CINTA IBU SAMBUNG
BAB 4
Kami segera masuk ke dalam mobil. Mas Satria sesekali menatapku lalu tersenyum. Dia sosok yang baik. Tidak ada gelagat aneh maupun sikapnya yang mencurigakan. Perhatian dan juga sikapnya yang lembut selalu ia tunjukan kepadaku. Hanya saja, dia sedikit kecewa karena aku meminta menunda pernikahan.
Bukan karena tidak percaya atau tidak lagi cinta. Namun entah mengapa, mendekati hari pernikahan seolah aku ragu. Ragu akan keputusanku menikah dengannya. Tapi karena apa? Hah, benar-benar membuatku dilema.
"Kamu sakit?" Pertanyaan Mas Satriya membuyarkan lamunanku.
"Enggak kok, Mas. Mama sehat kan?"
"Iya, Alhamdulilah, sehat. Mama mau ketemu kita juga mau membicarakan soal pernikahan."
"Memangnya Mas Satriya nggak ngomong sama Mama soal kemarin?"
"Sayang, mana mungkin Mas bilang sama Mama. Kan kamu tahu sendiri gimana Mama, dia kan pengen nimang cucu dari kita. Kalau Mas bicara tentang itu. Aku takut Mama kecewa. Kamu ngerti kan?"
"Ya sudah kalau begitu, terserah kamu saja." Aku menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Bagaimana bisa aku memaksa Mas Satriya untuk mengundur pernikahan.
Aku menatap pemandangan luar dari jendela. Pikiranku bercabang, bagaimana caranya aku mencari bukti-bukti itu? Sedangkan aku pasti akan sibuk mengurus persiapan pernikahan, mengurus pekerjaan. Apa aku bisa membongkar kebusukan Alma dulu sebelum aku menikah? Hah, rasanya aku ingin menjadi tokoh dari sebuah novel. Mengikuti alur sang penulis, langsung bisa melakukan ini itu tanpa berpikir panjang. Namun sayang, semua ini nyata. Alur yang diberikan Tuhan, aku yakin Dia sudah memberikan yang terbaik untuk hidupku.
Di dalam mobil, kami hanya diam. Mas Satriya sibuk dengan pikirannya sendiri. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini? Sesekali aku melirik ke arahnya, wajahnya masih sama, tampan dan juga berkharisma.
Sikapnya yang lembut membuatku jatuh hati, memperlakukan wanita dengan begitu baik. Dia penyayang dan juga melindungi. Terbukti hingga kini dia tidak pernah menyentuhku. Sesuatu yang belum halal, haram disentuh. Apalagi dinikmati, itu ucapan yang selalu dikatakan Mas Satria kepadaku.
Akankah aku beruntung memilikinya?
"Sudah sampai, ayo!" pinta lelaki itu yang sudah terlebih dahulu keluar dari mobil. Aku pun bergegas keluar dari mobil. Mengikutinya dari belakang lalu menggandeng tangannya.
Pandanganku menyapu seluruh restaurant. Mencari sosok wanita yang tadi sudah menunggu. Lambaian wanita paruh baya itu mengalihkan pandanganku. Hingga aku mengangguk lalu tersenyum. Bukan kali pertama bertemu, namun setiap bertemu dengannya rasanya jantungku berdetak lebih cepat. Apakah kalian juga merasakan seperti ini, gugup ketika bertemu dengan calon mertua?
"Ma," sapaku pada wanita paruh baya itu. Mencium tangannya dengan takzim lalu memeluknya erat.
"Halo, Tania. Apakabar? Ayah sehatkan?"
"Alhamdulilah sehat, Ma. Mama sehat kan?"
"Iya, Mama sehat. Kamu sudah lama lho nggak main ke rumah. Lagi sibuk ya?"
"Iya, ada banyak pekerjaan di butik."
"Eh, Tania. Sini deh, Mama mau kasih lihat. Meskipun kamu itu desainer tapi untuk gaun pernikahan kamu, pake gaun dari desainer Ivan Gunawan aja ya? Gimana?"
