GIBRAN
Tubuh di pelukanku membeku setelah aku mengucapkan kalimat itu. Berapa tahun aku tidak bertemu dengannya?
Kucoba renggangkan pelukanku dan kutatap wajahnya yang sangat sayu. Matanya yang berwarna biru masih sangat kusukai seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya. Tapi sekarang matanya memancarkan kebencian.
Apa aku benar-benar menghancurkan keluarga dan hidupnya? Kenapa aku selalu bertemu dengannya di saat-saat genting seperti ini?
Melihatnya tadi, aku sangat terkejut. Ditambah dengan luka di kepalanya, aku ingin sekali menanyakan keadaan dan paling tidak berbicara baik-baik dengannya. Tapi yang kulakukan malahan mengeluarkan segala pasal-pasal pelanggaran yang sudah kuhafal di luar kepala. Dan aku merasa sedikit marah saat dia menyinggung masalah 'uang'. Aku memang tahu dia orang yang sangat kaya, tapi bisakah sedikit saja menghargaiku yang sedang berbicara?
Aku tidak tahu apa yang dia maksud dengan 'urusan penting'. Tapi saat melihat wajahnya yang semakin pucat dan bahkan jatuh meluruh ke tanah, aku tahu ada sesuatu yang buruk terjadi. Kubawa dia masuk ke dalam mobil saat tubuhnya begitu lemah. Dia juga menggumamkan nama seseorang terus menerus. Dan sekarang aku tahu semuanya.
Kakaknya meninggal.
Kejadian ini sama persis seperti beberapa tahun lalu. Saat aku juga menyaksikan salah satu anggota keluarganya meninggal dunia.
Kembali kueratkan pelukanku, membuat tubuh di pelukanku berontak. Tidak ingin membuatnya marah lagi, akhirnya kulepaskan pelukanku. Dia masih menatapku dengan amarah yang menggelegak. Padahal dulu aku sering melihatnya bahagia, ceria, sebelum semuanya terenggut dari hidupnya. Tergantikan dengan dia yang menjadi seperti ini, cuek, angkuh, sombong dan tidak pernah tersenyum sama sekali.
"Apa maksud ucapan lo?"
Ucapan itu kembali menyentakku dari kegiatanku yang sedari tadi mengamati wajahnya. Aku tersenyum kecil. Belum juga aku menjawab, seorang wanita paruh baya yang kutahu adalah ibu dari perempuan ini menghampiri kami dan mencoba meredakan emosi anaknya.
"Aurae ... tenang dulu. Kita pergi saja dari sini ya."
Aurae menggeleng cepat, menolak mentah-mentah usul mamanya. Dia menatapku dengan tatapannya yang masih setajam tadi. Mulutnya terbuka seakan ingin mengucapkan sesuatu, tapi yang dia lakukan selanjutnya adalah mengerang kesakitan sambil memegangi kepalanya.
Melihat keadaannya saja membuatku ingin mengerahkan apa pun di dunia ini demi menggantikan masa-masa tersulitnya dengan kebahagiaan. Walau aku tahu tidak mudah, mengingat sifatnya yang sekarang, tapi aku benar-benar ingin menjadi seseorang yang bisa membuatnya kembali menjadi gadis seceria dulu.
Tapi saat ini, kubiarkan dia pergi dari hadapanku dengan air mata yang menetes di pipinya. Anggukan dari wanita paruh baya yang menggandeng Aurae membuatku sadar bahwa mereka tidak ada yang mengenaliku. Sama sekali.
Aku mengusap wajahku dengan kasar, sepertinya ini berat.
Aku harus memulai semuanya dari awal.
***
"Pak polisi udah pulang?" teriak Koko, temanku yang mau menampungku sementara aku di Jakarta.
Aku melepas jaket dan duduk di depannya. Bau kopi menguar membuatku mendadak haus, dan dalam sekejap ART di rumah Koko membawakan dua gelas kopi untukku dan Koko. Koko berpaling dari koran yang sedang dibacanya dan menyeruput kopinya penuh semangat.
"Balik kapan lo?" tanyanya setelah menyeruput kopinya.
Aku menghela napas. "Lo ngusir gue?"
Dia tertawa. Aku kadang iri dengannya. Dia pebisnis muda yang sukses, dan bisa mendapat semuanya, termasuk rumah yang kutumpangi ini dengan jerih payahnya sendiri.
"Gue bilang juga apa, lo mending jadi businessman kayak gue," katanya bangga.
Aku sudah sering mendengar hal ini. Dan jawabanku masih sama. Aku tetap pada pendirianku.
