Karmila eratkan pelukan di lengan suaminya saat melihat wanita yang sama, yang datang ke rumah suaminya dan buat keributan beberapa waktu lalu.Waldi yang mengerti dengan perasaan istrinya, tentu tahu tindakan apa yang harus di lakukan. Cukup kemarin dirinya berusaha mengikuti keinginan Fania yang membuatnya harus berakhir di kantor polisi hingga malam hari, bahkan tindakannya membuat dirinya hamoir berpisah dengan istri yang sangat di cintainya, bagaimana jadinya kemarin bila pak Darsi betul-betul memisahkan dirinya dengan Karmila, tentu dirinya tak akan mengetahui kabar kebahagiaan dari istrinya ini.Fania terdiam, gugup entah harus berkata apa. Dan mengapa pula dirinya tadi memanggil mantan yang sudah menjadi suami orang. Waldi yang melihat dirinya pun berkerut alis, menunggu Fania akan berkata apa, sementara Waldi pun tak berniat menyapa balik atau hanya sekedar basa basi menanyakan kabar. Sebab Fania hanya mematung, buat Waldi beranjak menuju mobil sambil tetap menggandeng tanga
“Cukup, Mas.” Karmila mengangkat tangan menandakan sudah kenyang. Kehamilannya yang memasuki usia tujuh bulan sekarang membuatnya cepat lapar dan mudah lelah. Aktivitas intim tadi yang di tuntut Waldi, membuat Karmila rasanya tak sanggup untuk turun ke dapur. Jadi suaminya yang berinisiatif turun mengambilkan makanan. “Minum dulu.” Waldi menyerahkan botol air mineral pada Karmila. Sengaja dibeli air mineral satu karton dan Waldi simpan khusus di kamar agar bila malam hari, istrinya tak perlu bolak balik ke dapur. “Beneran sudah kenyang?” Waldi bertanya sambil menyeka sisa air di bibir Karmila.“Udah, Mas. Mas juga makan.”“Nanti mas, makan. Sayang istirahat dulu. Apa mas tadi bikin sayang sakit?” Waldi usapi punggung Karmila, akhir -akhir ini punggung Karmila sering pegal sebab kehamilan yang semakin membesar.“Sedikit, Mas.” “Maaf sayang, mas kelewatan.” Waldi kecupi perut yang mengandung baby boy. Kemarin mereka berdua habis menemui dokter Fadiyah untuk melakukan kontrol dan USG
Waldi panik bukan main, tak sampai sepuluh menit setelah dirininya dan Karmila membersihkan diri setelah percintaan mereka, istrinya itu tiba-tiba mendesis kesakitan.“Sayang, kenapa?” khawatir Waldi mendekati Karmila yang sudah dibanjiri keringat dingin.Segera dikecup istrinya itu. “Sayang, kenapa. Jangan bikin mas khawatir.” Waldi bingung tak tahu harus berbuat apa. Tak ada juga terlintas di pikirannya bila mungkin istrinya ini sudah mau melahirkan, atau ingat untuk menelpon ibunya. Dipeluknya Karmila sambil terus mengusap punggung wanitanya itu“Mas, kayanya aku mau lahiran!.” lagi, Karmila mendesis. “Tolong telepon mama, bude Minah sama bapak, Mas!.”“Ya Allah, Sayang. Kenapa enggak bilang dari tadi.” Waldi semakin panik, lalu terburu mengambil ponselnya di atas nakas kecil samping ranjang. Segera diteleponnya mama Ranti.“Halo, Assalamualaikum, Wal.” Di ering ketiga baru diangkat. Suara mama Ranti parau, pertanda beliau tadi tidur nyenyak.“Waalaikumsalam, Ma. Ma Karmila mau mel
Dokter Fadiyah terpaksa meminta persetujuan pada Waldi dan keluarga Karmila yang hadir untuk segera dilakukan tindakan operasi caesar. Air ketuban yang merembes sejak tadi dan tenaga Karmila yang semakin melemah membuat calon ibu itu tak bisa melahirkan dengn normal.“Apa ibu Karmila habis jatuh atau terbentur, Pak Waldi?” heran dokter Fadiyah bertanya, sebab air ketuban kandungan Karmila sudah rembes sejak tadi, seperti habis jatuh atau habis terbentur saja.“Ti-tidak dokter.” Waldi jawab dengan gugup, sebab tatapan mama Ranti seolah menghakiminya. Padahal memang demikian, penyebab kelahiran yang cukup jauh dari perkiraan karna aktivitas dirinya yang hampir tiap malam menghajar Karmila di ranjang besar mereka, bukan sekali tiap malam, namun kadang sampai dua tiga kali. Ditambah Karmila yang tak menolak, buat Waldi bersemangat saja membolak balik istrinya itu, bahkan kemarin subuh setelah ia tunggangi istrinya itu dari belakang, malah kembali meminta Karmila untuk menunggangi dirinya.
