AURAE
Suara itu tidak kuhiraukan. Tapi sebuah pelukan kuterima, aku sudah hafal pelukan ini. Siapa lagi kalau bukan Tiwi—sahabatku. Aku tidak malu jika harus menangis di depannya. Dia sudah seperti saudaraku.
"Jangan kebanyakan nangis, Re."
Tapi aku tetap menangis. Sejak kematian Mbak Dinna yang mendadak, aku seakan kehilangan penopang hidup. Setidaknya setelah kehilangan papa, kesedihanku bisa kucurahkan kepada kakakku. Tapi saat kakakku juga ikut pergi, aku sudah tidak punya siapa-siapa. Kepada Mama, jelas itu hanya membuatnya bertambah sedih.
"Lo terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini," ucap Tiwi sambil melepas pelukannya saat tangisku sudah reda.
Aku mengusap wajahku pelan. Aku tidak ingin Mama tahu bahwa aku selalu menangis sendirian. Biar hanya aku yang menanggung.
"Muka gue nggak sembap kan, Wi?" tanyaku gusar.
Tiwi tertawa pelan dan mencubit pipiku. "Lo tuh ya. Habis nangis pasti yang ditanyain muka. Belepotan tuh make up lo."
Mataku melebar. Cepat-cepat kuraih satu cermin di meja dan meneliti wajahku yang memang sudah belepotan. Aku menggeram pelan dan membersihkan wajahku dengan tisu. Suara tawa di sebelahku masih tidak kuhiraukan. Tiwi pasti mengira aku sudah kembali seperti biasa. Tapi nyatanya, aku juga berusaha menyembunyikan semua darinya.
"Udah sore, gue pulang dulu ya. Oh ya, di luar ada yang nunggu lo." Tiwi mengedipkan sebelah matanya padaku.
Tanganku yang sedang membersihkan wajah terhenti, mengenyit karena tidak mengerti dengan ucapan Tiwi. "Siapa?"
"Lihat aja."
Setelah mengucapkan itu, dia beranjak dan keluar ruanganku. Aku yang masih bingung memutuskan untuk memberesi barang-barangku sebelum melangkah ke pintu. Aku berjalan pelan melewati lorong, tapi langkahku terhenti saat aku merasa ada yang mengikutiku.
Aku berbalik dengan cepat, dan seketika kaget melihat laki-laki yang menjadi sumber kemarahanku sedari kemarin, sekarang kembali kutatap di depan mata. Dia mengulas senyum kecil. Tubuhnya yang masih terbalut seragam polisi membuatku mendengus.
"Lo kerja yang bener, bukan malah nguntitin gue. Jadi polisi kok malah kerjaannya berkeliaran di kantor gue."
Aku kembali melangkah, kali ini lebih cepat dan langsung masuk ke dalam lift. Sialnya, dia juga berhasil menahan pintu lift hingga dia tetap bisa berada di sampingku. Untung saja banyak orang, membuatnya tidak bisa berkata apa-apa. Tapi saat pintu lift kembali terbuka, suaranya kembali terdengar.
"Aku jemput kamu. Tadi Mama kamu—"
"Gue nggak peduli. Gue bisa pulang sendiri," ucapku sambil berjalan keluar lift, melewati lobby, mulai melangkah ke pelataran kantor.
"Aurae, kamu nggak bawa mobil. Ikut aku aja."
Aku berhenti tepat saat itu, kukepalkan tanganku kuat-kuat. "Gue bisa naik taksi," ujarku datar tanpa berbalik padanya.
"Tapi kamu—"
"Diam!"
Tepat saat itu, aku mendengar dia menggeram pelan. Tanpa kusadari, tanganku sudah melayang tepat ke ulu hatinya. Tiba-tiba saja aku sudah berhadapan dengannya, melihatnya yang sedang meringis sambil berusaha tersenyum padaku.
"Nggak apa-apa 'kan kalau naik mobil polisi lagi seperti tadi pagi?" tanyanya pelan.
Aku tahu dia menahan sakit.
Tapi mengingat tadi pagi ... aku kembali mendongak menatap laki-laki itu yang masih menunggu jawabanku. Aku mengingat jelas kerja sama yang batal karena keterlambatanku. Dan itu semua karena polisi ini.
