GIBRAN
"Aurae..."
Aku memanggilnya, bukan berniat untuk sok pahlawan karena hadir di saat dia begitu terpuruk. Aku hanya ingin meminta maaf karena sudah membentaknya. Aku terlalu khawatir hingga tidak sadar berteriak bergitu keras di hadapannya.
Tapi sekarang, melihat matanya yang menitikkan air mata, rasa bersalahku benar-benar menguar. Aku menghela napas panjang saat melihatnya mendongak padaku. Perlahan aku menurunkan badanku, berjongkok di depannya dan meraih tangannya dengan pelan.
Dia tidak menolak, mungkin terlalu shock dengan apa yang mamanya katakan tadi. Aku pun sampai sekarang tidak percaya bahwa Aurae bisa mengatakan hal itu. Dia mengejekku, merendahkanku dan juga keluargaku. Walau mendengarnya membuatku sakit hati, tapi aku mencoba untuk menutupi semuanya dengan keyakinan bahwa Aurae hanya emosi sesaat.
Dia gadis yang baik. Aku yakin itu.
Aku mencoba tersenyum padanya yang masih terlihat kurang fokus. Kubantu dia berdiri perlahan dan membimbingnya untuk duduk di sofa ruang tamu. Kutatap sekeliling dan mendesah lega. Tante Elda memang sudah meninggalkan ruang tamu setelah mengucapkan kalimat yang sanggup membuat Aurae begitu terpuruk seperti sekarang.
Aku berjongkok di depannya yang duduk di sofa. Sedikit mendongak, kutatap wajahnya yang pucat. Tanganku kembali terulur untuk menghapus jejak air mata di pipinya. Tapi hal itu justru membuatnya semakin terisak.
"Kenapa?" tanyaku khawatir saat tubuhnya mulai bergetar. Wajahnya dia tutup dengan kedua tangannya.
Mendengar isakannya membuatku ikut merasakan sakit hatinya. Aku tahu seberapa sakit membuat orang kecewa terhadap kita. Karena aku sering melakukannya, setidaknya dulu. Sebelum aku tidak memiliki siapa-siapa di dunia ini.
"Kenapa lo harus datang ke keluarga gue?"
Ucapan lirih di tengah isakan itu membuatku tertegun. Aku melihat Aurae menatapku tajam dengan matanya yang basah. "KENAPA?" dia berteriak dan semakin histeris.
Aku meraih kedua tangannya dan meremasnya pelan, mencoba menenangkannya karena aku tahu dia selalu menatapku dengan satu jenis pandangan: benci. Dan aku mencoba mencairkan sedikit hatinya yang sedingin es.
"Gue jelas-jelas nggak mau dijodohkan dengan siapa pun. Gue benci dengan kebanyakan laki-laki. Gue hanya ingin bersama Mama sampai kapan pun. Tapi lo datang dan merusak semuanya. Memangnya lo siapa sampai bisa membujuk Mama supaya membolehkan lo menikahi gue?!"
Jadi Tante Elda sudah memberitahu Aurae?
Aku tetap diam mendengar ucapannya yang penuh luapan emosi. Menunggunya sedikit tenang. Tangisnya masih terdengar, tapi tatapan kebenciannya sama sekali tidak pernah lepas dariku. Seakan dia ingin menunjukkan dengan seluruh tekadnya, bahwa dia tidak ingin melihatku.
Aku berdehem setelah dia tidak mengatakan apa-apa lagi. "Aku ... minta maaf. Aku nggak akan memaksamu untuk menikah denganku. Aku akan bicara sama Tante Elda," kataku menenangkannya.
Biarlah, kebahagiaannya lebih penting daripada kebahagiaanku. Aku tidak ingin memaksanya, aku tidak ingin membuatnya terbebani dengan pernikahan kami nantinya. Setelah itu, aku akan kembali dengan pekerjaan dan kesendirianku. Sebenarnya sumber semangatku hingga bisa bertahan sampai saat ini, sendirian, adalah gadis yang kini di depanku, menangis karenaku, dan sangat membenciku.
