AURAE
Aku membanting pintu kamar lumayan keras. Alasannya hanya satu. Laki-laki yang kubenci sekarang ada di rumah ini! Apa-apaan dia sampai berani menginjakkan kaki di rumahku?
Ditambah lagi Mama sepertinya sudah luluh dengan polisi muda itu yang aku tidak peduli siapa namanya. Apa yang dia lakukan sampai Mama bisa begitu percaya kepada laki-laki asing yang tiba-tiba datang ke rumah ini?
Aku mengembuskan napas sambil menelan segala emosiku. Aku tersenyum kecil, miris dengan hidupku sendiri. Semuanya berlangsung sangat cepat hingga dua minggu berlalu pun aku masih merasakan kehadiran kakakku di sekelilingku. Dan merasakan senyum Papa yang menenangkanku.
Tapi tentu saja semuanya hanya ilusiku. Mereka sudah pergi, sangat jauh!
Aku memutuskan mandi saja untuk me-refresh otakku. Aku bukan tipe orang yang suka bekerja keras, tapi keadaan memaksaku. Siapa lagi yang bisa mengurus perusahaan Papa kalau bukan aku? Dan juga, aku tidak mau melihat raut kecewa di wajah Mama. Aku ingin membuatnya bangga. Mama sudah terlalu pedih menerima kenyataan menyakitkan semenjak dulu dan aku tidak mau menambah beban Mama dengan hanya diam mengurung diri di kamar sepanjang hari seperti beberapa hari setelah Mbak Dinna meninggal.
Tapi melihat tangis Mama saat itu, dan juga ucapannya, aku sadar bahwa sekarang bukan saatnya aku mempertahankan sikap manjaku yang bertahan sedari kecil.
Aku harus bisa membahagiakan Mama. Bagaimanapun caranya, termasuk bekerja sekeras yang aku bisa agar perusahaan Papa kembali bangkit.
Aku akan melakukan semuanya demi Mama.
Apa pun!
***
Aku menuruni tangga sambil mengucir rambutku. Berjalan cepat karena mendengar tangisan bayi. Ya, itu keponakanku. Anak yang berhasil Mbak Dinna lahirkan walau nyawanya sendiri harus terenggut. Sampai di kamar Mama, aku tertegun saat melihat keponakanku tiba-tiba saja diam di gendongan laki-laki yang sampai sekarang tidak kutahu apa tujuannya datang ke rumah ini.
Atau dia meminta uang?!
"Sini. Keponakan gue biar gue yang gendong," ucapku datar sambil menghampiri mereka, merebut keponakanku dari tangan laki-laki yang bisa saja menyakiti keluargaku.
"Maaf, aku lancang masuk kamar ini. Tadi disuruh Mama kamu."
Ucapan itu tidak kugubris. Aku lebih memilih berjalan keluar kamar Mama dengan bayi di gendonganku. Sampai di ruang tengah, aku duduk di sofa dan mengamati bayi mungil itu dengan tatap haru.
Namanya Vino, sama seperti keinginan Mbak Dinna beberapa malam sebelum dia melahirkan.
Ya Tuhan, anak ini mirip sekali dengan ibunya. Wajahnya, hidungnya, rambutnya, hanya ... matanya entah mirip siapa. Mbak Dinna tidak memiliki mata setajam ini. Matanya selalu berbinar, walau di awal kehamilannya dia memang sempat drop di rumah sakit karena terlalu banyak pikiran.
Hatiku kembali nyeri, dan marah adalah satu-satunya pelampiasan yang bisa kulakukan. Aku tidak habis pikir dengan laki-laki yang sudah memerkosa dan menghamili kakakku. Salah apa wanita sebaik kakakku hingga hidupnya berakhir seperti itu?
"Jangan nangis."
Aku tersentak saat sebuah tangan terulur menyentuh pipiku. Laki-laki itu tersenyum dan berjongkok di depanku. Aku sempat tertegun dengan senyumnya. Tapi ... itu hanya sesaat.
Bayangan dan ingatan tentang laki-laki ini adalah penyebab kematian Mbak Dinna, walaupun secara tidak langsung, membuat amarah kembali menguasaiku. Kuenyahkan tangannya dari pipiku dan kutatap matanya dengan penuh kebencian. Sempat kulihat dari matanya, dia terkejut.
Tapi aku tidak peduli! Lagi pula, laki-laki juga seperti itu 'kan? Kenapa wanita tidak boleh?
"Lo pergi dari rumah gue, sekarang, " desisku tanpa mengalihkan pandanganku darinya.
