“Apa maksud ucapanmu itu?” tanya Jenia dengan nada yang mulai meninggi.
Jonathan meneguk salivanya, jakunnya turun naik mendengarkan suara Jenia yang bernada tinggi dan memekakan telinganya. Sepertinya kali ini ia telah salah dalam berkata sehingga memancing kemarahan gadis yang tengah terpuruk di belakangnya saat ini.
“Maaf, aku hanya bercanda saja, aku tidak bersungguh-sungguh dalam mengucapkannya!” Jonathan berusaha untuk meyakinkan Jenia dengan menggeleng-gelengkan kepala, menunjukkan bahwa ia adalah pria yang baik-baik.
“Kenapa kalian para pria selalu saja seenaknya dalam bicara? Bukankah kamu tahu apa yang kamu katakan barusan itu adalah salah satu pelecehan terhadap wanita?”
“Tolong, jangan berpikir seperti itu tentangku, aku sungguh-sungguh, sama sekali tidak bermaksud seperti itu, aku hanya bercanda saja,” gagap Jonathan.
“Dalam situasi seperti ini, kamu masih bisa membuat guyonan kepadaku?”
“Baiklah, aku minta maaf! Aku mengaku salah.” tutur Jonathan merasa bersalah.
Selesai menyantap makanannya, Jenia dibantu Jonathan membersihkan kakinya yang lecet karena Jenia berlari tanpa mengenakan alas kaki.
“Tidak usah! Aku bisa sendiri!” ucap Jenia menolak bantuan Jonathan kali ini.
“Pekerjaan akan semakin ringan jika dikerjakan bersama, lagi pula aku lihat kamu begitu ragu!” tutur Jonathan tanpa ragu mengolesi kaki Jenia dengan salap dari kotak P3K miliknya.
“Kakiku terasa sedikit perih, mungkin karena itu!”
“Lehermu berdarah, sini aku bantu memakaikan hansaplastnya.”
“Tidak usah!” tolak Jenia.
“Sini, kamu tidak bisa melihat bagian mana yang harus ditutupi, jadi jangan menolak ya, aku hanya ingin membantu.”
Jenia menganggukkan kepalanya menyetujui niat baik Jonathan padanya kali ini.
“Oh, ya,sebelum ini kita belum saling berkenalan, mmm, maksudku aku masuh tidak tahu siapa namamu?” tanya Jonathan tanpa menoleh karena ia sedang sibuk mengobati luka di leher Jenia.
“Namaku Jenia,”
“Nama yang bagus!”
“Terima kasih,”
“Hmm… apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu sampai seperti ini?” Jonathan bertanya dengan hati-hati.
“Seseorang telah menculikku!” sahut Jenia.
“Kenapa kamu tidak lapor ke polisi?”
Jenia menggeleng-gelengkan kepalanya. Mendengarkan kata ‘polisi’ membuat Jenia semakin tidak percaya diri, terlebih orang yang akan Jenia hadapi di medan hukum bukanlah orang yang sembarang. Dia memiliki uang yang banyak, sudah jelas dia memiliki kekuasaan yang mampu dengan cepat mengalahkan Jenia.
Ia bukan korban penculikan, tetapi korban dari ketidak adilan dunia, sehingga seorang sahabat menghianatinya dengan tindakan yang tidak pernah terpikirkan dan terbayangkan oleh Jenia selama ini.
“Aku hanya orang lemah, aku tidak memiliki bukti jika dia sudah menculikku, terlebih sepertinya dia orang yang berpengaruh!” ucap Jenia dengan raut wajah yang sedih.
“Hm… ya sudah, yang penting saat ini kamu sudah terbebas darinya. Kamu harus lebih berhati-hati sekarang. Tidak semua orang bisa bersikap baik kepada orang lain.
“Bagaimana denganmu?” tanya Jenia.
“Ya, jelas aku adalah orang yang baik-baik, jika aku tidak baik mana mau aku memberikan tumpangan dan bersedia menurutimu!” kekeh Jonathan.
“Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan di daerah itu?” tanya Jenia.
“Kebetulan aku ada pertemuan penting untuk kerja sama dengan rekan-rekanku di salah satu kantor cabang yang ada di daerah itu.”
