DESAHAN IBU SAMBUNG
BAB 7
"Udin … Kang Udin lemes, katanya dadanya sesak. Nggak bisa napas, wajahnya dah pucet, Mbak," ucap Simbok dengan terbata. Aku yang sedari tadi masih memegang sendok segera melepasnya dengan kasar. Lalu berlari menuju belakang.
Semua orang tak kalah terkejut. Mendapati sopir keluarga ini tergeletak di lantai dekat dapur kotor di belakang.
"Haduh, apa-apaan ini, Sayang. Udin keracunan?" Alma, wanita itu histeris dan terlihat heboh sendiri. Entah karena apa Pak Udin bisa keracunan, mulutnya sudah keluar busa. Sedangkan wajahnya sudah pucat pasi. Aku segera memeriksa detak nadinya maupun napasnya. Alhamdulilah, masih ada. Segera Ayah bergegas membawa Pak Udin ke rumah sakit.
Makan malam yang bertujuan membahas pernikahanku. Berakhir secara tragis, tak terduga.
Pak Udin terlihat membaik setelah ditangani dokter IGD. Wajahnya sedikit berubah dan juga nafasnya sudah kembali normal.
Aku dan juga Ayah masih setia berdiri menatap Pak Udin yang masih tergeletak lemas.
Alma dan juga Mas Satria tidak ikut pergi ke rumah sakit. Hanya ada aku dan Ayah.
"Bisa kita bicara, Pak?" Tiba-tiba seorang dokter datang membuyarkan lamunanku. Ayah dengan sigap segera mengikuti dokter tersebut dari belakang.
Entah apa yang mereka bicarakan. Yang pasti membicarakan tentang pasiennya.
Aku menjatuhkan bokong di sofa lalu merogoh ponsel pada saku celana.
Ternyata ada satu pesan masuk yang aku terima.
Karin? Dia menghubungiku hampir sepuluh kali panggilan.
Segera aku menelpon Karin memastikan tidak terjadi apa-apa.
"Halo, Karin. Ada apa?"
"Kemana aja sih, Tan? Ditelpon dari tadi juga!" tanya Karin dengan nada tinggi.
"Maaf, lagi di rumah sakit ini."
"Siapa yang sakit?"
"Pak Udin, dia tiba-tiba lemas, sesak, wajahnya pucat. Kan takut, dah keluar busa lagi dari bibirnya."
"Innalillahirojiun, kok bisa?"
"Nggak tahu Aku?"
"Di racun?"
"Racun? Siapa Karin yang mau ngelakuin hal senekat itu? Tega amat?"
"Tapi beliau nggak mati kan?"
"Ya enggak lah, yang benar saja."
"Pasti ada yang sengaja itu masukin racun ke dalam makanan!"
"Ngaco kamu!"
Ceklek
"Udah dulu ya, nanti disambung lagi!" Segera aku mengakhiri sambungan telepon ketika Ayah berjalan memasuki ruangan. Meskipun Pak Udin hanya supir, namun Ayah mencarikan kamar no 1 meskipun bukan VVIP.
Lelaki yang bergelar ayah itu berjalan mendekatiku. Menjatuhkan bobot tubuhnya pada sofa dekatku.
"Apa kata dokter, Yah?" Aku bertanya dengan hati-hati.
"Di racun. Sejenis sianida, namun yang berjenis cairan. Kata dokter beruntung hanya sedikit, sehingga akibatnya tidak terlalu fatal!"
"Tidak fatal? Kek begitu nggak fatal, Yah?"
Ayah hanya mengangguk. Ada kecemasan yang terlihat dari raut wajahnya.
"Pasti ini ulah Alma. Wanita itu emang nggak bener!"
"Tania, Ayah pikir selama ini kamu berusaha mendekati Alma. Tapi sepertinya kamu masih berpikiran jahat tentangnya."
