DESAHAN IBU SAMBUNG
BAB 6
"Maafkan, Udin Mbak. Udin salah!"
"Ya sudahlah, kalian bisa pergi." Tania menangis tergugu. Tidak pernah ia rasakan kecewa yang begitu teramat sakit saat ini.
"Nia, sudahlah. Jangan bersedih, lelaki tak hanya Satria. Masih banyak lelaki yang lain. Dia tidak pantas kau tangisi. Kalau perlu beri dia pelajaran. Kasih dia kenang-kenangan yang nggak bakal dia lupain." Tania mendongak ke arah Karin, ada benarnya juga ucapan Karin.
Segera Tania memasang cctv pada kamar Alma. Memasang pada tempat yang sulit dilihat mata. Namun masih bisa melihat keadaan sekitar.
Tania segera kembali ke kamar, membereskan semua bungkus dan kertas lalu membuangnya di tempat sampah.
Segera ia meraih benda pipih yang tergeletak di sisi ranjang. Menguji gambar juga jangkauan cctv yang telah ia pasang.
"Berarti bener dong, kalau Satria main serong sama Alma? Gila ya, Ibu sambung kamu itu!"
"Nggak usah dibahas lagi," pinta Tania pada Karin. Hatinya sedang tak baik-baik saja.
Dert … Dert.
"Tu, hp kamu bunyi!" ucap Karin sembari menunjuk benda pipih milik Tania yang sudah tergeletak.
Tania segera meraihnya, ada nama Satria di sana. Terpampang nyata mencoba menghubungi Tania.
"Halo," jawab Tania dengan nada biasa saja. Entah apakah perasaan cinta itu sudah menguap begitu saja, setelah pengakuan Udin baru saja. Meskipun Udin hanya meminta maaf tidak berkata apapun. Namun Tania bisa mengambil kesimpulan sendiri.
"Sayang, nanti malam Mama mau datang ke rumah. Sepertinya ada yang ingin dibicarakan sama Ayah kamu. Kira-kira bisa nggak ya?" tanya Satria.
"Iya, Mas. Bisa, ada yang ingin aku bicarakan juga. Kalau begitu nanti Tania bilang sama Ayah. Lagian Ayah sekarang baru pergi. Jadi nanti Tania sampaikan. Memangnya Mama mau bicara apa?" tanya Tania penasaran.
"Nanti kamu juga tahu, Sayang. Kamu lagi apa? Sudah makan?"
'Sok perhatian.' Tania bermonolog dalam hati.
"Sudah dulu, Mas. Aku mau nyelesain kerjaan dulu. Nanti kita sambung lagi."
"Ok." Tania segera mengakhiri sambungan teleponnya lalu kembali meletakan ponselnya di atas ranjang. Tania menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan.
****
POV Tania
Aku berjalan ke dapur. Melihat Simbok yang tengah memasak di dapur. Menyiapkan menu untuk makan malam nanti. Sedangkan Ayah tak kudapati dia setelah pergi bersama istri mudanya.
Menatap Simbok dari belakang membuatku sedikit kecewa. Entah kenapa Simbok bisa melakukan itu. Berkhianat pada keluarga Ayah yang selama ini baik padanya.
Apakah uang adalah segalanya. Rela melakukan apapun jika demi uang? Ah, manusia memang serakah.
Terdengar deru mobil yang datang dari luar. Suara mobil itu terdengar tak asing lagi bagiku, pasti Ayah. Aku beranjak dari tempat dudukku lalu melihat mereka datang dari balik gorden jendela. Benar saja, Ayah pulang bersama Alma. Wanita muda nan cantik kini menjadi pengganti Ibu.
Pak Udin terlihat membuka pintu lalu menunduk. Menunjukkan hormat pada Ayah, namun kenapa demi uang Pak Udin rela berkhianat. Rela menutupi kebusukan Alma. Apakah nanti malam setelah acara makan malam akan aku ungkap semua. Agar Ayah tahu tak ada orang baik di dalam rumah ini.
Aku kembali menutup gorden. Lalu berjalan menuju meja makan.
"Tania? Kamu kok nggak pergi ke butik sih?" tanya Alma dengan nada bicara di buat-buat.
"Nggak, capek. Oh, ya. Yah, nanti Mama Ami mau datang ke sini sama Mas Satria. Katanya ada yang ingin dibicarakan."
"Soal pernikahan?"
"Tania nggak tahu?"
"Kok nggak tahu sih? Calon mertua sendiri kok nggak tahu, makanya kalau mau jadi menantu dan juga istri yang baik itu mesti pinter. Pinter ngerayu mereka." Alma meletakan tas jinjingnya di meja lalu memainkan benda pipih ditangan.
