“Tanda tangani kontrak ini, atau kamu akan menyesal!” geram pria itu mencekik Jenia penuh amarah.
“Tidak! Aku tidak akan menandatanganinya!” Jenia keras kepala, menolak untuk menandatangani surat kontrak yang ada di atas ranjangnya.
“Huh, ternyata kamu memanglah gadis yang amat keras kepala. Kamu terlalu egois, sehingga kamu tidak memikirkan keluargamu yang berada di Jakarta akan hidup menderita karenamu!”
Jenia membulatkan matanya mendengarkan ucapan pria itu yang merembet kepada keluarganya. Mungkinkah dia mengenal keluarga Jenia? ataukah ini hanya sekadar ancama belaka?
“Kamu tidak kenal siapa keluargaku!” ucap Jenia dengan bangga dengan suaranya yang ia paksakan.
Cekikan itu semakin kuat membuat Jenia merasa kesulitan untuk bernapas. Jenia merasa suaranya tercekat.
“Pikirkanlah baik-baik, jika kamu tidak ingin tanda tangani perjanjian ini, maka bersiaplah mengucapkan selamat tinggal kepada ayah tercintamu, aku bisa membuatnya mati hanya dalam waktu satu detik, dan dokter yang berada di rumah sakit tidak akan ada yang curiga bahwa aku yang membunuhnya,” pria itu seakan bangga mempermainkan hati Jenia yang semakin risau.
Jenia tidak ingin hal buruk terjadi kepada keluarganya, terlebih kepada papanya yang begitu Jenia sayangi.
“Ba… baik! Aku akan menandatanganinya, tetapi berikan aku waktu!” Jenia mulai menyerah. Kerasnya batu karang di dalam hati Jenia saat ini sudah berhasil ia robohkan. Namun, Jenia tidak ingin gegabah dalam mengambil tindakan.
Marvin melepaskan tangannya dari leher Jenia, dengan angkuhnya ia berjalan meninggalkan Jenia dengan rasa sakit yang ia tinggalkan di leher Jenia.
Pintu kamar Jenia kembali tertutup dan terkunci dari luar. Jenia mengempaskan tubuhnya di atas kasur. Tangannya tidak behenti memukul-mukul guling yang ada di dekatnya.
“Pria biadab dia sama sekali tidak berperasaan.”
Jenia kembali duduk, menghapus air mata yang menggenang di pipinya meski buliran bening itu terus saja mengalir tanpa izin.
“Aku harus bertemu dengan Cherry, bagaimanapun caranya. Dia harus menjelaskan padaku apa yang dikatakan oleh Mr. M itu.” Jenia menatap pada cermin di hadapannya. Wajahnya yang memerah seakan menunjukkan bahwa ia tengah marah pada nama yang ia sebutkan.
***
“Di mana kamu memungut gadis bodoh itu?” tanya Marvin dengan suara yang lebih lantang. Kali ini Marvin tidak mengenakan topeng di hadapan sahabatnya, Ferdinand.
Hidungnya yang mancung itu tampak memerah seperti kedua matanya yang juga memerah karena menahan emosi. Marvin tidak tahu kemana lagi ia melampiaskan rasa amarahnya yang begitu besar karena Jenia yang terus menolak untuk menandatangani kontrak dengannya.
“Kamu kenapa? Main masuk ke dalam kamarku dan marah-marah?” pria yang baru saja memutus panggilan telponnya itu menghampiri Marvin yang tidak lagi mampu menahan emosinya.
“Gadis itu benar-benar sudah membuatku emosi sehari ini,” geram Marvin melemparkan sepatunya ke arah pintu kamar, lalu ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang kosong di dekatnya.
Pria yang berdiri di depan jendela itu menghampiri Marvin dan memandang Marvin dengan seksama. Ia terlihat stress, entah apa yang sudah dilakukan Jenia kepada Marvin menyisakan rasa penasaran di dalam hatinya.
