DESAHAN IBU SAMBUNG
Bab 5
POV Author
Juminten namanya, biasa dipanggil Mbok Jum. Sudah cukup lama ia mengabdi pada keluarga Anton Baskoro. Sejak mendiang Melani masih hidup. Dia sudah bekerja di rumah itu. Menjadi orang kepercayaan Melani, mengurus semua keperluan keluarga. Dari mengurus kebutuhan makan hingga berbelanja bulanan. Ia serahkan pada Juminten.
Juminten janda beranda empat. Anak pertamanya sudah menikah, anak kedua juga sudah berumah tangga. Anak ketiga lulus sarjana. Sedangkan anak ke empat masih sekolah SMA. Semua uang yang didapatkan dari bekerja di rumah Anton ia gunakan untuk menyekolahkan anaknya. Hingga semua kini hidup layak.
"Nih, Kang, kopinya. Ada pisang goreng juga, lumayan buat mengganjal perut," ucap Juminten sembari menyodorkan nampan berisi kopi dan juga pisang goreng.
"Wah, enak ini. Enak bener kerjaan kita ya, Yu? Nunggu rumah, bisa ngopi begini makan enak. Wah, bener-bener nikmat!"
Srutt ah …
Udin menyeruput kopi dengan nikmat. Matanya kedap-kedip menikmati hangatnya kopi yang meluncur di tenggorokan.
"Iya lah, Kang. Enak, dapet gaji pula."
"Eh, Yu. Mbak Tania ada di rumah?"
"Ada, dia nggak ke butik. Mungkin capek, lagian Mbak Tania juga sibuk ngurusin pernikahan juga."
Udin hanya manggut-manggut.
"Kasihan, Bapak ya, Kang! Nyonya mudanya main serong. Di rumah sendiri lagi!"
"Hust, Yu Jum ini bicara apa? Wes tho, diem aja. Nggak usah ngurusin. Yang penting kita dapet duit."
"Astagfirullahaladzim, sebenarnya aku ini juga merasa bersalah lho, Kang. Menutupi semuanya padahal itu salah. Kasihan sama Mbak Tania," ucap Juminten dengan nada memelas.
"Wes, nggak usah dipikirin. Lagian uang yang diberikan pada kamu itu kamu gunakan dengan baik. Buat bayar sekolah anak, buat bantu suami. Buat bayar cicilan motor di kampung. Wes, masalah yang lain nggak usah dipikirin."
"Sayur … sayur."
"No, kang Ujang sudah datang. Mending kamu beli sayur sana!" Bibir Juminten mencebik. Ghibahan ala asisten rumah tangga akhirnya berhenti di tengah jalan. Sudah menjadi kebiasaan mereka jika sudah selesai bekerja membereskan rumah. Berkumpul lalu curhat ini itu. Tepatnya membicarakan majikan mereka.
Juminten berjalan menghampiri Ujang. Memilih sayur.
"Kang, minta rokok, Kang."
"Uangmu buat apa? Rokok minta terus! Nggak malu?!"
"Halah, sebiji aja lho. Pelit amat ma teman. Bukannya dapet duit haram ya kemarin!" Ujang cekikikan. Melihat ekspresi Udin yang melotot, matanya seakan ingin keluar dari tempatnya.
"Duit haram? Duit apa, Kang Ujang?"
"Biasa, Yu. Nganter pesenan Nyonya Muda. Berondong," ucap Ujang sembari geleng-geleng kepala.
Juminten menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Ada rasa bersalah sebenarnya dalam lubuk hatinya. Tapi bagaimanapun Juminten juga butuh uang. Butuh uang untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Belum lagi kalau cucu-cucunya merengek minta jajan.
"Yu, bukannya kamu juga pernah memergoki mereka?"
"Iya, makanya aku juga dapet uang. Tapi, Kang. Rasanya aku kok kepikiran terus. Kasihan lho keluarga Tuan besar."
"Eh, Yu. Hidup ini keras. Kalau kamu nggak ikut keras. Bisa ko."
"Tapi nggak gini juga kan? Seperti yang kamu bilang, duit haram. Kita tahu lho itu salah. Bukannya menegur malah menutupi." Juminten mengusap dadanya. Terasa ada beban berat yang tengah ia simpan. Belum lagi dia memikirkan pertanggungjawabannya pada sang Maha Kuasa. Memikirkannya saja kadang Juminten bergidik ngeri.