"Gue ketemu dia, Ko," kataku lirih.
Koko diam dan menatapku. Aku tahu dia mengerti siapa yang kumaksud. Hanya dia temanku sejak SMA yang paling dapat kupercaya untuk mengetahui rahasia besar yang selama ini kusimpan rapat-rapat sejak aku masih remaja.
"Cewek yang...," ucapnya ragu, mempertanyakan keseriusanku.
Aku mengangguk lalu menyeruput kopi, mencoba membasahi kerongkonganku yang terasa kering.
"Terus lo?" lanjutnya.
"Gue belum tahu. Kakaknya meninggal waktu melahirkan. Gue bertemu dia lagi dalam suasana yang sama," kataku lemah.
Aku mendengar helaan napas dari Koko. "Lo boleh pinjem mobil gue kalo lo perlu ke sana. Kapan pun."
Aku mengangguk lalu berdiri, menepuk pundaknya. "Thanks, Ko. Tapi kayaknya gue harus balik sekarang. Dua minggu lagi gue baru ke sini. Mudah-mudahan kasus yang lagi gue tangani cepet kelar." Aku berjalan melewatinya menuju kamar tamu untuk mengambil barang-barangku.
Aku keluar menuju ruang tamu lagi setelah selesai memberesi baraang-barangku. Aku melihat Koko masih duduk sambil menelepon seseorang. Aku duduk di depannya lagi dan menghabiskan kopi yang masih tersisa setengahnya.
"Mendingan lo cepetan temui dia. Bilang yang sebenernya siapa lo ke keluarganya," kata Koko tiba-tiba sambil berdiri.
"Gue nggak yakin. Lo tau konsekuensinya kan kalo gue bilang siapa gue? Dengan keadaannya yang masih benci sama gue, nggak mungkin gue ngomong saat ini," jelasku.
"Seenggaknya lo berusaha," ucapnya. "Sorry, gue nggak bisa nganter lo, ada urusan sekarang," lanjutnya.
"Paling juga cewek lo yang kedua puluh."
Dia terkekeh lalu mengibaskan tangannya dan melangkah menuju garasi samping rumah. Beberapa detik kemudian aku mendengar suara deru mobilnya, semakin lama semakin menghilang, digantikan dengan suara detak jantungku yang mulai tidak beraturan.
Aku memikirkan kata-kata Koko tadi.
Tidak ada ruginya kalau setelah aku mengakuinya, aku akan bisa langsung memiliki perempuan itu. Kalau justru akan semakin membuatnya membenciku?
***
Sudah dua minggu semenjak pertemuanku dengan Aurae. Dan selama itu, aku benar-benar memikirkan kata-kata Koko saat di rumahnya. Aku akui, Koko benar, aku harus mencoba. Saat ini, aku sudah sampai di Jakarta dan sekarang aku tidak ingin merepoti Koko dengan menginap di rumahnya.
Aku bernapas lega, kasus yang kemarin kugeluti sudah tuntas. Aku bisa sedikit mempunyai waktu untuk mengurus permasalahanku sendiri. Yaitu dengan mengunjungi keluarga Aurae.
Aku memberesi barang bawaanku sesampainya di hotel. Kulirik jam tanganku, pukul 4 sore. Dan aku tidak mau menunggu lama untuk segera mengunjunginya. Aku harus ke sana sekarang juga.
Tidak lama kemudian aku sampai di depan sebuah rumah besar di sebuah perumahan elite. Aku turun dari motorku dan mendekati gerbang besar yang tingginya tetap tidak mampu menutupi rumah besar di baliknya. Seorang security menghampiriku.
"Cari siapa, Mas?" tanya security yang kutahu bernama Kardi dari name tag nya.
"Nyari Aurae, Pak," jawabku.
"Oh, Non Aurae belum pulang, Mas. Tapi kalo nyari ibu, ada."
Aku bernapas lega. Sebenarnya yang ingin kutemui pertama kali saat ini memang Mamanya. Setidaknya, aku akan menjelaskan semuanya ke Mamanya terlebih dulu sebelum aku berterus terang pada Aurae.
"Boleh saya masuk, Pak?" tanyaku lagi.
"Boleh, boleh. Silakan."
Security itu membukakan gerbang semakin lebar dan mempersilakan aku melaluinya. Aku menunduk hormat sebelum berjalan memasuki pelataran rumah megah yang sedari dulu selalu kulihat hanya dari luar.
Aku memencet bel beberapa kali sebelum tiba-tiba pintu terbuka dengan seseorang yang masih muda menyipitkan matanya. Celemek berwarna putih bergaris hitam masih bertengger di bahunya.
