Jenia mengandalkan segala kepandaiannya kali ini. Ia tidak bisa terus berlari sedangkan para pengawal itu terus saja mengejarnya, lagi pula, Jenia tidak tahu jalan mana yang harus ia telusuri agar terbebas dari tempat gelap dan dipenuhi pepohonan itu.
Di hadapan Jenia ada sebuah pohon yang menjulang tinggi dan begitu banyak dahan di pohon yang bisa Jenia andalkan kali ini.
Jenia tersenyum senang, seakan kepintarannya memberikan keberuntungan padanya. Ia tidak peduli dengan kemungkinan-kemungkinan binatang yang ada di atas pohon itu.
Jenia berusaha untuk memanjat pohon itu setingginya, hingga para pengawal yang terus saja mengejarnya tidak dapat menemukan keberadaannya.
Dari atas pohon, Jenia bisa mendengarkan suara para pengawal yang masih mengejarnya dan mencari-cari keberadaannya.
Ia meneguk salivanya ketika seokor ular putih berada di dekatnya. Ia berusaha untuk tetap diam dan tenang, saat ular pohon menjulur melewati tubuhnya.
Rasa takut, sudah pasti ada sejak Jenia hendak naik ke atas pohon itu, tetapi apa yang bisa Jenia lakukan jika ia tidak naik ke atas pohon, mungkin saja para pengawal itu sudah menangkapnya karena lelah berlari.
“Ya, Tuhan, selamatkan aku kali ini, aku mohon!” pinta Jenia dalam hati.
Para pengawal itu mendengarkan suara gemersik dedaunan yang bergoyang di tempat lain.
“Sepertinya dia lari ke sana, mungkin saja dia berlari memasuki hutan untuk menuju rumah warga!” ucap salah seorang pengawal yang berada tepat di bawah pohon tempat Jenia berada saat ini.
Setelah meyakinkan mereka semua sudah berada jauh darinya, Jenia kembali turun dari pohon yang Jenia sendiri tidak tahu pohon apa yang telah ia panjat. Jenia terus berlari menelusuri jalan setapak yang cukup terang karena cahaya bulan.
“Aku harus mencari tumpangan atau tempat untukku bersembunyi dari mereka,” gumamnya.
“Mereka mungkin saja masih akan mengejarku sampai ke sini!” gumam Jenia terus berusaha untuk berlari sekuat tenaganya, meskipun kakinya saat ini sudah dipenuhi dengan luka akibat ranting dan bebatuan yang ia pijak.
Jenia tidak sempat untuk mengenakan sandal maupun sepatu, kali ini ia benar-benar dalam kondisi yang berantakan.
“Tuhan, berikan aku secercah harapan untuk kembali pulang!” harap Jenia saat Jenia mulai merasa lelah untuk berlari.
Mata Jenia terasa silau ketika sebuah mobil dari arah berlawanan melintas di sana. Jenia merentangkan dan melambaikan tangannya berharap si pemilik mobil itu berhenti dan memberikan tumpangan kepadanya.
“Stop! Berhenti … Berhenti!” pekik Jenia.
Pemilik mobil sport hitam itu berhenti tepat di hadapannya. Jenia tidak peduli siapa orang yang ada di dalam mobil itu, ia hanya ingin bisa keluar dari tempat yang ia anggap itu adalah tempat terkutuk baginya.
Jenia segera berlari dan membuka pintu belakang mobil itu saat si pemilik mobil keluar untuk menghampirinya.
“Masuk!” titah Jenia.
Pria itu menuruti perintah Jenia dan masuk ke dalam mobilnya, lalu ia duduk di bagian supir.
“Jalan!” Jenia mengacungkan pecahan kaca yang ada di tangannya ke arah pria itu berupaya untuk mengancam agar ia bersedia untuk mengantar Jenia.
Namun, pria itu masih terdiam dan tidak melajukan kendaraannya sama sekali. Ia hanya mematut wajah Jenia dari balik kaca spion.
“Putar balik! Cepat!” titah Jenia lagi.
“Heh, kamu mau membegalku?” tanya pria itu.
