedang mengusap-usap kepalanya. "Mau kulineran di Kodam, gak?"Mata Erika berbinar, "Kamu yang traktir ya?""Baiklah," jaw
***"Ini gapapa kalau Pak ... eh, Mas Birru menginap di rumah, Bu?" Ragu Diandra bertanya pada Bu Anis yang duduk di sebelahnya. "Apa kata tetangga ....""Memang apa kata tetangga, Dian?" sahut Pak Basuki seraya menahan tawa. "La wong kalian saja sudah menikah, bapak yang jadi walinya, kalian menikah juga dinikahkan penghulu, memangnya nanti apa kata tetangga?"Diandra menggaruk alisnya yang tidal gatal. "Entahlah, Pak," jawabnya asal. Birru melirik Diandra lalu menyahut, "Atau saya pulang saja, besok pagi saya jemput ....""Tidak perlu, Le," sela Bu Anis. "Menginap saja, apa yang kamu takutkan, Nak?"Birru mengangguk patuh. Pria berwajah tegas nan tampan itu terlihat begitu tenang, namun siapa yang tahu dalamnya hati seseorang? Perlahan, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. ***"P-- Pak Birru mau ngapain?" Diandra yang bersiap tidur tiba-tiba terduduk dengan sorot mata ketakutan. Birru melongo, namun beberapa detik kemudian pria bertubuh tinggi itu terkekeh lirih. "Saya s
***"Saya ....""Kamu mulai ragu karena kedatangan Khansa, Diandra?" tanya Birru menyelidik. "Kenapa, apa karena dia adik Hana? Kamu tidak percaya kalau saya ingin memulai kehidupan dengan orang yang baru? Denganmu?"Diandra menggeleng lemah. Pikirannya berkecamuk bukan karena ragu pada perasaan Birru, hanya saja ... ada sedikit rasa takut mengingat tatapan mata mengerikan yang Khansa lemparkan padanya. Tatapan mata tajam yang seolah-olah berkata, ‘Aku akan menyingkirkan kamu secepatnya.’Dengan berkata ‘setuju’ itu artinya dia harus siap melindungi Aleetha, juga Birru dalam hidupnya. "Saya tidak menaruh hati pada Khansa, Dian," ucap Birru meyakinkan. "Tidak sedikitpun.""Saya percaya, Pak," jawab Diandra nyaris tidak bersuara. "Tapi ...."Birru mengernyit menatap Diandra yang masih saja menggantung pembicaraan. ***Plak ....!Bibi Melani merasakan telapak tangannya panas setelah melayangkan tamparan keras di pipi Bara, calon menantunya. Sementara Aluna, perempuan yang mengenakan dr
***"Lun, bagaimana kalau kita menikah setelah kamu melahirkan?"Aluna yang sedang menyeruput minuman dingin di depannya seketika tersedak. "Uhuk ... apa, Mas?" tanya Aluna. "Bisa kamu katakan sekali lagi?"Bara menggaruk rambutnya dengan gusar, "Begini, Lun ....""Kamu mau menikahiku setelah aku melahirkan, begitu?"Bara mengangguk ragu, "Lun, menikah butuh biaya besar, keluargaku dan keluargamu sama-sama ingin pesta meriah untuk pernikahan kita, jadi apa salahnya kita menabung lebih dulu supaya ....""Supaya kamu bisa kembali pada Diandra setelah aku melahirkan, begitu? Supaya kamu tidak perlu repot-repot menikahiku karena sudah tidak ada janin di perutku, iya, Mas?" Aluna mendelik, dadanya naik turun meluapkan emosi. "Pintar ya kamu!" sindir Aluna kemudian tertawa sumbang. "Bukan seperti itu, Lun ....""Lalu seperti apa?" bentak Aluna menyela. "Kamu mau aku menanggung malu ini seorang diri, hah?" Air