"Cari siapa ya, Mas?" tanyanya.
"Cari Ibu Elda, ada?"
"Ada, nanti ya saya panggilkan. Mas duduk dulu saja."
Dia mempersilakanku duduk di sebuah sofa yang memang sudah kuduga akan sebagus itu. Aku mengikuti kepergian mbak-mbak yang membukakan pintu tadi sampai seorang wanita keluar dari sebuah lorong pendek pembatas sebuah ruangan.
Wanita itu—mama Aurae—menghampiriku sambil menyipitkan matanya. Aku menghela napas beberapa kali sebelum berdiri dan tersenyum padanya. Wanita itu duduk di depanku dan kembali mempersilakanku duduk, tapi hanya diam dengan kernyitan di dahinya.
Aku tersenyum canggung. "Maaf mengganggu waktu Anda. Saya ... Gibran, Tante."
"Gibran? Seperti pernah bertemu, tapi di mana?" gumamnya yang masih bisa kudengar.
Aku tersenyum. "Di rumah sakit, Tante. Waktu Aurae kecelakaan," jawabku menjelaskan.
Beliau lalu berpikir sejenak, sebelum tersenyum dan mengangguk. "Iya benar, Pak polisi itu. Lalu?"
Tenggorokanku tiba-tiba terasa kering. Aku hanya ingin mengucapkan satu kalimat tapi rasanya sangat sulit. Kembali kutatap Tante Elda yang masih menatapku bingung. Kuhela napas dan kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.
"Saya Gibran, anaknya Bapak Dani Setyo." Suaraku melirih, tapi aku yakin, Tante Elda mendengarku.
Hening beberapa saat, hanya detak jantungku yang bertalu di dalam sana, menandakan betapa gugup dan takut melingkupiku. Aku takut jika Tante Elda tidak mengingat atau bahkan membenciku. Itu menandakan bahwa janjiku dulu memang dianggap lelucon yang tidak berguna. Padahal aku serius dengan apa yang kuucapkan 10 tahun lalu.
Detik, menit, berlalu, dan keadaan masih sama. Aku menunduk, merasa khawatir dengan apa yang akan terjadi selanjutnya, tidak berani melihat ekspresi apa pun yang sedang Tante Elda arahkan padaku. Kutelan salivaku dengan susah payah saat masih tidak mendengar apa-apa.
Ketika aku akan mengangkat kembali kepalaku, aku merasakan sebuah usapan lembut di lenganku. Kutatap Tante Elda yang tersenyum dengan mata yang mulai berair.
"Kamu ke mana saja selama ini?"
Aku memejamkan mata, merasakan kelegaan yang luar biasa. Tante Elda masih mengingatku, dan tidak membenciku. Sikap beliau masih sama. Kasih sayang seorang ibu yang tulus, membuatku merasakan ketenangan orang tua yang selama ini kurindukan.
Aku balas tersenyum, mencoba mengurangi raut bersalah di wajah Tante Elda. "Maaf baru datang, Tante," ucapku.
"Harusnya Tante yang minta maaf. Kamu selalu melindungi keluarga ini, terutama Aurae." Embusan napas terdengar darinya. "Tante berterima kasih sekali padamu. Dan maaf karena sikap Aurae seperti itu. Dia hanya terpukul."
Aku tersenyum memaklumi. Suara pintu terbuka mengalihkan pembicaraan kami. Tante Elda berdiri dan menghampiri Aurae yang baru saja sampai di depan pintu. Dia memakai rok selutut dan blouse yang ditutup dengan blazer berwarna coklat. Dia terlihat lelah, tetapi tidak mengurangi kecantikan alaminya. Aku melihat Tante Elda memeluk Aurae dengan sayang, dan Aurae tersenyum cerah. Sepertinya belum menyadari keberadaanku.
"Ada tamu, Re."
"Siapa, Ma?"
Belum juga aku mengalihkan pandanganku dari mereka, tiba-tiba Aurae memandangku. Pandanganku bertemu dengannya.
"Ada perlu apa lagi lo kemari?" suara itu terdengar tenang tapi entah kenapa aku justru merasakan aura mengintimidasi dari ucapnya.
"Aurae...." Tante Elda mencoba menenangkan.
"Nggak dengar waktu itu gue bilang jangan menunjukkan muka lo lagi di depan gue?"
Aku bangkit dari dudukku dan menghampiri mereka. Baru saja aku akan mengatakan sesuatu, Aurae kembali menyela.
"Sekali lagi. Jangan pernah temui keluarga gue. Karena gue sangat membenci lo!"