"Nggak usah sok suci! Hidup ini butuh uang, kalau mereka berdosa ya, biar mereka tanggung sendiri. Salah siapa sudah punya suami masih suka main serong. Menguras habis harta lalu ditinggal kalau sudah kere. Apa itu juga manusia? Semua orang itu sama saja, berdosa dengan caranya sendiri. Jadi nggak usah sok baik!" Udin malah bicara panjang lebar. Lalu pergi meninggalkan Juminten dan juga Ujang. Mereka berdua hanya bisa saling pandang. Melihat sikap Udin yang terkesan membela Alma.
Tin … tin … tin.
"No, ada tamu, Kang. Buruan di hitung belanjaannya."
"Dua puluh saja!"
"Ini, uang pas ya." Juminten kemudian berjalan sedikit cepat membuka gerbang lalu masuk ke dalam rumah.
*****
Terdengar suara mobil berhenti di pekarangan rumah. Tania yang tengah duduk santai menikmati secangkir kopi langsung bergegas pergi menuju pintu.
Karin terlihat keluar dari kendaraan roda empatnya. Berjalan dengan tergopoh-gopoh membawa paper bag berwarna coklat.
"Haist, pusing aku nyari barang yang kamu inginkan, susah banget!" ucap Karin dengan nada sedikit ketus.
"Maaf, tapi ini semua sudah lengkap? Kenapa nggak beli online?" tanya Tania penasaran sembari meraih paper bag dari tangannya.
"Sudah lengkap, sesuai perintah. Cctv mini dengan kualitas terbaik. Kagak, detektif yang hebat itu membeli peralatan dengan uang tunai."
"Sutt, jangan keras-keras!" Sempat-sempatnya dia bercanda.
Bibir Karin mencebik kala Tania menegurnya.
Terima kasih Karin, kamu sudah mau membantuku. Meskipun ini salah. Tapi aku harus melakukannya. Tania bermonolog dalam hati.
Tania harus mencari tahu kebenarannya. Daripada pikirannya selalu berpikir buruk pada semua. Apapun nantinya yang Tania lihat dia harus benar-benar siap. Harus benar-benar kuat, jika nanti kebenaran bahwa Satria menang berkhianat.
Tania segera memanggil Juminten, meminta datang ke kamar membawa minuman dingin dan juga makanan. Hari ini Tania memang tidak datang ke butik. Semua pekerjaan dikerjakan oleh asisten.
Tok … tok … tok.
Terdengar pintu kamar diketuk.
"Masuk!"
"Permisi, Mbak. Minumannya Simbok letakan di sini ya, Mbak?" Juminten meletakan nampan berisi minuman dingin. Dan juga beberapa makanan di atas meja.
"Iya, Mbok. Mbok tunggu sebentar deh. Ada beberapa pertanyaan yang ingin Tania tanyakan." Simbok yang hendak keluar kamar. Langsung berdiri mematung sembari menatap ke arah Tania.
Wajahnya terlihat cemas. Mungkin tahu Tania sudah mulai menaruh curiga.
"Ada apa ya, Mbak Tania?" Sedangkan Kania sudah berada di samping Tania.
"Uang apa yang Simbok maksud kemarin pagi dengan Mas Satria? Simbok dikasih pekerjaan apa sama dia?" Apapun jawabannya Tania harus tetap kuat. Harus bisa setenang mungkin.
"I-itu … Mbak. Simbok-" Simbok lagi-lagi menghentikan ucapannya. Tania yakin pasti dia sudah diberi wejangan maupun peringatan.
"Mbok, Simbok kan sudah lama bekerja dengan Ayah. Masak iya Simbok berani mengkhianati Ayah? Kurang baik apa coba Ayah sama keluarga Simbok? Simbok mau mengkhianati Ayah?" Tania mencoba memancing Simbok untuk menjawab. Kalau tidak didramatisir pasti dia tidak mau menjawab.
"Maafkan Simbok, Mbak. Tapi Simbok dijanjikan uang banyak!"
"Memangnya pekerjaan apa?"
"Bukan pekerjaan, Mbak. Tapi uang itu diberikan pada Simbok. Sebagai uang tutup mulut! Maafkan Simbok, Mbak."