Mama menyuruhku berangkat bersama laki-laki ini, dan dengan keterpaksaan, aku menururti Mama. Tapi kedatangannya sangat terlambat. Dan dia penyebab kenapa penanam saham terbesar membatalkan kontrak dengan perusahaanku.
Aku mengatur napasku yang mulai memburu. Tanpa memedulikannya lagi, aku berjalan cepat melewati pelataran dan berdiri di trotoar, menunggu kendaraan sepi agar bisa menyeberang jalan. Suara itu masih setia di belakangku, hingga membuat telingaku panas. Kulirik kanan kiri, melihat sedikit celah untuk menyeberang, aku memutuskan untuk melangkah ke tengah jalan karena tidak tahan dengan bujukan laki-laki di belakangku.
"Aurae, itu ada—"
Aku menulikan telingaku, memantapkan kakiku untuk terus berjalan tanpa menoleh kanan kiri. Tapi sekuat apa pun aku mencoba tidak mendengar suaranya, justru suara melengking lain tertangkap pendengaranku. Dan belum sempat kusadari, saat aku menoleh ke samping kananku, aku melihat sebuah motor berkecepatan tinggi meluncur ke arahku dalam jarak beberapa meter. Tidak menunggu lama, tubuhku yang memang hanya membeku sedari tadi tiba-tiba tertarik begitu kuat ke belakang. Aku memejamkan mata saat merasakan sebuah tangan memeluk pinggangku begitu erat, kemudian teriakan orang-orang yang mungkin melihat kejadian tadi. Disusul dengan geraman mengerikan dari orang yang tadi menolongku.
"Aku bilang juga apa?!"
Aku tersentak mendengar teriakan itu. Kubuka mataku perlahan dan menyadari bahwa aku sudah sampai di trotoar dengan posisi duduk, bersandar pada laki-laki berseragam polisi yang sedari tadi tidak kuhiraukan.
"Kamu nggak usah egois, Aurae! Kalau tadi kamu kenapa-kenapa, gimana? Makanya dengarkan kalau orang ngomong. Aku udah bicara baik-baik sama kamu malah kamu dengan angkuhnya tidak memedulikanku!!!"
Aku kembali berjengit, menatap matanya yang biasanya tersenyum kini terlihat sangat tajam dan menakutkan. Bahkan tangannya yang masih memeluk pinggangku, menahan agar aku tidak jatuh ke belakang, terasa mengerat.
Aku menunduk dalam-dalam. Perih tiba-tiba terasa di lututku. Aku menatap kakiku yang hanya mengenakan rok di atas lutut. Terlihat jelas luka di lututku akibat serempetan tadi dan sakitnya baru terasa sekarang.
"Kamu dengar aku, Aurae?! Hargai orang berbicara! Jangan merasa benar sendiri!"
Aku memejamkan mata dengan tubuh yang mulai bergetar pelan. Aku tidak suka dibentak. Seumur-umur, orang tuaku tidak pernah membentakku. Mereka selalu menasihatiku dengan lembut.
Dan mendengar bentakannya yang menakutkan membuatku tambah membencinya.
Kuangkat kepalaku dengan mataku yang mulai terasa panas. Menatap matanya, membalas tatapan tajamnya. Kudesiskan perasaanku padanya, rasa benciku padanya.
"Gue sangat membenci lo!"
***
"Aurae udah pulang?"
Aku tersenyum lemah dan memeluk Mama sesampainya di ruang tamu. Hampir setiap hari Mama selalu menungguku pulang di ruang tamu. Dan aku akan selalu memeluknya setiap hari.
"Kamu nggak apa-apa, Sayang?"
Aku menggeleng mendengar pertanyaan Mama. Kueratkan pelukanku, masih merasa takut dengan bentakan tadi. Tidak pernah sekalipun aku mendengar ada orang berbicara padaku dengan nada yang begitu tinggi dan tatapan yang begitu menakutkan seperti apa yang laki-laki tadi lakukan padaku.
"Kamu pulang sama Gibran, kan?"