Wajahnya melembut, membuatku tertegun. Apa dia sedang bermain peran saat ini? Dia kira aku main-main dengan ucapanku? Kalau saja aku tidak sedang menggendong Vino, aku ingin berteriak padanya, melampiaskan semuanya padanya.
Walau aku tahu bukan seluruhnya adalah kesalahannya, tapi tetap saja. Dia andil dalam hal ini!
"Kalau lo—"
"Iya, Aurae." Dia sudah menyelaku terlebih dulu, membuatku hanya menahan kemarahanku.
Dia berdiri, sepertinya benar akan pulang. Belum juga kelegaan kurasakan, Mama datang dari dapur dengan membawa beberapa mangkuk berisi makanan. Dan Mama ... menyuruh laki-laki yang baru saja kuusir, untuk makan malam bersama!
Ditambah lagi ... Vino di gendonganku menangis kencang!
Astaga, rasanya kepalaku ingin meledak saat ini juga.
"Vino sama Om Gibran dulu ya. Tante Aurae kasihan," ucap Mama pelan membuatku ingin protes, tapi Mama kembali menyela, "Kamu pasti capek, Re. Makan dulu ya. Mama masak makanan kesukaan kamu."
Aku hanya pasrah saat Vino yang sedari tadi menangis di gendonganku berpindah tangan ke laki-laki asing itu. Dan aku juga harus menelan kekesalan saat detik itu juga tangisan Vino sudah tidak terdengar!
***
"Hati-hati."
Aku tidak mengindahkan ucapan itu, lebih memilih membanting pintu mobil yang baru saja kutumpangi. Kulirik jam di pergelangan tanganku dan menggeram kesal. Gara-gara aku disuruh Mama menunggu jemputan dari laki-laki menyebalkan itu, aku jadi terlambat. Padahal client-ku sudah datang sejak setengah jam lalu.
Aku mempercepat langkahku dan memasuki lift, membenarkan pakaianku yang sedikit berantakan. Lift terbuka, aku langsung berjalan cepat menuju ruanganku. Suara heels menabrak lantai keramik terdengar nyaring di lorong. Sekarang sudah sepi—jelas—karena memang aku yang terlambat.
Sampai di dalam ruanganku, aku meletakkan tas dan mengambil dokumen penting untuk rapat pagi ini. Tidak menunggu lama, aku kembali melangkah keluar dan berpindah ke ruangan sebelah. Saat tanganku hampir menyentuh kenop, pintu di depanku sudah lebih dulu terbuka.
Aku melihat Tiwi menatapku dengan gugup. Aku mengernyit melihat ekspresinya yang aneh.
"Kenapa?" aku menyuarakan rasa penasaranku.
Dia tergagap sambil melirik ke belakang tubuhnya, ke dalam ruangan rapat. Aku ikut melongok dan tidak kulihat siapa pun di sana.
"Orangnya pada ke mana?" tanyaku heran.
Tiwi kembali berdehem. "Anu ... begini, Bu. Itu—"
"Bicara yang jelas, Tiwi," perintahku kesal.
Apa dia tidak tahu aku sudah kesiangan begini, dan dia malah mengulur waktu?
"Client ... eh, Pak Yudi sudah pergi, Bu."
Aku kembali mengernyit. Pergi? Apa maksudnya? Bukankah kami sudah memiliki janji rapat?
"Pergi ke mana? Kalau bicara jangan setengah-setengah," kesalku lagi.
"Y-ya. Pak Yudi membatalkan kerja sama dengan perusahaan ini karena tadi Ibu telat. Katanya beliau paling benci dengan orang yang tidak bisa menepati janjinya."
Ucapan secepat kilat dan sedikit gemetar itu membuatku diam sejenak, sebelum satu pemikiran yang jelas dan gamblang tertangkap otakku.
Seketika itu juga aku menatap Tiwi dengan geram. Dia menunduk dalam-dalam. Aku tidak peduli kenyataan bahwa dia sahabatku sedari dulu karena ini di kantor.
"Kamu nggak izinin Saya?" geramku.
Sebenarnya aku tidak berniat membuat Tiwi takut, karena aku sadar itu adalah kesalahanku, oh, bukan, tapi kesalahan laki-laki asing yang tiba-tiba menyusup di tengah keluargaku.
Sialan!
Rasanya aku ingin berteriak di depan laki-laki itu dan memakinya dengan berjuta umpatan. Baru beberapa hari, bertemu pun bisa dihitung dengan jari. Tapi dia sudah sanggup menghancurkan hidupku, menghancurkan mimpiku dan keluargaku.