Duar
Uang tutup mulut? Benarkah Satria berhubungan dengan Alma? Astagfirullahaladzim, sejauh itukah hubungan mereka? Tania pikir Mas Satria itu setia nan baik tapi kenapa malah seperti ini? Aku kecewa, Mas. Benar-benar kecewa.
Tania berbicara dalam hati.
"Uang tutup mulut untuk?" Tania kembali bertanya, tidak akan dia sia-siakan jawaban Juminten. Terus saja Tania hujani Juminten dengan berbagai pertanyaan. Yang membuatnya terkejut adalah jawaban Juminten yang terakhir kalinya.
"Simbok pernah melihat Mas Satria sama Non Alma pergi ke mall, Mbak. Sebagai imbalan Simbok tidak boleh ngadu sama Mbak Tania. Maafkan Simbok ya, Mbak. Tapi Simbok mohon, jangan pecat Simbok."
"Simbok tahu siapa yang malam itu datang ke rumah? Seorang laki-laki?" Pertanyaan Tania kini langsung pada intinya. Tania penasaran apakah Satria benar-benar melakukan itu. Jika saja itu terjadi Tania tidak akan pernah Sudi melanjutkan pernikahan ini. Tania akan membatalkan semuanya.
"Mas Satria kah?" Tania kembali bertanya. Jantungnya berdegup lebih cepat. Takut jika mendengar sesuatu yang tidak ingin dia dengar.
"Bukan, Mas Satria Mbak."
"Lantas siapa?"
"Pak Udin yang tahu semuanya. Pak Udin yang membawa tamu itu ke rumah!"
"Allahu Akbar, Tania. Semua orang yang ada di rumahmu sudah nggak benar. Mereka dengan terang-terangan membantu Alma. Benar-benar wanita licik, Ibu sambungku itu! Aku tidak pernah menyangka?" sahut Karin yang sudah tidak bisa lagi menahan kekesalan.
"Pak Udin, Mbok? Jadi semuanya sudah tahu?" Juminten hanya mengangguk. Mungkin ini saatnya dia mengungkapkan semua kegundahan dalam hati.
"Panggil dia kesini, Mbok!" Juminten segera memanggil Udin. Tak berapa lama kedua asisten rumah tangga dan juga sopir itu sudah berada di kamar Tania. Menunduk tanpa berani menatap sang majikan.
"Pak Udin? Benarkah Pak Udin tahu semuanya?" tanya Tania dengan sedikit bergetar.
Udin dan juga Juminten hanya bisa saling melempar pandangan. Mungkin isi hati mereka saling bertanya. Apakah akan menceritakan yang sesungguhnya atau justru menutupinya.
"Pak, Mbok. Saya harap kalian masih punya hati nurani. Selamatkan keluarga saya, kasihan Ayah." Tania memohon. Hingga bulir-bulir air mata itu jatuh tak tertahankan. Mengetahui kebenaran bahwa Satria benar-benar mengkhianatinya.
Bersambung....
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 6 "Maafkan, Udin Mbak. Udin salah!" "Ya sudahlah, kalian bisa pergi." Tania menangis tergugu. Tidak pernah ia rasakan kecewa yang begitu teramat sakit saat ini. "Nia, sudahlah. Jangan bersedih, lelaki tak hanya Satria. Masih banyak lelaki yang lain. Dia tidak pantas kau tangisi. Kalau perlu beri dia pelajaran. Kasih dia kenang-kenangan yang nggak bakal dia lupain." Tania mendongak ke arah Karin, ada benarnya juga ucapan Karin. Segera Tania memasang cctv pada kamar Alma. Memasang pada tempat yang sulit dilihat mata. Namun masih bisa melihat keadaan sekitar. Tania segera kembali ke kamar, membereskan semua bungkus dan kertas lalu membuangnya di tempat sampah. Segera ia meraih benda pipih yang tergeletak di sisi ranjang. Menguji gambar juga jangkauan cctv yang telah ia pasang. "Berarti bener dong, kalau Satria main serong sama Alma? Gila ya, Ibu sambung kamu itu!" "Nggak usah dibahas lagi," pinta Tania pada Karin. Hatinya sedang tak baik-baik saja. De