Aku tersentak. Aku tahu ini yang akan dia ucapkan, tapi kenapa rasanya sesakit ini? Padahal aku hanya ingin menjelaskan semuanya, termasuk niatku dari awal untuk mencoba melindungi dan membahagiakannya. Tapi....
Derap kaki yang cepat terdengar, Aurae sudah menaiki tangga dan meninggalkan ruang tamu. Aku kembali menghela napas sabar, mau tidak mau egoku benar-benar terusik dengan ucapannya.
Aku melihat Tante Elda akan menyusul Aurae, tapi aku segera mencegahnya, "Biarkan Aurae dulu."
"Tapi harusnya Aurae tahu kalau kamu...."
"Nggak apa-apa, Tante. Aku bisa menunggu."
Aku memaksakan seulas senyum walau kegundahan masih kurasakan. Aku takut kalau pada akhirnya Aurae tidak bisa menerimaku. Sebaiknya aku tidak menjelaskannya sekarang karena pasti Aurae akan tambah membenciku.
"Tante, lebih baik kita rahasiakan semuanya dari Aurae."
Tante Elda menatapku seakan protes.
Aku kembali melanjutkan, "Keadaannya belum tepat. Mungkin butuh waktu untuk Aurae menerima semuanya terlebih dulu."
Tante Elda terdengar menghela napas pelan. "Baiklah kalau itu mau kamu. Tapi ... kamu akan tetap menikahinya, kan?"
Aku memejamkan mata mendengar pertanyaan itu.
Apa aku tetap akan menikahinya?
Tentu saja aku ingin. Aku mengangguk pelan.
"Ya, aku akan menikahinya."
AURAEAku membanting pintu kamar lumayan keras. Alasannya hanya satu. Laki-laki yang kubenci sekarang ada di rumah ini! Apa-apaan dia sampai berani menginjakkan kaki di rumahku?Ditambah lagi Mama sepertinya sudah luluh dengan polisi muda itu yang aku tidak peduli siapa namanya. Apa yang dia lakukan sampai Mama bisa begitu percaya kepada laki-laki asing yang tiba-tiba datang ke rumah ini?Aku mengembuskan napas sambil menelan segala emosiku. Aku tersenyum kecil, miris dengan hidupku sendiri. Semuanya berlangsung sangat cepat hingga dua minggu berlalu pun aku masih merasakan kehadiran kakakku di sekelilingku. Dan merasakan senyum Papa yang menenangkanku.Tapi tentu saja semuanya hanya ilusiku. Mereka sudah pergi, sangat jauh!Aku memutuskan mandi saja untuk me-refresh otakku. Aku bukan tipe orang yang suka bekerja keras, tapi keadaan memaksaku. Siapa lagi yang bisa mengurus perusahaan Papa kalau bukan aku? Dan juga, aku tidak mau melihat raut kecewa di wajah Mama. Aku ingin membuatnya
AURAESuara itu tidak kuhiraukan. Tapi sebuah pelukan kuterima, aku sudah hafal pelukan ini. Siapa lagi kalau bukan Tiwi—sahabatku. Aku tidak malu jika harus menangis di depannya. Dia sudah seperti saudaraku."Jangan kebanyakan nangis, Re."Tapi aku tetap menangis. Sejak kematian Mbak Dinna yang mendadak, aku seakan kehilangan penopang hidup. Setidaknya setelah kehilangan papa, kesedihanku bisa kucurahkan kepada kakakku. Tapi saat kakakku juga ikut pergi, aku sudah tidak punya siapa-siapa. Kepada Mama, jelas itu hanya membuatnya bertambah sedih."Lo terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini," ucap Tiwi sambil melepas pelukannya saat tangisku sudah reda.Aku mengusap wajahku pelan. Aku tidak ingin Mama tahu bahwa aku selalu menangis sendirian. Biar hanya aku yang menanggung."Muka gue nggak sembap kan, Wi?" tanyaku gusar.Tiwi tertawa pelan dan mencubit pipiku. "Lo tuh ya. Habis nangis pasti yang ditanyain muka. Belepotan tuh make up lo."Mataku melebar. Cepat-cepat kuraih satu cermin di