“Baru juga satu hari, emangnya apa yang sudah Jenia lakukan padamu?” tanya pria itu yang tak lain adalah Ferdinand, adik dari Jonathan, sahabat Marvin.
“Kamu tahu, aku sangat tidak suka mendapatkan bantahan dari siapapun, tetapi kali ini gadis yang kamu berikan kepadaku, dia sangat keras kepala. Dia berani membantahku dan enggan menandatangani kontrak yang aku berikan padanya, bahkan ia sama sekali tidak takut kepadaku maupun ancamanku yang bisa berlaku padanya, padahal aku sudah memberinya pelajaran!”
“Hahaha… bagaimana ceritanya seorang Marvin Hadijaya Sasena dibantah oleh seorang gadis lugu seperti Jenia?” terkekeh Ferdinand mendengarkan cerita Marvin yang begitu menggebu.
Tawa Ferdinand membuat Marvin semakin kesal. Marvin menendang kursi kayu yang ada di dekatnya sehingga Ferdinand diam sembari menahan tawanya.
“Ini semua karena kamu tidak berkompeten dalam mencari gadis yang cocok untuk melahirkan darah dagingku sendiri!”
“Marvin … Marvin … kamu itu adalah sahabat terbaikku, aku tidak akan mungkin salah memilihkan dia untukmu, itu semua karena dia adalah satu-satunya gadis yang menurutku masih original,”
“Kamu pikir dia kopi apa pakai original segala,”
“Iya, dia seperti kopi yang langka, dia gadis baik-baik, jangankan keluar malam dan main di bar, pacaran saja dia tidak pernah!”
“Apa kamu seakrab itu dengannya?”
“Aku mendapatkan informasi ini dari sahabatnya sendiri,”
“Mungkin apa yang kamu katakan memang benar, dia memang… ah… sudahlah, harus aku apakan dia sehingga dia bersedia untuk menandatangani kontrak yang kubuat?”
“Sepertinya kamu hanya harus bersikap lebih baik dan lebih ekstra lagi dalam bersabar menghadapi seorang gadis sepertinya,”
“Apa? Aku harus bersikap baik kepadanya dan memiliki kesabaran ekstra untuk gadis seperti dia? Bagaimana bisa? Kamu tahu bukan, aku tidak bisa melakukan hal seperti itu, karena kebaikan dan ketulusanku hanya untuk Nania, istriku seorang!”
Ferdinand diam, ia seakan tidak ingin membangkitkan kesedihan di dalam hati sahabatnya itu. Marvin sudah cukup menderita dengan kepergian sang istri yang meninggal karena sakit keras. Bahkan Marvin menyembunyikan kematian istrinya dari keluarga besar hingga ia memiliki seorang anak.
Marvin enggan dijodohkan oleh kakeknya, jika kakeknya tahu bahwa istri Marvin telah meninggal dunia. Desakan sang kakek membuat Marvin harus mendengarkan rencana yang disampaikan Ferdinand padanya.
Sedangkan Ferdinan berencana untuk memberikan Jenia kepada Marvin dengan harapan Marvin bisa membuka sedikit hatinya untuk Jenia dan melupakan istrinya yang sudah tiada dengan dalih Jenia sebagai seorang yang akan melahirkan anak untuk Marvin.
Namun, Marvin begitu mencintai sang istri. Buktinya, Marvin tidak bersedia untuk bersikap baik kepada Jenia karena baginya kebaikan di hatinya hanyalah milik Nania sang istri yang sudah lebih dahulu menghadap pada sang ilahi.
“Vin, setidaknya kamu harus bersabar menghadapi gadis itu sampai dia melahirkan anak untukmu, agar kakek Sasena tidak lagi mengancammu dengan ancaman akan memberikan harta warisannya kepada anak yatim!”
“Apa aku harus melakukan semua itu?” keluh Marvin lesu.
“Ya!”
“Tidak, aku tidak bisa. Bisa jatuh harga diriku dengan bersikap lembut kepada gadis itu, bisa besar kepala dia nanti!”