Aku merasakan tanganku tiba-tiba kosong, Aurae menarik tangannya dari genggamanku. Dia kembali menutupi wajahnya dan menggumamkan kata 'Mama' berkali-kali dengan suara yang sangat serak. Aku tahu dia sangat menyayangi Tante Elda. Tidak ada lagi keluarganya yang tersisa, hanya mamanya. Dan niatku sebenarnya ... ingin melindunginya, melindungi keluarganya yang mungkin belum mengerti bahwa kejahatan masih mengintai mereka.
Hanya aku yang tahu, walau aku belum bisa menjamin mereka akan selamat di tanganku, tapi aku berusaha, setidaknya aku bisa melindungi Aurae dari dekat. Mengantisipasi bahaya yang suatu hari nanti pasti akan terjadi.
"Nggak akan bisa," lirih Aurae lagi. Dia masih menutup wajahnya. "Di samping itu semua ... gue nggak mau mengecewakan Mama."
Aku kembali menghapus air matanya, memaksanya menatapku. Walaupun aku yakin, bukan aku yang dia butuhkan saat ini. Bahkan harusnya aku tahu diri untuk tidak menemuinya lagi.
"Kalau begitu aku akan pergi. Menghilang dari keluarga kamu. Menghindari kamu, mama kamu, dan semua kerabat kamu," kataku tenang.
Padahal dalam hati aku mengerang frustrasi karena ucapanku tadi. Bagaimana mungkin aku setenang itu, seakan tanpa beban mengatakan aku akan menghilang darinya?
Sedangkan setengah duniaku sudah terpaut padanya, semenjak dulu.
"Lo mau mengecewakan Mama dan almarhum Papa? Bukannya kalian sudah berjanji untuk memindahalihkan gue ke tangan lo? Dan gue tahu dalangnya siapa di sini," katanya sinis, menatapku dengan seringai mengejek.
Ya Tuhan, apa maksudnya?
Aku dan kedua orang tuanya memang pernah membuat sebuah janji dan kesepakatan. Tapi itu tidak terlalu mendesak-artinya tidak harus dipenuhi. Dan dulu aku memang pernah mengatakan pada kedua orang tuanya, bahwa aku menyayangi anak gadis bungsu mereka. Tapi reaksi mereka di luar dugaanku. Mereka tertawa, tidak percaya dengan perasaanku yang mereka anggap angin lalu yang berembus di tengah tumbuhnya aku sebagai seorang remaja.
"Lo harusnya sadar, sampai kapan pun gue nggak akan pernah menerima apalagi mencintai lo, bahkan seujung kuku," geramnya, telak. Tepat mengenai perasaanku yang kini sedikit tersinggung dengan ucapannya.
Tapi perasaan tersinggung itu lama kelamaan melebur, tergantikan dengan sesuatu yang lebih pekat. Bahkan aku merasa asupan oksigen di sekitarku berkurang. Aku berusaha menenangkan degup jantungku yang meliar. Aku mendongak untuk kembali menatap matanya.
Egoku yang sedikit terusik memaksaku untuk membuatnya tahu, tentang semuanya. Bahwa yang dia tuduhkan padaku adalah suatu kesalahan besar.
"Aku nggak semiskin yang kamu bilang, asal kamu tau," kataku pelan, menatap matanya.
Walau aku sebenarnya ingin mendesis di depan wajahnya, tapi aku tidak bisa. Aku tidak mau membuatnya kembali ketakutan. Aurae dibesarkan dengan kasih sayang penuh dan sifatnya sangat manja. Membentak hanya membuatnya bertambah takut dan menghindar.
"Pekerjaanku memang tidak bisa dibandingkan denganmu. Tapi aku punya cukup uang untuk menghidupi kamu dan anak-anak kita nantinya."
"Siapa yang bilang mau punya anak sama lo?" selanya sinis. Aku mengabaikan kalimat menohok yang selalu tepat sasaran.
Aku memejamkan mata sejenak, meredam rasa kesal dan segala yang bertumpuk di dalam sana. Kucoba singkirkan rasa kesal itu pelan-pelan agar Aurae bisa mengerti dan menerima semua ucapanku.