Aku hanya mengangguk. Aku memang tetap pulang dengan laki-laki itu, karena tidak ingin Mama berprasangka aneh-aneh. Tentu saja di dalam mobil, aku tetap diam. Kekesalan, kekecewaan dan ketakutanku masih menumpuk.
"Kenapa nggak disuruh masuk rumah?"
Aku menggeleng, membuat Mama terkekeh.
"Dari tadi kamu cuma ngangguk sama geleng aja, Re. Kecapekan ya?"
Aku tersenyum dan melepas pelukanku, menatap wajah Mama yang masih selembut dulu, walau ada beberapa kerut tanda usianya semakin bertambah.
"Kamu udah lumayan dekat ya dengan Gibran? Syukurlah kalau begitu. Dia kan calon suami kamu, Re."
Aku mengerjap beberapa kali, menajamkan ingatanku tentang urutan kata yang baru saja Mama ucapkan.
Calon ... suami?
Maksudnya?
Aku kembali dilanda kecemasan saat melihat Mama tersenyum. Aku takut tidak bisa menolak permintaan Mama dan malah harus mengorbankan hatiku. Mana yang harus kupilih? Aku tidak mau kembali jatuh seperti dulu. Aku sudah nyaman dengan hidup yang seperti ini. Hanya dengan Mama. Tanpa ada laki-laki, tanpa statusku yang berubah menjadi 'menikah'. Aku tidak mau.
"Kamu belum tahu, Re? Dulu Gibran itu udah memintamu sama Papa dan Mama, untuk menikahi kamu."
Penjelasan itu semakin menohokku. Jadi ... apa ini artinya aku dijadikan bahan lempar sana sini?
Diminta?
"Aku nggak mau, Ma," geramku. Mengingat ucapan Mama tadi jelas menunjukkan bahwa laki-laki itu memanfaatkanku, memanfaatkan hartaku.
"Kenapa, Re?" Mama terlihat khawatir dengan jawabanku.
Aku tersenyum sinis. Mengingat kendaraan yang selama ini dia pakai untuk mengantar jemputku. Kentara sekali dia tidak punya kendaraan apa-apa.
"Dia miskin, Ma," ucapku mantap.
Mama menatapku terkejut, tapi aku tidak peduli.
"Dan dia juga orang nggak jelas asal-usulnya. Siapa orang tuanya, Ma? Nggak punya, kan? Jangan-jangan dia anak yang dibuang. Orang tuanya aja nggak bener, apalagi anaknya. Mama kok bisa punya pikiran aku akan aman di tangan laki-laki yang tiba-tiba datang ke keluarga kita?"
"Aurae...."
Sekarang giliran aku yang tertegun. Belum pernah aku mendengar Mama memanggilku sesedih itu. Bahkan aku bisa melihat air mata sudah menggenang di pelupuk mata Mama. Tapi aku masih diam, tidak tahu harus apa. Aku tidak tahu apa kesalahanku.
"Kenapa sifatmu seperti ini, Re? Siapa yang mengajari?"
Aku menelan salivaku dengan susah payah. Hatiku ikut tersayat melihat air mata Mama kini sudah mulai mengalir. Aku ingin memeluk Mama lagi, tapi ucapan Mama selanjutnya memancing satu tetes air mataku luruh.
"Mama kecewa dengan sifat kamu. Mama merasa gagal mendidik kamu."
Mama kecewa....
Itu adalah hal yang paling tidak kuinginkan.
Apalagi Mama merasa gagal mendidikku. Ya Tuhan, maafkan aku.
Tubuhku kembali luruh, duduk di lantai dengan tatapan nanar. Sekarang, apa lagi yang bisa kulakukan? Semua sudah hancur. Citaku-citaku membahagiakan Mama terasa hancur saat Mama mengucapkan 'gagal mendidikku'.
Apa aku seburuk itu?
Dalam tatapanku yang tidak terfokus apa pun, aku mendengar seseorang memanggilku.
"Aurae...."
Dengan gerakan kaku, kepalaku mendongak dan melihat dia lagi.
Laki-laki yang baru saja kucemooh, tapi tetap bisa mengulas senyum untukku.