"Terserah Mama, saja."
Setelah cukup lama kami berbincang, akhirnya kami memesan makanan. Menikmati sajian yang ada hingga membuat kami lupa waktu. Aku harus kembali ke butik. Namun sayang, Mas Satriya tidak bisa mengantar.
Ada pekerjaan yang tiba-tiba memintanya datang ke kantor lebih cepat.
Hingga akhirnya aku memutuskan memesan taksi online.
Kring … kring … kring.
"Halo apa, Rin?" tanyaku langsung pada intinya.
"Nia, kita ada meeting lho. Ada klien yang minta kita meeting di restoran. Nanti aku kirim alamatnya, ya? Kamu lagi dijalan kan?"
"Iya, langsung kirim aja sekarang. Keburu nyampe aku."
"Siap, Bos."
Tak berapa lama Karin mengirim alamat restoran yang dimaksud. Ternyata restoran yang dimaksud adalah restoran yang tadi aku datangi dengan Mas Satriya.
"Pak, kita putar balik ke restoran tadi ya?"
"Baik, Mbak."
Segera aku keluar dari mobil setelah tiba di restoran. Namun pandanganku langsung tertuju pada mobil Mas Satriya. Mobil yang tadi dia bawa pergi entah mengapa sudah terparkir kembali di restoran. Tidak salah lagi, mataku membulat sempurna ketika melihat sosok yang tak lagi asing. Mas Satriya dan juga Mama bercanda dengan wanita yang tak lain adalah Ibu sambungku. Ya Tuhan, kebenaran apa yang kau tunjukan padaku? Dadaku langsung bergemuruh hebat, ada rasa nyeri di ulu hati. Entah apa aku bisa menopang tubuhku sendiri. Rasanya ragaku lemas Seperti tanpa tulang.
Aku langsung menjatuhkan bokongku pada kursi yang tak jauh dari tempatku berdiri. Bulir-bulir air bening itu meluncur dengan sendirinya. Aku tidak pernah menyangka Mas Satriya begitu tega mengkhianatiku. Pernikahan di depan mata seolah tak bisa membuatnya setia.
Apakah desahan Alma malam itu bersama Mas Satriya? Ya Tuhan, kenapa aku bisa sebodoh ini? Hingga tidak bisa melihat kepalsuan di sana. Calon mertua yang aku pikir baik, justru dia wanita yang paling menyakitiku dengan kepalsuannya selama ini.
"Tania? Kamu kenapa?" Tiba-tiba Karin sudah berada dihadapanku. Hingga aku tidak tahu kapan ia datang.
Karin mengedarkan pandangannya, mencari sesuatu yang membuatku menangis pilu.
"Astagfirullahaladzim, itu kan Alma ibu sambung kamu? Kenapa sama Satria? Sama Mamanya Satriya? Kenapa mereka begitu akrab? Lha kok Satriya pegang-pegang jal*ang itu. Nggak bisa! Kamu nggak bisa diam aja begini, Nia!" Karin hendak pergi namun segera aku cegah. Memintanya duduk dan bersikap tenang.
Aku menghapus jejak air mata dengan kasar.
"Gila, kamu Tan. Kamu diam aja?!"
"Karin, please. Ini tempat umum! Jangan kamu permalukan diri kamu sendiri."
Karin tersenyum kecut mendengar ucapanku. Dia tidak menyangka aku akan menyerah begitu saja. Tapi tidak, aku bukan menyerah tapi aku hanya ingin mengikuti permainan apa yang mereka inginkan.
"Apa kamu bisa menolongku?" Pertanyaanku tak langsung dijawab oleh Karin. Dia menatap wajahku cukup lama. Seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat.
"Menolong? Kamu ingin membatalkan pernikahan?" tanya Karin dengan wajah penasaran dan juga amarah yang ditahan.
"Tidak, aku tidak akan membatalkan pernikahanku."
"Gila kamu, Tania. Satriya itu breng*ek. Dia nggak pantes buat kamu!"