"Aku belum membeli rumah karena kerjaku berpindah-pindah. Tapi beberapa bulan lagi aku ditetapkan di sini. Setelah itu, aku akan membeli rumah. Juga mobil, kalau kamu minta. Yang kedua...." aku menghela napas panjang sebelum menjelaskan tentang keluargaku.
Aku tahu tadi yang kuucapkan adalah suatu kesombongan. Tapi aku hanya ingin membuat Aurae tahu cara menghargai seseorang, tidak hanya menilai apa yang terlihat.
"Aku bukan anak haram atau anak yang dibuang seperti tuduhanmu tadi. Aku cuma korban broken home," lanjutku dengan nada yang sedikit bergetar.
Setiap mengingat keluargaku, akan memancing satu kesedihan dan juga kekecewaan yang terasa mencekam. Kisah keluargaku terlalu sulit untuk kujabarkan dengan kata-kata.
"Kalau kita nggak bisa menolak permintaan Mama kamu dan kita akhirnya menikah, aku janji nggak akan menyentuhmu lebih, kalau kamu nggak mau. Aku nggak akan memaksamu. Aku akan menunggu semua mimpimu tercapai, aku tidak ingin menjadi batu sandungan dalam usahamu meraih cita-cita. Anggap saja aku nggak ada kalau perlu. Yang terpenting kamu nyaman. Yang terpenting aku bisa melindungi kamu." Aku melihatnya terkejut dengan ucapanku. Tapi aku hanya tersenyum dan melanjutkan, "Aku tahu kamu belum mencintaiku. Aku sadar, maka dari itu izinkan aku untuk selalu berusaha sampai kamu bisa menerimaku. Aku hanya perlu kamu membiarkanku berusaha."
Aku melihatnya kembali tercekat, tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Air matanya berhenti tepat saat itu dan bibirnya bergerak pelan seakan ingin mengungkapkan sesuatu. Tapi selanjutnya, dia kembali diam dan menatapku dengan tatapan yang biasanya.
"Karena aku...." Suaraku terasa terhambat di tenggorokan. Ini adalah pertama kalinya aku akan mengungkapkan perasaanku kepada seorang perempuan. Sedari dulu tidak pernah. Dan entah kenapa memang sangat gugup. "Aku ... mencintaimu," lirihku.
Tiba-tiba aku mendengar tawa sinis darinya, membuatku menatapnya bingung.
"Laki-laki memang terlalu mudah mengatakan kata bullshit itu. Nggak ada cinta yang tulus antara lawan jenis, hanya pemanfaatan. Sebaiknya lo teliti dulu hati lo, kita baru bertemu beberapa kali dan lo bilang cinta sama gue?" dia kembali tertawa. "Sekarang gue semakin yakin, nggak ada laki-laki yang bukan banci. Secepat itu mengatakan omong kosong. Apalagi lo, nikahin gue cuma dengan modal cinta? Lo kira gue mau?"
Lagi, dia sanggup menyulut emosiku. Kenapa Aurae keras kepala sekali. Dia selalu memukul rata apa yang dia lihat. Tidak bisa mengamati sesuatu dari sisi lain.
"Aku menikahimu bukan hanya karena cinta, Aurae," desisku sambil menatapnya dalam.
Dia pasti mengira bahwa kami hanya bertemu beberapa kali. Nyatanya, aku sudah sering bertemu dengannya. Berpuluh kali, bahkan lebih. Tak terhitung. Hanya dia yang tidak pernah menyadari kehadiranku.
Tapi untuk sekarang, dengan caranya yang masih sama dalam menatapku, aku memang harus menyembunyikannya terlebih dulu.
Bukan hanya karena cinta, tapi lebih dari itu. Tanggung jawab. Aku bertanggung jawab penuh atas keluargamu, karena apa yang keluargaku lakukan padamu di masa lalu dan mungkin ... suatu saat nanti pun masih akan mengintaimu. Dia berbahaya, Aurae. Dan aku hanya ingin menjagamu, itu saja.