“Sekarang juga kamu putar balikkan mobil ini dan ikuti perintahku, jika tidak, aku bisa saja membunuhmu dengan beling ini!” perintah Jenia lagi.
Pria itu terus memandang Jenia dari kaca spionnya. Ia tersenyum, kemudian mengikuti perintah Jenia dan memutar balikkan mobilnya lalu melaju meninggalkan tempat itu.
Setelah cukup jauh dari tempat semula, pria itu menghentikan mobilnya. Jenia mulai merasa was-was, kenapa pria itu menghentikan mobilnya di tempat yang sepi? Apakah Jenia salah masuk mobil kali ini? Apakah pria itu sama sekali tidak takut dengan ancaman Jenia kali ini?
Ya, Jenia memang tidak berbakat dalam hal mengancam orang lain.
Jenia meneguk salivanya, ia merasa takut jika pria itu lebih berbahaya dari para pengawal yang mengejarnya.
“Apa setelah aku keluar dari mulut singa, kini aku berada di mulut buaya?” pikiran buruk Jenia mulai bergerilya menyelimutinya.
“Aku harus menelpon seseorang, karena seharusnya aku menghadiri rapat penting, tetapi aku rasa membantumu lebih penting!” ucap pria itu mengeluarkan ponselnya.
“Kamu pasti hendak menelpon polisi, ‘kan?” tanya Jenia peuh curiga.
“Tidak! Aku tidak akan menelpon polisi, aku janji. Aku hanya perlu mengabari adikku karena aku tidak ingin membuatnya khawatir.”
“Baiklah! Tidak lebih dari dua menit!” tegas Jenia.
Pria itu menekan nomer di layar ponselnya lalu menempelkan ponsel itu di telinganya, setelah telpon terangkat, tanpa basa-basi ia berkata pada si penelpon, “Sepertinya aku tidak bisa datang malam ini karena aku merasa kurang enak badan, kamu berikan saja laporannya setelah selesai nanti,”
Tanpa banyak kata lagi, pria itu segera menutup ponselnya karena baterai ponsel itupun habis.
“Hehe, kamu lihat sendiri bukan, aku menelpon tidak sampai satu detik. Sepertinya hidupku akan berakhir di tanganmu kali ini!” kekehnya.
“Jangan terkekeh! Lajukan kembali mobilnya!” titah Jenia.
“Baiklah!” pria itu tersenyum kemudian melajukan kembali mobilnya.
“Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu malah bersikap seperti ini?” tanya pria itu berusaha untuk mencairkan suasana yang tampak tegang karena Jenia bersikap layaknya seorang ratu yang memerintah.
“Jangan banyak tanya, ikuti saja perintahku!” tegas Jenia.
“Baiklah, apa perintahmu padaku kali ini, Nona?”
“Antarkan aku ke Jakarta, aku akan membayar sewa mobilmu ini setelah aku tiba di sana!”
Jonathan membulalangkan matanya. Gadis di belakangnya saat ini tidak terlihat seperti seorang begal, ia lebih terlihat begitu malang. Membuat Jonathan merasa simpati karenanya.
“Baiklah!”
Kali ini mereka sudah tidak berada di jalan yang gelap dan setapak itu lagi. Mereka sudah berada cukup jauh dari vila yang menyeramkan bagi Jenia.
Jenia merasa cacing-cacing di dalam perutnya mulai berkeroncong. Sedari kemarin ia tidak menyantap makanan yang mampu mengenyangkan perutnya.
“Carikan aku makanan!” perintah Jenia lagi dengan nada yang merendah.
“Bisakah kamu menurunkan kaca yang ada di tanganmu ini? Aku merasa melayang ditodong wanita sepertimu!”
Pria itu menepikan mobilnya di pinggir jalan, di luar sana begitu banyak orang yang menjual makanan. Jenia tidak tahu pasti di daerah mana ia berada saat ini.
Pria itu menoleh ke arah Jenia. Dengan sigap ia mengambil pecahan kaca yang ada di tangan Jenia ketika Jenia mulai lengah menatap ke arah luar, lalu membuang kaca itu.