“Gadis mana yang akan melahirkan anak untukmu sedangkan kamu tidak mampu bersabar dan menahan emosi di hadapannya? Jika dia membangkang, itu wajar karena dia masih terkejut dengan kehadiranmu yang tiba-tiba di dalam hidupnya.”
“Ah… persyaratan itu begitu sulit untukku yang sangat tidak bisa bersikap lembut kepada wanita pembangkang seperti dia.”
“Lalu, kamu mau bagaimana? Ingat ya, uang yang sudah kamu berikan kepadaku tidak bisa aku kembalikan lagi, uang itu sudah habis.” Ferdinand melangkah menuju jendela kamarnya yang terbuka, kemudian ia menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya.
“Uang 1,5 M sudah kamu habiskan begitu saja?” tanya Marvin tidak percaya kepada sahabatnya yang satu ini.
Angka yang tidak sedikit untuk Marvin mendapatkan seorang anak dari rahim Jenia yang telah ia berikan kepada Ferdinand. Namun, Ferdinand merasa kecewa dengan sikap Jenia yang telah berani melawan sahabatnya.
“Kamu jangan khawatir, Fer, aku tidak akan meminta kembali apa yang telah aku berikan kepadamu,” Marvin menepuk pundak Ferdinand.
“Lagi pula, jika pun kamu memintanya kembali, aku tidak akan memberikannya karena uang itu telah habis,”
“Boros sekali dirimu, kemana kamu habiskan uang itu dalam waktu semalam?”
“Aku menginvestasikannya dengan membeli saham sebuah perusahaan yang sedang berkembang pesat sekarang ini,”
“Wah… wah, kamu lebih cerdas dari Jonathan. Perusahaan mana yang sedang berkembang saat ini?” tanya Marvin penasaran.
“Aku tidak bisa mengatakannya kepadamu, masih rahasia!” kekeh Ferdinand.
“Baiklah, aku akan mengatakannya kepada Jonathan,”
“Jangan-jangan. Baik aku akan mengatakannya padamu, tetapi jangan sekali-kali membocorkan hal ini kepada Kak Jonathan, rahasiakan semua ini darinya, okey!”
“Ya, baiklah, Katakan!”
“Perusahaan Mahezalver,”
“Sepertinya aku tidak merasa asing dengan perusahaan itu,”
“Ya, itu perusahaan tekstil milik calon mertuaku,”
Marvin menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tidak menyangka sahabatnya yang satu ini ternyata lebih cerdas dalam menentukan masa depan yang akan ia bangun bersama keluarga calon istrinya kelak.
*** Bersambung ***
Jenia sudah memikirkan dengan matang cara untuk keluar dari vila itu. Ia tidak akan peduli dengan hasil yang akan ia capai. Namun, Jenia percaya diri, bahwa ia bisa terbebas dari genggaman pria bertopeng itu meskipun ia harus mempertaruhkan nyawanya. “Aku pasti bisa menjalankan rencanaku ini,” ucapnya yakin meskipun ada sedikit kegetiran di dalam hatinya. Jenia tersenyum memandang pada langit yang mulai kelam. Seharian ini pria bertopeng itu tidak mendatanginya, membuat ia merasa sedikit lega dan dapat memulihkan kesehatannya setelah kemarin ia harus menahan rasa sakit yang diberikan oleh pria kejam itu. Jenia menatap vas bunga berbahan kaca yang ada di atas lemari kayu dekat kamar mandi. Jenia mengelus vas bunga itu dengan senyum penuh harapan. “Vas bunga yang sangat cantik, aku harap kamu sangat berguna di dalam kehidupanku ini!” tukas Jenia tidak luput pandangannya dari memandangi vas bunga dan mengelus benda yang ada di hadapannya itu.