GIBRAN"Aurae..."Aku memanggilnya, bukan berniat untuk sok pahlawan karena hadir di saat dia begitu terpuruk. Aku hanya ingin meminta maaf karena sudah membentaknya. Aku terlalu khawatir hingga tidak sadar berteriak bergitu keras di hadapannya.Tapi sekarang, melihat matanya yang menitikkan air mata, rasa bersalahku benar-benar menguar. Aku menghela napas panjang saat melihatnya mendongak padaku. Perlahan aku menurunkan badanku, berjongkok di depannya dan meraih tangannya dengan pelan.Dia tidak menolak, mungkin terlalu shock dengan apa yang mamanya katakan tadi. Aku pun sampai sekarang tidak percaya bahwa Aurae bisa mengatakan hal itu. Dia mengejekku, merendahkanku dan juga keluargaku. Walau mendengarnya membuatku sakit hati, tapi aku mencoba untuk menutupi semuanya dengan keyakinan bahwa Aurae hanya emosi sesaat.Dia gadis yang baik. Aku yakin itu.Aku mencoba tersenyum padanya yang masih terlihat kurang fokus. Kubantu dia berdiri perlahan dan membimbingnya untuk duduk di sofa ruan
"Udah, Re. Jangan nangis terus.""Gue harus gimana, Wi? Mama kecewa sama gue.""Udah minta maaf?""Udah, tapi gue takut....""Takut kenapa?""Gu-gue ... Mama nyuruh gue nikah. Dan gue bingung.""Bingung kenapa? Karena lo masih mengharapkan cinta masa lalu lo yang berengsek itu?"Aku menahan napas mendnegar percakapan itu. Tadi aku memang menjemput Aurae, tapi karena lapar aku memutuskan untuk ke kafe di lantai teratas. Siapa sangka di sini malah bertemu dengan Aurae, dan juga mendengar pembicaraannya dan temannya.Aku memutuskan tetap diam di salah satu meja yang lumayan dekat dari mereka, tapi berusaha agar mereka tidak ada yang melihatku."Dia emang berengsek, Wi, tapi gue. Di-dia, emang begitu. Gue yang ... susah lupa. Gue--""Lo apa? Cinta? Aduh, Re. Emang ya, cinta itu nggak bisa di logika, tapi pikirlah dia udah nyakitin lo sebegitunya, ninggalin lo gitu aja. Masih mau sama yang begitu?!"Aku melihat Aurae menunduk, mengusap air matanya. Apa Aurae begitu mencintai laki-laki di m
AURAE"Masak apa, Ma?"Aku menghampiri Mama yang sedang sibuk di dapur. Wangi masakan langsung memenuhi indra penciumanku. Kulihat Mama melirikku sembari tersenyum, tangannya tetap tidak lepas dari adonan yang sedang dibuatnya."Masak banyak pokoknya, Re. Nanti katamu Gibran mau makan malam bersama kita, kan?"Gibran. Kenapa aku baru ingat laki-laki itu akan kemari nanti malam? Aku harus menyiapkan hati agar tidak melulu terbakar emosi saat melihat wajahnya. Selama ini aku hanya diam saat dia selalu menjemputku di kantor. Demi Mama. Aku sudah meminta maaf pada Mama atas kelakuanku yang membuatnya sedih. Dan tentu saja aku berjanji tidak akan membuatnya kembali menangis dan kecewa karenaku.Ditambah lagi penawaran Gibran tentang 'tidak menganggapnya walaupun sudah menikah' terasa menggelitik dan menggiurkan. Niat utamaku menikah memang demi Mama. Dan aku harus bersyukur karena Gibran sepertinya mengerti niatku itu. Dia bahkan berjanji tidak akan menggangguku, tidak akan menghalangiku d
