Share

DIJODOHKAN DENGAN POLISI
DIJODOHKAN DENGAN POLISI
Author: bibiar

BAB 1

Author: bibiar
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

AURAE

Aku mondar-mandir di gedung pertemuan untuk mengawasi kinerja pegawai-pegawaiku. Mereka juga terlihat sibuk dengan bagian mereka sendiri untuk mendekor ruangan menjadi sedemikian rupa. Besok adalah hari pertama penggalangan dana untuk amal dan bazar murah produk perusahaanku. Biasanya aku menyisihkan beberapa produk perusahaan dengan setengah harga sekadar untuk hadiah di hari-hari tertentu. Tentu saja besok adalah hari spesial, yaitu hari lahirnya almarhum Papa. Jenis produkku memang dari mentah, setengah jadi sampai barang jadi. Tapi untuk acara besok, kebanyakan yang datang adalah konsumen maka dari itu aku hanya menyediakan barang jadi saja.

Aku melangkah dengan cepat mengecek kembali beberapa makrame yang sebenarnya sudah dicek oleh pegawai. Tanganku bergerak cepat memeriksa satu per satu sulaman, rajutan di tas dan beberapa hiasan dinding. Beberapa kriya kayu dan keramik pun kuperiksa. Kupegang lengan sebuah kursi yang terlihat kokoh dari kayu yang jelas unggul. Tanganku mengusap di sana dan tersenyum puas.

Perfect!

Tatapanku tertuju pada salah satu tempat pengecekan kriya tekstil lain, berbagai permainan tradisional anak-anak ada di sana. Kakiku kembali melangkah dengan cepat ke tempat pengecekan benda-benda untuk dekorasi dan pajangan, awalnya aku ingin melewati pengecekan di sana. Tapi saat mataku menangkap satu hal yang janggal aku langsung mendekat.

Kuambil salah satu guci dari kumpulan benda keramik lainnya. Kuamati guci itu dan langsung menatap tajam salah satu pegawaiku.

"Kamu sudah periksa guci ini?" desisku yang membuat gadis muda di depanku menciut.

"I-iya sudah, Bu."

Aku mendekat padanya dan menunjukkan salah satu sisi guci padanya. "Lihat ini?" desisku lagi. Dia mengangguk. "Begini lolos pengecekan?"

Dia menggeleng.

"Terus kenapa ada di meja ini?!" teriakku sambil membanting guci yang sudah retak itu jadi semakin retak.

"Kembalikan ke belakang, ganti yang baru!" perintahku dan langsung berbalik ke salah satu tempat yang tadi sempat kulewati.

Aku takut ada kesalahan lagi seperti tadi. Dan benar saja, saat aku mengecek beberapa permainan anak kecil, banyak yang tidak terbungkus dengan rapi dan pengemasannya sangat berantakan.

"Kenapa bungkusnya plastik tipis begini? Sobek di mana-mana! Ini untuk anak kecil. Harus higienis, tidak boleh terbuka. Banyak kuman!" gertakku. Melihat orang di depanku hanya menunduk, aku berteriak kesal, "Kamu kembalikan ke bagian pengemasan!"

Aku menghentakkan kaki dan kembali melangkah, berniat menuju ruanganku tapi mataku kembali menangkap sesuatu yang salah, dan ini lebih parah!

Aku memejamkan mata untuk mengatur emosiku. Tapi aku tidak bisa, sudah terlalu banyak kesalahan yang kutemukan dan itu membuatku tidak habis pikir dengan kinerja mereka. Bukankah aku sudah menetapkan tes dan persyaratan yang sangat sulit untuk masuk ke perusahaan ini? Kenapa masih banyak juga pegawai yang teledor?

"Ini kain warna apa?!" teriakku yang mampu membuat orang di depanku terlonjak kaget. Laki-laki yang kuyakin pegawai baru itu menatapku dengan takut. "Kamu tahu? Ini ... pure white! Kenapa banyak noda begini?! Kamu ambil di mana? Bukan di gudang penyimpanan?"

"Sa-saya ambil di gedung 5AD, Bu."