"Saya sudah izinin Ibu, tapi beliau—"
"Ya sudah," aku memotong ucapan Tiwi, tidak ingin membuatnya semakin takut denganku. "Kamu kembali bekerja."
Tiwi mengangguk dan berlalu dari hadapanku. Sedangkan aku sudah sedikit limbung, mundur beberapa langkah dan menyandarkan tubuhku di tembok. Entah kenapa amarahku selalu membumbung tinggi saat mengingat polisi muda itu. Dia seakan memberi dampak besar dalam hidupku. Mama bahkan sudah begitu memercayainya. Aku tidak tahu apa sebab Mama begitu gencar mendekatkanku dengan laki-laki itu.
Padahal Mama tahu ... aku belum siap untuk jatuh cinta dan menerima pria dalam hidupku lagi.
***
"Aku bahagia sama kamu."
Beberapa saat lalu aku mengatakan itu, tapi laki-laki yang sedari tadi kutatap hanya tersenyum tipis, tanpa bisa menjawab. Dia terlihat menyembunyikan sesuatu. Matanya yang tajam menatapku intens dan senyum tulus itu kulihat dari wajahnya. Aku tidak pernah melihatnya tersenyum sebahagia itu. Seakan semua dunianya terenggut dalam satu tatap matanya. Tapi justru itu membuat hatiku nyeri, karena saat itu aku sadar. Laki-laki di depanku bukan sedang tersenyum padaku. Tatapannya kosong walau secara keseluruhan pandangannya memang terarah padaku.
Kusentuh lengannya perlahan dan dia tersentak. Mulutnya terbuka seakan ingin mengucapkan sesuatu. Matanya memancarkan kekecewaan saat dia sadar bahwa ternyata yang dia lihat adalah ... aku.
Sebenarnya siapa yang dia pikirkan selama ini?
"Aurae, kamu—"
Aku meletakkan jari telunjukku di bibirnya, menyuruhnya untuk diam saja. "Aku nggak apa-apa," ucapku seraya tersenyum, menutupi satu luka baru yang kembali laki-laki itu tancapkan di hatiku.
Aku tahu akhir-akhir ini dia seperti tidak fokus, sering melamun dan tidak memedulikanku. Tapi bagiku itu tidak apa-apa. Selama aku bisa melihatnya, aku sudah bahagia. Selama dia melindungiku, aku baik-baik saja.
Karena aku yakin dia tidak akan meninggalkanku dalam keadaan apa pun. Dia sudah berjanji untuk menjagaku dari kekejaman sekitar. Dan aku menaruh kepercayaan yang besar padanya.
Dia satu-satunya lelaki yang bisa menjagaku setelah kepergian papa. Dia lelaki pertama yang kubiarkan namanya menyelip pelan-pelan ke hatiku. Dan saat ini ... hatiku penuh akan namanya.
Tapi kenyataan itu merenggutku sekejap mata. Saat dia mengatakan dengan gamblang ... bahwa dia tidak pernah mencintaiku.
"Daniel!!!"
Teriakanku menggema tertangkap telingaku. Mataku menatap nyalang sekitar, dan baru kusadari bahwa aku tertidur di sofa ruanganku. Tubuhku masih bergetar pelan dengan napas yang memburu. Detakan jantungku terasa kuat seakan memaksa ingin meloncat dari rongganya.
Aku memejamkan mata dan mengepalkan satu tanganku, memukul pelan ke dadaku yang terasa sangat sesak. Bahkan setiap helaan napasku yang tersengal, aku masih bisa mengingat nama itu. Masih bisa menyebutkan namanya walau harus diiringi dengan debaran yang cepat, seakan dia masih bersamaku, masih disampingku. Seperti dulu.
Tapi nyatanya ... itu hanya kenangan yang tidak mungkin terulang. Aku memang mencintainya. Sangat. Karena dia cinta pertamaku. Tapi aku tidak ingin kembali jatuh, aku tidak ingin kembali jatuh dan dijatuhkan.
Aku tidak percaya lagi dengan seorang laki-laki. Karena kepercayaanku sudah kuberi penuh untuk seseorang di masa laluku, tapi dia mengkhianati. Hatiku sudah penuh akan dia, dan saat dia pergi, kekosongan itu terasa mendominasi hingga hampir meleburkan kesadaranku.