“Lalu, bagaimana dengan pertemuan pentingmu itu?” tanya Jenia lagi.
“Ya, gagal karena aku ada di sini saat ini!”
“Maaf!”
“Kamu tidak perlu minta maaf, karena bagiku nyawa seseorang lebih penting dari pertemuan itu!”
“Terima kasih karena sudah peduli kepadaku,”
“Kamu jangan berpikir macam-macam, aku memang orang yang sangat peduli, tetapi kepedulianku ini tidak hanya kepadamu saja, aku sangat peduli kepada orang yang sedang dalam kesusahan, aku peduli kepada anak-anak bahkan aku juga peduli kepada orang yang sudah tua,”
“Ya, memang seharusnya kita menjadi manusia yang saling peduli satu sama lain, bukan?”
“Iya, kamu benar. Sebelumnya kemana aku harus mengantarmu?”
“Ke Jakarta!”
“Oh ya, apakah kita akan ke Jakarta malam ini juga? Atau kamu mau kita cari penginapan saja?” Jonathan berbalik tanya.
“Aku tidak ingin ke penginapan, apa kamu mau menjebakku?” suara Jenia mulai bergemetar dan meninggi. Sangat sulit bagi Jenia untuk membayangkan ia berada di sebuah penginapan bersama dengan pria yang masih tidak jelas tujuannya untuk membantu Jenia.
Jenia merasa was-was, ia takut pria di hadapannya adalah salah seorang anggota dari Mr. M yang mengaku telah membelinya.
“Tidak!” tolak Jenia dengan tegas.
“Loh, kenapa? Jika kita tetap pergi ke Jakarta malam ini juga, aku tidak merasa yakin kita bisa sampai di tempat tujuan dengan selamat!”
“Kenapa tidak?”
“Apa kamu bisa menyetir?” Jonathan menjawab pertanyaan Jenia dengan kembali bertanya.
“Tidak!” tutur Jenia menunduk.
“Kalau begitu, baiklah!” Jonathan terpaksa menuruti kehendak gadis yang ada di belakangnya. Ia tidak ingin gadis itu mencurigainya atas perbuatan yang tidak pernah ia lakukan.
Jonathan cukup paham apa yang menjadi ketakutan Jenia saat ini. Mereka berdua baru dua kali di pertemukan, bagaimana bisa Jenia langsung percaya begitu saja padanya. Terlebih dari pandangan mata Jenia terlihat ada trauma yang menyerangnya.
Jonathan terus melajukan mobilnya di jalanan masuk menuju Tol Cipularang, sementara itu gadis yang berada di belakangnya saat ini sudah terlelap dalam tidurnya di jok belakang.
Kurang lebih tiga jam perjalanan dari Bandung-Jakarta, mereka pun sampai di halaman parkir hampton’s Park Apartemen karena Jonathan tidak tahu kemana dia harus mengantar gadis yang ada di belakangnya saat ini.
“Je!” panggil Jonathan pelan menepuk pundak Jenia.
“Jangan sentuh aku. Lepaskan aku, Lepaskan!” igau Jenia. Tangannya melayang-layang seolah ia tengah melakukan perlawanan.
“Je, Jenia!” panggil Jonathan lagi.
Keringat di kening Jenia mengucur deras. Di dalam mobil yang dingin dan ber AC seolah-olah Jenia sedang berada di dekat bara api. Ia pun terus mengigau.
Jonathan merasa panik melihat kondisi Jenia saat ini, ia berusaha membangunkan Jenia. Ia menaruh tangannya di kening Jenia, tubuh Jenia begitu panas, mungkin saja jika sebuah telur di taruh di atas keningnya telur itu akan matang jadinya.
Jonathan tidak punya cara lain lagi selain menggendong dan membawa gadis itu masuk ke dalam apartemennya. Jonathan menggendong tubuh Jenia di belakang punggungnya. Ia menaruh tubuh mungil itu di atas ranjang miliknya.
Jenia masih saja meracau tidak jelas. Jonathan merasa iba pada gadis yang tengah demam tinggi itu.
Jonathan mengambil air dan handuk kecil untuk mengompres Jenia untuk menurunkan suhu badannya yang begitu tinggi. Rasa ibanya membuat ia melakukan hal yang sama sekali tidak pernah ia lakukan sebelumnya kepada siapapun.
