CINTA IBU SAMBUNG
BAB 3
"Buka pintunya, Alma! Apa yang kamu lakukan di dalam?" Aku kembali berteriak. Meneriaki wanita yang ada di dalam ruangan itu. Tangan tak hentinya menggedor pintu cukup kuat.
Ceklek
"Berisik banget! Tania, kamu ini apa-apaan sih? Sudah malam," ucap Alma sembari membenarkan cardigan piyama yang sedikit terbuka.
"Kamu lagi ngapain? Sama siapa?" Aku langsung masuk begitu saja tanpa permisi. Langsung mencari ke penjuru ruangan. Mencari sosok pria yang selalu menghabiskan malam dengan Alma.
Namun sayang, tak ada seorang pun disana.
"Eh, kamu nyari siapa? Nggak ada siapa-siapa!" Alma terlihat tersenyum miring melihat kebodohanku. Seharusnya aku tidak bersikap kasar. Aku harus bersikap lembut agar bisa menemukan bukti-bukti itu.
Bod*h, kamu bod*h Tania. Aku terus saja merutuki diriku sendiri dalam hati. Jika seperti ini tidak akan pernah aku mendapatkan bukti itu.
"Awas, kalau kamu mengkhianati Ayah! Aku akan menjadi orang pertama yang akan memberimu pelajaran!"
"Ow ya? Huu … takut! Kita lihat saja, siapa yang paling bod*h diantara kita!"
Melihat wanita yang berdiri di hadapanku, dengan pongah melipat tangannya. Rasanya aku ingin menyumpal mul*tnya. Dia terlalu percaya diri, pintar menyimpan rapat kebusukannya. Namun, bangkai yang disimpan akan tercium juga bau nya nanti. Kita lihat, siapa yang akan menang dalam hal ini.
Aku meninggalkan kamar Alma dengan hentakan kaki yang cukup kuat.
Kemudian menutup pintu kamar dengan kasar. Aku menjatuhkan bobot tubuhku di atas ranjang. Pikiranku menerawang jauh. Memikirkan siapa laki-laki bersama Alma di foto itu? Siapa laki-laki yang membuat Alma mende*ah.
Ah, sial. Wanita itu berhasil membuat hidupku kalang kabut.
Aku segera meraih ponsel yang tergeletak tak jauh dari tempatku. Berselancar di media sosial mencari akun Alma. Padahal selama ini tak pernah sekalipun aku penasaran dengan hidup Alma. Ya Tuhan, tolong bantu hamba-MU ini.
Keningku mengkerut, kedua alisku saling bertautan ketika melihat akun bernama Alma. Ya Tuhan, foto-foto yang ia pamerkan di jagat maya begitu vulgar. Terlalu berani bagi wanita yang sudah bersuami.
"Alma, kamu memang begitu menjijikkan. Apakah Ayah tidak tahu seperti apa istrinya selama ini?" gumamku pelan. Segera aku screenshot lalu menyimpannya dalam galeri. Tapi tunggu, ada satu akun yang membuatku penasaran. Akun bernama Baby hot, mengikuti setiap postingan yang dibagikan Alma. Dia selalu memberikan emotikom love dan juga selalu memberi pujian di setiap kolom komentar. Yang lebih parahnya Alma selalu membalasnya tak kalah mesra. Siapa Baby hot ini?
Namun sayang, akun miliknya di privasi. Sehingga aku tidak bisa mencari tahu siapa sebenarnya orang dibalik akun tak berfoto itu.
Aku keluar dari kamar menuju dapur. Berniat sarapan sebelum bekerja. Sudah ada Mbok Jum disana, berdiri sedang menyiapkan secangkir kopi.
"Kopi buat siapa, Mbok?" Aku bertanya pada Simbok sembari menjatuhkan bokong pada kursi.
"Eh, Mbak Tania. Kopi buat bapak. Mbak Tania mau dibikini susu atau kopi?"
"Susu aja deh, Mbok. Ayah sudah pulang, Mbok?"