Sekarang tidak ada yang tersisa. Aku hanya memiliki satu cinta di dunia ini. Mama. Hanya Mama yang bisa menguatkanku. Walau Mama terlihat tegar, aku tahu kerapuhannya bisa retak dengan sekali sentuh. Dan aku janji kami akan saling menguatkan.
Tidak perlu laki-laki untuk menjaga, karena aku pun sudah bisa menjaga diriku sendiri. Laki-laki hanya bisa merepotkan. Penebar janji tidak tentu dan pemain hati. Perusak kepercayaan dan bahkan ... laki-laki juga yang membuat Mbak Dinna hidup dalam kesedihan karena pemerkosaan.
Kembali kutegakkan badanku, mengembuskan napasku dengan pelan. Saat aku berusaha untuk menenangkan diri sendiri, malah terdengar isakan menyakitkan yang lolos dari bibirku. Aku tidak bisa menahannya. Ternyata ... aku tidak sekuat itu.
Aku sudah cukup lama memendam semuanya sendiri. Kekesalan, kelelahan dan sakit hati yang kini saling bertumbukan, berlomba-lomba membuatku menyerah dengan keadaan.
Pikiran itu memang sempat terlintas—bahkan sering—kalau saja aku tidak ingat Mama dan tangisnya setiap malam melihat keadaanku yang seperti tidak punya jiwa. Sejak saat itu aku bertekad tidak akan menjadi lemah—setidaknya di depan Mama—tapi saat aku kembali sendiri seperti ini, aku tidak bisa menutupinya.
"Aurae, ya ampun lo—"
AURAESuara itu tidak kuhiraukan. Tapi sebuah pelukan kuterima, aku sudah hafal pelukan ini. Siapa lagi kalau bukan Tiwi—sahabatku. Aku tidak malu jika harus menangis di depannya. Dia sudah seperti saudaraku."Jangan kebanyakan nangis, Re."Tapi aku tetap menangis. Sejak kematian Mbak Dinna yang mendadak, aku seakan kehilangan penopang hidup. Setidaknya setelah kehilangan papa, kesedihanku bisa kucurahkan kepada kakakku. Tapi saat kakakku juga ikut pergi, aku sudah tidak punya siapa-siapa. Kepada Mama, jelas itu hanya membuatnya bertambah sedih."Lo terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini," ucap Tiwi sambil melepas pelukannya saat tangisku sudah reda.Aku mengusap wajahku pelan. Aku tidak ingin Mama tahu bahwa aku selalu menangis sendirian. Biar hanya aku yang menanggung."Muka gue nggak sembap kan, Wi?" tanyaku gusar.Tiwi tertawa pelan dan mencubit pipiku. "Lo tuh ya. Habis nangis pasti yang ditanyain muka. Belepotan tuh make up lo."Mataku melebar. Cepat-cepat kuraih satu cermin di
GIBRAN"Aurae..."Aku memanggilnya, bukan berniat untuk sok pahlawan karena hadir di saat dia begitu terpuruk. Aku hanya ingin meminta maaf karena sudah membentaknya. Aku terlalu khawatir hingga tidak sadar berteriak bergitu keras di hadapannya.Tapi sekarang, melihat matanya yang menitikkan air mata, rasa bersalahku benar-benar menguar. Aku menghela napas panjang saat melihatnya mendongak padaku. Perlahan aku menurunkan badanku, berjongkok di depannya dan meraih tangannya dengan pelan.Dia tidak menolak, mungkin terlalu shock dengan apa yang mamanya katakan tadi. Aku pun sampai sekarang tidak percaya bahwa Aurae bisa mengatakan hal itu. Dia mengejekku, merendahkanku dan juga keluargaku. Walau mendengarnya membuatku sakit hati, tapi aku mencoba untuk menutupi semuanya dengan keyakinan bahwa Aurae hanya emosi sesaat.Dia gadis yang baik. Aku yakin itu.Aku mencoba tersenyum padanya yang masih terlihat kurang fokus. Kubantu dia berdiri perlahan dan membimbingnya untuk duduk di sofa ruan
