***"Arek gendeng!" hardik Erika geram. "Dia yang merebut Bara, dia pula yang bersikap seolah-olah paling tersakiti. Memang bawang merah, jahat lu, Lun!" Erika berkacak pinggang menatap Aluna yang mulai berlari mengejar langkah kaki Bara yang terlihat semakin menjauh. Diandra menghembuskan napas lega, meskipun keributan barusan tidak dapat ia hindari, setidaknya ada banyak orang yang mendukungnya dan berbalik menyerang Aluna. Sedih?Tentu saja. Diandra masih merasakan kehilangan yang luar biasa karena terkadang ketika Bara libur, maka pria itu akan mengunjungi Diandra dan mengajaknya makan siang bersama. Keduanya lalu mencari restoran yang berada di dalam Mall, namun kali ini, sudah hampir sebulan ia tidak pernah mengunjungi restoran langganannya bersama Bara. Diandra menatap punggung Bara yang mulai mengecil. Pria yang mendiami hatinya sejak tiga tahun yang lalu itu mulai menuruni eskalator menuju lantai satu. Di belakangnya, nampak Aluna tergopoh-gopoh mengejar sambil sesekali me
***"Kalian berdua baru pulang?"Diandra dan Erika saling melempar pandang sebelum akhirnya keduanya mengangguk bersamaan. "Iya, Bu," jawab Erika memecah rasa canggung. "Wah, malam juga ya pulangnya," gumam Bu Salma seraya menatap dua wanita berusia muda di depannya. "Maaf ya, gara-gara saya kalian malah kesini larut malam begini. Saya gak tau kalau pulang kerja kalian berdua semalam ini.""Tidak apa-apa, Bu. Saya yang seharusnya minta maaf karena sudah teledor memakai sepatu yang sudah Ibu beli. Maafkan saya." Diandra membungkukkan badan mengiringi permintaan maaf yang keluar dari bibirnya. "Kebetulan kami berdua memang jaga shift sore, jadi pulangnya cukup malam, Bu." Diandra berusaha tersenyum meskipun canggung dengan situasi yang ia hadapi saat ini. "Duh, saya jadi merasa bersalah. Ayo, masuk dulu!" Bu Salma menggandeng lengan Diandra sementara Erika masih terpaku di tempatnya. "Ayo!" Bu Salma menoleh ke belakang membuat sahabat Diandra itu gelagapan. "I-- iya, Bu," jawabnya ga
***"Rik, kamu baik-baik saja kan?"Erika yang duduk di belakang Diandra hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Jangan tidur, awas kamu!" ancam Diandra ketika merasakan dagu Erika menempel di bahunya. "Di, aku rasa setelah kamu menikah nanti, Pak Duda bakalan ngelarang kamu buat temenan sama aku." Diandra tersenyum mendengar suara Erika yang tetiba melemah. "Keterlaluan gak sih, tadi aku nuduh dia itu supir, Di. Bahkan ... bahkan aku minta supaya dia mundur buat bisa dapetin kamu," ucap Erika menggebu-gebu. "Lagian kenapa kamu bilangnya dia pengangguran sih, Diandra?" gerutu Erika makin gemas. "Y-- ya mana aku tahu, kan yang bilang begitu bukan aku, tapi Aleetha." Diandra membela diri. "Ck, jelek sudah image-ku di depan Pak Duda. Padahal ini peluang, ya kan? Siapa tau setelah kalian menikah, lalu kamu butuh ART, aku siap jadi pembantu di rumah kamu, Di. Gaji bisa kita bicarakan, ya kan? Argh, aku membuang kesempatan emas." Diandra geleng-geleng mendengar perkataan Erika yang s
***"Ini berlian, Di. Gila!"Diandra buru-buru membekap mulut Erika dengan satu tangan. "Jangan keras-keras ngomongnya!" bisik Diandra gemas. Erika menampik tangan Diandra kemudian tersenyum memamerkan barisan giginya yang putih. "Ya, Maaf ....""Berlian dipadukan dengan blue sapphire, Oh Tuhan ... ini cincin mahal, Diandra." Erika geleng-geleng sembari terus menatap gambar cincin dari kontak bernama ‘Leetha’ di ponsel Diandra. "Orang kaya memang effort-nya gak main-main." Erika masih berdecak kagum."Di, hari minggu kita ke alun-alun ya, siapa tahu ada bocah seperti Aleetha. Dia hilang, lalu kita temukan dan ... ternyata bapaknya kaya raya, duda pula. Pokoknya hari minggu kita harus ...."Pletak!Diandra melempar bulpen tepat di kepala Erika. "Mulai gak waras!" cibirnya lirih. "Ck!" Erika memasang wajah kesal. "Sakit tau!" gerutunya. Diandra melirik Erika yang sedang mengusap-usap kepalanya. "Mau kulineran di Kodam, gak?"Mata Erika berbinar, "Kamu yang traktir