“Hey!” pekik Jenia.
Jenia merasa kaget. Sepertinya ia pernah bertemu dengan pria itu sebelumnya.
“Bukankah kamu pria yang tempo hari hampir saja menabrakku dan memberikan kartu namamu kepadaku?” Jenia berusaha mengingat sosok yang ada di hadapannya saat ini.
“Hah?” Pria itu menatap Jenia dengan seksama.
Gadis yang duduk di belakangnya kali ini sungguh berbeda dari tempo hari pertama mereka bertemu. Pakaian Jenia tampak berantakan, bahkan rambut Jenia yang panjang sepinggang pun tampak berantakan dalam ikatannya.
Pipi Jenia yang berisi tampak kotor, bahkan hidung mancung Jenia juga kotor. Pria bernama Jonathan itu lebih terkejut saat melihat ada noda darah yang keluar dari leher Jenia.
“Kamu tidak apa-apa? Apa yang terjadi padamu sehingga kamu terlihat berantakan seperti ini?” tanya Jonathan bertubi-tubi.
“Aku tidak apa-apa, aku benar-benar tidak tahu bahwa pemilik mobil ini adalah kamu,” tutur Jenia.
“Iya, aku juga tidak dapat melihatmu dengan jelas tadi. Oh ya, kamu tunggulah dulu di sini, aku akan membelikan makanan dan obat untukmu.” Jonathan turun dari mobil dan meminta Jenia untuk tetap tinggal karena kondisinya yang begitu berantakan.
Jenia kembali merapikan rambutnya sembari menunggu Jonathan yang meninggalkannya. Jenia merasa beruntung karena masih ada orang baik yang bersedia membantunya keluar dari sangkar Mr. M yang Jenia sendiri tidak tahu seperti apa rupanya.
Lima belas menit berlalu, pria itu membawa cukup banyak bingkisan di tangannya. Lalu menaruh di dekat Jenia.
“Sebaiknya kamu bersihkan wajahmu dengan tisu basah ini!” Jonathan memberikan tisu basah kepada Jenia.
Jenia menuruti perintah pria yang telah menyelamatkannya kali ini. setelah membersihkan wajahnya, ia menyantap makanan yang diberikan Jonathan kepadanya.
“Kamu sudah menyelamatkan hidupku, aku tidak tahu bagaimana bisa aku membalasmu.” Jenia merasa sungkan.
Jonathan hanya diam dan tersenyum dengan sangat manis, membuat wanita yang melihatnya pasti akan tergila-gila, tetapi tidak dengan Jenia, ia membutuhkan jawaban dari pria itu.
“Setibanya di Jakarta nanti, aku akan membayarmu,” ucap Jenia lagi.
“Tidak perlu!” tutur Jonathan.
“Kamu bisa membayarnya dengan tubuhmu,” goda Jonathan.
Jenia membulalangkan matanya pada Jonathan. Benarkah kali ini ia sudah berada di sarang buaya setelah keluar dari sarang singa bernama Mr.M?