Mataku melebar mendengar ucapannya. Bagaimana mungkin dia mengambil di gedung yang berisi produk gagal itu?

"Balikin semuanya ke 5AD. Kamu tanya ke petugas di mana seharusnya kamu ambil!"

"Iya, Bu."

Aku berpindah ke tengah ruangan dan menepukkan kedua tanganku beberapa kali, menyuruh semua pegawai berkumpul. Dengan cepat, mereka sudah berdiri di depanku. Kuatur napasku yang memburu karena amarahku.

"Saya hanya ingin menyampaikan, tetaplah bekerja dengan baik. Jangan mentang-mentang besok hanya bazar murah kalian jadi teledor seperti ini!" ucapku datar. Mereka hanya menunduk tanpa berkata apa-apa. "Kalian tidak ada yang mendengarkan saya?!"

Pegawaiku malah saling sikut satu dengan lainnya, membuatku menyuruh mereka bubar saja. Percuma, di saat seperti ini malah mereka membuatku pusing. Aku memijit pelipisku yang berdenyut sedari tadi. Saat aku akan duduk di salah satu kursi, terdengar bantingan yang sangat keras, membuatku menoleh dengan cepat ke sumber suara. Dan aku mengerang saat melihat pajangan ukiran dinding yang berukuran cukup besar terbanting ke lantai dan pecah berkeping-keping.

"Ma-maaf, Bu." Orang itu gemetar di atas tumpuannya yang cukup tinggi karena tadi memasang di dinding. Dia terlihat sangat ketakutan.

Baru saja aku akan berdiri dan menghampirinya, seseorang menahanku. "Udah, Re."

Aku menatap Tiwi—sahabat sekaligus sekretarisku—dengan tidak percaya. Apa dia bilang? Sudah? Sudah hancur, begitu maksudnya?

Aku kembali mengerang saat denyutan di kepalaku semakin terasa. Rasanya kepalaku mau pecah saja. Akhir-akhir ini ada saja yang membuat emosiku tidak terkendali.

"Duduk dulu. Lo mau sakit lagi seperti minggu lalu?" ujarnya sambil menuntunku duduk dan memberiku air mineral.

"Mereka kerja nggak becus. Giliran gue marahin pasti ngedumel bilang gue jahat, lah. Kejam, lah. Memangnya gue marah tanpa alasan? Gue marah karena kerja mereka nggak bener, Wi."

Kurasakan usapan di bahuku. "Tapi lo juga harus sabar menghadapi mereka. Justru kalau lo marah terus, mereka cuma takut dan tertekan, akhirnya hasilnya juga nggak memuaskan."

Aku menghela napas pelan dan menempelkan keningku di meja. Hari ini entah mengapa rasanya sangat menjengkelkan. Sepertinya perasaanku memang sedang tidak baik-baik saja. Ada yang mengganjal tapi aku tidak tahu apa.

"Lo ada masalah?"

Pertanyaan Tiwi belum juga kurespon. Beberapa lama kemudian aku kembali mengangkat kepalaku dan menatap Tiwi dengan tatapan cemas. "Gue nggak tahu ada apa. Tapi perasaan gue nggak enak, Wi."

"Semoga cuma perasaan lo aja ya, Re. Jangan banyak pikiran, takutnya lo sakit lagi."

Aku hanya mengangguk lemah. Kembali kuamati sekitar dan sedikit menyesal atas apa yang terjadi tadi. Aku tidak bisa mengontrol emosiku.

Terdengar dering hp dari meja seberang, itu hpku. Baru saja aku akan beranjak, Tiwi mencegahku.

"Biar gue aja yang ambil."

Aku mengangguk saat Tiwi mengambilkan hpku. Dia kemudian menyerahkan hp padaku dan terpampanglah nomor Mama di sana. Aku segera menjawab panggilan itu.

Belum sempat aku berkata apa-apa, suara Mama terlebih dulu terdengar dan kalimatnya sanggup membuatku langsung berdiri dan berlari keluar ruangan. Aku terus berlari tanpa memedulikan para karyawanku yang menyapaku atau bahkan melihatku dengan tanda tanya. Ucapan Mama terus terngiang di pikiranku.