“Pa, tolong Jenia Pa, Jenia janji, Jenia akan mengikuti semua keinginan Papa, Jenia akan berhenti dari pekerjaan Jenia demi Papa, tolong Jenia Pa. Lepaskan Jenia dari tempat ini Pa!” Jenia tidak berhentinya mengigau.
Tubuh Jenia bergetar hebat, ia menggigil kedinginan. Jonathan menyelimuti gadis itu dengan selimut tebal miliknya, bahkan Jonathan pun sudah mengurangi suhu dari AC kamarnya saat ini, tetapi Jenia masih tampak kedinginan.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Jonathan pada dirinya sendiri. Ia bingung harus berbuat apa lagi untuk mengurangi rasa dingin yang menghampiri Jenia. Jonathan sungguh tidak tega melihat gadis itu menderita karena demam.
Jonathan duduk di samping Jenia. Ia mendekap Jenia dengan erat sambil menepuk pundak Jenia dengan lembut. Layaknya seorang ayah yang tengah berusaha menenangkan anak yang terus mengigau.
“Pa!” panggil Jenia lagi.
“Kamu harus tenang dan istirahat!” bisik Jonathan.
“Pa, maafkan Jenia Pa! lepaskan Jenia Pa, tolong Jenia Pa!” igau Jenia masih dengan mata yang tertutup.
“Iya, iya, kamu istirahat lah!” tutur Jonathan lembut seolah ia bersikap menjadi seorang ayah untuk Jenia.
“Sepertinya dia sangat terpukul sampai demam begini!” ucap Jonathan pada dirinya sendiri.
Jenia terlelap dalam dekapan tulus Jonathan. Seakan ia mendapatkan tempat yang ternyaman dan damai untuk berisitirahat. Bahkan hingga menjelang subuh, igauan Jenia sudah tidak terdengar lagi.
Jonathan merasa lelah, matanya sudah tidak sanggup lagi untuk terbuka lebar. Tanpa sadar, Jonathan pun tertidur dalam keadaan duduk sembari mendekap Jenia yang sudah lebih dulu terlelap di dadanya.
*** Bersambung***
Marvin tengah dirawat oleh seorang Dokter karena luka akibat vas bunga itu begitu dalam. Sedangkan Ferdinand mondar-mandir di luar ruangan menantikan Dokter keluar dari dalam dan memberikan kabar padanya. “Dasar bodoh! Kenapa kalian bisa melepaskan gadis itu begitu begitu saja!” berang Marvin pada salah seorang pengawal yang bertugas untuk menjaga Jenia. Tangan Ferdinand tidak hentinya menampar dan memukuli wajah pria di hadapannya itu, dengan kekesalan yang mendalam dan amarah yang memuncak. “Aku tidak mau tahu, sekarang kalian cari gadis itu sampai dapat dan pastikan kalian membawanya kembali ke hadapanku!” tegas Ferdinand. Pengawal itu pergi setelah mendapatkan perintah dari Ferdinand. Ferdinand begitu merasa kesal. Bagaimana tidak, ia merasa takut jika saja Marvin bangun dan mempertanyakan keberadaan gadis itu. Marvin pasti akan marah besar padanya dan membatalkan semua kerja sama yang sudah ada di depan mata karena gadis itu. Ferdin
Jonathan merasa tubuhnya begitu ringan kali ini, padahal dengan jelas semalam ia tidur sembari mendekap Jenia. Ia tidak bisa merasakan keberadaan gadis yang semalam menggigil kedinginan di dalam dekapannya. Jonathan membuka matanya ia segera membetulkan posisi duduknya. Jenia sudah tidak ada di dekatnya. Ia menatap ke sekitar, Jenia sudah tidak ada di dalam ruangan itu. Jonathan berdiri dan mencari Jenia keluar. Berharap gadis itu masih berada di dalam apartemennya. “Gadis itu sudah pergi, dia pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku!” pikirnya sembari memukul-mukul kepalanya. Jonathan merasa bersalah pada Jenia, karena gadis itu baru saja keluar dari masalahnya dan kini ia memberikan masalah baru pada Jenia. “Bodoh… bodoh… bodoh!” ucap Jonathan mengatai dirinya sendiri. Jenia pasti tidak akan menerima alasannya hingga ia harus mendekap Jenia semalaman. Jonathan tidak bisa berpikir lain, selain memikirkan tanggapan Jenia kepadanya.