"Aku akan memberi mereka pelajaran. Memberi luka yang sama, dengan caraku."
"Bagaimana caranya?"
Aku membisikkan sesuatu pada Karin. Awalnya dia sempat menggeleng namun berangsur-angsur berubah menjadi senyuman.
Tersenyumlah Alma, berbahagialah sesukamu. Namun jangan kau salahkan aku jika nanti ujungnya kamu menangis.
Aku meninggalkan restoran itu dengan Karin. Membatalkan semua meeting yang tadi sempat direncanakan. Tidak aku pungkiri, rasa kecewa sakit hati dan juga marah bercampur jadi satu. Rasa yang tidak pernah sekalipun aku bayangkan akan mengalaminya. Air mata yang sempat kering kini kembali lagi meluncur dengan sendirinya. Munafik namanya jika tidak merasakan sakit hati yang luar biasa. Hubunganku dengan Mas Satriya sudah cukup serius hingga hampir mendekati pernikahan. Namun sayang, kenyataan tak semanis harapan.
****
Aku menahan semua amarah ketika duduk berdekatan dengan Alma yang tengah bergelayut manja dengan ayah.
Maafkan aku Ayah, maafkan aku yang belum bisa jujur tentang Alma
"Sayang, nanti kalau aku hamil bagaimana? Kamu suka kan kalau kita punya anak?" Mendengar ucapan Alma membuatku ingin munt*h saja.
"Nggak papa, Sayang. Memangnya kamu pengen hamil?" Terlihat Alma mengangguk dengan mengulum senyum.
"Mat* saja kau!" ucapku dengan lantang sembari mantap benda pipih di tangan.
"Kamu kok bicara kasar sih, Tan. Nggak sopan!" sahut Alma dengan bibir mencebik.
"Kamu ini bicara apa sih, Tania?"
"Ini lho, Yah. Tania baper lihat sinetron, wanita yang suka main serong akhirnya mat* ditabrak truk. Kepalanya putus, Itu namanya karma dibayar tunai."
Ayah yang mendengar ucapanku hanya bisa menggeleng-geleng kepala. Sedangkan Alma hanya bisa memegangi lehernya dengan ekspresi wajah yang tegang.
DESAHAN IBU SAMBUNGBab 5POV AuthorJuminten namanya, biasa dipanggil Mbok Jum. Sudah cukup lama ia mengabdi pada keluarga Anton Baskoro. Sejak mendiang Melani masih hidup. Dia sudah bekerja di rumah itu. Menjadi orang kepercayaan Melani, mengurus semua keperluan keluarga. Dari mengurus kebutuhan makan hingga berbelanja bulanan. Ia serahkan pada Juminten.Juminten janda beranda empat. Anak pertamanya sudah menikah, anak kedua juga sudah berumah tangga. Anak ketiga lulus sarjana. Sedangkan anak ke empat masih sekolah SMA. Semua uang yang didapatkan dari bekerja di rumah Anton ia gunakan untuk menyekolahkan anaknya. Hingga semua kini hidup layak."Nih, Kang, kopinya. Ada pisang goreng juga, lumayan buat mengganjal perut," ucap Juminten sembari menyodorkan nampan berisi kopi dan juga pisang goreng."Wah, enak ini. Enak bener kerjaan kita ya, Yu? Nunggu rumah, bisa ngopi begini makan enak. Wah, bener-bener nikmat!"Srutt ah …Udin menyeruput kopi dengan nikmat. Matanya kedap-kedip menikm
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 6 "Maafkan, Udin Mbak. Udin salah!" "Ya sudahlah, kalian bisa pergi." Tania menangis tergugu. Tidak pernah ia rasakan kecewa yang begitu teramat sakit saat ini. "Nia, sudahlah. Jangan bersedih, lelaki tak hanya Satria. Masih banyak lelaki yang lain. Dia tidak pantas kau tangisi. Kalau perlu beri dia pelajaran. Kasih dia kenang-kenangan yang nggak bakal dia lupain." Tania mendongak ke arah Karin, ada benarnya juga ucapan Karin. Segera Tania memasang cctv pada kamar Alma. Memasang pada tempat yang sulit dilihat mata. Namun masih bisa melihat keadaan sekitar. Tania segera kembali ke kamar, membereskan semua bungkus dan kertas lalu membuangnya di tempat sampah. Segera ia meraih benda pipih yang tergeletak di sisi ranjang. Menguji gambar juga jangkauan cctv yang telah ia pasang. "Berarti bener dong, kalau Satria main serong sama Alma? Gila ya, Ibu sambung kamu itu!" "Nggak usah dibahas lagi," pinta Tania pada Karin. Hatinya sedang tak baik-baik saja. De