"Mbak Dinna mau melahirkan. Nggak ada yang mengantar ke rumah sakit."

Di dalam mobil, aku terus berdoa semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk pada kakakku. Cukup hidupnya menderita selama ini karena hamil diperkosa. Tidak terasa air mataku sudah menetes. Kejadian buruk di masa lalu mulai memenuhi pikiranku, membuatku beberapa kali hampir menabrak kendaraan lain.

Dan suara aneh yang sangat kukenal terdengar. Aku melirik kaca spion dan melihat mobil polisi sedang mengejarku. Aku tergagap, bagaimana ini?

Refleks, kakiku menginjak gas dengan tekanan penuh dan hal itu malah membuatku semakin tidak bisa mengendalikan mobil. Jantungku berpacu dengan cepat seiring dengan suara sirine mobil polisi yang semakin terdengar jelas di telingaku.

Denyutan di kepalaku juga sialnya tiba-tiba terasa, membuatku mengerang kesakitan. Suara klakson yang sangat keras membuatku menatap ke depan, ternyata aku mengambil jalur yang salah. Dan saat aku akan membanting setir ke kiri, pandanganku memburam. Bukan karena air mata yang sedari tadi tidak berhenti mengalir, tapi karena keadaanku yang benar-benar kacau. Pikiranku sudah tidak bisa terfokus pada apa pun. Dan aku membiarkan saja saat mobilku dengan mulusnya menabrak pohon besar di sisi jalan.

Aku hanya mengikuti arah benturan itu, terdorong ke depan dan dahiku terasa sangat sakit akibat terbentur setir.

Kubiarkan posisiku tetap seperti itu. Tenggelam dalam setir. Tangisku sudah berhenti karena keputusasaan. Tubuhku serasa kaku dan tidak bisa digerakkan. Ketukan di kaca mobil pun tidak kuindahkan.

Selanjutnya aku bisa mendengar suara seperti benda pecah di sebelahku. Belum sempat kusadari, kepalaku yang sedari tadi terkulai lemas, disentuh oleh seseorang. Kepalaku sudah terangkat dari setir tapi pandanganku masih buram. Saat aku berusaha menahan nyeri di kepala dan juga dahiku, aku bisa melihat dengan jelas seorang laki-laki berseragam polisi sedang menatapku dengan raut terkejut. Aku tidak memikirkan hal itu dan mengenyahkan tangan polisi itu dari wajahku.

Dia terlihat masih membeku, sebelum aku menginterupsi kegiatannya yang sedari tadi mengamatiku seakan aku adalah buronan.

"Saya ada urusan penting," kataku singkat dan berusaha keluar dari mobil.

Tapi badanku malah sempoyongan dan sebuah tangan melingkar di bahuku. Aku menepis tangan itu dengan cepat lalu berusaha berjalan.

"Anda mau ke mana?"

Pertanyaan itu sanggup membuat langkahku terhenti. Aku membalikkan badanku dan menatap polisi muda itu dengan datar.

"Saya sedang ada urusan."

"Anda harus bertanggung jawab atas kelalaian Anda mengemudikan mobil di jalan raya."

Related chapters

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 2

    AURAEAku memutar bola mataku kesal dan menghampiri polisi itu walau kepalaku terasa sudah akan meledak. Baru saja aku sampai di depannya dan akan mengeluarkan dompet, dia sudah berceloteh panjang lebar."Anda dikenai pasal 283, mengemudi secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi; juga dikenai Pasal 287 karena melanggar rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas; dan Anda juga dikenai pasal 295 yang berbunyi berpindah lajur atau bergerak ke samping tanpa memberikan isyarat. Sanksi pidana untuk pelanggaran pertama—""Berapa?" tanyaku langsung karena mendengar suaranya membuatku semakin pusing.Dia mengernyit menatapku. "Maksud Anda?"Aku mendengus kesal walau dahiku terus berdenyut bahkan aku bisa merasakan ada yang mengalir di pelipisku. Kutatap matanya dengan tajam sambil menyerahkan beberapa lembar uang padanya. "Cukup?"Dia masih diam, tapi aku melihat rahangnya kaku, kuartikan it