"Ayah, Alma itu-"
"Cukup, Tania. Pikiran jahatmu terlalu berlebihan. Tidak seharusnya kamu berpikir bahwa Alma yang berbuat demikian. Dia ibu kamu, meskipun Ibu sambung. Hargai dia sebagaimana kamu menghargai Ibumu sendiri."
"Tapi Ayah," ucapku terhenti kala lelaki tua itu berdiri dengan wajah merah padam.
"Cukup, Tania. Cepatlah menikah dengan Satria, dan pergilah bersamanya."
"Ayah mengusir Tania?" Sorot mata Ayah yang tajam sulit aku artikan. Entah itu tatapan marah karena aku menuduh istrinya atau justru tatapan membenarkan bahwa dia mengusirku dari rumah.
Aku menghela napas lalu pergi meninggalkan ruangan itu. Pikiranku berkecamuk ada rasa marah dan juga benci. Sebesar itukah cinta Ayah untuk Alma. Hingga dia dibutakan oleh cinta wanita jal*Ng itu?
Maafkan aku Ayah. Tapi aku akan membuka tabiat Alma nantinya.
Aku pergi memesan taksi online tidak mungkin jika aku akan pulang ke rumah. Aku memutuskan pergi ke Butik. Disana jauh lebih baik.
Mobil Avanza berwarna silver yang aku tumpangi berjalan sedikit lambat menuju Butik. Membelah jalan yang sedikit ramai tapi lancar.
Namun tiba-tiba mataku melihat plat mobil yang ada di depanku. Sepertinya aku mengenal mobil itu?
Benar saja, itu mobil Mas Satria.
"Pak, tolong ikuti mobil di depan itu ya, Pak."
"Baik, Mbak."
Mobil itu terus berjalan, entah kemana tujuannya. Yang pasti bukan jalan menuju rumah.
Tunggu, ini kan jalan menuju villa milik Mas Satria? Kenapa dia datang ke sini?
Astaga, apa yang akan dilakukan Mas Satria ke Villa malam-malam begini? Apa ada meeting dengan klien di sekitaran sini? Hingga dia harus menginap? Ah, kenapa pikiranku menjadi negatif begini. Ayolah, Tania. Satria lelaki yang baik, meskipun kamu pernah melihatnya bersikap mesra dengan ibu sambungku sendiri.
Aku melihat lelaki itu keluar dari mobil seorang diri. Sengaja aku meminta Pak sopir berhenti sedikit menjauh agar tak terlalu terlihat. Kenapa Mas Satria hanya sendiri, dimana Mama? Bukankah tadi dia bersama Mama?
Aku mencoba menghubungi calon suamiku itu, hingga tak berapa lama aku melihatnya merogoh ponsel dari saku celananya.
"Halo, Mas."
"Halo, Tania? Gimana Pak Udin? Baik-baik saja kan?" tanya lelaki itu tampak biasa saja.
"Baik, Mas. Alhamdulilah, udah ditangani sama dokter. Kamu sendiri gimana sama Mama? Maaf, karena kejadian tadi aku nggak sempet pamit sama kamu!"
"Iya, nggak papa. Mas tahu kok, kamu khawatir."
Tunggu, kenapa terlihat ada seorang wanita yang keluar dari Villa. Lalu memeluk Mas Satria? Siapa wanita itu? Mas Satria terlihat menempelkan jari telunjuk pada bibirnya, memberi isyarat untuk sang wanita agar diam tak bersuara. Aku dari kejauhan yang melihat itu lantas mencoba menanyakan keberadaannya.
"Mas Satria langsung pulang?"
"Iya, aku langsung pulang. Lagian besok ada meeting sama klien jadi aku mesti pulang lebih cepat. Takutnya kecapekan, malah bangun telat."
"Ow begitu, maaf kalau begitu."
"Nggak papa, Sayang." Cuih, mendengar kata sayang dari mulutnya seolah aku ingin muntah saja.