Jonathan kembali ke rumah sakit. Sedangkan Jenia tidak ingin berlama-lama berada di kamar kossan Cherry. Setelah mendengarkan cerita Bu Yuni panjang lebar, Jenia memberanikan dirinya untuk kembali pulang ke rumah. “Aku pulang!” sapa Jenia dengan lemas. Julia, Ibu tiri Jenia tengah sibuk membaca majalah harian terkejut dengan kedatangan Jenia kali ini. Ia berdiri bertolak pinggang menatap Jenia dengan tatapan yang begitu kejam berselimut amarah. “Oh, enak sekali ya hidupmu, setelah pergi tanpa kabar kamu pulang begitu saja!” omel Julia dengan nada tinggi. “Ma, aku lelah. Aku tidak ingin berdebat dengan Mama!” ucap Jenia terus melangkah masuk ke dalam rumahnya berusaha untuk mengabaikan Julia yang memerah karena marah. Julia berjalan menghampiri Jenia. Ia merasa kesal dengan sikap Jenia yang mengabaikannya. Plak!!! Satu tamparan melesat di pipi Jenia sehingga pipi itu berjejak merah. Jenia memegang pipinya yang terasa sakit. Ia b
Jonathan kembali masuk ke dalam ruangan di mana Ferdinand tampak tegang. Entah apa yang sedang mereka bicarakan kali ini membuat rasa penasarannya semakin membuncah. “Apa yang sedang kalian bicarakan? Kenapa sikap kamu seperti kawat tegang begitu?” tanya Jonathan menepuk pundak Ferdinand yang tengah berusaha menyembunyikan wajahnya dari sang kakak. “Ha, enak saja, lihat ini, bahkan aku lebih tampan darimu!” keluh Ferdinand. “Kami hanya sedang membicarakan pertemuan kita yang gagal.” “Oh ya, aku juga minta maaf karena ada hal yang mendesak sehingga aku tidak bisa mengunjungimu tadi malam!” ucap Jonathan penuh sesal. “Hal mendesak apa yang pernah kamu lakukan kak, selain pekerjaan? Bukankah semua pekerjaan sudah beres?” tanya Ferdinand merasa curiga. Ferdinand merasa heran karena kakaknya selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan, bahkan dari yang Ferdinand tahu selama ini, Cherry berniat memutuskannya karena Jonathan tidak pernah memilik
Jenia menyeka air mata yang terus-terusan tumpah karena penyesalan atas diri yang tidak bisa ia jaga. Ia tidak ingin terus berada di ambang kehancuran seperti yang ia rasakan. Ia berdiri di depan pintu, berniat untuk keluar kamar. Namun, Jenia mengurungkan niatnya ketika mendengar suara perdebatan antara Erliza dan Erlina di depan kamarnya. Di luar kamar, Erlina membawakan makanan untuk Jenia. Ia merasa iba kepada Jenia, meskipun Jenia hanyalah adik tirinya saja, tetapi rasa sayangnya kepada Jenia sama besar dengan kasih sayang yang Erlina berikan kepada Erliza. “Kakak kenapa selalu bersikap sok baik sama Jenia? Biarkan saja dia mati kelaparan karena tidak makan. Siapa suruh dia mengurung diri saja di kamar sejak dia pulang?” gerutu Erliza merasa cemburu melihat Erlina yang selalu baik kepada Jenia. “Za, kamu tidak boleh berkata kasar seperti itu, bagaimanapun Jenia adalah adikku, aku tidak ingin terjadi sesuatu hal kepadanya,” “Dia hany