Aduh, Vin. Jangan malu-maluin Tante. Sekali aja nurut biar Tante nggak malu.Aku terus membatin. Sampai kemudian aku sampai di kamar Mama dan meletakkan Vino di box bayi. Mengamatinya sebentar, aku tersentak. Kenapa melihat Vino justru aku teringat seseorang?Aku menggeleng. Bukan. Ini pasti hanya perasaanku saja yang terlalu merindukan Daniel. Tidak mungkin ada kemiripan mereka berdua.Kuputuskan untuk berjalan keluar kamar saja daripada semakin berkhayal tidak jelas. Belum juga kakiku sampai di ruang makan, pembicaraan Mama dan Gibran membuatku memutuskan untuk diam menunggu, mendengar lebih lanjut apa yang mereka bicarakan."Tante sudah tua, tapi Tante takut hal yang dulu terulang lagi. Makanya Tante minta kamu jaga Aurae. Kalau bisa secepatnya kamu lamar Aurae.""Iya, Tante. Aku usahakan malam ini berbicara dengannya. Aku janji menjaga Aurae. Aku hanya ingin menegakkan kebenaran sekaligus melindungi yang diincar orang itu."Apa lagi ini? Diincar? Siapa?"Ma," panggilku akhirnya, k
GIBRAN"Aurae sedang tidak enak badan."Aku mengernyit mendengar ucapan Tante Elda. Ada rasa bersalah dan khawatir yang timbul saat mengetahui Aurae sedang sakit. Ditambah lagi beberapa bulan ini aku belum sempat mengunjungi bahkan mengabari Aurae. Bukan tanpa alasan, aku hanya ingin melihat bagaimana reaksinya saat dia tahu aku tidak mengabarinya. Apakah dia akan marah dan menganggapku tidak serius? Atau justru sebaliknya?Aku tersenyum kecut, tidak mungkin Aurae merasakan kehilangan, atau minimal ada yang kurang saat tidak mendengar kabarku. Dari dulu pun hanya aku yang merasa tidak lengkap tanpanya sedangkan dia mungkin malah merasa terganggu dengan kehadiranku.Aku menyesal dengan apa yang kulakukan, tidak mengabarinya beberapa bulan ini. Bagaimana mungkin aku begitu kekanakan seperti remaja yang ingin mengetes kekasihnya? Aku lelaki dewasa dan kelakuanku benar-benar tidak sesuai umurku. Seharusnya yang kulakukan adalah setia memberinya kabar, membuatnya yakin bahwa aku tidak main
AURAEAku masih ingat siang itu. Betapa jantungku berdetak sangat cepat dengan seluruh tubuh yang terasa nyeri. Ya, saat aku sedang dalam proses melahirkan anakku. Tidak ada Gibran di sampingku, itu membuatku sungguh kacau. Kukira aku tidak akan melahirkan saat itu juga, dan mencegah Gibran pulang demi menyelesaikan tugas terlebih dulu agar bisa menemaniku bersalin. Ternyata hal itu terjadi lebih cepat dari yang kukira. Seluruh tubuhku terasa remuk, tapi aku sepenuhnya berjuang.Semuanya tergantikan dengan senyum saat tanganku terasa hangat di genggaman seseorang. Aku membuka mata di tengah proses itu, berusaha melihat siapa yang menggenggam tanganku. Gibran di sana, dengan pakaian kerjanya, kepalanya yang berpeluh dan matanya yang memerah. Di atas semua kekhawatirannya akan diriku, dia masih bisa tersenyum, mengecup keningku berusaha membuat semuanya lebih baik. Dan aku merasakannya. Ternyata benar, pepatah yang sering kudengar tentang 'sebaik-baiknya suami adalah yang menemani istri
AURAEAku merasakan sentuhan ringan di pelipisku, membuat tidurku sedikit terganggu. Saat membuka mata, kulihat wajah Gibran sangat dekat. Dia mengecup pelipisku begitu lama."Gibran," gumamku.Tubuhnya kembali menegak, duduk di sampingku."Kamu baru pulang?" tanyaku pelan sembari berusaha duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Kulirik jam dinding dan menunjukkan pukul 3 dini hari. "Kamu belum tidur?"Daripada memikirkan yang tidak-tidak, rasa khawatirku mengalahkan segalanya. Tetapi setidaknya sekarang keadaan Gibran tidak seberantakan tadi sebelum berangkat."Udah tidur tadi, sebentar." Gibran tersenyum kecil."Di mana?" Aku bertanya penasaran. Kuteliti ekspresinya yang seperti menerawang."Re ... kamu bisa ikut aku?"Aku mengernyit. "Ke mana?"Gibran diam tapi tatapannya serius padaku. Maka aku mengangguk ragu dan tidak bertanya lagi. Aku bersiap sementara Gibran menyiapkan mobil terlebih dulu. Sebelum keluar kamar, kutatap Adara yang terlelap damai di atas tempat tidur. Aku memb