mata Aluna berkejaran luruh membasahi pipi. "Aku hamil anak kamu, Mas, tega seka
***"Pikirkan baik-baik perkataan Ibu, Birru." Bu Mirna berbicara sambil melirik sinis ke arah Diandra. "Kamu boleh menikahi wanita lain, tapi jangan harap Aleetha akan hidup bersamamu."Birru membuang muka seraya menghela napas kasar. "Kita bahas ini setelah Aleetha sembuh total ya, Bu," ucapnya jengah. "Tidak bisa," sahut Bu Mirna. "Ibu butuh kepastian. Sekarang katakan di depan kami semua, kamu lebih memilih perempuan ini atau memilih Aleetha.""Bu, ini keterlaluan ....""Keterlaluan?" Ulang Bu Mirna. "Ibu hanya ingin memastikan keadaan Aleetha baik-baik saja. Ibu tidak mau tidak punya Mama tiri yang tidak jelas asal-usulnya.""Diandra punya orang tua," sergah Birru sambil menahan geram. "Dia perempuan baik, santun, dan bahkan Aleetha sendiri lah yang memintanya untuk menjadi Ibu sambung. Ini semua kemauan Aleetha, Bu!""Cukup, Birru!" bentak Bu Mirna. "Jangan mengkambinghitamkan cucuku!"Deru napas Birru memburu. Emosinya hampir tidak bisa dikendalikan mendengar penolakan Bu Mirn
***"Ibu datang hanya untuk membahas masalah ini?" tanya Birru dengan kening mengernyit. "Aleetha terbaring tidak berdaya di dalam, dan Ibu datang hanya untuk mencaci keputusan yang saya buat?"Bu Mirna gelagapan, wanita paruh baya itu sempat membuang muka kemudian menatap kedua mata Birru yang masih menyisakan basah. "Ibu-- Ibu hanya terbawa emosi, Birru. Kamu bahkan memutuskan ini semua tanpa persetujuan Ibu," elak Bu Marni parau. "Meskipun Hana sudah tiada, tapi ada Aleetha diantara kalian, Ibu gak bisa membayangkan bagaimana hancurnya dia jika nanti diasuh oleh wanita asing."Birru menelisik wajah Diandra yang semakin tenggelam menatap lantai Rumah Sakit. Sepuluh jemari perempuannya itu saling bertaut. Birru bisa melihat dengan jelas jika Diandra sedang gemetar hebat saat ini."Kamu sudah berjanji tidak akan menikahi siapapun setelah kepergian Hana, Nak. Tapi apa yang Ibu dengar, hah? Ini kabar buruk, Ibu mendengar kabar yang teramat menyakitkan bagi Ibu, dan kamu tau ... Hana pas
***"Nih, lihat, Lun!"Diandra yang hendak memasuki mobil seketika menoleh. "Ada apa, Bi?" tanyanya kebingungan. Aluna geleng-geleng melihat Diandra, kemudian bertanya, "Dia calon mertua kamu?"Melihat ada hal yang kurang beres, Pak Ranajaya keluar dan mendekati Diandra yang nampak jengah. "Saya Ranajaya, calon mertua Diandra." Pria paruh baya itu mengulurkan tangan dan disambut kikuk oleh Aluna juga Bibi Melani. "Emang ada calon mertua dan calon menantu sedekat ini?" sindir Aluna. "Jangan-jangan kamu main-main sama keduanya ....""Aku bukan kamu, Lun," sela Diandra sengit. "Halah, ngaku aja! Aku sama Papanya Mas Bara aja gak sedekat ini loh, kita masih ada jarak," sahut Aluna membanggakan diri. "Jaman sekarang main sama anak dan Bapaknya itu udah lumrah, udahlah, ngaku aja!""Astaghfirullah, Aluna!" teriak Bu Anis dari ambang pintu. "Apa sih, Budhe, teriak-teriak, aku gak budek!" gerutu Aluna kesal. "Kamu jangan keterlaluan ya, Lun ...." Bu