Sudah dua bulan lamanya Jenia kembali pulang ke rumah. Ia juga memutuskan untuk kembali menjalankan aktifitasnya di sebuah toko kue tempat ia bekerja. Jenia tidak ingin menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menangisi apa yang telah terjadi padanya saat ini. Ia masih terus berusaha untuk membungkam semua rahasia tentang malam itu dari keluarga besarnya. Jenia tidak ingin menjadi beban pikiran bagi keluarganya, Jenia memutuskan untuk selalu diam dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja. "Je, kamu terlihat pucat, apa kamu sedang kurang sehat?" tanya Dion, salah seorang rekan kerja Jenia. "Iya, sepertinya aku agak sedikit pusing," ucap Jenia memija-mijat pelipisnya. "Kalau kamu merasa pusing, sebaiknya kamu duduk dan istirahat saja dulu, biar aku yang menggantikan kamu mengadon kue-kue ini." "Tidak Dion, pekerjaanmu juga masih banyak bukan? Aku masih bisa mengerjakan semua ini." Jenia menolak. Jenia tidak ingin Dion men
Jonathan menghentikan mobilnya di parkiran sebuah café. Namun, ia tidak segera turun dari mobil. Dia masih duduk diam menantikan jawaban dari bibir Jenia yang masih bungkam.Sementara di sebelahnya, Jenia hanya bisa melentikkan jarinya. Jenia enggan menjawab pertanyaan yang disodorkan oleh Jonathan kepadanya.“Apa begitu sulitnya bagimu untuk menjawab pertanyaanku?” Tanya Jonathan tidak mampu untuk menunggu lama atas pertanyaan itu.“Aku tidak tahu, apa sebenarnya hubunganku dengan Cherry dan kenapa kamu sangat ingin tahu apa yang terjadi antara aku dan Cherry?” Tanya Jenia dengan nada datar.Jonathan memandang tak percaya kepada gadis yang hanya menatap ke arah depan tanpa mengabaikannya.“Hm…” Jonathan mengembuskan napas dengan kasar.Hatinya berkata lain, ada sesuatu yang telah terjadi antara Jenia dan Cherry. Jonathan semakin penasaran, ia semakin ingin tahu apa yang telah membawa Cherry
“Apa yang Dokter katakan? Kenapa Anda tidak bisa memeriksa putri kami? Bukankah Anda seorang Dokter professional?” Tanya Maheza.Maheza tidak memahami dengan pasti apa yang dimaksud oleh Dokter Vina. Entah alasan apa yang membuat Dokter Vina meminta Jenia untuk diperiksa oleh Dokter kandungan dan melakukan test.“Sebaiknya, tunggu Jenia sampai sadar dan minta dia untuk melakukan test pack, Julia.” ucap Dokter Vina kepada Julia.“Apa maksudmu, Vin? Apa yang terjadi pada Jenia? Katakan kepada kami, Vin! Jangan membuat kami merasa bodoh seperti ini!” Julia tampak tidak bisa menerima apa yang sahabatnya katakan.Selain menjadi Dokter keluarga, Dokter Vina merupakan sahabat Julia sejak mereka masih kuliah.“Aku tidak bisa memberikan diagnosis pasti, Julia, tetapi dari hasil pemeriksaan dan diagnosisku, Jenia hamil!”Bagaikan guruh dan petir yang menyambar bersamaan di atas puncak kepala, semua
Jenia menyentak tubuh Jonathan ke dinding. Jonathan terpaku dengan sikap yang ditunjukkan Jenia kepadanya. Ia tidak menyangka gadis itu begitu kuat dan terpancar aura kemarahan darinya“Apa rahasia yang kamu ketahui tentang Cherry?” tanya Jenia lagi dengan nada memaksa.“Rahasia apa? Aku tidak tahu apa-apa,” sahut Jonathan kaget dengan sikap Jenia yang tiba-tiba bersikeras ingin mengetahui sesuatu darinya.“Ah, aku benar-benar merasa gila sekarang. Bagaimana mungkin aku berada di sini, sedangkan aku tidak tahu di mana keberadaan Cherry saat ini,” keluh Jenia.“Je, aku benar-benar bingung, sebenarnya apa hubunganmu dengan Cherry? Maksudku, saat itu kamu enggan untuk menjawab pertanyaanku yang menanyakan hubungan antara kamu dengan Cherry, tetapi sekarang kamu yang ingin membahas ini,”sahut Jonathan.Jenia membuka matanya dengan lebar. Apa yang dikatakan Jonathan memang benar. Selama ini Jenia ber