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 3

    GIBRANTubuh di pelukanku membeku setelah aku mengucapkan kalimat itu. Berapa tahun aku tidak bertemu dengannya?Kucoba renggangkan pelukanku dan kutatap wajahnya yang sangat sayu. Matanya yang berwarna biru masih sangat kusukai seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya. Tapi sekarang matanya memancarkan kebencian.Apa aku benar-benar menghancurkan keluarga dan hidupnya? Kenapa aku selalu bertemu dengannya di saat-saat genting seperti ini?Melihatnya tadi, aku sangat terkejut. Ditambah dengan luka di kepalanya, aku ingin sekali menanyakan keadaan dan paling tidak berbicara baik-baik dengannya. Tapi yang kulakukan malahan mengeluarkan segala pasal-pasal pelanggaran yang sudah kuhafal di luar kepala. Dan aku merasa sedikit marah saat dia menyinggung masalah 'uang'. Aku memang tahu dia orang yang sangat kaya, tapi bisakah sedikit saja menghargaiku yang sedang berbicara?Aku tidak tahu apa yang dia maksud dengan 'urusan penting'. Tapi saat melihat wajahnya yang semakin pucat dan bah

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 4

    AURAEAku membanting pintu kamar lumayan keras. Alasannya hanya satu. Laki-laki yang kubenci sekarang ada di rumah ini! Apa-apaan dia sampai berani menginjakkan kaki di rumahku?Ditambah lagi Mama sepertinya sudah luluh dengan polisi muda itu yang aku tidak peduli siapa namanya. Apa yang dia lakukan sampai Mama bisa begitu percaya kepada laki-laki asing yang tiba-tiba datang ke rumah ini?Aku mengembuskan napas sambil menelan segala emosiku. Aku tersenyum kecil, miris dengan hidupku sendiri. Semuanya berlangsung sangat cepat hingga dua minggu berlalu pun aku masih merasakan kehadiran kakakku di sekelilingku. Dan merasakan senyum Papa yang menenangkanku.Tapi tentu saja semuanya hanya ilusiku. Mereka sudah pergi, sangat jauh!Aku memutuskan mandi saja untuk me-refresh otakku. Aku bukan tipe orang yang suka bekerja keras, tapi keadaan memaksaku. Siapa lagi yang bisa mengurus perusahaan Papa kalau bukan aku? Dan juga, aku tidak mau melihat raut kecewa di wajah Mama. Aku ingin membuatnya

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 5

    AURAESuara itu tidak kuhiraukan. Tapi sebuah pelukan kuterima, aku sudah hafal pelukan ini. Siapa lagi kalau bukan Tiwi—sahabatku. Aku tidak malu jika harus menangis di depannya. Dia sudah seperti saudaraku."Jangan kebanyakan nangis, Re."Tapi aku tetap menangis. Sejak kematian Mbak Dinna yang mendadak, aku seakan kehilangan penopang hidup. Setidaknya setelah kehilangan papa, kesedihanku bisa kucurahkan kepada kakakku. Tapi saat kakakku juga ikut pergi, aku sudah tidak punya siapa-siapa. Kepada Mama, jelas itu hanya membuatnya bertambah sedih."Lo terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini," ucap Tiwi sambil melepas pelukannya saat tangisku sudah reda.Aku mengusap wajahku pelan. Aku tidak ingin Mama tahu bahwa aku selalu menangis sendirian. Biar hanya aku yang menanggung."Muka gue nggak sembap kan, Wi?" tanyaku gusar.Tiwi tertawa pelan dan mencubit pipiku. "Lo tuh ya. Habis nangis pasti yang ditanyain muka. Belepotan tuh make up lo."Mataku melebar. Cepat-cepat kuraih satu cermin di