"Sudah, Mbak. Tadi subuh, bapak pulang cepet. Katanya badannya nggak enak."
"Kok nggak bangunin Tania?"
"Mungkin Bapak kecapekan, Mbak. Lagian perjalanannya kan jauh dari luar kota." Simbok datang meletakan segelas susu dan juga secangkir kopi tepat dihadapanku.
"Kok bukan Alma yang bikin kopi?" Mbok Jum yang mendengar pertanyaanku hanya bisa senyum-senyum.
"Kenapa Simbok senyum-senyum?" tanyaku keheranan.
"Mbak Tania ini makanya buru-buru nikah sama Mas Satriya. Nanti baru tahu rasanya rindu kalau sudah lama nggak ketemu," ucap Mbok Jum sembari menutup wajahnya dengan nampan.
"CK," Tak ada jawaban yang keluar dari bibir ini. Membicarakan soal pernikahan membuatku pusing tujuh keliling. Apalagi semenjak aku bicara dengan Mas Satriya mengenai permintaanku untuk menunda pernikahan. Dia tak lagi menghubungiku. Apa iya aku yang harus mengalah? Aku harus siap untuk menikah tahun depan? Tahun depan itu tidak lama lho, ini sudah bulan ke sepuluh. Yang artinya bulan Oktober, jadi kalau tahun depan tinggal dua bulan lagi. Dan rencana semula bulan februari kita menikah. Ya Salam, tiga bulan lagi. Secepat itu?
[Mama, pengen ketemu sama kamu. Jadi hari ini kamu nggak usah ke butik. Aku jemput, kita makan siang sama Mama]
Satu pesan kubaca dari Mas Satriya. Benar saja, dia pasti sudah mengadu dengan ibunya. Aku menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Meletakan benda pipih itu di atas meja tanpa berniat membalasnya.
Alma terlihat berjalan menuruni tangga bersama Ayah. Bergelayut manja seolah tidak ada pasang mata yang tengah memperhatikan mereka.
"Pagi, Tania," sapa Alma sok ramah. Aku yakin dia melakukan itu karena sedang bersama Ayah.
"Pagi, Yah? Kok nggak bangunin Tania sih? Tania kan juga rindu," ucapku sembari berlari kecil memeluk lelaki paruh baya itu. Sengaja tangan Alma aku singkirkan dengan kasar.
Terlihat bibirnya mencebik, tidak suka akan sikapku.
"Maaf, sayang. Ayah, takut ganggu kamu. Sudah sarapan?" Cinta pertamaku itu mengusap rambutku dengan lembut. Seolah aku masih anak kecil baginya. Padahal usiaku sudah dua puluh enam tahun.
"Ini lagi mau sarapan. Ayah mau di siapkan roti?"
"Nggak perlu, sudah aku siapkan sarapan buat Ayah. Sini, Sayang. Kita sarapan bareng. Tania, mending kamu sarapan yang banyak. Biar kuat mengahadapi urusan pekerjaan nantinya," tutur Alma, wanita itu berbicara ramah namun nadanya seakan mengintimidasiku.
Wanita itu benar-benar pandai bermain watak. Seharusnya dia menjadi artis papan atas, atau menjadi pemain sinetron dengan karakter antagonis.
Ayah mengikuti arahan Alma. Duduk didekatnya lalu mulai memasukan roti tawar pada mulutnya.
"Pekerjaan kamu gimana, Tania?"
"Alhamdulilah lancar, Yah. Semuanya baik dan juga seperti yang direncanakan. Pekerjaan Ayah gimana?"
"Lancar, Satriya gimana kabarnya? Kok lama nggak main ke sini?"
Uhuk … uhuk … uhuk.
Alma terlihat terbatuk-batuk ketika Ayah menanyakan Mas Satriya. Aku hanya menanggapinya seperti angin lalu. Tanpa memperdulikan tingkah Alma yang sedikit aneh.
"Baik, dia mau ke sini, Yah. Mau jemput Tania, kita ada janji sama Mama."
"Mamanya Satriya?"