"Ya sudah kalau begitu, aku tutup teleponnya. Biar kamu bisa istirahat selama-lamanya dengan tenang."
"Lho kok dengan tenang?" Mas Satria sedikit terkejut mendengar ucapanku.
"Bercanda."
Aku segera mengakhiri pembicaraan ini. Meminta sang sopir taksi menunggu sebentar. Dengan berjalan santai seperti tidak ada apa-apa aku melangkah menuju vila. Masuk dengan melihat kanan kiri memastikan tidak ada orang yang melihat. Masuk ke dalam villa, melalui pintu samping. Karena aku pernah menginap di Villa ini saat liburan bersama keluarga Mas Satria. Jadi aku tahu dimana letak pintu maupun kamar.
Aku pastikan ponselku dalam keadaan senyap. Lalu menekan tombol on pada Video. Segera aku berjalan menuju kamar. Dalam setiap langkahku aku merinding mendengar erangan dan desahan menjijikan. Aku yakin itu suara Mas Satria.
Ah, begitu bodoh aku selama ini. Percaya akan mulut manisnya yang seolah menjagaku tanpa berani menyentuh. Ternyata dia sudah mendapatkan sentuhan dari yang lain. Astagfirullahaladzim, aku terus saja beristighfar dalam hati.
Entah tertutup setan mana hingga lelaki itu tanpa menutup pintu kamar telah bersitegang. Tepatnya bersitegang dengan nafsu bir*hi.
Allahuakbar, jantungku berdegup lebih cepat. Setelah kudapati dua manusia sedang bergelut dengan nafsu. Menikmati rasa haram diluar pernikahan.
Tanganku gemetar saat menaikan kamera menempatkan mereka sebagai objek. Ingin rasanya aku mencaci lalu meneriaki. Namun dengan sekuat tenaga aku mencoba menahan.
Setelah dirasa cukup. Aku segera pergi meninggalkan mereka. Menuju mobil yang tadi sudah menunggu. Dalam diam aku menangis. Seolah Allah telah membuka mataku, melihat sang calon Imam yang tidak pantas bersanding denganku. Haruskah aku senang atau justru kecewa. Namun kecewa dan juga sakit mendominasi saat ini.
Aku menangis di sepanjang jalan. Hingga tak aku hiraukan lelaki yang tengah mengemudi ini memperhatikan.
Bersambung….
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 8 Jam menunjukan angka tiga dini hari. Mata tak bisa terpejam karena masih teringat akan lelaki yang tadi berkeringat bersama wanita lain. Berkali-kali aku menangis tergugu, beristighfar dalam suara sendu. Di atas hamparan sajadah, aku duduk termenung. Sembari tangan terus saja menangkup pada wajah. Tak mampu berucap maupun berkeluh. Hanya ribuan tetes air mata yang terus saja meluncur dari pelupuk mata. Ya Allah, apakah memang rencanamu demikian adanya? Membuka semua sebelum mengucap janji suci dihadapanmu? Jika ini memang petunjuk yang kau berikan. Terima kasih, sebelum aku jatuh pada jurang teramat dalam. Aku yakin jika rencanamu jauh lebih baik. Aku hanya manusia biasa, berencana dan juga berharap. Namun kuasa-Mu adalah lebih dari segalanya. Jika ini suatu tamparan untukku, ampuni aku Ya Tuhan. Berikan hamba kesempatan memperbaiki diri. ***** Aku menatap mata yang masih sedikit sembab pada pantulan cermin di hadapanku. Air mataku semalam tak mampu