"Udah, Re. Jangan nangis terus.""Gue harus gimana, Wi? Mama kecewa sama gue.""Udah minta maaf?""Udah, tapi gue takut....""Takut kenapa?""Gu-gue ... Mama nyuruh gue nikah. Dan gue bingung.""Bingung kenapa? Karena lo masih mengharapkan cinta masa lalu lo yang berengsek itu?"Aku menahan napas mendnegar percakapan itu. Tadi aku memang menjemput Aurae, tapi karena lapar aku memutuskan untuk ke kafe di lantai teratas. Siapa sangka di sini malah bertemu dengan Aurae, dan juga mendengar pembicaraannya dan temannya.Aku memutuskan tetap diam di salah satu meja yang lumayan dekat dari mereka, tapi berusaha agar mereka tidak ada yang melihatku."Dia emang berengsek, Wi, tapi gue. Di-dia, emang begitu. Gue yang ... susah lupa. Gue--""Lo apa? Cinta? Aduh, Re. Emang ya, cinta itu nggak bisa di logika, tapi pikirlah dia udah nyakitin lo sebegitunya, ninggalin lo gitu aja. Masih mau sama yang begitu?!"Aku melihat Aurae menunduk, mengusap air matanya. Apa Aurae begitu mencintai laki-laki di m
AURAE"Masak apa, Ma?"Aku menghampiri Mama yang sedang sibuk di dapur. Wangi masakan langsung memenuhi indra penciumanku. Kulihat Mama melirikku sembari tersenyum, tangannya tetap tidak lepas dari adonan yang sedang dibuatnya."Masak banyak pokoknya, Re. Nanti katamu Gibran mau makan malam bersama kita, kan?"Gibran. Kenapa aku baru ingat laki-laki itu akan kemari nanti malam? Aku harus menyiapkan hati agar tidak melulu terbakar emosi saat melihat wajahnya. Selama ini aku hanya diam saat dia selalu menjemputku di kantor. Demi Mama. Aku sudah meminta maaf pada Mama atas kelakuanku yang membuatnya sedih. Dan tentu saja aku berjanji tidak akan membuatnya kembali menangis dan kecewa karenaku.Ditambah lagi penawaran Gibran tentang 'tidak menganggapnya walaupun sudah menikah' terasa menggelitik dan menggiurkan. Niat utamaku menikah memang demi Mama. Dan aku harus bersyukur karena Gibran sepertinya mengerti niatku itu. Dia bahkan berjanji tidak akan menggangguku, tidak akan menghalangiku d
Aduh, Vin. Jangan malu-maluin Tante. Sekali aja nurut biar Tante nggak malu.Aku terus membatin. Sampai kemudian aku sampai di kamar Mama dan meletakkan Vino di box bayi. Mengamatinya sebentar, aku tersentak. Kenapa melihat Vino justru aku teringat seseorang?Aku menggeleng. Bukan. Ini pasti hanya perasaanku saja yang terlalu merindukan Daniel. Tidak mungkin ada kemiripan mereka berdua.Kuputuskan untuk berjalan keluar kamar saja daripada semakin berkhayal tidak jelas. Belum juga kakiku sampai di ruang makan, pembicaraan Mama dan Gibran membuatku memutuskan untuk diam menunggu, mendengar lebih lanjut apa yang mereka bicarakan."Tante sudah tua, tapi Tante takut hal yang dulu terulang lagi. Makanya Tante minta kamu jaga Aurae. Kalau bisa secepatnya kamu lamar Aurae.""Iya, Tante. Aku usahakan malam ini berbicara dengannya. Aku janji menjaga Aurae. Aku hanya ingin menegakkan kebenaran sekaligus melindungi yang diincar orang itu."Apa lagi ini? Diincar? Siapa?"Ma," panggilku akhirnya, k
GIBRAN"Aurae sedang tidak enak badan."Aku mengernyit mendengar ucapan Tante Elda. Ada rasa bersalah dan khawatir yang timbul saat mengetahui Aurae sedang sakit. Ditambah lagi beberapa bulan ini aku belum sempat mengunjungi bahkan mengabari Aurae. Bukan tanpa alasan, aku hanya ingin melihat bagaimana reaksinya saat dia tahu aku tidak mengabarinya. Apakah dia akan marah dan menganggapku tidak serius? Atau justru sebaliknya?Aku tersenyum kecut, tidak mungkin Aurae merasakan kehilangan, atau minimal ada yang kurang saat tidak mendengar kabarku. Dari dulu pun hanya aku yang merasa tidak lengkap tanpanya sedangkan dia mungkin malah merasa terganggu dengan kehadiranku.Aku menyesal dengan apa yang kulakukan, tidak mengabarinya beberapa bulan ini. Bagaimana mungkin aku begitu kekanakan seperti remaja yang ingin mengetes kekasihnya? Aku lelaki dewasa dan kelakuanku benar-benar tidak sesuai umurku. Seharusnya yang kulakukan adalah setia memberinya kabar, membuatnya yakin bahwa aku tidak main