"Udah, Re. Jangan nangis terus.""Gue harus gimana, Wi? Mama kecewa sama gue.""Udah minta maaf?""Udah, tapi gue takut....""Takut kenapa?""Gu-gue ... Mama nyuruh gue nikah. Dan gue bingung.""Bingung kenapa? Karena lo masih mengharapkan cinta masa lalu lo yang berengsek itu?"Aku menahan napas mendnegar percakapan itu. Tadi aku memang menjemput Aurae, tapi karena lapar aku memutuskan untuk ke kafe di lantai teratas. Siapa sangka di sini malah bertemu dengan Aurae, dan juga mendengar pembicaraannya dan temannya.Aku memutuskan tetap diam di salah satu meja yang lumayan dekat dari mereka, tapi berusaha agar mereka tidak ada yang melihatku."Dia emang berengsek, Wi, tapi gue. Di-dia, emang begitu. Gue yang ... susah lupa. Gue--""Lo apa? Cinta? Aduh, Re. Emang ya, cinta itu nggak bisa di logika, tapi pikirlah dia udah nyakitin lo sebegitunya, ninggalin lo gitu aja. Masih mau sama yang begitu?!"Aku melihat Aurae menunduk, mengusap air matanya. Apa Aurae begitu mencintai laki-laki di m
AURAE"Masak apa, Ma?"Aku menghampiri Mama yang sedang sibuk di dapur. Wangi masakan langsung memenuhi indra penciumanku. Kulihat Mama melirikku sembari tersenyum, tangannya tetap tidak lepas dari adonan yang sedang dibuatnya."Masak banyak pokoknya, Re. Nanti katamu Gibran mau makan malam bersama kita, kan?"Gibran. Kenapa aku baru ingat laki-laki itu akan kemari nanti malam? Aku harus menyiapkan hati agar tidak melulu terbakar emosi saat melihat wajahnya. Selama ini aku hanya diam saat dia selalu menjemputku di kantor. Demi Mama. Aku sudah meminta maaf pada Mama atas kelakuanku yang membuatnya sedih. Dan tentu saja aku berjanji tidak akan membuatnya kembali menangis dan kecewa karenaku.Ditambah lagi penawaran Gibran tentang 'tidak menganggapnya walaupun sudah menikah' terasa menggelitik dan menggiurkan. Niat utamaku menikah memang demi Mama. Dan aku harus bersyukur karena Gibran sepertinya mengerti niatku itu. Dia bahkan berjanji tidak akan menggangguku, tidak akan menghalangiku d
Aduh, Vin. Jangan malu-maluin Tante. Sekali aja nurut biar Tante nggak malu.Aku terus membatin. Sampai kemudian aku sampai di kamar Mama dan meletakkan Vino di box bayi. Mengamatinya sebentar, aku tersentak. Kenapa melihat Vino justru aku teringat seseorang?Aku menggeleng. Bukan. Ini pasti hanya perasaanku saja yang terlalu merindukan Daniel. Tidak mungkin ada kemiripan mereka berdua.Kuputuskan untuk berjalan keluar kamar saja daripada semakin berkhayal tidak jelas. Belum juga kakiku sampai di ruang makan, pembicaraan Mama dan Gibran membuatku memutuskan untuk diam menunggu, mendengar lebih lanjut apa yang mereka bicarakan."Tante sudah tua, tapi Tante takut hal yang dulu terulang lagi. Makanya Tante minta kamu jaga Aurae. Kalau bisa secepatnya kamu lamar Aurae.""Iya, Tante. Aku usahakan malam ini berbicara dengannya. Aku janji menjaga Aurae. Aku hanya ingin menegakkan kebenaran sekaligus melindungi yang diincar orang itu."Apa lagi ini? Diincar? Siapa?"Ma," panggilku akhirnya, k