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 9 "A-anu, Mbak. I-itu … i-ini …" "Apa sih, Mbok?" tanya Mbak Tania membuatku semakin gemetar. Tanganku sudah merogoh ke dalam saku. Hendak mengeluarkan sesuatu. Belum sampai tangan ini keluar, Nyonya besar sudah datang berteriak. "Mbok, lihat hp aku yang warnanya merah nggak?" Mbak Tania gegas mengalihkan pandangannya pada Ibu sambungnya itu. Aku pun kembali mengurungkan niatku, ingin memberikan benda ini pada Mbak Tania. "Nggak tahu, Nyonya. Memangnya Nyonya nyimpen hp itu dimana?" tanyaku dengan nada biasa saja. Berharap wanita licik itu tidak memperhatikan. "Lupa," jawab Wanita berpakaian kurang bahan itu. Lalu aku segera bergegas pergi ke belakang. Kembali mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang tadi sempat terbengkalai. **** Pov Tania Mbok Jum itu kalau bicara suka tidak jelas. Segera aku pergi ke butik, tanpa memperdulikan Alma yang sedang kebingungan mencari benda pipih miliknya. Bagaimana bisa ponsel bisa hilang? Bukankah selama ini dia terus
Desahan ibu sambung Bab 10 POV Satria Namaku Satria Wibawa, perawakan tinggi dengan warna kulit putih berseri. Bukan salahku karena Tuhan menganugerahi wajah rupawan nan tampan ini. Ditambah beberapa usahaku juga maju dan juga berkembang. Tidak sedikit wanita yang tergila-gila denganku. Apalagi jika mereka diiming-imingi uang maupun perhiasan. Tania Baskoro, wanita yang memiliki wajah cantik nan menggemaskan. Adalah calon istri dan juga calon Ibu untuk anak-anakku nanti. "Sat, anaknya kamu embat, ibunya juga. Nanti kalau Tania tahu bagaimana?" tanya wanita yang berdandan menor itu. Ya dia memang ibuku, ibu kandungku. "Gampang itu, Ma. Bisa diatur, Mama kan tahu sendiri Tania itu mudah dibohongi. Lagian selama ini dia tidak menaruh curiga sama Satria. Satria ini baik dan juga bertanggung jawab di matanya. Jadi mama nggak perlu terlalu khawatir lah," tuturku panjang lebar. "Jangan lupa, kalau dia sudah percaya sama kamu. Mama boleh dong minta mobil sama Ayahnya Tania. Lagian pu
Desahan Ibu sambungBab 11"Tan, ada beberapa pengiriman barang-barang hari ini. Ada kain dan juga perlengkapan jahit yang stoknya udah menipis.""Iya, aku tahu. Jangan khawatir semuanya aman terkendali," ucapku sembari menatap layar laptop. Gaun maupun kebaya pengantin yang ada di butikku. Memang hasil dari karya-karyaku sendiri dan juga beberapa teman. Yang pasti mereka menjahit langsung di sini. Ada tempat khusus untuk menjahit, itu letaknya di gedung bagian belakang. Sedangkan gudang yang digunakan untuk meletakan beberapa barang juga ada di gedung bagian belakang. Usaha kecil-kecilan ini aku bangun dengan kerja keras bersama Karin dan juga teman lainnya."Btw, Tan. Sebenarnya ada yang pengen aku bicarakan deh sama kamu. Tapi jujur ya kamu nggak boleh marah dulu?""Iya, mau bicara apa sih? Lagian kenapa juga aku marah sama kamu?""Bukan begitu, tapi kan ini menyangkut Ayah kamu.""What? Ayah? Ada apa dengan Ayah? Selama ini kami baik-baik saja. Memang sih kadang kalau masalah Alma