Aku hanya mengangguk lalu menghabiskan susu yang tinggal separo gelas.
"Mbak Tania, di depan ada Mas Satriya." Tiba-tiba Mbok Jum sudah berdiri di sampingku.
"Suruh ke sini saja, Mbok. Suruh sarapan bareng," titah Ayah pada Simbok.
"Iya, Tuan." Simbok berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Mas Satriya yang masih berada diluar. Aku yang sudah muak melihat wajah Alma berinsiatif menyudahi sarapan.
"Nggak usah, Yah. Aku pergi aja sekarang." Aku menghampiri Ayah lalu mencium tangannya dengan takzim.
"Lho kok malah pergi?"
"Iya, da …." Teriakku sembari melambaikan tangan.
"Terima kasih banyak, Mas Satriya. Simbok sudah terima uang itu. Sudah Simbok kirim pada keluarga Simbok di kampung," ucap Simbok pelan namun masih bisa terdengar ditelingaku.
Uang? Uang apa yang Simbok maksud? Selama ini Simbok kerja dengan Mas Satriya? Kenapa aku tidak tahu seperti ini sih?
"Eh, Sayang. Kamu sudah siap?" tanya Mas Satriya, terlihat gugup ketika aku datang.
"Ayah minta kamu sarapan dulu, kita masuk dulu atau langsung pergi?" tanyaku dengan ragu. Tenang, Tania. Kamu harus tenang, jangan gegabah. Cari tahu kebenaran dulu baru bertanya kepada mereka sebenarnya apa yang mereka sembunyikan dari kamu?
"E- enggak usah! Kita langsung pergi saja!"
"Ya sudah, ayo!"
Segera aku masuk kedalam mobil. Terlihat Simbok juga langsung masuk ke dalam rumah. Meskipun tidak aku pungkiri banyak pertanyaan yang ada di kepalaku saat ini. Ada apa ini? Ada apa dengan Mas Satriya dan juga Simbok? Uang apa yang dimaksud? Pekerjaan apa yang Simbok lakukan? Apakah ini ada hubungannya dengan Alma?
CINTA IBU SAMBUNGBAB 4Kami segera masuk ke dalam mobil. Mas Satria sesekali menatapku lalu tersenyum. Dia sosok yang baik. Tidak ada gelagat aneh maupun sikapnya yang mencurigakan. Perhatian dan juga sikapnya yang lembut selalu ia tunjukan kepadaku. Hanya saja, dia sedikit kecewa karena aku meminta menunda pernikahan.Bukan karena tidak percaya atau tidak lagi cinta. Namun entah mengapa, mendekati hari pernikahan seolah aku ragu. Ragu akan keputusanku menikah dengannya. Tapi karena apa? Hah, benar-benar membuatku dilema. "Kamu sakit?" Pertanyaan Mas Satriya membuyarkan lamunanku."Enggak kok, Mas. Mama sehat kan?""Iya, Alhamdulilah, sehat. Mama mau ketemu kita juga mau membicarakan soal pernikahan.""Memangnya Mas Satriya nggak ngomong sama Mama soal kemarin?""Sayang, mana mungkin Mas bilang sama Mama. Kan kamu tahu sendiri gimana Mama, dia kan pengen nimang cucu dari kita. Kalau Mas bicara tentang itu. Aku takut Mama kecewa. Kamu ngerti kan?""Ya sudah kalau begitu, terserah kam
DESAHAN IBU SAMBUNGBab 5POV AuthorJuminten namanya, biasa dipanggil Mbok Jum. Sudah cukup lama ia mengabdi pada keluarga Anton Baskoro. Sejak mendiang Melani masih hidup. Dia sudah bekerja di rumah itu. Menjadi orang kepercayaan Melani, mengurus semua keperluan keluarga. Dari mengurus kebutuhan makan hingga berbelanja bulanan. Ia serahkan pada Juminten.Juminten janda beranda empat. Anak pertamanya sudah menikah, anak kedua juga sudah berumah tangga. Anak ketiga lulus sarjana. Sedangkan anak ke empat masih sekolah SMA. Semua uang yang didapatkan dari bekerja di rumah Anton ia gunakan untuk menyekolahkan anaknya. Hingga semua kini hidup layak."Nih, Kang, kopinya. Ada pisang goreng juga, lumayan buat mengganjal perut," ucap Juminten sembari menyodorkan nampan berisi kopi dan juga pisang goreng."Wah, enak ini. Enak bener kerjaan kita ya, Yu? Nunggu rumah, bisa ngopi begini makan enak. Wah, bener-bener nikmat!"Srutt ah …Udin menyeruput kopi dengan nikmat. Matanya kedap-kedip menikm