AURAEAku mondar-mandir di gedung pertemuan untuk mengawasi kinerja pegawai-pegawaiku. Mereka juga terlihat sibuk dengan bagian mereka sendiri untuk mendekor ruangan menjadi sedemikian rupa. Besok adalah hari pertama penggalangan dana untuk amal dan bazar murah produk perusahaanku. Biasanya aku menyisihkan beberapa produk perusahaan dengan setengah harga sekadar untuk hadiah di hari-hari tertentu. Tentu saja besok adalah hari spesial, yaitu hari lahirnya almarhum Papa. Jenis produkku memang dari mentah, setengah jadi sampai barang jadi. Tapi untuk acara besok, kebanyakan yang datang adalah konsumen maka dari itu aku hanya menyediakan barang jadi saja.Aku melangkah dengan cepat mengecek kembali beberapa makrame yang sebenarnya sudah dicek oleh pegawai. Tanganku bergerak cepat memeriksa satu per satu sulaman, rajutan di tas dan beberapa hiasan dinding. Beberapa kriya kayu dan keramik pun kuperiksa. Kupegang lengan sebuah kursi yang terlihat kokoh dari kayu yang jelas unggul. Tanganku m
AURAEAku merasakan sentuhan ringan di pelipisku, membuat tidurku sedikit terganggu. Saat membuka mata, kulihat wajah Gibran sangat dekat. Dia mengecup pelipisku begitu lama."Gibran," gumamku.Tubuhnya kembali menegak, duduk di sampingku."Kamu baru pulang?" tanyaku pelan sembari berusaha duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Kulirik jam dinding dan menunjukkan pukul 3 dini hari. "Kamu belum tidur?"Daripada memikirkan yang tidak-tidak, rasa khawatirku mengalahkan segalanya. Tetapi setidaknya sekarang keadaan Gibran tidak seberantakan tadi sebelum berangkat."Udah tidur tadi, sebentar." Gibran tersenyum kecil."Di mana?" Aku bertanya penasaran. Kuteliti ekspresinya yang seperti menerawang."Re ... kamu bisa ikut aku?"Aku mengernyit. "Ke mana?"Gibran diam tapi tatapannya serius padaku. Maka aku mengangguk ragu dan tidak bertanya lagi. Aku bersiap sementara Gibran menyiapkan mobil terlebih dulu. Sebelum keluar kamar, kutatap Adara yang terlelap damai di atas tempat tidur. Aku memb
AURAEAku masih ingat siang itu. Betapa jantungku berdetak sangat cepat dengan seluruh tubuh yang terasa nyeri. Ya, saat aku sedang dalam proses melahirkan anakku. Tidak ada Gibran di sampingku, itu membuatku sungguh kacau. Kukira aku tidak akan melahirkan saat itu juga, dan mencegah Gibran pulang demi menyelesaikan tugas terlebih dulu agar bisa menemaniku bersalin. Ternyata hal itu terjadi lebih cepat dari yang kukira. Seluruh tubuhku terasa remuk, tapi aku sepenuhnya berjuang.Semuanya tergantikan dengan senyum saat tanganku terasa hangat di genggaman seseorang. Aku membuka mata di tengah proses itu, berusaha melihat siapa yang menggenggam tanganku. Gibran di sana, dengan pakaian kerjanya, kepalanya yang berpeluh dan matanya yang memerah. Di atas semua kekhawatirannya akan diriku, dia masih bisa tersenyum, mengecup keningku berusaha membuat semuanya lebih baik. Dan aku merasakannya. Ternyata benar, pepatah yang sering kudengar tentang 'sebaik-baiknya suami adalah yang menemani istri