Desahan ibu sambungBab 12"Saya butuh uang.""Terus apa hubungannya dengan saya?" tanyaku dengan tatapan tajam. Tak akan aku alihkan pandanganku sedetik saja dari wanita ini."Berapa?" Aku kembali bertanya karena cukup lama wanita itu tidak menjawab pertanyaanku."Seratus juta," jawabnya penuh keyakinan. Yakin bahwa aku akan meminjamkan uang sebanyak itu. "What? Sebanyak itu?""Banyak? Uang itu tidak seberapa, dibanding harga mobil yang Ayah kamu jual per unitnya. Berapa unit yang dia punya di showroom?" "Lantas kenapa kamu tidak meminta uang dengan dia?!" Nada bicaraku sedikit meninggi. Benar saja, jika dia tahu Ayah memiliki uang banyak. Kenapa dia tidak meminta padanya. Apakah ini ada hubungannya sikap Ayah yang berubah dingin pada wanita ini.TulingSatu pesan diterima. Mataku kini beralih pada benda pipih yang ada di meja. Sedangkan Alma terlihat mencebik dan sesekali melirik ke arahku."Uangku sudah habis, pernikahanku sebentar lagi. Kamu tahu jika aku butuh uang banyak untuk
CINTA IBU SAMBUNGBAB 13Pov Tania"Kamu tidak boleh terus seperti ini! Kamu harus kuat, kamu harus bangkit," ucap lelaki itu yang tengah duduk di sisi ranjang. Aku memberingsut, membenahi posisi tidur. "Satria-""Cukup, Yah. Kita nggak perlu bahas dia lagi," pintaku dengan menatap manik matanya.Ayah hanya terlihat mengangguk. Lalu pergi meninggalkanku kembali sendiri. Hingga tidak terasa bulir-bulir air bening itu jatuh membasahi bantal.Aku meremas sprei dan menangis dalam kesendirian. Entah mengapa aku merasakan sakit yang luar biasa. Meskipun aku pernah berkata aku baik-baik saja. Namun tidak berlaku dengan hatiku, hatiku hancur. Kecewa dan juga sakit."Mas, aku bisa jelaskan semuanya. Aku bisa jelaskan siapa Dedy itu, Mas." Terdengar teriakan suara wanita dari luar kamarku. Aku tahu itu pasti Alma. Ibu sambungku yang berhasil menoreh luka cukup dalam. Aku masih berbaik hati, tidak mengatakan semuanya pada Ayah. Hingga ujungnya aku mendengar pertengkaran antara Ayah dan juga Al
DESAHAN IBU SAMBUNGBAB 14Tania diam dengan perasaan campur aduk. Bagaimana tidak, Anton selama ini tidak pernah bicara apa-apa mengenai janjinya pada wanita yang kini tengah duduk menikmati makanan yang sudah tersaji di meja."Silahkan diminum, Nyonya." Juminten meletakan dua gelas minuman teh di meja. Untuk Alma dan juga Sukma. Sukma yang telah lebih dulu duduk, langsung meminum teh yang sudah dihidangkan. Mencomot pisang goreng dan beberapa gorengan lainnya. Sukma memang selalu mengatakan bahwa dia seorang yang kaya raya. Namun jika sudah kaya, kenapa masih mengincar warisan mendiang kakaknya. Bukankah Anton dan juga Tania jauh lebih berhak. Di akan mendapatkan warisan tersebut jika Anton dan mendiang Melani tidak memiliki anak. Meskipun jika memberikan sebagian pada Sukma bukanlah suatu kesalahan. Ah, manusia memang tempatnya serakah dan juga iri dengki jika melihat orang lain lebih dari dirinya. Meskipun itu saudara sedarah. Benar bukan?Sedangkan Alma kini ikut menjatuhkan b
DESAHAN IBU SAMBUNGBAB 15"Mama ikut, mama juga mau membantu!""Memangnya Mama bisa bantu apa?" tanya Satria dengan menaikan nada bicara satu oktaf.