GIBRAN"Aurae sedang tidak enak badan."Aku mengernyit mendengar ucapan Tante Elda. Ada rasa bersalah dan khawatir yang timbul saat mengetahui Aurae sedang sakit. Ditambah lagi beberapa bulan ini aku belum sempat mengunjungi bahkan mengabari Aurae. Bukan tanpa alasan, aku hanya ingin melihat bagaimana reaksinya saat dia tahu aku tidak mengabarinya. Apakah dia akan marah dan menganggapku tidak serius? Atau justru sebaliknya?Aku tersenyum kecut, tidak mungkin Aurae merasakan kehilangan, atau minimal ada yang kurang saat tidak mendengar kabarku. Dari dulu pun hanya aku yang merasa tidak lengkap tanpanya sedangkan dia mungkin malah merasa terganggu dengan kehadiranku.Aku menyesal dengan apa yang kulakukan, tidak mengabarinya beberapa bulan ini. Bagaimana mungkin aku begitu kekanakan seperti remaja yang ingin mengetes kekasihnya? Aku lelaki dewasa dan kelakuanku benar-benar tidak sesuai umurku. Seharusnya yang kulakukan adalah setia memberinya kabar, membuatnya yakin bahwa aku tidak main
AURAEAku masih ingat siang itu. Betapa jantungku berdetak sangat cepat dengan seluruh tubuh yang terasa nyeri. Ya, saat aku sedang dalam proses melahirkan anakku. Tidak ada Gibran di sampingku, itu membuatku sungguh kacau. Kukira aku tidak akan melahirkan saat itu juga, dan mencegah Gibran pulang demi menyelesaikan tugas terlebih dulu agar bisa menemaniku bersalin. Ternyata hal itu terjadi lebih cepat dari yang kukira. Seluruh tubuhku terasa remuk, tapi aku sepenuhnya berjuang.Semuanya tergantikan dengan senyum saat tanganku terasa hangat di genggaman seseorang. Aku membuka mata di tengah proses itu, berusaha melihat siapa yang menggenggam tanganku. Gibran di sana, dengan pakaian kerjanya, kepalanya yang berpeluh dan matanya yang memerah. Di atas semua kekhawatirannya akan diriku, dia masih bisa tersenyum, mengecup keningku berusaha membuat semuanya lebih baik. Dan aku merasakannya. Ternyata benar, pepatah yang sering kudengar tentang 'sebaik-baiknya suami adalah yang menemani istri
AURAEAku merasakan sentuhan ringan di pelipisku, membuat tidurku sedikit terganggu. Saat membuka mata, kulihat wajah Gibran sangat dekat. Dia mengecup pelipisku begitu lama."Gibran," gumamku.Tubuhnya kembali menegak, duduk di sampingku."Kamu baru pulang?" tanyaku pelan sembari berusaha duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Kulirik jam dinding dan menunjukkan pukul 3 dini hari. "Kamu belum tidur?"Daripada memikirkan yang tidak-tidak, rasa khawatirku mengalahkan segalanya. Tetapi setidaknya sekarang keadaan Gibran tidak seberantakan tadi sebelum berangkat."Udah tidur tadi, sebentar." Gibran tersenyum kecil."Di mana?" Aku bertanya penasaran. Kuteliti ekspresinya yang seperti menerawang."Re ... kamu bisa ikut aku?"Aku mengernyit. "Ke mana?"Gibran diam tapi tatapannya serius padaku. Maka aku mengangguk ragu dan tidak bertanya lagi. Aku bersiap sementara Gibran menyiapkan mobil terlebih dulu. Sebelum keluar kamar, kutatap Adara yang terlelap damai di atas tempat tidur. Aku memb
AURAEAku mondar-mandir di gedung pertemuan untuk mengawasi kinerja pegawai-pegawaiku. Mereka juga terlihat sibuk dengan bagian mereka sendiri untuk mendekor ruangan menjadi sedemikian rupa. Besok adalah hari pertama penggalangan dana untuk amal dan bazar murah produk perusahaanku. Biasanya aku menyisihkan beberapa produk perusahaan dengan setengah harga sekadar untuk hadiah di hari-hari tertentu. Tentu saja besok adalah hari spesial, yaitu hari lahirnya almarhum Papa. Jenis produkku memang dari mentah, setengah jadi sampai barang jadi. Tapi untuk acara besok, kebanyakan yang datang adalah konsumen maka dari itu aku hanya menyediakan barang jadi saja.Aku melangkah dengan cepat mengecek kembali beberapa makrame yang sebenarnya sudah dicek oleh pegawai. Tanganku bergerak cepat memeriksa satu per satu sulaman, rajutan di tas dan beberapa hiasan dinding. Beberapa kriya kayu dan keramik pun kuperiksa. Kupegang lengan sebuah kursi yang terlihat kokoh dari kayu yang jelas unggul. Tanganku m