Anis menuding wajah Aluna dengan telu
***"Dia pikir calon suaminya yang duda itu kaya raya?" Aluna menggerutu. "Itu cuma mobil rentalan. Diandra goblok!""Ada apa, Lun?"Aluna berjingkat kaget mendengar suara Bu Anis. Perlahan, putri Bibi Melani itu menoleh dan menjawab, "Lain kali Diandra itu dinasehati lah, Budhe. Jangan sombong, jangan songong, toh mobil yang dipakai cuma mobil sewaan.""Mobil sewaan?" tanya Bu Anis. Aluna mengangguk, "Iya kan? Mobil yang dipakai calon suaminya Diandra itu mobil sewaan kan, Budhe?"Bu Anis melongo menatap Aluna yang menggebu-gebu merendahkan Birru. "Cuma bisa sewa mobil aja sombongnya minta ampun. Nih ya, Mas Bara yang jelas-jelas kaya dan punya mobil mewah ....""Lun, kamu gak lupa kan kalau Bara itu dulu calon suami siapa?" sela Bu Anis menohok. "Kamu gak malu membangga-banggakan seseorang yang didapat dari hasil merebut?""Eh, Budhe ... kok nyolot sih," sahut Aluna tidak senang. "Mas Bara sama Diandra itu gak jodoh, jadi jangan salahkan aku dong! Lagipula Mas Bara yang mau sama a
***"Bi, tenanglah!" Bu Salma mendekat dan menepuk-nepuk punggung putranya dengan tangan gemetar. "Aleetha anak yang kuat, dia pasti bisa melewati ini semua."Birru mengangkat wajahnya dari bahu Diandra. Wajah yang biasa terlihat teduh, siang ini berubah sendu dengan keadaan rambut yang cukup berantakan. Birru mengusap air mata di pipi Diandra sebelum akhirnya duduk di salah satu bangku tunggu. Diandra terpaku dengan sorot mata yang masih saja menatap pintu ruang ICU. "Nduk," panggil Bu Anis. Diandra menoleh, air matanya sudah kering sementara bibirnya terasa kelu untuk sekedar menjawab panggilan dari Sang Ibu. "Kamu belum salat?""Belum, Bu.""Pergilah ke musala, salat lah dulu," pinta Bu Anis.Diandra melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Benar saja, jarum jam sudah menunjukkan pukul 13.00 siang."Salat sama saya." Birru berdiri. "Saya juga belum salat, Diandra. Ayo!""Ya, Pak."Tidak ada percakapan apapun sepanjang perjalanan menuju musala Rumah Sakit. Setelah wu
***"Seyakin itu kamu pada gadis kampung ini, Mas?" tanya Ayesha parau. "Selama ini aku yang menemani keterpurukan kamu setelah kematian Hana, tapi ... ha ... ha ... aku tidak menyangka seleramu ternyata daun muda," imbuh Ayesha sambil tertawa sumbang, namun matanya berkaca-kaca."Tiga tahun aku rela menemani kamu tanpa ikatan. Tiga tahun kamu menggantung perasaanku dan ... dan sekarang kamu menunjukkan di depan mata kepalaku sendiri betapa brengseknya kamu, Mas Birru!" Ayesha menuding wajah Birru dengan penuh emosi. "Selama ini aku berusaha menjadi calon Ibu yang baik untuk Aleetha ....""Kalau kamu baik, harusnya Leetha tidak terbaring di Rumah Sakit saat ini, Sha!" bentak Birru. Napasnya memburu, urat-urat di lehernya menegang, matanya berkaca-kaca membayangkan wajah Aleetha yang tertidur pulas di ruang ICU, gadis itu seperti enggan membuka mata, atau Hana sedang berdongeng hingga Aleetha menolak untuk pulang? Entahlah. "Ini bukan kesalahanku!" Suara Ayesha tak kalah tinggi. "Gadi