Pintu terbuka lebar, begitupun dengan netra hitam pekat yang berdiri di hadapan Jenia saat ini. Matanya tidak berkedip sedetikpun melihat keberadaan Jenia di hadapannya saat ini.“Siapa ya?” tanya Jenia lagi.“Kamu kenapa bisa ada di sini?” tanya pria itu segera masuk ke dalam rumah meskipun Jenia belum memberikan ia aba-aba untuk masuk.“Tunggu dulu, kamu siapa?” tanya Jenia kemudian ia menutup pintu.“Kamu pasti sudah lupa padaku, tetapi aku masih ingat dengan jelas siapa kamu,” ujarnya duduk di atas sofa dengan kaki bersilang.“Hmm ….” Jenia berusaha mengingat kembali sosok yang ada di hadapannya saat ini. Ingatan Jenia sangatlah buruk, ia tidak bisa mengingat sosok yang baru sekali ia temui.“Hai, Dave!” sapa Jonathan yang baru saja keluar dari dapur dengan apron yang masih melekat di tubuhnya.“Hai, Jo. Aku tidak sedang mengganggu kalian berdua k
Jenia berusaha untuk menghindari sosok pria yang terus melangkah mendekatinya. Semakin dekat, membuat Jenia dapat melihat dengan jelas sosok pria bertopeng di hadapannya saat ini. Dua bulan sudah berlalu. Namun, dalam tempo yang singkat itu masih belum bisa membuat Jenia lupa pada sosok pria bertopeng di hadapannya saat ini. Pria angkuh yang selalu memperlakukannya secara kasar selama dua hari berada di sebuah Vila yang Jenia sendiri tidak ingat dengan pasti di mana Vila itu berada. Pria yang selalu menyodorkan surat kontrak agar Jenia bersedia hamil dan melahirkan anak untuknya, tetapi Jenia tidak memiliki hak atas anak yang dikandungnya, dialah pria itu. “Mr.M!” risik Jenia terus berjalan mundur sedangkan pria itu semakin melangkah cepat mendekati Jenia. “Kamu masih ingat padaku gadis nakal?” suara itu menggelegar di telinga Jenia, membuat bulu remang Jenia bergidik merinding mendengarkannya. Suara itu begitu menakutkan di telinga Jen
saJenia menyeka air matanya. Penuturan sang kakak membuat dirinya terasa semakin lemah. Hati siapa yang tidak merasa sedih dengan pertanyaan yang ia sodorkan? Jenia beranjak, membelakangi Erlina yang masih duduk menantikan jawabannya. Ia berniat untuk meninggalkan Erlina tanpa memberikan jawaban, tetapi Jenia mengurungkan niatnya. Jenia kembali duduk, menghadap pada kakak yang selama ini selalu ia anggap baik, tetapi sejak saat ini, Jenia merasa ragu dengan sikap yang ia tunjukkan saat ini. “Kak, apa kakak bukan seorang wanita? Kenapa kakak mempertanyakan hal ini kepadaku?” tanya Jenia. Kali ini, gentian Erlina yang terdiam mendengarkan pertanyaan Jenia. Tidak ada kegentaran sama sekali di wajah Jenia. “Bukankah kakak sendiri tahu apa yang benar dan apa yang salah di dunia ini? Selama ini aku selalu kagum pada kakak yang rajin mengikuti kegiatan keagamaan, bahkan dari yang aku lihat, setiap malam kakak selalu membaca kitab,” tutur Jenia.