Tiga jam setelah Karmila dioperasi, bayinya sudah mulai menangis. Mungkin haus. Namun ibunya yang tak kunjung bangun buat Waldi gelisah sendiri. Sementara raungan tangisan si kecil tak berhenti, dokter dan perawat juga nampak sibuk dan sedikit panik, sebab kondisi Karmila yang tiba-tiba terbangun dan merintih kesakitan.Subhanallah. Rupanya Karmila mengalami pendarahan hebat dan juga mengalami emboli paru atau gumpalan darah yang menghalangi pembuluh darah ke paru – paru. Gumpalan darah di sekitar paha Karmila pecah dan mengalir ke paru-parunya, hingga menyebabkan Kadar oksigen dalam darahnya menjadi rendah. Sempat Karmila bangun dan menatap ayah dan suaminya yang nampak berdiri menggengam jemarinya yang terasa dingin. sebelum rasa sesak menjalari seluruh rongga dadanya dan tangisan baby boy yang semakin terdengar pilu.“Mohon berdo’a, Bapak dan Ibu. Kita semua sedang berusaha, namun pemilik hidup tetaplah Tuhan yang maha kuasa.” Ucap dokter Fadiyah setelag Karmila tersadar sebentar
Flashback.“Kamu, enggak bisa gini terus bro! Enggak mungkin istrinya Ibrahim yang jagain anak kamu terus. Saat mereka punya anak, nanti mereka juga akan sibuk.” Kembali Damar menemui Waldi di ruang kerjanya sore itu. Selain membicarakan tentang bisnis mereka, ia juga bujuk Waldi agar kembali menerima Fania saja. Fania pun sudah menjanda kan. Lagian mantan kekasihnya itu terlihat sangat tulus menyayangi Aryan, bocah laki- laki itu sekarang berusia tiga tahun.Waldi hanya tersenyum menanggapi. Namun ia betulkan juga apa yang Damar ucapkan. Selain Karmila dan Fania, ia pun tak ada dekat dengan wanita lain.“Kamu, libur hari apa?” tanya Waldi pada Fania yang nampak sibuk menyusun sabun dan odol pada rak khusus non food di minimarket tempatnya bekerja.“Eh, kenapa, Mas, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Fania tetap harus sopan, bagaimana pun juga waldi adalah pelanggannya.“Iya, bantu saya.”“Silahkan,pak. Ingin di bantu cari produk apa?” Fania berusaha profesional.“Tolong jaga dan sayangi
Yasmin tergugu dalam tangisnya, sungguh sakit hatinya, sebab cintanya dikandaskan oleh orang yang paling ia sayangi. Damar Ganendra, pria yang ia yakini akan menikahi dirinya sebab cinta yang telah terjalin cukup lama. Namun hari ini, ia tahu kekasihnya itu diam-diam telah menikah dengan seorang gadis dari desa. Dijodohkan alasannya. Namun bila dijodohkan mengapa tak jujur sebelum menikah, agar yasmin tak lagi berkunjung ke rumah kekasihnya itu, seperti perempuan penganggu rumah tangga saja ia tadi. Sungguh ia tak tahu bila Damar telah menikah, bahkan sudah seminggu yang lalu. Pilu hati gadis yatim piatu ini.Mata yang sedikit sipit itu telah bengkak akibat kibat rinai hujan di netra coklatnya yang tak kunjung reda. Namun pada siapa dia bisa bercerita? Selama ini hanya Damar yang menjadi kawan sekaligus kekasihnya, ada Rahma juga, namun gadis itu sekarang sibuk bekerja, lagian Yasmin ini sifatnya sedikit tertutup tak gampang berdekatan dengan orang lain, namun bila sudah merasa nyaman
Tanpa arah tujuan, Arzan membawa kuda besi beroda empat itu mengelilingi kota, melewati taman kota dan alun-alun yang mulai nampak berbenah, sebab waktu menujukkan hampir pukul dual belas malam. Tanpa kata, kedua insan yang ada dalam mobil ini. Yasmin dengan tangisannya, dan Arzan dengan pikirannya yang bercelaru. Sesekali ia lirik wajah gadis cantik yang duduk disampingnya.Isakan Yasmin terdengar jelas, saat mobil berhenti di lampu merah jalan Ahmad Yani. Lalu Arzan sodorkan kotak tisu pada Yasmin. Ia ingat, Shellan yang menyimpan kotak tisu itu diatas dashboard mobil hitam ini.Jari lentik itu mengambil dua lembar tisu dan mulai usapi air mata yang jatuh berguguran dikedua pipi mulusnya. Arzan menoleh sekilas dan rasa-rasanya tangannya begitu gatal ingin hapus air mata itu dari pipi mulus Yasmin.Arzan menghentikan kendaraan di depan salah satu minimarket yang tak jauh dari masjid Raya, di sebelah selatannya berjejer pedagang kuliner malam mulai dari makanan berat hingga makanan