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 6

    GIBRAN"Aurae..."Aku memanggilnya, bukan berniat untuk sok pahlawan karena hadir di saat dia begitu terpuruk. Aku hanya ingin meminta maaf karena sudah membentaknya. Aku terlalu khawatir hingga tidak sadar berteriak bergitu keras di hadapannya.Tapi sekarang, melihat matanya yang menitikkan air mata, rasa bersalahku benar-benar menguar. Aku menghela napas panjang saat melihatnya mendongak padaku. Perlahan aku menurunkan badanku, berjongkok di depannya dan meraih tangannya dengan pelan.Dia tidak menolak, mungkin terlalu shock dengan apa yang mamanya katakan tadi. Aku pun sampai sekarang tidak percaya bahwa Aurae bisa mengatakan hal itu. Dia mengejekku, merendahkanku dan juga keluargaku. Walau mendengarnya membuatku sakit hati, tapi aku mencoba untuk menutupi semuanya dengan keyakinan bahwa Aurae hanya emosi sesaat.Dia gadis yang baik. Aku yakin itu.Aku mencoba tersenyum padanya yang masih terlihat kurang fokus. Kubantu dia berdiri perlahan dan membimbingnya untuk duduk di sofa ruan

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 7

    "Udah, Re. Jangan nangis terus.""Gue harus gimana, Wi? Mama kecewa sama gue.""Udah minta maaf?""Udah, tapi gue takut....""Takut kenapa?""Gu-gue ... Mama nyuruh gue nikah. Dan gue bingung.""Bingung kenapa? Karena lo masih mengharapkan cinta masa lalu lo yang berengsek itu?"Aku menahan napas mendnegar percakapan itu. Tadi aku memang menjemput Aurae, tapi karena lapar aku memutuskan untuk ke kafe di lantai teratas. Siapa sangka di sini malah bertemu dengan Aurae, dan juga mendengar pembicaraannya dan temannya.Aku memutuskan tetap diam di salah satu meja yang lumayan dekat dari mereka, tapi berusaha agar mereka tidak ada yang melihatku."Dia emang berengsek, Wi, tapi gue. Di-dia, emang begitu. Gue yang ... susah lupa. Gue--""Lo apa? Cinta? Aduh, Re. Emang ya, cinta itu nggak bisa di logika, tapi pikirlah dia udah nyakitin lo sebegitunya, ninggalin lo gitu aja. Masih mau sama yang begitu?!"Aku melihat Aurae menunduk, mengusap air matanya. Apa Aurae begitu mencintai laki-laki di m

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 8

    AURAE"Masak apa, Ma?"Aku menghampiri Mama yang sedang sibuk di dapur. Wangi masakan langsung memenuhi indra penciumanku. Kulihat Mama melirikku sembari tersenyum, tangannya tetap tidak lepas dari adonan yang sedang dibuatnya."Masak banyak pokoknya, Re. Nanti katamu Gibran mau makan malam bersama kita, kan?"Gibran. Kenapa aku baru ingat laki-laki itu akan kemari nanti malam? Aku harus menyiapkan hati agar tidak melulu terbakar emosi saat melihat wajahnya. Selama ini aku hanya diam saat dia selalu menjemputku di kantor. Demi Mama. Aku sudah meminta maaf pada Mama atas kelakuanku yang membuatnya sedih. Dan tentu saja aku berjanji tidak akan membuatnya kembali menangis dan kecewa karenaku.Ditambah lagi penawaran Gibran tentang 'tidak menganggapnya walaupun sudah menikah' terasa menggelitik dan menggiurkan. Niat utamaku menikah memang demi Mama. Dan aku harus bersyukur karena Gibran sepertinya mengerti niatku itu. Dia bahkan berjanji tidak akan menggangguku, tidak akan menghalangiku d