GIBRAN"Aurae..."Aku memanggilnya, bukan berniat untuk sok pahlawan karena hadir di saat dia begitu terpuruk. Aku hanya ingin meminta maaf karena sudah membentaknya. Aku terlalu khawatir hingga tidak sadar berteriak bergitu keras di hadapannya.Tapi sekarang, melihat matanya yang menitikkan air mata, rasa bersalahku benar-benar menguar. Aku menghela napas panjang saat melihatnya mendongak padaku. Perlahan aku menurunkan badanku, berjongkok di depannya dan meraih tangannya dengan pelan.Dia tidak menolak, mungkin terlalu shock dengan apa yang mamanya katakan tadi. Aku pun sampai sekarang tidak percaya bahwa Aurae bisa mengatakan hal itu. Dia mengejekku, merendahkanku dan juga keluargaku. Walau mendengarnya membuatku sakit hati, tapi aku mencoba untuk menutupi semuanya dengan keyakinan bahwa Aurae hanya emosi sesaat.Dia gadis yang baik. Aku yakin itu.Aku mencoba tersenyum padanya yang masih terlihat kurang fokus. Kubantu dia berdiri perlahan dan membimbingnya untuk duduk di sofa ruan
"Udah, Re. Jangan nangis terus.""Gue harus gimana, Wi? Mama kecewa sama gue.""Udah minta maaf?""Udah, tapi gue takut....""Takut kenapa?""Gu-gue ... Mama nyuruh gue nikah. Dan gue bingung.""Bingung kenapa? Karena lo masih mengharapkan cinta masa lalu lo yang berengsek itu?"Aku menahan napas mendnegar percakapan itu. Tadi aku memang menjemput Aurae, tapi karena lapar aku memutuskan untuk ke kafe di lantai teratas. Siapa sangka di sini malah bertemu dengan Aurae, dan juga mendengar pembicaraannya dan temannya.Aku memutuskan tetap diam di salah satu meja yang lumayan dekat dari mereka, tapi berusaha agar mereka tidak ada yang melihatku."Dia emang berengsek, Wi, tapi gue. Di-dia, emang begitu. Gue yang ... susah lupa. Gue--""Lo apa? Cinta? Aduh, Re. Emang ya, cinta itu nggak bisa di logika, tapi pikirlah dia udah nyakitin lo sebegitunya, ninggalin lo gitu aja. Masih mau sama yang begitu?!"Aku melihat Aurae menunduk, mengusap air matanya. Apa Aurae begitu mencintai laki-laki di m
AURAE"Masak apa, Ma?"Aku menghampiri Mama yang sedang sibuk di dapur. Wangi masakan langsung memenuhi indra penciumanku. Kulihat Mama melirikku sembari tersenyum, tangannya tetap tidak lepas dari adonan yang sedang dibuatnya."Masak banyak pokoknya, Re. Nanti katamu Gibran mau makan malam bersama kita, kan?"Gibran. Kenapa aku baru ingat laki-laki itu akan kemari nanti malam? Aku harus menyiapkan hati agar tidak melulu terbakar emosi saat melihat wajahnya. Selama ini aku hanya diam saat dia selalu menjemputku di kantor. Demi Mama. Aku sudah meminta maaf pada Mama atas kelakuanku yang membuatnya sedih. Dan tentu saja aku berjanji tidak akan membuatnya kembali menangis dan kecewa karenaku.Ditambah lagi penawaran Gibran tentang 'tidak menganggapnya walaupun sudah menikah' terasa menggelitik dan menggiurkan. Niat utamaku menikah memang demi Mama. Dan aku harus bersyukur karena Gibran sepertinya mengerti niatku itu. Dia bahkan berjanji tidak akan menggangguku, tidak akan menghalangiku d
Aduh, Vin. Jangan malu-maluin Tante. Sekali aja nurut biar Tante nggak malu.Aku terus membatin. Sampai kemudian aku sampai di kamar Mama dan meletakkan Vino di box bayi. Mengamatinya sebentar, aku tersentak. Kenapa melihat Vino justru aku teringat seseorang?Aku menggeleng. Bukan. Ini pasti hanya perasaanku saja yang terlalu merindukan Daniel. Tidak mungkin ada kemiripan mereka berdua.Kuputuskan untuk berjalan keluar kamar saja daripada semakin berkhayal tidak jelas. Belum juga kakiku sampai di ruang makan, pembicaraan Mama dan Gibran membuatku memutuskan untuk diam menunggu, mendengar lebih lanjut apa yang mereka bicarakan."Tante sudah tua, tapi Tante takut hal yang dulu terulang lagi. Makanya Tante minta kamu jaga Aurae. Kalau bisa secepatnya kamu lamar Aurae.""Iya, Tante. Aku usahakan malam ini berbicara dengannya. Aku janji menjaga Aurae. Aku hanya ingin menegakkan kebenaran sekaligus melindungi yang diincar orang itu."Apa lagi ini? Diincar? Siapa?"Ma," panggilku akhirnya, k