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 6 "Maafkan, Udin Mbak. Udin salah!" "Ya sudahlah, kalian bisa pergi." Tania menangis tergugu. Tidak pernah ia rasakan kecewa yang begitu teramat sakit saat ini. "Nia, sudahlah. Jangan bersedih, lelaki tak hanya Satria. Masih banyak lelaki yang lain. Dia tidak pantas kau tangisi. Kalau perlu beri dia pelajaran. Kasih dia kenang-kenangan yang nggak bakal dia lupain." Tania mendongak ke arah Karin, ada benarnya juga ucapan Karin. Segera Tania memasang cctv pada kamar Alma. Memasang pada tempat yang sulit dilihat mata. Namun masih bisa melihat keadaan sekitar. Tania segera kembali ke kamar, membereskan semua bungkus dan kertas lalu membuangnya di tempat sampah. Segera ia meraih benda pipih yang tergeletak di sisi ranjang. Menguji gambar juga jangkauan cctv yang telah ia pasang. "Berarti bener dong, kalau Satria main serong sama Alma? Gila ya, Ibu sambung kamu itu!" "Nggak usah dibahas lagi," pinta Tania pada Karin. Hatinya sedang tak baik-baik saja. De
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 7 "Udin … Kang Udin lemes, katanya dadanya sesak. Nggak bisa napas, wajahnya dah pucet, Mbak," ucap Simbok dengan terbata. Aku yang sedari tadi masih memegang sendok segera melepasnya dengan kasar. Lalu berlari menuju belakang. Semua orang tak kalah terkejut. Mendapati sopir keluarga ini tergeletak di lantai dekat dapur kotor di belakang. "Haduh, apa-apaan ini, Sayang. Udin keracunan?" Alma, wanita itu histeris dan terlihat heboh sendiri. Entah karena apa Pak Udin bisa keracunan, mulutnya sudah keluar busa. Sedangkan wajahnya sudah pucat pasi. Aku segera memeriksa detak nadinya maupun napasnya. Alhamdulilah, masih ada. Segera Ayah bergegas membawa Pak Udin ke rumah sakit. Makan malam yang bertujuan membahas pernikahanku. Berakhir secara tragis, tak terduga. Pak Udin terlihat membaik setelah ditangani dokter IGD. Wajahnya sedikit berubah dan juga nafasnya sudah kembali normal. Aku dan juga Ayah masih setia berdiri menatap Pak Udin yang masih tergeletak
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 8 Jam menunjukan angka tiga dini hari. Mata tak bisa terpejam karena masih teringat akan lelaki yang tadi berkeringat bersama wanita lain. Berkali-kali aku menangis tergugu, beristighfar dalam suara sendu. Di atas hamparan sajadah, aku duduk termenung. Sembari tangan terus saja menangkup pada wajah. Tak mampu berucap maupun berkeluh. Hanya ribuan tetes air mata yang terus saja meluncur dari pelupuk mata. Ya Allah, apakah memang rencanamu demikian adanya? Membuka semua sebelum mengucap janji suci dihadapanmu? Jika ini memang petunjuk yang kau berikan. Terima kasih, sebelum aku jatuh pada jurang teramat dalam. Aku yakin jika rencanamu jauh lebih baik. Aku hanya manusia biasa, berencana dan juga berharap. Namun kuasa-Mu adalah lebih dari segalanya. Jika ini suatu tamparan untukku, ampuni aku Ya Tuhan. Berikan hamba kesempatan memperbaiki diri. ***** Aku menatap mata yang masih sedikit sembab pada pantulan cermin di hadapanku. Air mataku semalam tak mampu