GIBRAN"Aurae sedang tidak enak badan."Aku mengernyit mendengar ucapan Tante Elda. Ada rasa bersalah dan khawatir yang timbul saat mengetahui Aurae sedang sakit. Ditambah lagi beberapa bulan ini aku belum sempat mengunjungi bahkan mengabari Aurae. Bukan tanpa alasan, aku hanya ingin melihat bagaimana reaksinya saat dia tahu aku tidak mengabarinya. Apakah dia akan marah dan menganggapku tidak serius? Atau justru sebaliknya?Aku tersenyum kecut, tidak mungkin Aurae merasakan kehilangan, atau minimal ada yang kurang saat tidak mendengar kabarku. Dari dulu pun hanya aku yang merasa tidak lengkap tanpanya sedangkan dia mungkin malah merasa terganggu dengan kehadiranku.Aku menyesal dengan apa yang kulakukan, tidak mengabarinya beberapa bulan ini. Bagaimana mungkin aku begitu kekanakan seperti remaja yang ingin mengetes kekasihnya? Aku lelaki dewasa dan kelakuanku benar-benar tidak sesuai umurku. Seharusnya yang kulakukan adalah setia memberinya kabar, membuatnya yakin bahwa aku tidak main
Aduh, Vin. Jangan malu-maluin Tante. Sekali aja nurut biar Tante nggak malu.Aku terus membatin. Sampai kemudian aku sampai di kamar Mama dan meletakkan Vino di box bayi. Mengamatinya sebentar, aku tersentak. Kenapa melihat Vino justru aku teringat seseorang?Aku menggeleng. Bukan. Ini pasti hanya perasaanku saja yang terlalu merindukan Daniel. Tidak mungkin ada kemiripan mereka berdua.Kuputuskan untuk berjalan keluar kamar saja daripada semakin berkhayal tidak jelas. Belum juga kakiku sampai di ruang makan, pembicaraan Mama dan Gibran membuatku memutuskan untuk diam menunggu, mendengar lebih lanjut apa yang mereka bicarakan."Tante sudah tua, tapi Tante takut hal yang dulu terulang lagi. Makanya Tante minta kamu jaga Aurae. Kalau bisa secepatnya kamu lamar Aurae.""Iya, Tante. Aku usahakan malam ini berbicara dengannya. Aku janji menjaga Aurae. Aku hanya ingin menegakkan kebenaran sekaligus melindungi yang diincar orang itu."Apa lagi ini? Diincar? Siapa?"Ma," panggilku akhirnya, k
AURAE"Masak apa, Ma?"Aku menghampiri Mama yang sedang sibuk di dapur. Wangi masakan langsung memenuhi indra penciumanku. Kulihat Mama melirikku sembari tersenyum, tangannya tetap tidak lepas dari adonan yang sedang dibuatnya."Masak banyak pokoknya, Re. Nanti katamu Gibran mau makan malam bersama kita, kan?"Gibran. Kenapa aku baru ingat laki-laki itu akan kemari nanti malam? Aku harus menyiapkan hati agar tidak melulu terbakar emosi saat melihat wajahnya. Selama ini aku hanya diam saat dia selalu menjemputku di kantor. Demi Mama. Aku sudah meminta maaf pada Mama atas kelakuanku yang membuatnya sedih. Dan tentu saja aku berjanji tidak akan membuatnya kembali menangis dan kecewa karenaku.Ditambah lagi penawaran Gibran tentang 'tidak menganggapnya walaupun sudah menikah' terasa menggelitik dan menggiurkan. Niat utamaku menikah memang demi Mama. Dan aku harus bersyukur karena Gibran sepertinya mengerti niatku itu. Dia bahkan berjanji tidak akan menggangguku, tidak akan menghalangiku d
"Udah, Re. Jangan nangis terus.""Gue harus gimana, Wi? Mama kecewa sama gue.""Udah minta maaf?""Udah, tapi gue takut....""Takut kenapa?""Gu-gue ... Mama nyuruh gue nikah. Dan gue bingung.""Bingung kenapa? Karena lo masih mengharapkan cinta masa lalu lo yang berengsek itu?"Aku menahan napas mendnegar percakapan itu. Tadi aku memang menjemput Aurae, tapi karena lapar aku memutuskan untuk ke kafe di lantai teratas. Siapa sangka di sini malah bertemu dengan Aurae, dan juga mendengar pembicaraannya dan temannya.Aku memutuskan tetap diam di salah satu meja yang lumayan dekat dari mereka, tapi berusaha agar mereka tidak ada yang melihatku."Dia emang berengsek, Wi, tapi gue. Di-dia, emang begitu. Gue yang ... susah lupa. Gue--""Lo apa? Cinta? Aduh, Re. Emang ya, cinta itu nggak bisa di logika, tapi pikirlah dia udah nyakitin lo sebegitunya, ninggalin lo gitu aja. Masih mau sama yang begitu?!"Aku melihat Aurae menunduk, mengusap air matanya. Apa Aurae begitu mencintai laki-laki di m