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 9

    Aduh, Vin. Jangan malu-maluin Tante. Sekali aja nurut biar Tante nggak malu.Aku terus membatin. Sampai kemudian aku sampai di kamar Mama dan meletakkan Vino di box bayi. Mengamatinya sebentar, aku tersentak. Kenapa melihat Vino justru aku teringat seseorang?Aku menggeleng. Bukan. Ini pasti hanya perasaanku saja yang terlalu merindukan Daniel. Tidak mungkin ada kemiripan mereka berdua.Kuputuskan untuk berjalan keluar kamar saja daripada semakin berkhayal tidak jelas. Belum juga kakiku sampai di ruang makan, pembicaraan Mama dan Gibran membuatku memutuskan untuk diam menunggu, mendengar lebih lanjut apa yang mereka bicarakan."Tante sudah tua, tapi Tante takut hal yang dulu terulang lagi. Makanya Tante minta kamu jaga Aurae. Kalau bisa secepatnya kamu lamar Aurae.""Iya, Tante. Aku usahakan malam ini berbicara dengannya. Aku janji menjaga Aurae. Aku hanya ingin menegakkan kebenaran sekaligus melindungi yang diincar orang itu."Apa lagi ini? Diincar? Siapa?"Ma," panggilku akhirnya, k

Latest chapter

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 12

    AURAEAku merasakan sentuhan ringan di pelipisku, membuat tidurku sedikit terganggu. Saat membuka mata, kulihat wajah Gibran sangat dekat. Dia mengecup pelipisku begitu lama."Gibran," gumamku.Tubuhnya kembali menegak, duduk di sampingku."Kamu baru pulang?" tanyaku pelan sembari berusaha duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Kulirik jam dinding dan menunjukkan pukul 3 dini hari. "Kamu belum tidur?"Daripada memikirkan yang tidak-tidak, rasa khawatirku mengalahkan segalanya. Tetapi setidaknya sekarang keadaan Gibran tidak seberantakan tadi sebelum berangkat."Udah tidur tadi, sebentar." Gibran tersenyum kecil."Di mana?" Aku bertanya penasaran. Kuteliti ekspresinya yang seperti menerawang."Re ... kamu bisa ikut aku?"Aku mengernyit. "Ke mana?"Gibran diam tapi tatapannya serius padaku. Maka aku mengangguk ragu dan tidak bertanya lagi. Aku bersiap sementara Gibran menyiapkan mobil terlebih dulu. Sebelum keluar kamar, kutatap Adara yang terlelap damai di atas tempat tidur. Aku memb

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 11

    AURAEAku masih ingat siang itu. Betapa jantungku berdetak sangat cepat dengan seluruh tubuh yang terasa nyeri. Ya, saat aku sedang dalam proses melahirkan anakku. Tidak ada Gibran di sampingku, itu membuatku sungguh kacau. Kukira aku tidak akan melahirkan saat itu juga, dan mencegah Gibran pulang demi menyelesaikan tugas terlebih dulu agar bisa menemaniku bersalin. Ternyata hal itu terjadi lebih cepat dari yang kukira. Seluruh tubuhku terasa remuk, tapi aku sepenuhnya berjuang.Semuanya tergantikan dengan senyum saat tanganku terasa hangat di genggaman seseorang. Aku membuka mata di tengah proses itu, berusaha melihat siapa yang menggenggam tanganku. Gibran di sana, dengan pakaian kerjanya, kepalanya yang berpeluh dan matanya yang memerah. Di atas semua kekhawatirannya akan diriku, dia masih bisa tersenyum, mengecup keningku berusaha membuat semuanya lebih baik. Dan aku merasakannya. Ternyata benar, pepatah yang sering kudengar tentang 'sebaik-baiknya suami adalah yang menemani istri

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 10

    GIBRAN"Aurae sedang tidak enak badan."Aku mengernyit mendengar ucapan Tante Elda. Ada rasa bersalah dan khawatir yang timbul saat mengetahui Aurae sedang sakit. Ditambah lagi beberapa bulan ini aku belum sempat mengunjungi bahkan mengabari Aurae. Bukan tanpa alasan, aku hanya ingin melihat bagaimana reaksinya saat dia tahu aku tidak mengabarinya. Apakah dia akan marah dan menganggapku tidak serius? Atau justru sebaliknya?Aku tersenyum kecut, tidak mungkin Aurae merasakan kehilangan, atau minimal ada yang kurang saat tidak mendengar kabarku. Dari dulu pun hanya aku yang merasa tidak lengkap tanpanya sedangkan dia mungkin malah merasa terganggu dengan kehadiranku.Aku menyesal dengan apa yang kulakukan, tidak mengabarinya beberapa bulan ini. Bagaimana mungkin aku begitu kekanakan seperti remaja yang ingin mengetes kekasihnya? Aku lelaki dewasa dan kelakuanku benar-benar tidak sesuai umurku. Seharusnya yang kulakukan adalah setia memberinya kabar, membuatnya yakin bahwa aku tidak main