DESAHAN IBU SAMBUNG BAB 9 "A-anu, Mbak. I-itu … i-ini …" "Apa sih, Mbok?" tanya Mbak Tania membuatku semakin gemetar. Tanganku sudah merogoh ke dalam saku. Hendak mengeluarkan sesuatu. Belum sampai tangan ini keluar, Nyonya besar sudah datang berteriak. "Mbok, lihat hp aku yang warnanya merah nggak?" Mbak Tania gegas mengalihkan pandangannya pada Ibu sambungnya itu. Aku pun kembali mengurungkan niatku, ingin memberikan benda ini pada Mbak Tania. "Nggak tahu, Nyonya. Memangnya Nyonya nyimpen hp itu dimana?" tanyaku dengan nada biasa saja. Berharap wanita licik itu tidak memperhatikan. "Lupa," jawab Wanita berpakaian kurang bahan itu. Lalu aku segera bergegas pergi ke belakang. Kembali mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang tadi sempat terbengkalai. **** Pov Tania Mbok Jum itu kalau bicara suka tidak jelas. Segera aku pergi ke butik, tanpa memperdulikan Alma yang sedang kebingungan mencari benda pipih miliknya. Bagaimana bisa ponsel bisa hilang? Bukankah selama ini dia terus
Desahan ibu sambung Bab 10 POV Satria Namaku Satria Wibawa, perawakan tinggi dengan warna kulit putih berseri. Bukan salahku karena Tuhan menganugerahi wajah rupawan nan tampan ini. Ditambah beberapa usahaku juga maju dan juga berkembang. Tidak sedikit wanita yang tergila-gila denganku. Apalagi jika mereka diiming-imingi uang maupun perhiasan. Tania Baskoro, wanita yang memiliki wajah cantik nan menggemaskan. Adalah calon istri dan juga calon Ibu untuk anak-anakku nanti. "Sat, anaknya kamu embat, ibunya juga. Nanti kalau Tania tahu bagaimana?" tanya wanita yang berdandan menor itu. Ya dia memang ibuku, ibu kandungku. "Gampang itu, Ma. Bisa diatur, Mama kan tahu sendiri Tania itu mudah dibohongi. Lagian selama ini dia tidak menaruh curiga sama Satria. Satria ini baik dan juga bertanggung jawab di matanya. Jadi mama nggak perlu terlalu khawatir lah," tuturku panjang lebar. "Jangan lupa, kalau dia sudah percaya sama kamu. Mama boleh dong minta mobil sama Ayahnya Tania. Lagian pu
Desahan Ibu sambungBab 11"Tan, ada beberapa pengiriman barang-barang hari ini. Ada kain dan juga perlengkapan jahit yang stoknya udah menipis.""Iya, aku tahu. Jangan khawatir semuanya aman terkendali," ucapku sembari menatap layar laptop. Gaun maupun kebaya pengantin yang ada di butikku. Memang hasil dari karya-karyaku sendiri dan juga beberapa teman. Yang pasti mereka menjahit langsung di sini. Ada tempat khusus untuk menjahit, itu letaknya di gedung bagian belakang. Sedangkan gudang yang digunakan untuk meletakan beberapa barang juga ada di gedung bagian belakang. Usaha kecil-kecilan ini aku bangun dengan kerja keras bersama Karin dan juga teman lainnya."Btw, Tan. Sebenarnya ada yang pengen aku bicarakan deh sama kamu. Tapi jujur ya kamu nggak boleh marah dulu?""Iya, mau bicara apa sih? Lagian kenapa juga aku marah sama kamu?""Bukan begitu, tapi kan ini menyangkut Ayah kamu.""What? Ayah? Ada apa dengan Ayah? Selama ini kami baik-baik saja. Memang sih kadang kalau masalah Alma