*** Bersambung ***
“Apa maksud ucapanmu itu?” tanya Jenia dengan nada yang mulai meninggi. Jonathan meneguk salivanya, jakunnya turun naik mendengarkan suara Jenia yang bernada tinggi dan memekakan telinganya. Sepertinya kali ini ia telah salah dalam berkata sehingga memancing kemarahan gadis yang tengah terpuruk di belakangnya saat ini. “Maaf, aku hanya bercanda saja, aku tidak bersungguh-sungguh dalam mengucapkannya!” Jonathan berusaha untuk meyakinkan Jenia dengan menggeleng-gelengkan kepala, menunjukkan bahwa ia adalah pria yang baik-baik. “Kenapa kalian para pria selalu saja seenaknya dalam bicara? Bukankah kamu tahu apa yang kamu katakan barusan itu adalah salah satu pelecehan terhadap wanita?” “Tolong, jangan berpikir seperti itu tentangku, aku sungguh-sungguh, sama sekali tidak bermaksud seperti itu, aku hanya bercanda saja,” gagap Jonathan. “Dalam situasi seperti ini, kamu masih bisa membuat guyonan kepadaku?” “Baiklah, aku minta maaf! Aku menga
Marvin tengah dirawat oleh seorang Dokter karena luka akibat vas bunga itu begitu dalam. Sedangkan Ferdinand mondar-mandir di luar ruangan menantikan Dokter keluar dari dalam dan memberikan kabar padanya. “Dasar bodoh! Kenapa kalian bisa melepaskan gadis itu begitu begitu saja!” berang Marvin pada salah seorang pengawal yang bertugas untuk menjaga Jenia. Tangan Ferdinand tidak hentinya menampar dan memukuli wajah pria di hadapannya itu, dengan kekesalan yang mendalam dan amarah yang memuncak. “Aku tidak mau tahu, sekarang kalian cari gadis itu sampai dapat dan pastikan kalian membawanya kembali ke hadapanku!” tegas Ferdinand. Pengawal itu pergi setelah mendapatkan perintah dari Ferdinand. Ferdinand begitu merasa kesal. Bagaimana tidak, ia merasa takut jika saja Marvin bangun dan mempertanyakan keberadaan gadis itu. Marvin pasti akan marah besar padanya dan membatalkan semua kerja sama yang sudah ada di depan mata karena gadis itu. Ferdin
Jonathan merasa tubuhnya begitu ringan kali ini, padahal dengan jelas semalam ia tidur sembari mendekap Jenia. Ia tidak bisa merasakan keberadaan gadis yang semalam menggigil kedinginan di dalam dekapannya. Jonathan membuka matanya ia segera membetulkan posisi duduknya. Jenia sudah tidak ada di dekatnya. Ia menatap ke sekitar, Jenia sudah tidak ada di dalam ruangan itu. Jonathan berdiri dan mencari Jenia keluar. Berharap gadis itu masih berada di dalam apartemennya. “Gadis itu sudah pergi, dia pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku!” pikirnya sembari memukul-mukul kepalanya. Jonathan merasa bersalah pada Jenia, karena gadis itu baru saja keluar dari masalahnya dan kini ia memberikan masalah baru pada Jenia. “Bodoh… bodoh… bodoh!” ucap Jonathan mengatai dirinya sendiri. Jenia pasti tidak akan menerima alasannya hingga ia harus mendekap Jenia semalaman. Jonathan tidak bisa berpikir lain, selain memikirkan tanggapan Jenia kepadanya.
Jonathan kembali ke rumah sakit. Sedangkan Jenia tidak ingin berlama-lama berada di kamar kossan Cherry. Setelah mendengarkan cerita Bu Yuni panjang lebar, Jenia memberanikan dirinya untuk kembali pulang ke rumah. “Aku pulang!” sapa Jenia dengan lemas. Julia, Ibu tiri Jenia tengah sibuk membaca majalah harian terkejut dengan kedatangan Jenia kali ini. Ia berdiri bertolak pinggang menatap Jenia dengan tatapan yang begitu kejam berselimut amarah. “Oh, enak sekali ya hidupmu, setelah pergi tanpa kabar kamu pulang begitu saja!” omel Julia dengan nada tinggi. “Ma, aku lelah. Aku tidak ingin berdebat dengan Mama!” ucap Jenia terus melangkah masuk ke dalam rumahnya berusaha untuk mengabaikan Julia yang memerah karena marah. Julia berjalan menghampiri Jenia. Ia merasa kesal dengan sikap Jenia yang mengabaikannya. Plak!!! Satu tamparan melesat di pipi Jenia sehingga pipi itu berjejak merah. Jenia memegang pipinya yang terasa sakit. Ia b