Jenia mengandalkan segala kepandaiannya kali ini. Ia tidak bisa terus berlari sedangkan para pengawal itu terus saja mengejarnya, lagi pula, Jenia tidak tahu jalan mana yang harus ia telusuri agar terbebas dari tempat gelap dan dipenuhi pepohonan itu. Di hadapan Jenia ada sebuah pohon yang menjulang tinggi dan begitu banyak dahan di pohon yang bisa Jenia andalkan kali ini. Jenia tersenyum senang, seakan kepintarannya memberikan keberuntungan padanya. Ia tidak peduli dengan kemungkinan-kemungkinan binatang yang ada di atas pohon itu. Jenia berusaha untuk memanjat pohon itu setingginya, hingga para pengawal yang terus saja mengejarnya tidak dapat menemukan keberadaannya. Dari atas pohon, Jenia bisa mendengarkan suara para pengawal yang masih mengejarnya dan mencari-cari keberadaannya. Ia meneguk salivanya ketika seokor ular putih berada di dekatnya. Ia berusaha untuk tetap diam dan tenang, saat ular pohon menjulur melewati tubuhnya. Rasa
“Apa maksud ucapanmu itu?” tanya Jenia dengan nada yang mulai meninggi. Jonathan meneguk salivanya, jakunnya turun naik mendengarkan suara Jenia yang bernada tinggi dan memekakan telinganya. Sepertinya kali ini ia telah salah dalam berkata sehingga memancing kemarahan gadis yang tengah terpuruk di belakangnya saat ini. “Maaf, aku hanya bercanda saja, aku tidak bersungguh-sungguh dalam mengucapkannya!” Jonathan berusaha untuk meyakinkan Jenia dengan menggeleng-gelengkan kepala, menunjukkan bahwa ia adalah pria yang baik-baik. “Kenapa kalian para pria selalu saja seenaknya dalam bicara? Bukankah kamu tahu apa yang kamu katakan barusan itu adalah salah satu pelecehan terhadap wanita?” “Tolong, jangan berpikir seperti itu tentangku, aku sungguh-sungguh, sama sekali tidak bermaksud seperti itu, aku hanya bercanda saja,” gagap Jonathan. “Dalam situasi seperti ini, kamu masih bisa membuat guyonan kepadaku?” “Baiklah, aku minta maaf! Aku menga
Marvin tengah dirawat oleh seorang Dokter karena luka akibat vas bunga itu begitu dalam. Sedangkan Ferdinand mondar-mandir di luar ruangan menantikan Dokter keluar dari dalam dan memberikan kabar padanya. “Dasar bodoh! Kenapa kalian bisa melepaskan gadis itu begitu begitu saja!” berang Marvin pada salah seorang pengawal yang bertugas untuk menjaga Jenia. Tangan Ferdinand tidak hentinya menampar dan memukuli wajah pria di hadapannya itu, dengan kekesalan yang mendalam dan amarah yang memuncak. “Aku tidak mau tahu, sekarang kalian cari gadis itu sampai dapat dan pastikan kalian membawanya kembali ke hadapanku!” tegas Ferdinand. Pengawal itu pergi setelah mendapatkan perintah dari Ferdinand. Ferdinand begitu merasa kesal. Bagaimana tidak, ia merasa takut jika saja Marvin bangun dan mempertanyakan keberadaan gadis itu. Marvin pasti akan marah besar padanya dan membatalkan semua kerja sama yang sudah ada di depan mata karena gadis itu. Ferdin
Jonathan merasa tubuhnya begitu ringan kali ini, padahal dengan jelas semalam ia tidur sembari mendekap Jenia. Ia tidak bisa merasakan keberadaan gadis yang semalam menggigil kedinginan di dalam dekapannya. Jonathan membuka matanya ia segera membetulkan posisi duduknya. Jenia sudah tidak ada di dekatnya. Ia menatap ke sekitar, Jenia sudah tidak ada di dalam ruangan itu. Jonathan berdiri dan mencari Jenia keluar. Berharap gadis itu masih berada di dalam apartemennya. “Gadis itu sudah pergi, dia pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku!” pikirnya sembari memukul-mukul kepalanya. Jonathan merasa bersalah pada Jenia, karena gadis itu baru saja keluar dari masalahnya dan kini ia memberikan masalah baru pada Jenia. “Bodoh… bodoh… bodoh!” ucap Jonathan mengatai dirinya sendiri. Jenia pasti tidak akan menerima alasannya hingga ia harus mendekap Jenia semalaman. Jonathan tidak bisa berpikir lain, selain memikirkan tanggapan Jenia kepadanya.