GIBRAN"Aurae sedang tidak enak badan."Aku mengernyit mendengar ucapan Tante Elda. Ada rasa bersalah dan khawatir yang timbul saat mengetahui Aurae sedang sakit. Ditambah lagi beberapa bulan ini aku belum sempat mengunjungi bahkan mengabari Aurae. Bukan tanpa alasan, aku hanya ingin melihat bagaimana reaksinya saat dia tahu aku tidak mengabarinya. Apakah dia akan marah dan menganggapku tidak serius? Atau justru sebaliknya?Aku tersenyum kecut, tidak mungkin Aurae merasakan kehilangan, atau minimal ada yang kurang saat tidak mendengar kabarku. Dari dulu pun hanya aku yang merasa tidak lengkap tanpanya sedangkan dia mungkin malah merasa terganggu dengan kehadiranku.Aku menyesal dengan apa yang kulakukan, tidak mengabarinya beberapa bulan ini. Bagaimana mungkin aku begitu kekanakan seperti remaja yang ingin mengetes kekasihnya? Aku lelaki dewasa dan kelakuanku benar-benar tidak sesuai umurku. Seharusnya yang kulakukan adalah setia memberinya kabar, membuatnya yakin bahwa aku tidak main
AURAEAku masih ingat siang itu. Betapa jantungku berdetak sangat cepat dengan seluruh tubuh yang terasa nyeri. Ya, saat aku sedang dalam proses melahirkan anakku. Tidak ada Gibran di sampingku, itu membuatku sungguh kacau. Kukira aku tidak akan melahirkan saat itu juga, dan mencegah Gibran pulang demi menyelesaikan tugas terlebih dulu agar bisa menemaniku bersalin. Ternyata hal itu terjadi lebih cepat dari yang kukira. Seluruh tubuhku terasa remuk, tapi aku sepenuhnya berjuang.Semuanya tergantikan dengan senyum saat tanganku terasa hangat di genggaman seseorang. Aku membuka mata di tengah proses itu, berusaha melihat siapa yang menggenggam tanganku. Gibran di sana, dengan pakaian kerjanya, kepalanya yang berpeluh dan matanya yang memerah. Di atas semua kekhawatirannya akan diriku, dia masih bisa tersenyum, mengecup keningku berusaha membuat semuanya lebih baik. Dan aku merasakannya. Ternyata benar, pepatah yang sering kudengar tentang 'sebaik-baiknya suami adalah yang menemani istri
AURAEAku merasakan sentuhan ringan di pelipisku, membuat tidurku sedikit terganggu. Saat membuka mata, kulihat wajah Gibran sangat dekat. Dia mengecup pelipisku begitu lama."Gibran," gumamku.Tubuhnya kembali menegak, duduk di sampingku."Kamu baru pulang?" tanyaku pelan sembari berusaha duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Kulirik jam dinding dan menunjukkan pukul 3 dini hari. "Kamu belum tidur?"Daripada memikirkan yang tidak-tidak, rasa khawatirku mengalahkan segalanya. Tetapi setidaknya sekarang keadaan Gibran tidak seberantakan tadi sebelum berangkat."Udah tidur tadi, sebentar." Gibran tersenyum kecil."Di mana?" Aku bertanya penasaran. Kuteliti ekspresinya yang seperti menerawang."Re ... kamu bisa ikut aku?"Aku mengernyit. "Ke mana?"Gibran diam tapi tatapannya serius padaku. Maka aku mengangguk ragu dan tidak bertanya lagi. Aku bersiap sementara Gibran menyiapkan mobil terlebih dulu. Sebelum keluar kamar, kutatap Adara yang terlelap damai di atas tempat tidur. Aku memb
AURAEAku masih ingat siang itu. Betapa jantungku berdetak sangat cepat dengan seluruh tubuh yang terasa nyeri. Ya, saat aku sedang dalam proses melahirkan anakku. Tidak ada Gibran di sampingku, itu membuatku sungguh kacau. Kukira aku tidak akan melahirkan saat itu juga, dan mencegah Gibran pulang demi menyelesaikan tugas terlebih dulu agar bisa menemaniku bersalin. Ternyata hal itu terjadi lebih cepat dari yang kukira. Seluruh tubuhku terasa remuk, tapi aku sepenuhnya berjuang.Semuanya tergantikan dengan senyum saat tanganku terasa hangat di genggaman seseorang. Aku membuka mata di tengah proses itu, berusaha melihat siapa yang menggenggam tanganku. Gibran di sana, dengan pakaian kerjanya, kepalanya yang berpeluh dan matanya yang memerah. Di atas semua kekhawatirannya akan diriku, dia masih bisa tersenyum, mengecup keningku berusaha membuat semuanya lebih baik. Dan aku merasakannya. Ternyata benar, pepatah yang sering kudengar tentang 'sebaik-baiknya suami adalah yang menemani istri