ya?""Baiklah," jaw
***"Masih waras kan, Di?"Erika berdiri di samping Diandra dengan mata yang masih mengawasi punggung tegap di depan sana. "Kalau aku yang ada di posisi kamu tadi, kupastikan sekarang aku mencak-mencak kegirangan," seloroh Erika. "Diusap kepala, dielus pipi, Ya Tuhan ...."Tanpa sadar Diandra mengusap pipinya yang memerah. Bibirnya tersenyum tipis ketika mengingat betapa perlakuan Birru tadi terasa begitu tulus. "Tuh kan senyum-senyum sendiri, pasti udah gak waras ini." Erika geleng-geleng sambil menyentuh dahi Diandra yang tidak demam. "Apaan sih, Rik!" gerutu Diandra malu."Itu bunga mau diapain?" tanya Erika pada Diandra. Keduanya menatap buket bunga mawar yang tergeletak di depan toko. "Aturan kalau sakit hati, bunganya dibawa pulang. Nambah-nambahin kerjaan aja!" gerutu Erika kesal."Eh, Di ... yakin gak bakalan jatuh cinta sama Pak Duda?"Pertanyaan Erika dibiarkan menggantung begitu saja oleh Diandra. "Berani taruhan gak kalau cincin yang ada di jari manis kamu itu pilihan
***Birru menarik lengan Ayesha kasar, hampir saja wanita yang sudah dia dekati selama lebih dari tiga tahun itu limbung. "Mas, kamu ...." Rahang Ayesha mengatup rapat. Sikap Birru berubah tak acuh sejak kedatangan Diandra, begitu pikirnya. "Sha, ini tempat umum, jangan memancing keributan," ucap Birru lirih."Apa? Aku memancing keributan?" Suara Ayesha meninggi. "Dia yang memancing keributan, Mas. Dialah orangnya!" Wajah Diandra dituding dengan jari telunjuk Ayesha. "Dia yang memancing keributan diantara kita, Mas Birru. Mas sadar gak sih, hah?"Dada Ayesha naik turun. "Tiga tahun kita menjalani hubungan, haruskah kandas begitu saja hanya demi anak bau kencur ini, Mas?" Satu per satu air mata Ayesha berjatuhan. "Kamu berjanji akan menikahiku tahun ini, aku bahkan mencoba bersabar merawat Aleetha meskipun aku tau anakmu itu tidak menyukaiku. Tapi, Mas ... haruskah kamu melewatkan aku begitu saja setelah penantian panjang yang aku berikan?"Diandra merasa tidak nyaman mendapatkan tat
***“Mencintai orang ‘baru’ bukanlah hal yang mudah, namun bertahan dengan segala luka yang orang ‘lama’ ciptakan hanya menambah perih pada borok yang masih basah. Bisakah aku mencintai pria selain Mas Bara dalam kurun waktu paling cepat?” ~Diandra.***"Kamu baik-baik saja, Diandra?"Birru melepaskan genggaman tangannya. "Maafkan saya, Dian ....""Saya baik-baik saja, Pak. Hanya ... ya, sedikit kesal," jawab Diandra jujur. "Terima kasih sudah membela saya di depan banyak orang.""Saya yang seharusnya berterima kasih," sahut Birru ragu. "Ini pasti sulit buatmu, Dian, tapi saya mohon ... jangan mundur hanya karena Ayesha. Aleetha dan saya ... butuh kamu."Pipi Diandra memanas. Jantungnya kembali berdegup kencang mendengar permintaan Birru yang terdengar pilu."Ayesha biar saya yang urus, kamu jangan khawatir. Ya?"Diandra mengangguk tegas. "Ya, Pak.""Besok mintalah cuti, saya ingin bertemu Bapak dan Ibu," ucap Birru. "Ta-- tapi Pak Birru bilang hari minggu ....""Itu terlalu lama, Di
***"Kok mendadak sekali lamarannya, Mbak Anis?" tanya Bulek Sania."Iya loh. Pagi masak-masak, malamnya lamaran. Mendadak sekali sih, Bu Anis," sahut Bu Ida-- tetangga samping rumah Diandra. Bu Anis sengaja meminta bantuan beberapa tetangga untuk membuat jamuan di acara lamaran Diandra nanti malam. "Iya, aneh sekali tiba-tiba lamaran. Kamu hamil, Dian?" sahut Mbak Hani sambil tersenyum sinis. "Ini kali ya yang namanya karma. Kamu kan suka banget ngatain Zeya, eh ternyata kamu hamil di luar nikah juga." Mbak Hani mengupas sayur di dapur sambil terus berbicara."Mbak Hani!" Bu Ida menyenggol lengan Mbak Hani. Tetangga depan rumah Diandra itu mencebik sambil memasang raut wajah tidak suka."Ya biarin sih, Bu Ida, lagian dulu sok-sokan ngatain Zeya murahan, jual diri, eh gak taunya ....""Saya gak hamil, Mbak Hani," sela Diandra. "Mau bukti? Apa perlu saya testpack sekarang juga biar Mbak Hani percaya kalau saya gak hamil?"Diandra berusaha tersenyum meskipun hatinya terasa seperti ter