AURAEAku masih ingat siang itu. Betapa jantungku berdetak sangat cepat dengan seluruh tubuh yang terasa nyeri. Ya, saat aku sedang dalam proses melahirkan anakku. Tidak ada Gibran di sampingku, itu membuatku sungguh kacau. Kukira aku tidak akan melahirkan saat itu juga, dan mencegah Gibran pulang demi menyelesaikan tugas terlebih dulu agar bisa menemaniku bersalin. Ternyata hal itu terjadi lebih cepat dari yang kukira. Seluruh tubuhku terasa remuk, tapi aku sepenuhnya berjuang.Semuanya tergantikan dengan senyum saat tanganku terasa hangat di genggaman seseorang. Aku membuka mata di tengah proses itu, berusaha melihat siapa yang menggenggam tanganku. Gibran di sana, dengan pakaian kerjanya, kepalanya yang berpeluh dan matanya yang memerah. Di atas semua kekhawatirannya akan diriku, dia masih bisa tersenyum, mengecup keningku berusaha membuat semuanya lebih baik. Dan aku merasakannya. Ternyata benar, pepatah yang sering kudengar tentang 'sebaik-baiknya suami adalah yang menemani istri
AURAEAku merasakan sentuhan ringan di pelipisku, membuat tidurku sedikit terganggu. Saat membuka mata, kulihat wajah Gibran sangat dekat. Dia mengecup pelipisku begitu lama."Gibran," gumamku.Tubuhnya kembali menegak, duduk di sampingku."Kamu baru pulang?" tanyaku pelan sembari berusaha duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Kulirik jam dinding dan menunjukkan pukul 3 dini hari. "Kamu belum tidur?"Daripada memikirkan yang tidak-tidak, rasa khawatirku mengalahkan segalanya. Tetapi setidaknya sekarang keadaan Gibran tidak seberantakan tadi sebelum berangkat."Udah tidur tadi, sebentar." Gibran tersenyum kecil."Di mana?" Aku bertanya penasaran. Kuteliti ekspresinya yang seperti menerawang."Re ... kamu bisa ikut aku?"Aku mengernyit. "Ke mana?"Gibran diam tapi tatapannya serius padaku. Maka aku mengangguk ragu dan tidak bertanya lagi. Aku bersiap sementara Gibran menyiapkan mobil terlebih dulu. Sebelum keluar kamar, kutatap Adara yang terlelap damai di atas tempat tidur. Aku memb
AURAEAku merasakan sentuhan ringan di pelipisku, membuat tidurku sedikit terganggu. Saat membuka mata, kulihat wajah Gibran sangat dekat. Dia mengecup pelipisku begitu lama."Gibran," gumamku.Tubuhnya kembali menegak, duduk di sampingku."Kamu baru pulang?" tanyaku pelan sembari berusaha duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Kulirik jam dinding dan menunjukkan pukul 3 dini hari. "Kamu belum tidur?"Daripada memikirkan yang tidak-tidak, rasa khawatirku mengalahkan segalanya. Tetapi setidaknya sekarang keadaan Gibran tidak seberantakan tadi sebelum berangkat."Udah tidur tadi, sebentar." Gibran tersenyum kecil."Di mana?" Aku bertanya penasaran. Kuteliti ekspresinya yang seperti menerawang."Re ... kamu bisa ikut aku?"Aku mengernyit. "Ke mana?"Gibran diam tapi tatapannya serius padaku. Maka aku mengangguk ragu dan tidak bertanya lagi. Aku bersiap sementara Gibran menyiapkan mobil terlebih dulu. Sebelum keluar kamar, kutatap Adara yang terlelap damai di atas tempat tidur. Aku memb
AURAEAku masih ingat siang itu. Betapa jantungku berdetak sangat cepat dengan seluruh tubuh yang terasa nyeri. Ya, saat aku sedang dalam proses melahirkan anakku. Tidak ada Gibran di sampingku, itu membuatku sungguh kacau. Kukira aku tidak akan melahirkan saat itu juga, dan mencegah Gibran pulang demi menyelesaikan tugas terlebih dulu agar bisa menemaniku bersalin. Ternyata hal itu terjadi lebih cepat dari yang kukira. Seluruh tubuhku terasa remuk, tapi aku sepenuhnya berjuang.Semuanya tergantikan dengan senyum saat tanganku terasa hangat di genggaman seseorang. Aku membuka mata di tengah proses itu, berusaha melihat siapa yang menggenggam tanganku. Gibran di sana, dengan pakaian kerjanya, kepalanya yang berpeluh dan matanya yang memerah. Di atas semua kekhawatirannya akan diriku, dia masih bisa tersenyum, mengecup keningku berusaha membuat semuanya lebih baik. Dan aku merasakannya. Ternyata benar, pepatah yang sering kudengar tentang 'sebaik-baiknya suami adalah yang menemani istri