GIBRAN"Aurae..."Aku memanggilnya, bukan berniat untuk sok pahlawan karena hadir di saat dia begitu terpuruk. Aku hanya ingin meminta maaf karena sudah membentaknya. Aku terlalu khawatir hingga tidak sadar berteriak bergitu keras di hadapannya.Tapi sekarang, melihat matanya yang menitikkan air mata, rasa bersalahku benar-benar menguar. Aku menghela napas panjang saat melihatnya mendongak padaku. Perlahan aku menurunkan badanku, berjongkok di depannya dan meraih tangannya dengan pelan.Dia tidak menolak, mungkin terlalu shock dengan apa yang mamanya katakan tadi. Aku pun sampai sekarang tidak percaya bahwa Aurae bisa mengatakan hal itu. Dia mengejekku, merendahkanku dan juga keluargaku. Walau mendengarnya membuatku sakit hati, tapi aku mencoba untuk menutupi semuanya dengan keyakinan bahwa Aurae hanya emosi sesaat.Dia gadis yang baik. Aku yakin itu.Aku mencoba tersenyum padanya yang masih terlihat kurang fokus. Kubantu dia berdiri perlahan dan membimbingnya untuk duduk di sofa ruan
AURAESuara itu tidak kuhiraukan. Tapi sebuah pelukan kuterima, aku sudah hafal pelukan ini. Siapa lagi kalau bukan Tiwi—sahabatku. Aku tidak malu jika harus menangis di depannya. Dia sudah seperti saudaraku."Jangan kebanyakan nangis, Re."Tapi aku tetap menangis. Sejak kematian Mbak Dinna yang mendadak, aku seakan kehilangan penopang hidup. Setidaknya setelah kehilangan papa, kesedihanku bisa kucurahkan kepada kakakku. Tapi saat kakakku juga ikut pergi, aku sudah tidak punya siapa-siapa. Kepada Mama, jelas itu hanya membuatnya bertambah sedih."Lo terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini," ucap Tiwi sambil melepas pelukannya saat tangisku sudah reda.Aku mengusap wajahku pelan. Aku tidak ingin Mama tahu bahwa aku selalu menangis sendirian. Biar hanya aku yang menanggung."Muka gue nggak sembap kan, Wi?" tanyaku gusar.Tiwi tertawa pelan dan mencubit pipiku. "Lo tuh ya. Habis nangis pasti yang ditanyain muka. Belepotan tuh make up lo."Mataku melebar. Cepat-cepat kuraih satu cermin di
AURAEAku membanting pintu kamar lumayan keras. Alasannya hanya satu. Laki-laki yang kubenci sekarang ada di rumah ini! Apa-apaan dia sampai berani menginjakkan kaki di rumahku?Ditambah lagi Mama sepertinya sudah luluh dengan polisi muda itu yang aku tidak peduli siapa namanya. Apa yang dia lakukan sampai Mama bisa begitu percaya kepada laki-laki asing yang tiba-tiba datang ke rumah ini?Aku mengembuskan napas sambil menelan segala emosiku. Aku tersenyum kecil, miris dengan hidupku sendiri. Semuanya berlangsung sangat cepat hingga dua minggu berlalu pun aku masih merasakan kehadiran kakakku di sekelilingku. Dan merasakan senyum Papa yang menenangkanku.Tapi tentu saja semuanya hanya ilusiku. Mereka sudah pergi, sangat jauh!Aku memutuskan mandi saja untuk me-refresh otakku. Aku bukan tipe orang yang suka bekerja keras, tapi keadaan memaksaku. Siapa lagi yang bisa mengurus perusahaan Papa kalau bukan aku? Dan juga, aku tidak mau melihat raut kecewa di wajah Mama. Aku ingin membuatnya