Dinginnya hembusan angin pagi menembus kulit dua manusia yang sedang Berkeliling desa naik motor. Rencana Karmila dan Waldi yang akan ke air terjun pagi ini tak jadi. Sebab bukan hanya dingin yang jadi halangan, namun juga keinginan Karmila yang ingin makan jajanan cenil dan buah mangga secara bersamaan, sungguh membingungkan Waldi dan buat giginya ngilu. Bagaimana mungkin makan mangga muda dan kue bersamaan.“Ke pasar aja, Mas, carinya. Mungkin yang jual sayur ada yang jual mangga juga.” Sudah bergetar suara Karmila, sebab Waldi terlihat jengkel dengan keinginan istrinya itu.Mana minta diantar ke pasar lagi. Bukan tak mau, tapi suaminya ini mana pernah ke pasar. Belum lagi penampilannya yang tampak lain. Celana jeans hitam selutut dan kaos putih dilapisi jaket dan jangan lupa kacamata hitam yang bertengger di hidung bangirnya, buat suaminya itu jadi pusat perhatian tadi. Mana ada orang di desa itu. yang jalan pagi pakai kacamata hitam.“Mas, tunggu di luar aja sini, biar aku yang ma
“Dua ribu saja Bu, saya antar barangnya sampai …par…ki…ran..” terkejut dan terbata-bata suara Mira, menawarkan jasanya sambil membawa kresek hitam besar yang banyak, saat melihat Karmila dan Waldi berbalik ke arahnya.Tiba-tiba saja Mira merasa tubuhnya kaku dan lidahnya kelu, tak bisa berkata-kata. Sungguh terkejut dan malu luar biasa di rasakannya saat ini. Tak pernah menyangka Karmila dan Waldi akan melihat keadaannya sekarang, menawarkan jasa mengangkat barang belanjaan orang-orang di pasar. Di pasar ini banyak orang yang mencari nafkah dengan menawarkan jasa mengangkat barang ataupun membersihkan area tempat dagangan ataupun membantu mengupas bawang para pedagang bawang dan bumbu lainnya. Tapi ini biasanya dilakukan anak-anak usia sekolah dasar, baik yang mencari nafkah sepulang sekolah ataupun yang memang anak putus sekolah. Jarang ada orang dewasa yang bekerja menwarkan jasa membawakan belanjaan orang, kecuali jasa mengupas bawang biasanya ibu – ibu yang tak punya lahan bertani
Karmila eratkan pelukan di lengan suaminya saat melihat wanita yang sama, yang datang ke rumah suaminya dan buat keributan beberapa waktu lalu.Waldi yang mengerti dengan perasaan istrinya, tentu tahu tindakan apa yang harus di lakukan. Cukup kemarin dirinya berusaha mengikuti keinginan Fania yang membuatnya harus berakhir di kantor polisi hingga malam hari, bahkan tindakannya membuat dirinya hamoir berpisah dengan istri yang sangat di cintainya, bagaimana jadinya kemarin bila pak Darsi betul-betul memisahkan dirinya dengan Karmila, tentu dirinya tak akan mengetahui kabar kebahagiaan dari istrinya ini.Fania terdiam, gugup entah harus berkata apa. Dan mengapa pula dirinya tadi memanggil mantan yang sudah menjadi suami orang. Waldi yang melihat dirinya pun berkerut alis, menunggu Fania akan berkata apa, sementara Waldi pun tak berniat menyapa balik atau hanya sekedar basa basi menanyakan kabar. Sebab Fania hanya mematung, buat Waldi beranjak menuju mobil sambil tetap menggandeng tanga
“Cukup, Mas.” Karmila mengangkat tangan menandakan sudah kenyang. Kehamilannya yang memasuki usia tujuh bulan sekarang membuatnya cepat lapar dan mudah lelah. Aktivitas intim tadi yang di tuntut Waldi, membuat Karmila rasanya tak sanggup untuk turun ke dapur. Jadi suaminya yang berinisiatif turun mengambilkan makanan. “Minum dulu.” Waldi menyerahkan botol air mineral pada Karmila. Sengaja dibeli air mineral satu karton dan Waldi simpan khusus di kamar agar bila malam hari, istrinya tak perlu bolak balik ke dapur. “Beneran sudah kenyang?” Waldi bertanya sambil menyeka sisa air di bibir Karmila.“Udah, Mas. Mas juga makan.”“Nanti mas, makan. Sayang istirahat dulu. Apa mas tadi bikin sayang sakit?” Waldi usapi punggung Karmila, akhir -akhir ini punggung Karmila sering pegal sebab kehamilan yang semakin membesar.“Sedikit, Mas.” “Maaf sayang, mas kelewatan.” Waldi kecupi perut yang mengandung baby boy. Kemarin mereka berdua habis menemui dokter Fadiyah untuk melakukan kontrol dan USG