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 7 "Udin … Kang Udin lemes, katanya dadanya sesak. Nggak bisa napas, wajahnya dah pucet, Mbak," ucap Simbok dengan terbata. Aku yang sedari tadi masih memegang sendok segera melepasnya dengan kasar. Lalu berlari menuju belakang. Semua orang tak kalah terkejut. Mendapati sopir keluarga ini tergeletak di lantai dekat dapur kotor di belakang. "Haduh, apa-apaan ini, Sayang. Udin keracunan?" Alma, wanita itu histeris dan terlihat heboh sendiri. Entah karena apa Pak Udin bisa keracunan, mulutnya sudah keluar busa. Sedangkan wajahnya sudah pucat pasi. Aku segera memeriksa detak nadinya maupun napasnya. Alhamdulilah, masih ada. Segera Ayah bergegas membawa Pak Udin ke rumah sakit. Makan malam yang bertujuan membahas pernikahanku. Berakhir secara tragis, tak terduga. Pak Udin terlihat membaik setelah ditangani dokter IGD. Wajahnya sedikit berubah dan juga nafasnya sudah kembali normal. Aku dan juga Ayah masih setia berdiri menatap Pak Udin yang masih tergeletak
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 8 Jam menunjukan angka tiga dini hari. Mata tak bisa terpejam karena masih teringat akan lelaki yang tadi berkeringat bersama wanita lain. Berkali-kali aku menangis tergugu, beristighfar dalam suara sendu. Di atas hamparan sajadah, aku duduk termenung. Sembari tangan terus saja menangkup pada wajah. Tak mampu berucap maupun berkeluh. Hanya ribuan tetes air mata yang terus saja meluncur dari pelupuk mata. Ya Allah, apakah memang rencanamu demikian adanya? Membuka semua sebelum mengucap janji suci dihadapanmu? Jika ini memang petunjuk yang kau berikan. Terima kasih, sebelum aku jatuh pada jurang teramat dalam. Aku yakin jika rencanamu jauh lebih baik. Aku hanya manusia biasa, berencana dan juga berharap. Namun kuasa-Mu adalah lebih dari segalanya. Jika ini suatu tamparan untukku, ampuni aku Ya Tuhan. Berikan hamba kesempatan memperbaiki diri. ***** Aku menatap mata yang masih sedikit sembab pada pantulan cermin di hadapanku. Air mataku semalam tak mampu
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 9 "A-anu, Mbak. I-itu … i-ini …" "Apa sih, Mbok?" tanya Mbak Tania membuatku semakin gemetar. Tanganku sudah merogoh ke dalam saku. Hendak mengeluarkan sesuatu. Belum sampai tangan ini keluar, Nyonya besar sudah datang berteriak. "Mbok, lihat hp aku yang warnanya merah nggak?" Mbak Tania gegas mengalihkan pandangannya pada Ibu sambungnya itu. Aku pun kembali mengurungkan niatku, ingin memberikan benda ini pada Mbak Tania. "Nggak tahu, Nyonya. Memangnya Nyonya nyimpen hp itu dimana?" tanyaku dengan nada biasa saja. Berharap wanita licik itu tidak memperhatikan. "Lupa," jawab Wanita berpakaian kurang bahan itu. Lalu aku segera bergegas pergi ke belakang. Kembali mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang tadi sempat terbengkalai. **** Pov Tania Mbok Jum itu kalau bicara suka tidak jelas. Segera aku pergi ke butik, tanpa memperdulikan Alma yang sedang kebingungan mencari benda pipih miliknya. Bagaimana bisa ponsel bisa hilang? Bukankah selama ini dia terus