"Tania memang nggak pinter. Apalagi pinter ngerayu laki orang!" Bibir Alma seketika mencebik. Ketika mendengar ucapan anak sambungnya baru saja.
"Sudah, Ayah naik dulu ya. Mau mandi!"
"Iya, Yah." Aku menatap punggung Ayah hingga bayangan lelaki itu hilang di balik pintu kamar. Aku tidak akan pernah bisa membayangkan betapa sakitnya Ayah jika tahu kebusukan istrinya.
Alma dengan cepat pergi meninggalkanku di meja makan sendiri. Berjalan dengan sedikit cepat menuju kamar.
Aku melihat cctv pada ponsel yang sudah diatur. Terlihat disana suara kamar mandi gemericik, berarti benar Ayah sedang mandi. Lalu Alma, dia berjalan meletakan tas.
Tunggu, apa yang dia lakukan? Tidak mungkin dia tahu aku meletakan cctv di kamar itu. Alma terlihat mondar-mandir di depan kamera. Lalu memasangkan wajahnya tepat pada kamera. Tersenyum lalu, hilang.
"Haist, sial. Darimana wanita itu tahu aku meletakan cctv di sana?" gumamku pelan. Hingga pandanganku beralih pada Simbok yang masih sibuk menumis bumbu. Aromanya menguar memenuhi ruangan. Apakah wanita tua ini yang melakukannya? Mengadu pada Alma? Atau justru Pak Udin. Astaga, aku benar-benar tertipu dengan wajah tua mereka. Padahal isi hatinya sama liciknya dengan Alma.
Aku bergegas ke kamar. Membersihkan diri lalu duduk di meja rias. Menatap pantulan diri pada cermin membuatku mengulum senyum.
Terdengar suara mobil yang aku yakini itu Mas Satria. Tak aku hiraukan justru aku sibuk mengirim pesan pada Karin.
[Alma tahu kalau aku pasang cctv di kamarnya.] Langsung dua centang berwarna biru.
[Kok bisa? Pasti Simbok kalau enggak Pak Udin. Astaga, Tania. Rumah kamu itu emang kagak ada yang bener!]
[Aku mesti gimana?]
[Kita pikirkan besok, aku lagi dijalan ini.]
Aku hanya membaca pesan terakhir dari Karin. Tanpa berniat membalasnya.
Seger aku menyelesaikan merias diri lalu berniat keluar kamar.
Ceklek
Aku membuka pintu kamar berniat keluar. Namun alangkah terkejutnya aku sudah ada sosok perempuan berdandan menor berdiri di sana.
"Ngapain?"
"Lama banget, dandan gitu aja. Udah ditungguin tu di meja makan." jawab Alma dengan melipat tangannya di depan dada. Sudut bibirnya ditarik ke atas, memperlihatkan ketidaksukaannya padaku.
"Malam, Ma. Malam Mas Satria." Aku menyapa calon suami dan juga calon mertua. Bukan, tepatnya akan mencari calon mantan.
"Malam, Tania. Kamu cantik malam ini." Lagi-lagi Mas Satria memberi pujian padaku dihadapan orang banyak. Aku menatap lelaki itu lalu bergantian pada Alma. Mereka tampak biasa saja, tak ada yang berbeda. Sedangkan Ayah terus saja memperlihatkan senyuman.
Akhirnya makan malam dimulai, sebelum Mama Ami berbicara penting. Namun di saat kami sedang sibuk dengan piring masing-masing. Simbok berlari dari belakang dengan napas tersengal-sengal.
"Tuan … tuan," panggil Simbok dengan napas yang memburu.
"Udin, Tuan Udin-"
"Tenang, Mbok. Tenang, minum dulu. Tarik napas, lalu buang perlahan." Aku menginterupsi Simbok dan dia mengikutinya.
Huh hah …
"Terus bicara pelan, ada apa?"
"Udin, Mbak. Udin-"
"Pak Udin kenapa?" Ayah ikut bertanya karena penasaran melihat Simbok yang begitu takut. Keringat yang keluar dari keningnya bercucuran, sedangkan raut wajah Simbok seperti ketakutan.