Jonathan kembali ke rumah sakit. Sedangkan Jenia tidak ingin berlama-lama berada di kamar kossan Cherry. Setelah mendengarkan cerita Bu Yuni panjang lebar, Jenia memberanikan dirinya untuk kembali pulang ke rumah. “Aku pulang!” sapa Jenia dengan lemas. Julia, Ibu tiri Jenia tengah sibuk membaca majalah harian terkejut dengan kedatangan Jenia kali ini. Ia berdiri bertolak pinggang menatap Jenia dengan tatapan yang begitu kejam berselimut amarah. “Oh, enak sekali ya hidupmu, setelah pergi tanpa kabar kamu pulang begitu saja!” omel Julia dengan nada tinggi. “Ma, aku lelah. Aku tidak ingin berdebat dengan Mama!” ucap Jenia terus melangkah masuk ke dalam rumahnya berusaha untuk mengabaikan Julia yang memerah karena marah. Julia berjalan menghampiri Jenia. Ia merasa kesal dengan sikap Jenia yang mengabaikannya. Plak!!! Satu tamparan melesat di pipi Jenia sehingga pipi itu berjejak merah. Jenia memegang pipinya yang terasa sakit. Ia b
Jonathan kembali masuk ke dalam ruangan di mana Ferdinand tampak tegang. Entah apa yang sedang mereka bicarakan kali ini membuat rasa penasarannya semakin membuncah. “Apa yang sedang kalian bicarakan? Kenapa sikap kamu seperti kawat tegang begitu?” tanya Jonathan menepuk pundak Ferdinand yang tengah berusaha menyembunyikan wajahnya dari sang kakak. “Ha, enak saja, lihat ini, bahkan aku lebih tampan darimu!” keluh Ferdinand. “Kami hanya sedang membicarakan pertemuan kita yang gagal.” “Oh ya, aku juga minta maaf karena ada hal yang mendesak sehingga aku tidak bisa mengunjungimu tadi malam!” ucap Jonathan penuh sesal. “Hal mendesak apa yang pernah kamu lakukan kak, selain pekerjaan? Bukankah semua pekerjaan sudah beres?” tanya Ferdinand merasa curiga. Ferdinand merasa heran karena kakaknya selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan, bahkan dari yang Ferdinand tahu selama ini, Cherry berniat memutuskannya karena Jonathan tidak pernah memilik
Jenia menyeka air mata yang terus-terusan tumpah karena penyesalan atas diri yang tidak bisa ia jaga. Ia tidak ingin terus berada di ambang kehancuran seperti yang ia rasakan. Ia berdiri di depan pintu, berniat untuk keluar kamar. Namun, Jenia mengurungkan niatnya ketika mendengar suara perdebatan antara Erliza dan Erlina di depan kamarnya. Di luar kamar, Erlina membawakan makanan untuk Jenia. Ia merasa iba kepada Jenia, meskipun Jenia hanyalah adik tirinya saja, tetapi rasa sayangnya kepada Jenia sama besar dengan kasih sayang yang Erlina berikan kepada Erliza. “Kakak kenapa selalu bersikap sok baik sama Jenia? Biarkan saja dia mati kelaparan karena tidak makan. Siapa suruh dia mengurung diri saja di kamar sejak dia pulang?” gerutu Erliza merasa cemburu melihat Erlina yang selalu baik kepada Jenia. “Za, kamu tidak boleh berkata kasar seperti itu, bagaimanapun Jenia adalah adikku, aku tidak ingin terjadi sesuatu hal kepadanya,” “Dia hany