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 9

    Aduh, Vin. Jangan malu-maluin Tante. Sekali aja nurut biar Tante nggak malu.Aku terus membatin. Sampai kemudian aku sampai di kamar Mama dan meletakkan Vino di box bayi. Mengamatinya sebentar, aku tersentak. Kenapa melihat Vino justru aku teringat seseorang?Aku menggeleng. Bukan. Ini pasti hanya perasaanku saja yang terlalu merindukan Daniel. Tidak mungkin ada kemiripan mereka berdua.Kuputuskan untuk berjalan keluar kamar saja daripada semakin berkhayal tidak jelas. Belum juga kakiku sampai di ruang makan, pembicaraan Mama dan Gibran membuatku memutuskan untuk diam menunggu, mendengar lebih lanjut apa yang mereka bicarakan."Tante sudah tua, tapi Tante takut hal yang dulu terulang lagi. Makanya Tante minta kamu jaga Aurae. Kalau bisa secepatnya kamu lamar Aurae.""Iya, Tante. Aku usahakan malam ini berbicara dengannya. Aku janji menjaga Aurae. Aku hanya ingin menegakkan kebenaran sekaligus melindungi yang diincar orang itu."Apa lagi ini? Diincar? Siapa?"Ma," panggilku akhirnya, k

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 8

    AURAE"Masak apa, Ma?"Aku menghampiri Mama yang sedang sibuk di dapur. Wangi masakan langsung memenuhi indra penciumanku. Kulihat Mama melirikku sembari tersenyum, tangannya tetap tidak lepas dari adonan yang sedang dibuatnya."Masak banyak pokoknya, Re. Nanti katamu Gibran mau makan malam bersama kita, kan?"Gibran. Kenapa aku baru ingat laki-laki itu akan kemari nanti malam? Aku harus menyiapkan hati agar tidak melulu terbakar emosi saat melihat wajahnya. Selama ini aku hanya diam saat dia selalu menjemputku di kantor. Demi Mama. Aku sudah meminta maaf pada Mama atas kelakuanku yang membuatnya sedih. Dan tentu saja aku berjanji tidak akan membuatnya kembali menangis dan kecewa karenaku.Ditambah lagi penawaran Gibran tentang 'tidak menganggapnya walaupun sudah menikah' terasa menggelitik dan menggiurkan. Niat utamaku menikah memang demi Mama. Dan aku harus bersyukur karena Gibran sepertinya mengerti niatku itu. Dia bahkan berjanji tidak akan menggangguku, tidak akan menghalangiku d

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 7

    "Udah, Re. Jangan nangis terus.""Gue harus gimana, Wi? Mama kecewa sama gue.""Udah minta maaf?""Udah, tapi gue takut....""Takut kenapa?""Gu-gue ... Mama nyuruh gue nikah. Dan gue bingung.""Bingung kenapa? Karena lo masih mengharapkan cinta masa lalu lo yang berengsek itu?"Aku menahan napas mendnegar percakapan itu. Tadi aku memang menjemput Aurae, tapi karena lapar aku memutuskan untuk ke kafe di lantai teratas. Siapa sangka di sini malah bertemu dengan Aurae, dan juga mendengar pembicaraannya dan temannya.Aku memutuskan tetap diam di salah satu meja yang lumayan dekat dari mereka, tapi berusaha agar mereka tidak ada yang melihatku."Dia emang berengsek, Wi, tapi gue. Di-dia, emang begitu. Gue yang ... susah lupa. Gue--""Lo apa? Cinta? Aduh, Re. Emang ya, cinta itu nggak bisa di logika, tapi pikirlah dia udah nyakitin lo sebegitunya, ninggalin lo gitu aja. Masih mau sama yang begitu?!"Aku melihat Aurae menunduk, mengusap air matanya. Apa Aurae begitu mencintai laki-laki di m