BERSAMBUNG
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 7 "Udin … Kang Udin lemes, katanya dadanya sesak. Nggak bisa napas, wajahnya dah pucet, Mbak," ucap Simbok dengan terbata. Aku yang sedari tadi masih memegang sendok segera melepasnya dengan kasar. Lalu berlari menuju belakang. Semua orang tak kalah terkejut. Mendapati sopir keluarga ini tergeletak di lantai dekat dapur kotor di belakang. "Haduh, apa-apaan ini, Sayang. Udin keracunan?" Alma, wanita itu histeris dan terlihat heboh sendiri. Entah karena apa Pak Udin bisa keracunan, mulutnya sudah keluar busa. Sedangkan wajahnya sudah pucat pasi. Aku segera memeriksa detak nadinya maupun napasnya. Alhamdulilah, masih ada. Segera Ayah bergegas membawa Pak Udin ke rumah sakit. Makan malam yang bertujuan membahas pernikahanku. Berakhir secara tragis, tak terduga. Pak Udin terlihat membaik setelah ditangani dokter IGD. Wajahnya sedikit berubah dan juga nafasnya sudah kembali normal. Aku dan juga Ayah masih setia berdiri menatap Pak Udin yang masih tergeletak
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 8 Jam menunjukan angka tiga dini hari. Mata tak bisa terpejam karena masih teringat akan lelaki yang tadi berkeringat bersama wanita lain. Berkali-kali aku menangis tergugu, beristighfar dalam suara sendu. Di atas hamparan sajadah, aku duduk termenung. Sembari tangan terus saja menangkup pada wajah. Tak mampu berucap maupun berkeluh. Hanya ribuan tetes air mata yang terus saja meluncur dari pelupuk mata. Ya Allah, apakah memang rencanamu demikian adanya? Membuka semua sebelum mengucap janji suci dihadapanmu? Jika ini memang petunjuk yang kau berikan. Terima kasih, sebelum aku jatuh pada jurang teramat dalam. Aku yakin jika rencanamu jauh lebih baik. Aku hanya manusia biasa, berencana dan juga berharap. Namun kuasa-Mu adalah lebih dari segalanya. Jika ini suatu tamparan untukku, ampuni aku Ya Tuhan. Berikan hamba kesempatan memperbaiki diri. ***** Aku menatap mata yang masih sedikit sembab pada pantulan cermin di hadapanku. Air mataku semalam tak mampu
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 9 "A-anu, Mbak. I-itu … i-ini …" "Apa sih, Mbok?" tanya Mbak Tania membuatku semakin gemetar. Tanganku sudah merogoh ke dalam saku. Hendak mengeluarkan sesuatu. Belum sampai tangan ini keluar, Nyonya besar sudah datang berteriak. "Mbok, lihat hp aku yang warnanya merah nggak?" Mbak Tania gegas mengalihkan pandangannya pada Ibu sambungnya itu. Aku pun kembali mengurungkan niatku, ingin memberikan benda ini pada Mbak Tania. "Nggak tahu, Nyonya. Memangnya Nyonya nyimpen hp itu dimana?" tanyaku dengan nada biasa saja. Berharap wanita licik itu tidak memperhatikan. "Lupa," jawab Wanita berpakaian kurang bahan itu. Lalu aku segera bergegas pergi ke belakang. Kembali mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang tadi sempat terbengkalai. **** Pov Tania Mbok Jum itu kalau bicara suka tidak jelas. Segera aku pergi ke butik, tanpa memperdulikan Alma yang sedang kebingungan mencari benda pipih miliknya. Bagaimana bisa ponsel bisa hilang? Bukankah selama ini dia terus
Desahan ibu sambung Bab 10 POV Satria Namaku Satria Wibawa, perawakan tinggi dengan warna kulit putih berseri. Bukan salahku karena Tuhan menganugerahi wajah rupawan nan tampan ini. Ditambah beberapa usahaku juga maju dan juga berkembang. Tidak sedikit wanita yang tergila-gila denganku. Apalagi jika mereka diiming-imingi uang maupun perhiasan. Tania Baskoro, wanita yang memiliki wajah cantik nan menggemaskan. Adalah calon istri dan juga calon Ibu untuk anak-anakku nanti. "Sat, anaknya kamu embat, ibunya juga. Nanti kalau Tania tahu bagaimana?" tanya wanita yang berdandan menor itu. Ya dia memang ibuku, ibu kandungku. "Gampang itu, Ma. Bisa diatur, Mama kan tahu sendiri Tania itu mudah dibohongi. Lagian selama ini dia tidak menaruh curiga sama Satria. Satria ini baik dan juga bertanggung jawab di matanya. Jadi mama nggak perlu terlalu khawatir lah," tuturku panjang lebar. "Jangan lupa, kalau dia sudah percaya sama kamu. Mama boleh dong minta mobil sama Ayahnya Tania. Lagian pu