Jonathan kembali masuk ke dalam ruangan di mana Ferdinand tampak tegang. Entah apa yang sedang mereka bicarakan kali ini membuat rasa penasarannya semakin membuncah. “Apa yang sedang kalian bicarakan? Kenapa sikap kamu seperti kawat tegang begitu?” tanya Jonathan menepuk pundak Ferdinand yang tengah berusaha menyembunyikan wajahnya dari sang kakak. “Ha, enak saja, lihat ini, bahkan aku lebih tampan darimu!” keluh Ferdinand. “Kami hanya sedang membicarakan pertemuan kita yang gagal.” “Oh ya, aku juga minta maaf karena ada hal yang mendesak sehingga aku tidak bisa mengunjungimu tadi malam!” ucap Jonathan penuh sesal. “Hal mendesak apa yang pernah kamu lakukan kak, selain pekerjaan? Bukankah semua pekerjaan sudah beres?” tanya Ferdinand merasa curiga. Ferdinand merasa heran karena kakaknya selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan, bahkan dari yang Ferdinand tahu selama ini, Cherry berniat memutuskannya karena Jonathan tidak pernah memilik
Jenia menyeka air mata yang terus-terusan tumpah karena penyesalan atas diri yang tidak bisa ia jaga. Ia tidak ingin terus berada di ambang kehancuran seperti yang ia rasakan. Ia berdiri di depan pintu, berniat untuk keluar kamar. Namun, Jenia mengurungkan niatnya ketika mendengar suara perdebatan antara Erliza dan Erlina di depan kamarnya. Di luar kamar, Erlina membawakan makanan untuk Jenia. Ia merasa iba kepada Jenia, meskipun Jenia hanyalah adik tirinya saja, tetapi rasa sayangnya kepada Jenia sama besar dengan kasih sayang yang Erlina berikan kepada Erliza. “Kakak kenapa selalu bersikap sok baik sama Jenia? Biarkan saja dia mati kelaparan karena tidak makan. Siapa suruh dia mengurung diri saja di kamar sejak dia pulang?” gerutu Erliza merasa cemburu melihat Erlina yang selalu baik kepada Jenia. “Za, kamu tidak boleh berkata kasar seperti itu, bagaimanapun Jenia adalah adikku, aku tidak ingin terjadi sesuatu hal kepadanya,” “Dia hany
Sudah dua bulan lamanya Jenia kembali pulang ke rumah. Ia juga memutuskan untuk kembali menjalankan aktifitasnya di sebuah toko kue tempat ia bekerja. Jenia tidak ingin menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menangisi apa yang telah terjadi padanya saat ini. Ia masih terus berusaha untuk membungkam semua rahasia tentang malam itu dari keluarga besarnya. Jenia tidak ingin menjadi beban pikiran bagi keluarganya, Jenia memutuskan untuk selalu diam dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja. "Je, kamu terlihat pucat, apa kamu sedang kurang sehat?" tanya Dion, salah seorang rekan kerja Jenia. "Iya, sepertinya aku agak sedikit pusing," ucap Jenia memija-mijat pelipisnya. "Kalau kamu merasa pusing, sebaiknya kamu duduk dan istirahat saja dulu, biar aku yang menggantikan kamu mengadon kue-kue ini." "Tidak Dion, pekerjaanmu juga masih banyak bukan? Aku masih bisa mengerjakan semua ini." Jenia menolak. Jenia tidak ingin Dion men
Jonathan menghentikan mobilnya di parkiran sebuah café. Namun, ia tidak segera turun dari mobil. Dia masih duduk diam menantikan jawaban dari bibir Jenia yang masih bungkam.Sementara di sebelahnya, Jenia hanya bisa melentikkan jarinya. Jenia enggan menjawab pertanyaan yang disodorkan oleh Jonathan kepadanya.“Apa begitu sulitnya bagimu untuk menjawab pertanyaanku?” Tanya Jonathan tidak mampu untuk menunggu lama atas pertanyaan itu.“Aku tidak tahu, apa sebenarnya hubunganku dengan Cherry dan kenapa kamu sangat ingin tahu apa yang terjadi antara aku dan Cherry?” Tanya Jenia dengan nada datar.Jonathan memandang tak percaya kepada gadis yang hanya menatap ke arah depan tanpa mengabaikannya.“Hm…” Jonathan mengembuskan napas dengan kasar.Hatinya berkata lain, ada sesuatu yang telah terjadi antara Jenia dan Cherry. Jonathan semakin penasaran, ia semakin ingin tahu apa yang telah membawa Cherry