GIBRAN"Aurae sedang tidak enak badan."Aku mengernyit mendengar ucapan Tante Elda. Ada rasa bersalah dan khawatir yang timbul saat mengetahui Aurae sedang sakit. Ditambah lagi beberapa bulan ini aku belum sempat mengunjungi bahkan mengabari Aurae. Bukan tanpa alasan, aku hanya ingin melihat bagaimana reaksinya saat dia tahu aku tidak mengabarinya. Apakah dia akan marah dan menganggapku tidak serius? Atau justru sebaliknya?Aku tersenyum kecut, tidak mungkin Aurae merasakan kehilangan, atau minimal ada yang kurang saat tidak mendengar kabarku. Dari dulu pun hanya aku yang merasa tidak lengkap tanpanya sedangkan dia mungkin malah merasa terganggu dengan kehadiranku.Aku menyesal dengan apa yang kulakukan, tidak mengabarinya beberapa bulan ini. Bagaimana mungkin aku begitu kekanakan seperti remaja yang ingin mengetes kekasihnya? Aku lelaki dewasa dan kelakuanku benar-benar tidak sesuai umurku. Seharusnya yang kulakukan adalah setia memberinya kabar, membuatnya yakin bahwa aku tidak main
Aduh, Vin. Jangan malu-maluin Tante. Sekali aja nurut biar Tante nggak malu.Aku terus membatin. Sampai kemudian aku sampai di kamar Mama dan meletakkan Vino di box bayi. Mengamatinya sebentar, aku tersentak. Kenapa melihat Vino justru aku teringat seseorang?Aku menggeleng. Bukan. Ini pasti hanya perasaanku saja yang terlalu merindukan Daniel. Tidak mungkin ada kemiripan mereka berdua.Kuputuskan untuk berjalan keluar kamar saja daripada semakin berkhayal tidak jelas. Belum juga kakiku sampai di ruang makan, pembicaraan Mama dan Gibran membuatku memutuskan untuk diam menunggu, mendengar lebih lanjut apa yang mereka bicarakan."Tante sudah tua, tapi Tante takut hal yang dulu terulang lagi. Makanya Tante minta kamu jaga Aurae. Kalau bisa secepatnya kamu lamar Aurae.""Iya, Tante. Aku usahakan malam ini berbicara dengannya. Aku janji menjaga Aurae. Aku hanya ingin menegakkan kebenaran sekaligus melindungi yang diincar orang itu."Apa lagi ini? Diincar? Siapa?"Ma," panggilku akhirnya, k
AURAE"Masak apa, Ma?"Aku menghampiri Mama yang sedang sibuk di dapur. Wangi masakan langsung memenuhi indra penciumanku. Kulihat Mama melirikku sembari tersenyum, tangannya tetap tidak lepas dari adonan yang sedang dibuatnya."Masak banyak pokoknya, Re. Nanti katamu Gibran mau makan malam bersama kita, kan?"Gibran. Kenapa aku baru ingat laki-laki itu akan kemari nanti malam? Aku harus menyiapkan hati agar tidak melulu terbakar emosi saat melihat wajahnya. Selama ini aku hanya diam saat dia selalu menjemputku di kantor. Demi Mama. Aku sudah meminta maaf pada Mama atas kelakuanku yang membuatnya sedih. Dan tentu saja aku berjanji tidak akan membuatnya kembali menangis dan kecewa karenaku.Ditambah lagi penawaran Gibran tentang 'tidak menganggapnya walaupun sudah menikah' terasa menggelitik dan menggiurkan. Niat utamaku menikah memang demi Mama. Dan aku harus bersyukur karena Gibran sepertinya mengerti niatku itu. Dia bahkan berjanji tidak akan menggangguku, tidak akan menghalangiku d