AURAEAku memutar bola mataku kesal dan menghampiri polisi itu walau kepalaku terasa sudah akan meledak. Baru saja aku sampai di depannya dan akan mengeluarkan dompet, dia sudah berceloteh panjang lebar."Anda dikenai pasal 283, mengemudi secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi; juga dikenai Pasal 287 karena melanggar rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas; dan Anda juga dikenai pasal 295 yang berbunyi berpindah lajur atau bergerak ke samping tanpa memberikan isyarat. Sanksi pidana untuk pelanggaran pertama—""Berapa?" tanyaku langsung karena mendengar suaranya membuatku semakin pusing.Dia mengernyit menatapku. "Maksud Anda?"Aku mendengus kesal walau dahiku terus berdenyut bahkan aku bisa merasakan ada yang mengalir di pelipisku. Kutatap matanya dengan tajam sambil menyerahkan beberapa lembar uang padanya. "Cukup?"Dia masih diam, tapi aku melihat rahangnya kaku, kuartikan it
AURAEAku merasakan sentuhan ringan di pelipisku, membuat tidurku sedikit terganggu. Saat membuka mata, kulihat wajah Gibran sangat dekat. Dia mengecup pelipisku begitu lama."Gibran," gumamku.Tubuhnya kembali menegak, duduk di sampingku."Kamu baru pulang?" tanyaku pelan sembari berusaha duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Kulirik jam dinding dan menunjukkan pukul 3 dini hari. "Kamu belum tidur?"Daripada memikirkan yang tidak-tidak, rasa khawatirku mengalahkan segalanya. Tetapi setidaknya sekarang keadaan Gibran tidak seberantakan tadi sebelum berangkat."Udah tidur tadi, sebentar." Gibran tersenyum kecil."Di mana?" Aku bertanya penasaran. Kuteliti ekspresinya yang seperti menerawang."Re ... kamu bisa ikut aku?"Aku mengernyit. "Ke mana?"Gibran diam tapi tatapannya serius padaku. Maka aku mengangguk ragu dan tidak bertanya lagi. Aku bersiap sementara Gibran menyiapkan mobil terlebih dulu. Sebelum keluar kamar, kutatap Adara yang terlelap damai di atas tempat tidur. Aku memb
AURAEAku masih ingat siang itu. Betapa jantungku berdetak sangat cepat dengan seluruh tubuh yang terasa nyeri. Ya, saat aku sedang dalam proses melahirkan anakku. Tidak ada Gibran di sampingku, itu membuatku sungguh kacau. Kukira aku tidak akan melahirkan saat itu juga, dan mencegah Gibran pulang demi menyelesaikan tugas terlebih dulu agar bisa menemaniku bersalin. Ternyata hal itu terjadi lebih cepat dari yang kukira. Seluruh tubuhku terasa remuk, tapi aku sepenuhnya berjuang.Semuanya tergantikan dengan senyum saat tanganku terasa hangat di genggaman seseorang. Aku membuka mata di tengah proses itu, berusaha melihat siapa yang menggenggam tanganku. Gibran di sana, dengan pakaian kerjanya, kepalanya yang berpeluh dan matanya yang memerah. Di atas semua kekhawatirannya akan diriku, dia masih bisa tersenyum, mengecup keningku berusaha membuat semuanya lebih baik. Dan aku merasakannya. Ternyata benar, pepatah yang sering kudengar tentang 'sebaik-baiknya suami adalah yang menemani istri