****"Mama bisa bantu meyakinkan Lidia, untuk menjadikanmu suami yang baik." "Maksud Mama? Aku akan menikah dengan Lidia begitu? Kalau aku menikah secepat itu bagaimana dengan omongan orang-orang. Mereka pasti mikir yang enggak-enggak soal Satria!"Astaga, bukannya memang benar adanya. Jika Satria memang bukan lelaki baik-baik."Iya juga ya." Mia kini kembali berpikir. "Pokoknya, Mama ikut." Mia kembali berteriak kemudian berjalan dengan cepat, mengikuti Satria yang sudah berjalan terlebih dahulu menuju mobil. Satria memang sosok lelaki yang haus akan kekayaan. Dia akan melakukan berbagai macam cara untuk membuat setiap usahanya berjalan lancar. Contohnya Lidia, dia tidak segan-segan merayu wanita itu. Agar dia bisa mendapatkan perlindungan dari Ayah Lidia, yang notabenenya seorang aparatur negara.Tania pun begitu adanya. Dia mendekat
Desahan Ibu SambungBab 44Aku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Merasa paru-paru maupun napas ini tidak bisa menghirup oksigen sebagaimana mestinya. Entah mimpi apa aku semalam yang pasti hari ini aku akan membuat sebuah keputusan. Keputusan besar yang akan merubah hidupku kelak. Keputusan yang akan aku pertanggungjawabkan pada Tuhan kelak. Keputusan yang harus aku ambil tanpa adanya paksaan maupun belas kasih. Tulus dari dalam hati.Aku menatap nanar Damar maupun Reza, kedua laki-laki itu baik. Mereka memiliki kelebihan masing-masing. Aku memiliki satu nama, nama diantara mereka yang mampu membuat hatiku sedikit terusik. Pandanganku kini berpindah pada Gladis, putri Reza. Parasnya begitu menawan mungkin mirip dengan Ibunya. "Tan, aku nggak mau kamu terbebani. Jika memang dia yang kau pilih. Tak masalah, aku mundur. Kebahagiaanmu jauh lebih penting," ucap Damar ketika mataku terus saja menatap Reza.Aku mengarahkan pandanganku ke arah laki-laki itu. Laki-laki yang pernah membay
Desahan Ibu SambungBab 43"Kenapa nggak bisa, Tania? Uang kamu banyak kan?" Kini wanita itu tidak lagi sungkan meminjam uang. Malah terkesan memaksa.Aku berfikir sejenak, mencerna ucapan wanita itu. Haruskah aku meminjamkan uang dengan alasan kemanusiaan? Atau aku biarkan wanita itu kebingungan, entah apa yang ia katakan itu benar adanya atau tidak aku juga tidak tahu.****"Tania, bagaimana?" Wanita tua itu kembali memastikan bahwa aku akan memberinya pinjaman. "Maaf, Tante. Untuk uang sebesar itu Tania tidak bisa bantu. Lebih baik Tante berurusan dengan Karin. Nanti dia akan bantu. Kalau begitu Tania pergi dulu, Tan. Masih ada urusan, maaf." Aku berpamitan lalu meninggalkan Tante Mia yang masih memegangi gagang sapu. Aku harap wanita itu tidak tersinggung dengan sikapku, aku juga berharap dia mengerti akan sikapku. Aku membereskan semua pekerjaanku yang sudah selesai. Menaruh beberapa lembar kertas ke dalam map. Lembaran kertas ini adalah desain-desain pakaian terbaru yang akan
Desahan ibu SambungBab 42"Kalau kamu gimana Damar?" tanya Tante Mila membuat semua orang mengalihkan pandangannya ke arah Damar.Damar pun melihat ke arahku, mataku sengaja aku lebarkan dan sedikit menggelang, aku harap lelaki itu mengerti akan kode yang aku berikan."Damar …."****"Damar sih terserah gimana Tania nya aja," ucap lelaki itu sembari tersenyum. Entah mengapa membuatku justru ingin menjambak rambutnya yang lebat nan hitam itu. Bagaimana tidak, aku sudah memberinya kode dengan melebarkan mata dan juga gelengan kepala. Dia masih tidak mengerti, dasar laki-laki.Kini semua pandangan tertuju padaku, aku yang masih mengunyah sisa mie dalam mulut hanya bisa nyengir. HahMati aku, sudah aku bilang kan aku tidak mau dijodohkan. Kenapa justru seperti ini."Mereka masih muda, kasihlah kesempatan untuk kenalan. Mengenal lebih dekat satu sama lain, biar keputusan mereka yang ambil. Lagian, menikah itu sekali seumur hidup yang jalani juga mereka. Kita selaku orang tua hanya bisa m