"Udah, Re. Jangan nangis terus.""Gue harus gimana, Wi? Mama kecewa sama gue.""Udah minta maaf?""Udah, tapi gue takut....""Takut kenapa?""Gu-gue ... Mama nyuruh gue nikah. Dan gue bingung.""Bingung kenapa? Karena lo masih mengharapkan cinta masa lalu lo yang berengsek itu?"Aku menahan napas mendnegar percakapan itu. Tadi aku memang menjemput Aurae, tapi karena lapar aku memutuskan untuk ke kafe di lantai teratas. Siapa sangka di sini malah bertemu dengan Aurae, dan juga mendengar pembicaraannya dan temannya.Aku memutuskan tetap diam di salah satu meja yang lumayan dekat dari mereka, tapi berusaha agar mereka tidak ada yang melihatku."Dia emang berengsek, Wi, tapi gue. Di-dia, emang begitu. Gue yang ... susah lupa. Gue--""Lo apa? Cinta? Aduh, Re. Emang ya, cinta itu nggak bisa di logika, tapi pikirlah dia udah nyakitin lo sebegitunya, ninggalin lo gitu aja. Masih mau sama yang begitu?!"Aku melihat Aurae menunduk, mengusap air matanya. Apa Aurae begitu mencintai laki-laki di m
GIBRAN"Aurae..."Aku memanggilnya, bukan berniat untuk sok pahlawan karena hadir di saat dia begitu terpuruk. Aku hanya ingin meminta maaf karena sudah membentaknya. Aku terlalu khawatir hingga tidak sadar berteriak bergitu keras di hadapannya.Tapi sekarang, melihat matanya yang menitikkan air mata, rasa bersalahku benar-benar menguar. Aku menghela napas panjang saat melihatnya mendongak padaku. Perlahan aku menurunkan badanku, berjongkok di depannya dan meraih tangannya dengan pelan.Dia tidak menolak, mungkin terlalu shock dengan apa yang mamanya katakan tadi. Aku pun sampai sekarang tidak percaya bahwa Aurae bisa mengatakan hal itu. Dia mengejekku, merendahkanku dan juga keluargaku. Walau mendengarnya membuatku sakit hati, tapi aku mencoba untuk menutupi semuanya dengan keyakinan bahwa Aurae hanya emosi sesaat.Dia gadis yang baik. Aku yakin itu.Aku mencoba tersenyum padanya yang masih terlihat kurang fokus. Kubantu dia berdiri perlahan dan membimbingnya untuk duduk di sofa ruan
AURAESuara itu tidak kuhiraukan. Tapi sebuah pelukan kuterima, aku sudah hafal pelukan ini. Siapa lagi kalau bukan Tiwi—sahabatku. Aku tidak malu jika harus menangis di depannya. Dia sudah seperti saudaraku."Jangan kebanyakan nangis, Re."Tapi aku tetap menangis. Sejak kematian Mbak Dinna yang mendadak, aku seakan kehilangan penopang hidup. Setidaknya setelah kehilangan papa, kesedihanku bisa kucurahkan kepada kakakku. Tapi saat kakakku juga ikut pergi, aku sudah tidak punya siapa-siapa. Kepada Mama, jelas itu hanya membuatnya bertambah sedih."Lo terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini," ucap Tiwi sambil melepas pelukannya saat tangisku sudah reda.Aku mengusap wajahku pelan. Aku tidak ingin Mama tahu bahwa aku selalu menangis sendirian. Biar hanya aku yang menanggung."Muka gue nggak sembap kan, Wi?" tanyaku gusar.Tiwi tertawa pelan dan mencubit pipiku. "Lo tuh ya. Habis nangis pasti yang ditanyain muka. Belepotan tuh make up lo."Mataku melebar. Cepat-cepat kuraih satu cermin di
AURAEAku membanting pintu kamar lumayan keras. Alasannya hanya satu. Laki-laki yang kubenci sekarang ada di rumah ini! Apa-apaan dia sampai berani menginjakkan kaki di rumahku?Ditambah lagi Mama sepertinya sudah luluh dengan polisi muda itu yang aku tidak peduli siapa namanya. Apa yang dia lakukan sampai Mama bisa begitu percaya kepada laki-laki asing yang tiba-tiba datang ke rumah ini?Aku mengembuskan napas sambil menelan segala emosiku. Aku tersenyum kecil, miris dengan hidupku sendiri. Semuanya berlangsung sangat cepat hingga dua minggu berlalu pun aku masih merasakan kehadiran kakakku di sekelilingku. Dan merasakan senyum Papa yang menenangkanku.Tapi tentu saja semuanya hanya ilusiku. Mereka sudah pergi, sangat jauh!Aku memutuskan mandi saja untuk me-refresh otakku. Aku bukan tipe orang yang suka bekerja keras, tapi keadaan memaksaku. Siapa lagi yang bisa mengurus perusahaan Papa kalau bukan aku? Dan juga, aku tidak mau melihat raut kecewa di wajah Mama. Aku ingin membuatnya