GIBRAN"Aurae sedang tidak enak badan."Aku mengernyit mendengar ucapan Tante Elda. Ada rasa bersalah dan khawatir yang timbul saat mengetahui Aurae sedang sakit. Ditambah lagi beberapa bulan ini aku belum sempat mengunjungi bahkan mengabari Aurae. Bukan tanpa alasan, aku hanya ingin melihat bagaimana reaksinya saat dia tahu aku tidak mengabarinya. Apakah dia akan marah dan menganggapku tidak serius? Atau justru sebaliknya?Aku tersenyum kecut, tidak mungkin Aurae merasakan kehilangan, atau minimal ada yang kurang saat tidak mendengar kabarku. Dari dulu pun hanya aku yang merasa tidak lengkap tanpanya sedangkan dia mungkin malah merasa terganggu dengan kehadiranku.Aku menyesal dengan apa yang kulakukan, tidak mengabarinya beberapa bulan ini. Bagaimana mungkin aku begitu kekanakan seperti remaja yang ingin mengetes kekasihnya? Aku lelaki dewasa dan kelakuanku benar-benar tidak sesuai umurku. Seharusnya yang kulakukan adalah setia memberinya kabar, membuatnya yakin bahwa aku tidak main
Aduh, Vin. Jangan malu-maluin Tante. Sekali aja nurut biar Tante nggak malu.Aku terus membatin. Sampai kemudian aku sampai di kamar Mama dan meletakkan Vino di box bayi. Mengamatinya sebentar, aku tersentak. Kenapa melihat Vino justru aku teringat seseorang?Aku menggeleng. Bukan. Ini pasti hanya perasaanku saja yang terlalu merindukan Daniel. Tidak mungkin ada kemiripan mereka berdua.Kuputuskan untuk berjalan keluar kamar saja daripada semakin berkhayal tidak jelas. Belum juga kakiku sampai di ruang makan, pembicaraan Mama dan Gibran membuatku memutuskan untuk diam menunggu, mendengar lebih lanjut apa yang mereka bicarakan."Tante sudah tua, tapi Tante takut hal yang dulu terulang lagi. Makanya Tante minta kamu jaga Aurae. Kalau bisa secepatnya kamu lamar Aurae.""Iya, Tante. Aku usahakan malam ini berbicara dengannya. Aku janji menjaga Aurae. Aku hanya ingin menegakkan kebenaran sekaligus melindungi yang diincar orang itu."Apa lagi ini? Diincar? Siapa?"Ma," panggilku akhirnya, k
AURAE"Masak apa, Ma?"Aku menghampiri Mama yang sedang sibuk di dapur. Wangi masakan langsung memenuhi indra penciumanku. Kulihat Mama melirikku sembari tersenyum, tangannya tetap tidak lepas dari adonan yang sedang dibuatnya."Masak banyak pokoknya, Re. Nanti katamu Gibran mau makan malam bersama kita, kan?"Gibran. Kenapa aku baru ingat laki-laki itu akan kemari nanti malam? Aku harus menyiapkan hati agar tidak melulu terbakar emosi saat melihat wajahnya. Selama ini aku hanya diam saat dia selalu menjemputku di kantor. Demi Mama. Aku sudah meminta maaf pada Mama atas kelakuanku yang membuatnya sedih. Dan tentu saja aku berjanji tidak akan membuatnya kembali menangis dan kecewa karenaku.Ditambah lagi penawaran Gibran tentang 'tidak menganggapnya walaupun sudah menikah' terasa menggelitik dan menggiurkan. Niat utamaku menikah memang demi Mama. Dan aku harus bersyukur karena Gibran sepertinya mengerti niatku itu. Dia bahkan berjanji tidak akan menggangguku, tidak akan menghalangiku d