DESAHAN IBU SAMBUNGBab 41Aku duduk di kursi paling ujung bersama Ayah. Malam ini kami memutuskan makan malam di restoran. Sudah cukup lama aku dan juga ayah jarang makan malam berdua, menikmati kebersamaan semenjak kedatangan Alma. Dulu sebelum Ayah menikah dengan wanita itu, kami kerap melakukannya. Karena dengan cara itulah, aku dan juga ayah semakin dekat. Semenjak kepergian Ibu, aku benar-benar merasa kesepian.Ayah selalu pulang larut malam. Menyibukan diri bekerja, agar tidak terlalu mengingat mendiang istrinya. Namun sayang, dia lupa akan diriku. Untuk mengganti semua waktu yang ia habiskan di kantor, ia selalu mengajakku keluar hanya sekedar makan malam. Berbagi cerita dan juga mendengar keluhku.Ayah adalah sosok yang hangat, adanya dia selalu disampingku aku tidak merasakan kesepian lagi. Namun wanita itu datang, merenggut senyum Ayah dariku. Aku kembali kosong, tapi tidak sekarang. Ayah benar-benar sudah kembali seperti dulu, semua hal yang berhubungan dengan Alma sudah
Desahan Ibu SambungBab 40"Kang, temennya Mbak Tania yang kemarin ganteng ya?" ucap Juminten ketika pisau yang ia pegang tengah mengiris wortel.Srutt ah …Udin menyeruput kopi hitam. "Yang mana sih, Yu?" tanya Udin sembari tangannya meletakkan cangkir di atas lepek."Alah, yang nganter Mbak Tania sama Simbok pulang itu lho. Masak Ndak tahu?!""Ow yang itu? Ganteng sih, beda tipis sama Mas Satria.""Halah, sama Mas Satria? Beda jauh Yo, Kang. Mas Satria itu nggak ada apa-apanya dibandingkan Mas Damar, lagian Mas Satria itu tingkahnya nggak bermoral. Coba sekarang gimana kabarnya Mas Satria, Kang Udin tahu tidak?""Ya mana saya tahu tho, Mbok. Wong bukan anakku kok!""Lha iya, Mas Satria itu lembaran buku yang seharusnya ditutup lalu disimpan di gudang. Sudah nggak perlu dicari keberadaanya. Cukup, cari buku baru," tutur Juminten panjang lebar. Membuat Udin tertawa cekikikan. "Bahasamu itu lho, Mbok. Sok puitis, kebanyakan nonton sinetron ini.""Iya, simbok paling suka nonton sinetr
Desahan Ibu SambungBab 39"Minta tolong apa ya, Tan?" tanya Tania. Mona dan juga Susi pun terlihat sikut menyikut. Mona hanya bisa memainkan bibirnya dan kedua alisnya. Membuat Susi yang daya tangkapnya rendah kebingungan."Begini Tania, maksud kedatangan Tante ke sini, mau minta tolong sama kamu buat …."*****"Dam, cantik ya Tania?" Mila bertanya pada Damar setelah meninggalkan kediaman Tania."Cantiklah, Bu. Namanya juga perempuan," jawab Damar benar adanya. Kalau laki-laki tentunya ganteng."Ibu serius, kamu sepertinya juga suka sama dia. Iya kan? Dari cara kamu menatap Tania, Ibu sudah bisa membaca kalau kamu juga suka sama dia.""Ibu bisa aja. Itu cuma perasaan Ibu saja.""Masak?" Bibir Mila mencebik seolah mengejek putra keduanya itu. Ya Mila memiliki dua putra, anak pertama sudah menikah dia bernama Bagas, sedangkan istrinya bernama Sarah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Revan. Adam Margono adalah suami Karmila. Kini tengah berada di luar negeri. Ada bebera