GIBRAN"Aurae sedang tidak enak badan."Aku mengernyit mendengar ucapan Tante Elda. Ada rasa bersalah dan khawatir yang timbul saat mengetahui Aurae sedang sakit. Ditambah lagi beberapa bulan ini aku belum sempat mengunjungi bahkan mengabari Aurae. Bukan tanpa alasan, aku hanya ingin melihat bagaimana reaksinya saat dia tahu aku tidak mengabarinya. Apakah dia akan marah dan menganggapku tidak serius? Atau justru sebaliknya?Aku tersenyum kecut, tidak mungkin Aurae merasakan kehilangan, atau minimal ada yang kurang saat tidak mendengar kabarku. Dari dulu pun hanya aku yang merasa tidak lengkap tanpanya sedangkan dia mungkin malah merasa terganggu dengan kehadiranku.Aku menyesal dengan apa yang kulakukan, tidak mengabarinya beberapa bulan ini. Bagaimana mungkin aku begitu kekanakan seperti remaja yang ingin mengetes kekasihnya? Aku lelaki dewasa dan kelakuanku benar-benar tidak sesuai umurku. Seharusnya yang kulakukan adalah setia memberinya kabar, membuatnya yakin bahwa aku tidak main
Aduh, Vin. Jangan malu-maluin Tante. Sekali aja nurut biar Tante nggak malu.Aku terus membatin. Sampai kemudian aku sampai di kamar Mama dan meletakkan Vino di box bayi. Mengamatinya sebentar, aku tersentak. Kenapa melihat Vino justru aku teringat seseorang?Aku menggeleng. Bukan. Ini pasti hanya perasaanku saja yang terlalu merindukan Daniel. Tidak mungkin ada kemiripan mereka berdua.Kuputuskan untuk berjalan keluar kamar saja daripada semakin berkhayal tidak jelas. Belum juga kakiku sampai di ruang makan, pembicaraan Mama dan Gibran membuatku memutuskan untuk diam menunggu, mendengar lebih lanjut apa yang mereka bicarakan."Tante sudah tua, tapi Tante takut hal yang dulu terulang lagi. Makanya Tante minta kamu jaga Aurae. Kalau bisa secepatnya kamu lamar Aurae.""Iya, Tante. Aku usahakan malam ini berbicara dengannya. Aku janji menjaga Aurae. Aku hanya ingin menegakkan kebenaran sekaligus melindungi yang diincar orang itu."Apa lagi ini? Diincar? Siapa?"Ma," panggilku akhirnya, k
AURAE"Masak apa, Ma?"Aku menghampiri Mama yang sedang sibuk di dapur. Wangi masakan langsung memenuhi indra penciumanku. Kulihat Mama melirikku sembari tersenyum, tangannya tetap tidak lepas dari adonan yang sedang dibuatnya."Masak banyak pokoknya, Re. Nanti katamu Gibran mau makan malam bersama kita, kan?"Gibran. Kenapa aku baru ingat laki-laki itu akan kemari nanti malam? Aku harus menyiapkan hati agar tidak melulu terbakar emosi saat melihat wajahnya. Selama ini aku hanya diam saat dia selalu menjemputku di kantor. Demi Mama. Aku sudah meminta maaf pada Mama atas kelakuanku yang membuatnya sedih. Dan tentu saja aku berjanji tidak akan membuatnya kembali menangis dan kecewa karenaku.Ditambah lagi penawaran Gibran tentang 'tidak menganggapnya walaupun sudah menikah' terasa menggelitik dan menggiurkan. Niat utamaku menikah memang demi Mama. Dan aku harus bersyukur karena Gibran sepertinya mengerti niatku itu. Dia bahkan berjanji tidak akan menggangguku, tidak akan menghalangiku d
"Udah, Re. Jangan nangis terus.""Gue harus gimana, Wi? Mama kecewa sama gue.""Udah minta maaf?""Udah, tapi gue takut....""Takut kenapa?""Gu-gue ... Mama nyuruh gue nikah. Dan gue bingung.""Bingung kenapa? Karena lo masih mengharapkan cinta masa lalu lo yang berengsek itu?"Aku menahan napas mendnegar percakapan itu. Tadi aku memang menjemput Aurae, tapi karena lapar aku memutuskan untuk ke kafe di lantai teratas. Siapa sangka di sini malah bertemu dengan Aurae, dan juga mendengar pembicaraannya dan temannya.Aku memutuskan tetap diam di salah satu meja yang lumayan dekat dari mereka, tapi berusaha agar mereka tidak ada yang melihatku."Dia emang berengsek, Wi, tapi gue. Di-dia, emang begitu. Gue yang ... susah lupa. Gue--""Lo apa? Cinta? Aduh, Re. Emang ya, cinta itu nggak bisa di logika, tapi pikirlah dia udah nyakitin lo sebegitunya, ninggalin lo gitu aja. Masih mau sama yang begitu?!"Aku melihat Aurae menunduk, mengusap air matanya. Apa Aurae begitu mencintai laki-laki di m