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 7 "Udin … Kang Udin lemes, katanya dadanya sesak. Nggak bisa napas, wajahnya dah pucet, Mbak," ucap Simbok dengan terbata. Aku yang sedari tadi masih memegang sendok segera melepasnya dengan kasar. Lalu berlari menuju belakang. Semua orang tak kalah terkejut. Mendapati sopir keluarga ini tergeletak di lantai dekat dapur kotor di belakang. "Haduh, apa-apaan ini, Sayang. Udin keracunan?" Alma, wanita itu histeris dan terlihat heboh sendiri. Entah karena apa Pak Udin bisa keracunan, mulutnya sudah keluar busa. Sedangkan wajahnya sudah pucat pasi. Aku segera memeriksa detak nadinya maupun napasnya. Alhamdulilah, masih ada. Segera Ayah bergegas membawa Pak Udin ke rumah sakit. Makan malam yang bertujuan membahas pernikahanku. Berakhir secara tragis, tak terduga. Pak Udin terlihat membaik setelah ditangani dokter IGD. Wajahnya sedikit berubah dan juga nafasnya sudah kembali normal. Aku dan juga Ayah masih setia berdiri menatap Pak Udin yang masih tergeletak
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 8 Jam menunjukan angka tiga dini hari. Mata tak bisa terpejam karena masih teringat akan lelaki yang tadi berkeringat bersama wanita lain. Berkali-kali aku menangis tergugu, beristighfar dalam suara sendu. Di atas hamparan sajadah, aku duduk termenung. Sembari tangan terus saja menangkup pada wajah. Tak mampu berucap maupun berkeluh. Hanya ribuan tetes air mata yang terus saja meluncur dari pelupuk mata. Ya Allah, apakah memang rencanamu demikian adanya? Membuka semua sebelum mengucap janji suci dihadapanmu? Jika ini memang petunjuk yang kau berikan. Terima kasih, sebelum aku jatuh pada jurang teramat dalam. Aku yakin jika rencanamu jauh lebih baik. Aku hanya manusia biasa, berencana dan juga berharap. Namun kuasa-Mu adalah lebih dari segalanya. Jika ini suatu tamparan untukku, ampuni aku Ya Tuhan. Berikan hamba kesempatan memperbaiki diri. ***** Aku menatap mata yang masih sedikit sembab pada pantulan cermin di hadapanku. Air mataku semalam tak mampu
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 9 "A-anu, Mbak. I-itu … i-ini …" "Apa sih, Mbok?" tanya Mbak Tania membuatku semakin gemetar. Tanganku sudah merogoh ke dalam saku. Hendak mengeluarkan sesuatu. Belum sampai tangan ini keluar, Nyonya besar sudah datang berteriak. "Mbok, lihat hp aku yang warnanya merah nggak?" Mbak Tania gegas mengalihkan pandangannya pada Ibu sambungnya itu. Aku pun kembali mengurungkan niatku, ingin memberikan benda ini pada Mbak Tania. "Nggak tahu, Nyonya. Memangnya Nyonya nyimpen hp itu dimana?" tanyaku dengan nada biasa saja. Berharap wanita licik itu tidak memperhatikan. "Lupa," jawab Wanita berpakaian kurang bahan itu. Lalu aku segera bergegas pergi ke belakang. Kembali mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang tadi sempat terbengkalai. **** Pov Tania Mbok Jum itu kalau bicara suka tidak jelas. Segera aku pergi ke butik, tanpa memperdulikan Alma yang sedang kebingungan mencari benda pipih miliknya. Bagaimana bisa ponsel bisa hilang? Bukankah selama ini dia terus
Desahan ibu sambung Bab 10 POV Satria Namaku Satria Wibawa, perawakan tinggi dengan warna kulit putih berseri. Bukan salahku karena Tuhan menganugerahi wajah rupawan nan tampan ini. Ditambah beberapa usahaku juga maju dan juga berkembang. Tidak sedikit wanita yang tergila-gila denganku. Apalagi jika mereka diiming-imingi uang maupun perhiasan. Tania Baskoro, wanita yang memiliki wajah cantik nan menggemaskan. Adalah calon istri dan juga calon Ibu untuk anak-anakku nanti. "Sat, anaknya kamu embat, ibunya juga. Nanti kalau Tania tahu bagaimana?" tanya wanita yang berdandan menor itu. Ya dia memang ibuku, ibu kandungku. "Gampang itu, Ma. Bisa diatur, Mama kan tahu sendiri Tania itu mudah dibohongi. Lagian selama ini dia tidak menaruh curiga sama Satria. Satria ini baik dan juga bertanggung jawab di matanya. Jadi mama nggak perlu terlalu khawatir lah," tuturku panjang lebar. "Jangan lupa, kalau dia sudah percaya sama kamu. Mama boleh dong minta mobil sama Ayahnya Tania. Lagian pu