Desahan Ibu SambungBab 38"Apa isinya ya?" Tania bermonolog.Satu persatu kertas pembungkus itu ia robek, hingga memperlihatkan sebuah kotak berwarna coklat."Apa ini?" ****Tania mulai membuka sebuah kotak berwarna coklat itu. Jam tangan berwarna silver sangat cantik melingkar di tempatnya. Sepertinya keluaran terbaru dari merek cukup terkenal, tentunya dengan harga yang mahal.Tania menghela napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Dia memperhatikan jam tangan itu, mengusap lembut lalu mencoba di pergelangan tangan sebelah kiri. Cantik, pas ditangan Tania. Namun segera ia lepaskan dan kembali meletakkannya di tempat semula. Memandangnya lalu menaruhnya kembali di meja rias.Tania kini kembali berdiri berjalan menuju kamar mandi. Menyegerakan niatnya membersihkan diri yang tadi sempat tertunda. Tania nampak menikmati gemericik air yang membasahi seluruh tubuhnya, tentunya setelah ia melepas semua pakaian.Segera Tania keluar kamar mandi ketika ritualnya sudah selesai. Memilih paka
DESAHAN IBU SAMBUNGBab 37"Ya Allah." Udin berteriak, membuat Juminten dan juga Tania mendatangi lelaki itu."Ada apa, Kang," tanya Juminten, lalu Tania menangkupkan kedua tangannya pada wajahnya setelah melihat kepanikan Udin.***"Bannya kempes," jawab Udin lalu melangkah ke belakang. Membuka pintu belakang berharap ada ban serep. Lagi-lagi, lelaki tua itu menggeleng. Lalu menutup pintu dan berjalan menghampiri Tania. Kedua wanita itu nampak menunggu dengan sedikit gelisah."Maaf, Mbak. Ban nya lupa Pak Udin bawa. Maaf ya," tutur Udin sembari tangannya menyilang pada perut bagian bawah."Astaga, Pak Udin. Terus gimana ini?""Ya terpaksa Mbak Tania sama simbok cari taksi online saja. Biar cepat nyampe rumahnya.""Terus Pak Udin?""Saya mengurus ban kempes ini dulu, terpaksa saya harus bawa ke bengkel dulu," jawab Udin sedikit sungkan. Karena kelalaiannya, majikannya harus mencari taksi online. "Ya sudah, Pak. Saya cari taksi dulu. Besok lagi kalau mau pergi, di cek dulu. Gimana m
DESAHAN IBU SAMBUNGBab 36POV Damar.Namaku Damar Aji Margono, usia 30 tahun. Masih single, yang pasti berpenampilan menarik. Haist. Kalau bukan diri sendiri siapa yang mau memuji.Di usiaku yang sudah matang, namun belum juga ada gadis yang menarik perhatianku. Hingga bapakku harus turun tangan berniat mencarikan jodoh. Namun aku menolaknya, bukan karena tidak suka tapi gengsi. Bagaimana tidak, aku seorang pengusaha muda lumayan tampan tapi tidak bisa menarik hati wanita. Haist, namanya juga belum jodoh mau gimana lagi? Kita bisa apa jika Tuhan belum mempertemukan kita dengan tulang rusuknya. Bukan tidak mau berusaha, tapi pekerjaan membuatku tidak memiliki waktu hanya sekedar jalan-jalan di mall. "Damar, kita makan yuk. Aku yang traktir." Tiba-tiba wanita berpakaian minimalis itu menjulurkan lidahnya, bergaya berlebihan. Membuatku geli melihatnya. "Nggak, terima kasih. Lagian saya ada acara.""Acara? Setahuku kamu nggak ada pacar. Kamu mau makan sama siapa?" tanya wanita itu, ta