Desahan Ibu sambungBab 11"Tan, ada beberapa pengiriman barang-barang hari ini. Ada kain dan juga perlengkapan jahit yang stoknya udah menipis.""Iya, aku tahu. Jangan khawatir semuanya aman terkendali," ucapku sembari menatap layar laptop. Gaun maupun kebaya pengantin yang ada di butikku. Memang hasil dari karya-karyaku sendiri dan juga beberapa teman. Yang pasti mereka menjahit langsung di sini. Ada tempat khusus untuk menjahit, itu letaknya di gedung bagian belakang. Sedangkan gudang yang digunakan untuk meletakan beberapa barang juga ada di gedung bagian belakang. Usaha kecil-kecilan ini aku bangun dengan kerja keras bersama Karin dan juga teman lainnya."Btw, Tan. Sebenarnya ada yang pengen aku bicarakan deh sama kamu. Tapi jujur ya kamu nggak boleh marah dulu?""Iya, mau bicara apa sih? Lagian kenapa juga aku marah sama kamu?""Bukan begitu, tapi kan ini menyangkut Ayah kamu.""What? Ayah? Ada apa dengan Ayah? Selama ini kami baik-baik saja. Memang sih kadang kalau masalah Alma
Desahan ibu sambungBab 12"Saya butuh uang.""Terus apa hubungannya dengan saya?" tanyaku dengan tatapan tajam. Tak akan aku alihkan pandanganku sedetik saja dari wanita ini."Berapa?" Aku kembali bertanya karena cukup lama wanita itu tidak menjawab pertanyaanku."Seratus juta," jawabnya penuh keyakinan. Yakin bahwa aku akan meminjamkan uang sebanyak itu. "What? Sebanyak itu?""Banyak? Uang itu tidak seberapa, dibanding harga mobil yang Ayah kamu jual per unitnya. Berapa unit yang dia punya di showroom?" "Lantas kenapa kamu tidak meminta uang dengan dia?!" Nada bicaraku sedikit meninggi. Benar saja, jika dia tahu Ayah memiliki uang banyak. Kenapa dia tidak meminta padanya. Apakah ini ada hubungannya sikap Ayah yang berubah dingin pada wanita ini.TulingSatu pesan diterima. Mataku kini beralih pada benda pipih yang ada di meja. Sedangkan Alma terlihat mencebik dan sesekali melirik ke arahku."Uangku sudah habis, pernikahanku sebentar lagi. Kamu tahu jika aku butuh uang banyak untuk
CINTA IBU SAMBUNGBAB 13Pov Tania"Kamu tidak boleh terus seperti ini! Kamu harus kuat, kamu harus bangkit," ucap lelaki itu yang tengah duduk di sisi ranjang. Aku memberingsut, membenahi posisi tidur. "Satria-""Cukup, Yah. Kita nggak perlu bahas dia lagi," pintaku dengan menatap manik matanya.Ayah hanya terlihat mengangguk. Lalu pergi meninggalkanku kembali sendiri. Hingga tidak terasa bulir-bulir air bening itu jatuh membasahi bantal.Aku meremas sprei dan menangis dalam kesendirian. Entah mengapa aku merasakan sakit yang luar biasa. Meskipun aku pernah berkata aku baik-baik saja. Namun tidak berlaku dengan hatiku, hatiku hancur. Kecewa dan juga sakit."Mas, aku bisa jelaskan semuanya. Aku bisa jelaskan siapa Dedy itu, Mas." Terdengar teriakan suara wanita dari luar kamarku. Aku tahu itu pasti Alma. Ibu sambungku yang berhasil menoreh luka cukup dalam. Aku masih berbaik hati, tidak mengatakan semuanya pada Ayah. Hingga ujungnya aku mendengar pertengkaran antara Ayah dan juga Al
DESAHAN IBU SAMBUNGBAB 14Tania diam dengan perasaan campur aduk. Bagaimana tidak, Anton selama ini tidak pernah bicara apa-apa mengenai janjinya pada wanita yang kini tengah duduk menikmati makanan yang sudah tersaji di meja."Silahkan diminum, Nyonya." Juminten meletakan dua gelas minuman teh di meja. Untuk Alma dan juga Sukma. Sukma yang telah lebih dulu duduk, langsung meminum teh yang sudah dihidangkan. Mencomot pisang goreng dan beberapa gorengan lainnya. Sukma memang selalu mengatakan bahwa dia seorang yang kaya raya. Namun jika sudah kaya, kenapa masih mengincar warisan mendiang kakaknya. Bukankah Anton dan juga Tania jauh lebih berhak. Di akan mendapatkan warisan tersebut jika Anton dan mendiang Melani tidak memiliki anak. Meskipun jika memberikan sebagian pada Sukma bukanlah suatu kesalahan. Ah, manusia memang tempatnya serakah dan juga iri dengki jika melihat orang lain lebih dari dirinya. Meskipun itu saudara sedarah. Benar bukan?Sedangkan Alma kini ikut menjatuhkan b