Desahan Ibu sambungBab 11"Tan, ada beberapa pengiriman barang-barang hari ini. Ada kain dan juga perlengkapan jahit yang stoknya udah menipis.""Iya, aku tahu. Jangan khawatir semuanya aman terkendali," ucapku sembari menatap layar laptop. Gaun maupun kebaya pengantin yang ada di butikku. Memang hasil dari karya-karyaku sendiri dan juga beberapa teman. Yang pasti mereka menjahit langsung di sini. Ada tempat khusus untuk menjahit, itu letaknya di gedung bagian belakang. Sedangkan gudang yang digunakan untuk meletakan beberapa barang juga ada di gedung bagian belakang. Usaha kecil-kecilan ini aku bangun dengan kerja keras bersama Karin dan juga teman lainnya."Btw, Tan. Sebenarnya ada yang pengen aku bicarakan deh sama kamu. Tapi jujur ya kamu nggak boleh marah dulu?""Iya, mau bicara apa sih? Lagian kenapa juga aku marah sama kamu?""Bukan begitu, tapi kan ini menyangkut Ayah kamu.""What? Ayah? Ada apa dengan Ayah? Selama ini kami baik-baik saja. Memang sih kadang kalau masalah Alma
Desahan ibu sambungBab 12"Saya butuh uang.""Terus apa hubungannya dengan saya?" tanyaku dengan tatapan tajam. Tak akan aku alihkan pandanganku sedetik saja dari wanita ini."Berapa?" Aku kembali bertanya karena cukup lama wanita itu tidak menjawab pertanyaanku."Seratus juta," jawabnya penuh keyakinan. Yakin bahwa aku akan meminjamkan uang sebanyak itu. "What? Sebanyak itu?""Banyak? Uang itu tidak seberapa, dibanding harga mobil yang Ayah kamu jual per unitnya. Berapa unit yang dia punya di showroom?" "Lantas kenapa kamu tidak meminta uang dengan dia?!" Nada bicaraku sedikit meninggi. Benar saja, jika dia tahu Ayah memiliki uang banyak. Kenapa dia tidak meminta padanya. Apakah ini ada hubungannya sikap Ayah yang berubah dingin pada wanita ini.TulingSatu pesan diterima. Mataku kini beralih pada benda pipih yang ada di meja. Sedangkan Alma terlihat mencebik dan sesekali melirik ke arahku."Uangku sudah habis, pernikahanku sebentar lagi. Kamu tahu jika aku butuh uang banyak untuk
CINTA IBU SAMBUNGBAB 13Pov Tania"Kamu tidak boleh terus seperti ini! Kamu harus kuat, kamu harus bangkit," ucap lelaki itu yang tengah duduk di sisi ranjang. Aku memberingsut, membenahi posisi tidur. "Satria-""Cukup, Yah. Kita nggak perlu bahas dia lagi," pintaku dengan menatap manik matanya.Ayah hanya terlihat mengangguk. Lalu pergi meninggalkanku kembali sendiri. Hingga tidak terasa bulir-bulir air bening itu jatuh membasahi bantal.Aku meremas sprei dan menangis dalam kesendirian. Entah mengapa aku merasakan sakit yang luar biasa. Meskipun aku pernah berkata aku baik-baik saja. Namun tidak berlaku dengan hatiku, hatiku hancur. Kecewa dan juga sakit."Mas, aku bisa jelaskan semuanya. Aku bisa jelaskan siapa Dedy itu, Mas." Terdengar teriakan suara wanita dari luar kamarku. Aku tahu itu pasti Alma. Ibu sambungku yang berhasil menoreh luka cukup dalam. Aku masih berbaik hati, tidak mengatakan semuanya pada Ayah. Hingga ujungnya aku mendengar pertengkaran antara Ayah dan juga Al