"Udah, Re. Jangan nangis terus.""Gue harus gimana, Wi? Mama kecewa sama gue.""Udah minta maaf?""Udah, tapi gue takut....""Takut kenapa?""Gu-gue ... Mama nyuruh gue nikah. Dan gue bingung.""Bingung kenapa? Karena lo masih mengharapkan cinta masa lalu lo yang berengsek itu?"Aku menahan napas mendnegar percakapan itu. Tadi aku memang menjemput Aurae, tapi karena lapar aku memutuskan untuk ke kafe di lantai teratas. Siapa sangka di sini malah bertemu dengan Aurae, dan juga mendengar pembicaraannya dan temannya.Aku memutuskan tetap diam di salah satu meja yang lumayan dekat dari mereka, tapi berusaha agar mereka tidak ada yang melihatku."Dia emang berengsek, Wi, tapi gue. Di-dia, emang begitu. Gue yang ... susah lupa. Gue--""Lo apa? Cinta? Aduh, Re. Emang ya, cinta itu nggak bisa di logika, tapi pikirlah dia udah nyakitin lo sebegitunya, ninggalin lo gitu aja. Masih mau sama yang begitu?!"Aku melihat Aurae menunduk, mengusap air matanya. Apa Aurae begitu mencintai laki-laki di m
GIBRAN"Aurae..."Aku memanggilnya, bukan berniat untuk sok pahlawan karena hadir di saat dia begitu terpuruk. Aku hanya ingin meminta maaf karena sudah membentaknya. Aku terlalu khawatir hingga tidak sadar berteriak bergitu keras di hadapannya.Tapi sekarang, melihat matanya yang menitikkan air mata, rasa bersalahku benar-benar menguar. Aku menghela napas panjang saat melihatnya mendongak padaku. Perlahan aku menurunkan badanku, berjongkok di depannya dan meraih tangannya dengan pelan.Dia tidak menolak, mungkin terlalu shock dengan apa yang mamanya katakan tadi. Aku pun sampai sekarang tidak percaya bahwa Aurae bisa mengatakan hal itu. Dia mengejekku, merendahkanku dan juga keluargaku. Walau mendengarnya membuatku sakit hati, tapi aku mencoba untuk menutupi semuanya dengan keyakinan bahwa Aurae hanya emosi sesaat.Dia gadis yang baik. Aku yakin itu.Aku mencoba tersenyum padanya yang masih terlihat kurang fokus. Kubantu dia berdiri perlahan dan membimbingnya untuk duduk di sofa ruan
AURAESuara itu tidak kuhiraukan. Tapi sebuah pelukan kuterima, aku sudah hafal pelukan ini. Siapa lagi kalau bukan Tiwi—sahabatku. Aku tidak malu jika harus menangis di depannya. Dia sudah seperti saudaraku."Jangan kebanyakan nangis, Re."Tapi aku tetap menangis. Sejak kematian Mbak Dinna yang mendadak, aku seakan kehilangan penopang hidup. Setidaknya setelah kehilangan papa, kesedihanku bisa kucurahkan kepada kakakku. Tapi saat kakakku juga ikut pergi, aku sudah tidak punya siapa-siapa. Kepada Mama, jelas itu hanya membuatnya bertambah sedih."Lo terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini," ucap Tiwi sambil melepas pelukannya saat tangisku sudah reda.Aku mengusap wajahku pelan. Aku tidak ingin Mama tahu bahwa aku selalu menangis sendirian. Biar hanya aku yang menanggung."Muka gue nggak sembap kan, Wi?" tanyaku gusar.Tiwi tertawa pelan dan mencubit pipiku. "Lo tuh ya. Habis nangis pasti yang ditanyain muka. Belepotan tuh make up lo."Mataku melebar. Cepat-cepat kuraih satu cermin di
AURAEAku membanting pintu kamar lumayan keras. Alasannya hanya satu. Laki-laki yang kubenci sekarang ada di rumah ini! Apa-apaan dia sampai berani menginjakkan kaki di rumahku?Ditambah lagi Mama sepertinya sudah luluh dengan polisi muda itu yang aku tidak peduli siapa namanya. Apa yang dia lakukan sampai Mama bisa begitu percaya kepada laki-laki asing yang tiba-tiba datang ke rumah ini?Aku mengembuskan napas sambil menelan segala emosiku. Aku tersenyum kecil, miris dengan hidupku sendiri. Semuanya berlangsung sangat cepat hingga dua minggu berlalu pun aku masih merasakan kehadiran kakakku di sekelilingku. Dan merasakan senyum Papa yang menenangkanku.Tapi tentu saja semuanya hanya ilusiku. Mereka sudah pergi, sangat jauh!Aku memutuskan mandi saja untuk me-refresh otakku. Aku bukan tipe orang yang suka bekerja keras, tapi keadaan memaksaku. Siapa lagi yang bisa mengurus perusahaan Papa kalau bukan aku? Dan juga, aku tidak mau melihat raut kecewa di wajah Mama. Aku ingin membuatnya