Desahan ibu sambung Bab 10 POV Satria Namaku Satria Wibawa, perawakan tinggi dengan warna kulit putih berseri. Bukan salahku karena Tuhan menganugerahi wajah rupawan nan tampan ini. Ditambah beberapa usahaku juga maju dan juga berkembang. Tidak sedikit wanita yang tergila-gila denganku. Apalagi jika mereka diiming-imingi uang maupun perhiasan. Tania Baskoro, wanita yang memiliki wajah cantik nan menggemaskan. Adalah calon istri dan juga calon Ibu untuk anak-anakku nanti. "Sat, anaknya kamu embat, ibunya juga. Nanti kalau Tania tahu bagaimana?" tanya wanita yang berdandan menor itu. Ya dia memang ibuku, ibu kandungku. "Gampang itu, Ma. Bisa diatur, Mama kan tahu sendiri Tania itu mudah dibohongi. Lagian selama ini dia tidak menaruh curiga sama Satria. Satria ini baik dan juga bertanggung jawab di matanya. Jadi mama nggak perlu terlalu khawatir lah," tuturku panjang lebar. "Jangan lupa, kalau dia sudah percaya sama kamu. Mama boleh dong minta mobil sama Ayahnya Tania. Lagian pu
Desahan Ibu sambungBab 11"Tan, ada beberapa pengiriman barang-barang hari ini. Ada kain dan juga perlengkapan jahit yang stoknya udah menipis.""Iya, aku tahu. Jangan khawatir semuanya aman terkendali," ucapku sembari menatap layar laptop. Gaun maupun kebaya pengantin yang ada di butikku. Memang hasil dari karya-karyaku sendiri dan juga beberapa teman. Yang pasti mereka menjahit langsung di sini. Ada tempat khusus untuk menjahit, itu letaknya di gedung bagian belakang. Sedangkan gudang yang digunakan untuk meletakan beberapa barang juga ada di gedung bagian belakang. Usaha kecil-kecilan ini aku bangun dengan kerja keras bersama Karin dan juga teman lainnya."Btw, Tan. Sebenarnya ada yang pengen aku bicarakan deh sama kamu. Tapi jujur ya kamu nggak boleh marah dulu?""Iya, mau bicara apa sih? Lagian kenapa juga aku marah sama kamu?""Bukan begitu, tapi kan ini menyangkut Ayah kamu.""What? Ayah? Ada apa dengan Ayah? Selama ini kami baik-baik saja. Memang sih kadang kalau masalah Alma
Desahan ibu sambungBab 12"Saya butuh uang.""Terus apa hubungannya dengan saya?" tanyaku dengan tatapan tajam. Tak akan aku alihkan pandanganku sedetik saja dari wanita ini."Berapa?" Aku kembali bertanya karena cukup lama wanita itu tidak menjawab pertanyaanku."Seratus juta," jawabnya penuh keyakinan. Yakin bahwa aku akan meminjamkan uang sebanyak itu. "What? Sebanyak itu?""Banyak? Uang itu tidak seberapa, dibanding harga mobil yang Ayah kamu jual per unitnya. Berapa unit yang dia punya di showroom?" "Lantas kenapa kamu tidak meminta uang dengan dia?!" Nada bicaraku sedikit meninggi. Benar saja, jika dia tahu Ayah memiliki uang banyak. Kenapa dia tidak meminta padanya. Apakah ini ada hubungannya sikap Ayah yang berubah dingin pada wanita ini.TulingSatu pesan diterima. Mataku kini beralih pada benda pipih yang ada di meja. Sedangkan Alma terlihat mencebik dan sesekali melirik ke arahku."Uangku sudah habis, pernikahanku sebentar lagi. Kamu tahu jika aku butuh uang banyak untuk