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 6

    GIBRAN"Aurae..."Aku memanggilnya, bukan berniat untuk sok pahlawan karena hadir di saat dia begitu terpuruk. Aku hanya ingin meminta maaf karena sudah membentaknya. Aku terlalu khawatir hingga tidak sadar berteriak bergitu keras di hadapannya.Tapi sekarang, melihat matanya yang menitikkan air mata, rasa bersalahku benar-benar menguar. Aku menghela napas panjang saat melihatnya mendongak padaku. Perlahan aku menurunkan badanku, berjongkok di depannya dan meraih tangannya dengan pelan.Dia tidak menolak, mungkin terlalu shock dengan apa yang mamanya katakan tadi. Aku pun sampai sekarang tidak percaya bahwa Aurae bisa mengatakan hal itu. Dia mengejekku, merendahkanku dan juga keluargaku. Walau mendengarnya membuatku sakit hati, tapi aku mencoba untuk menutupi semuanya dengan keyakinan bahwa Aurae hanya emosi sesaat.Dia gadis yang baik. Aku yakin itu.Aku mencoba tersenyum padanya yang masih terlihat kurang fokus. Kubantu dia berdiri perlahan dan membimbingnya untuk duduk di sofa ruan

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 5

    AURAESuara itu tidak kuhiraukan. Tapi sebuah pelukan kuterima, aku sudah hafal pelukan ini. Siapa lagi kalau bukan Tiwi—sahabatku. Aku tidak malu jika harus menangis di depannya. Dia sudah seperti saudaraku."Jangan kebanyakan nangis, Re."Tapi aku tetap menangis. Sejak kematian Mbak Dinna yang mendadak, aku seakan kehilangan penopang hidup. Setidaknya setelah kehilangan papa, kesedihanku bisa kucurahkan kepada kakakku. Tapi saat kakakku juga ikut pergi, aku sudah tidak punya siapa-siapa. Kepada Mama, jelas itu hanya membuatnya bertambah sedih."Lo terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini," ucap Tiwi sambil melepas pelukannya saat tangisku sudah reda.Aku mengusap wajahku pelan. Aku tidak ingin Mama tahu bahwa aku selalu menangis sendirian. Biar hanya aku yang menanggung."Muka gue nggak sembap kan, Wi?" tanyaku gusar.Tiwi tertawa pelan dan mencubit pipiku. "Lo tuh ya. Habis nangis pasti yang ditanyain muka. Belepotan tuh make up lo."Mataku melebar. Cepat-cepat kuraih satu cermin di

  • DIJODOHKAN DENGAN POLISI   BAB 4

    AURAEAku membanting pintu kamar lumayan keras. Alasannya hanya satu. Laki-laki yang kubenci sekarang ada di rumah ini! Apa-apaan dia sampai berani menginjakkan kaki di rumahku?Ditambah lagi Mama sepertinya sudah luluh dengan polisi muda itu yang aku tidak peduli siapa namanya. Apa yang dia lakukan sampai Mama bisa begitu percaya kepada laki-laki asing yang tiba-tiba datang ke rumah ini?Aku mengembuskan napas sambil menelan segala emosiku. Aku tersenyum kecil, miris dengan hidupku sendiri. Semuanya berlangsung sangat cepat hingga dua minggu berlalu pun aku masih merasakan kehadiran kakakku di sekelilingku. Dan merasakan senyum Papa yang menenangkanku.Tapi tentu saja semuanya hanya ilusiku. Mereka sudah pergi, sangat jauh!Aku memutuskan mandi saja untuk me-refresh otakku. Aku bukan tipe orang yang suka bekerja keras, tapi keadaan memaksaku. Siapa lagi yang bisa mengurus perusahaan Papa kalau bukan aku? Dan juga, aku tidak mau melihat raut kecewa di wajah Mama. Aku ingin membuatnya

DMCA.com Protection Status