GIBRAN"Aurae..."Aku memanggilnya, bukan berniat untuk sok pahlawan karena hadir di saat dia begitu terpuruk. Aku hanya ingin meminta maaf karena sudah membentaknya. Aku terlalu khawatir hingga tidak sadar berteriak bergitu keras di hadapannya.Tapi sekarang, melihat matanya yang menitikkan air mata, rasa bersalahku benar-benar menguar. Aku menghela napas panjang saat melihatnya mendongak padaku. Perlahan aku menurunkan badanku, berjongkok di depannya dan meraih tangannya dengan pelan.Dia tidak menolak, mungkin terlalu shock dengan apa yang mamanya katakan tadi. Aku pun sampai sekarang tidak percaya bahwa Aurae bisa mengatakan hal itu. Dia mengejekku, merendahkanku dan juga keluargaku. Walau mendengarnya membuatku sakit hati, tapi aku mencoba untuk menutupi semuanya dengan keyakinan bahwa Aurae hanya emosi sesaat.Dia gadis yang baik. Aku yakin itu.Aku mencoba tersenyum padanya yang masih terlihat kurang fokus. Kubantu dia berdiri perlahan dan membimbingnya untuk duduk di sofa ruan
AURAESuara itu tidak kuhiraukan. Tapi sebuah pelukan kuterima, aku sudah hafal pelukan ini. Siapa lagi kalau bukan Tiwi—sahabatku. Aku tidak malu jika harus menangis di depannya. Dia sudah seperti saudaraku."Jangan kebanyakan nangis, Re."Tapi aku tetap menangis. Sejak kematian Mbak Dinna yang mendadak, aku seakan kehilangan penopang hidup. Setidaknya setelah kehilangan papa, kesedihanku bisa kucurahkan kepada kakakku. Tapi saat kakakku juga ikut pergi, aku sudah tidak punya siapa-siapa. Kepada Mama, jelas itu hanya membuatnya bertambah sedih."Lo terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini," ucap Tiwi sambil melepas pelukannya saat tangisku sudah reda.Aku mengusap wajahku pelan. Aku tidak ingin Mama tahu bahwa aku selalu menangis sendirian. Biar hanya aku yang menanggung."Muka gue nggak sembap kan, Wi?" tanyaku gusar.Tiwi tertawa pelan dan mencubit pipiku. "Lo tuh ya. Habis nangis pasti yang ditanyain muka. Belepotan tuh make up lo."Mataku melebar. Cepat-cepat kuraih satu cermin di
AURAEAku membanting pintu kamar lumayan keras. Alasannya hanya satu. Laki-laki yang kubenci sekarang ada di rumah ini! Apa-apaan dia sampai berani menginjakkan kaki di rumahku?Ditambah lagi Mama sepertinya sudah luluh dengan polisi muda itu yang aku tidak peduli siapa namanya. Apa yang dia lakukan sampai Mama bisa begitu percaya kepada laki-laki asing yang tiba-tiba datang ke rumah ini?Aku mengembuskan napas sambil menelan segala emosiku. Aku tersenyum kecil, miris dengan hidupku sendiri. Semuanya berlangsung sangat cepat hingga dua minggu berlalu pun aku masih merasakan kehadiran kakakku di sekelilingku. Dan merasakan senyum Papa yang menenangkanku.Tapi tentu saja semuanya hanya ilusiku. Mereka sudah pergi, sangat jauh!Aku memutuskan mandi saja untuk me-refresh otakku. Aku bukan tipe orang yang suka bekerja keras, tapi keadaan memaksaku. Siapa lagi yang bisa mengurus perusahaan Papa kalau bukan aku? Dan juga, aku tidak mau melihat raut kecewa di wajah Mama. Aku ingin membuatnya