Waldi panik bukan main, tak sampai sepuluh menit setelah dirininya dan Karmila membersihkan diri setelah percintaan mereka, istrinya itu tiba-tiba mendesis kesakitan.“Sayang, kenapa?” khawatir Waldi mendekati Karmila yang sudah dibanjiri keringat dingin.Segera dikecup istrinya itu. “Sayang, kenapa. Jangan bikin mas khawatir.” Waldi bingung tak tahu harus berbuat apa. Tak ada juga terlintas di pikirannya bila mungkin istrinya ini sudah mau melahirkan, atau ingat untuk menelpon ibunya. Dipeluknya Karmila sambil terus mengusap punggung wanitanya itu“Mas, kayanya aku mau lahiran!.” lagi, Karmila mendesis. “Tolong telepon mama, bude Minah sama bapak, Mas!.”“Ya Allah, Sayang. Kenapa enggak bilang dari tadi.” Waldi semakin panik, lalu terburu mengambil ponselnya di atas nakas kecil samping ranjang. Segera diteleponnya mama Ranti.“Halo, Assalamualaikum, Wal.” Di ering ketiga baru diangkat. Suara mama Ranti parau, pertanda beliau tadi tidur nyenyak.“Waalaikumsalam, Ma. Ma Karmila mau mel
Dokter Fadiyah terpaksa meminta persetujuan pada Waldi dan keluarga Karmila yang hadir untuk segera dilakukan tindakan operasi caesar. Air ketuban yang merembes sejak tadi dan tenaga Karmila yang semakin melemah membuat calon ibu itu tak bisa melahirkan dengn normal.“Apa ibu Karmila habis jatuh atau terbentur, Pak Waldi?” heran dokter Fadiyah bertanya, sebab air ketuban kandungan Karmila sudah rembes sejak tadi, seperti habis jatuh atau habis terbentur saja.“Ti-tidak dokter.” Waldi jawab dengan gugup, sebab tatapan mama Ranti seolah menghakiminya. Padahal memang demikian, penyebab kelahiran yang cukup jauh dari perkiraan karna aktivitas dirinya yang hampir tiap malam menghajar Karmila di ranjang besar mereka, bukan sekali tiap malam, namun kadang sampai dua tiga kali. Ditambah Karmila yang tak menolak, buat Waldi bersemangat saja membolak balik istrinya itu, bahkan kemarin subuh setelah ia tunggangi istrinya itu dari belakang, malah kembali meminta Karmila untuk menunggangi dirinya.
Tiga jam setelah Karmila dioperasi, bayinya sudah mulai menangis. Mungkin haus. Namun ibunya yang tak kunjung bangun buat Waldi gelisah sendiri. Sementara raungan tangisan si kecil tak berhenti, dokter dan perawat juga nampak sibuk dan sedikit panik, sebab kondisi Karmila yang tiba-tiba terbangun dan merintih kesakitan.Subhanallah. Rupanya Karmila mengalami pendarahan hebat dan juga mengalami emboli paru atau gumpalan darah yang menghalangi pembuluh darah ke paru – paru. Gumpalan darah di sekitar paha Karmila pecah dan mengalir ke paru-parunya, hingga menyebabkan Kadar oksigen dalam darahnya menjadi rendah. Sempat Karmila bangun dan menatap ayah dan suaminya yang nampak berdiri menggengam jemarinya yang terasa dingin. sebelum rasa sesak menjalari seluruh rongga dadanya dan tangisan baby boy yang semakin terdengar pilu.“Mohon berdo’a, Bapak dan Ibu. Kita semua sedang berusaha, namun pemilik hidup tetaplah Tuhan yang maha kuasa.” Ucap dokter Fadiyah setelag Karmila tersadar sebentar
Flashback.“Kamu, enggak bisa gini terus bro! Enggak mungkin istrinya Ibrahim yang jagain anak kamu terus. Saat mereka punya anak, nanti mereka juga akan sibuk.” Kembali Damar menemui Waldi di ruang kerjanya sore itu. Selain membicarakan tentang bisnis mereka, ia juga bujuk Waldi agar kembali menerima Fania saja. Fania pun sudah menjanda kan. Lagian mantan kekasihnya itu terlihat sangat tulus menyayangi Aryan, bocah laki- laki itu sekarang berusia tiga tahun.Waldi hanya tersenyum menanggapi. Namun ia betulkan juga apa yang Damar ucapkan. Selain Karmila dan Fania, ia pun tak ada dekat dengan wanita lain.“Kamu, libur hari apa?” tanya Waldi pada Fania yang nampak sibuk menyusun sabun dan odol pada rak khusus non food di minimarket tempatnya bekerja.“Eh, kenapa, Mas, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Fania tetap harus sopan, bagaimana pun juga waldi adalah pelanggannya.“Iya, bantu saya.”“Silahkan,pak. Ingin di bantu cari produk apa?” Fania berusaha profesional.“Tolong jaga dan sayangi