Jenia kembali mengemasi barang-barangnya dan bersiap-siap untuk pergi meninggalkan tempatnya saat ini. Jonathan hanya bisa memandang tanpa bisa berkata apa-apa lagi.Bukan karena Jonathan tidak berusaha untuk menahan Jenia untuk tetap berada di tempatnya sementara waktu, tetapi Jenia terus bersikeras untuk mencari tempat tinggal lain.“Je, jika kamu bersedia, kamu bisa tinggal di sini,” ucap Jonathan mengulang ucapan yang sudah pernah ia katakan sebelumnya.“Jonathan, bagaimana bisa seorang wanita dan pria yang belum menikah tinggal bersama? Kita ini berada di sebuah Negara yang taat akan hokum,” Jenia beralasan.“Ya, aku tahu, tetapi jika kamu mau untuk tinggal di sini, aku bisa tinggal di tempat yang lain,” ucap Jonathan berusaha untuk membuat Jenia mengerti.“Bagaimana bisa aku tinggal di rumah ini, sedangkan pemiliknya harus terusir karena aku?” tutur Jenia lagi.Bagaimanapun Jonathan sudah
“Apa kita harus ke rumah sakit?” tanya Jonathan bersiap untuk melajukan kendaraannya.“Seharusnya aku yang mengatakan hal itu kepadamu, kamu terluka dan wajahmu juga memar!” ucap Jenia menunduk merasa bersalah karena telah menjadi penyebab luka di wajah Jonathan.“Kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku, karena aku begitu khawatir melihat kamu jatuh tersungkur karena pria banci itu,” geram Jonathan mengingat kejadian beberapa menit lalu.“Aku tidak apa-apa, hanya merasa sakit sedikit saja! Sebaiknya kita ke rumah sakit untuk mengobati lukamu ini,” ucap Jenia.“Tidak, aku tidak akan ke rumah sakit hanya karena luka kecil ini.” Jonathan bersikeras untuk tidak ke rumah sakit, “lama sekali temanmu datang membawakan barang-barangmu,”sambung Jonathan.Jenia hanya diam tidak menjawab, karena Jenia sendiri tidak tahu kenapa Dion begitu lama membawakan koper miliknya. Tidak lama mereka men
Seperti biasanya, di dapur toko kue itu, Jenia selalu disandingkan dengan Dion dalam bekerja karena mereka sama-sama juru masak di sana.Dion selalu memberikan cerita-cerita kocak di sela kerjanya karena ia menganggap hal lucu akan membuat pekerjaan terasa ringan dan lebih santai, karena setiap harinya mereka selalu berkelibut dengan tepung dan adonan kue, sehingga akan sangat jarang berjumpa dengan orang lain selama mereka berada di dapur.“Je, kamu tahu, ternyata aku salah, aku pikir dia adalah seorang wanita karena memiliki rambut yang panjang dan indah, tetapi ternyata dia adalah seorang pria,” kekeh Dion sejadinya mengingat ceritanya yang sempat terjeda.Selama Dion menceritakan kisah-kisah kocaknya, Jenia hanya tersenyum simpul dan tidak ikut tertawa. Jenia tidak ingin Lila kembali salah paham jika melihatnya tertawa bersama dengan Dion, pria yang disukai Lila.“Dion, sudahlah jangan bercerita lagi, aku takut jika Bos Justin datang
Mata Jenia seakan sulit untuk berkedip, ia merasa lebih nyaman memandang sesuatu dengan focus, meskipun Dion, rekan satu kerja dengannya tahu bahwa saat ini Jenia tidak hanya sekadar memandang ke arah langit yang indah akan bintang-bintang berkilauan di angkasa, tetapi Jenia sedang melamun.“Je, ada apa denganmu? Sedari tadi kamu hanya melamun saja, bahkan kamu tidak menyantap makan malammu ini.” Kehadiran Dion mengejutkan Jenia yang melamun.“Eh, Dion, kamu bilang apa tadi? Aku tidak mendengarkannya, maafkan aku!” pinta Jenia.“Je, ada apa? Sejak kamu datang, aku perhatikan kamu seperti bukan dirimu saja. Ragamu memang berada di sini, tetapi pikiran dan hatimu seperti berada di tempat lain. Apa kamu sedang patah hati?” terka Dion.“Tidak, Dion, Aku tidak apa-apa. Aku juga sedang tidak patah hati, toh selama ini juga aku tidak pernah jatuh cinta,” sahut Jenia berusaha untuk menunjukkan senyuman terbaiknya.
Marvin masih sibuk memutar-mutar pena yang ada di tangannya. Ia masih menunggu kabar dari anak buah yang ia kerahkan untuk mencari keberadaan Jenia. Sudah dua bulan, Marvin tidak lagi mendengarkan kabar tentang Jenia, bahkan ia juga sudah meminta Ferdinand menghubungi Cherry.“Mereka berdua pasti sudah bersekongkol untuk mengelabui kita,” ucap Marvin kepada Ferdinand yang masih duduk kaku di atas sofa di dalam ruangan kerja itu.“Aku tidak yakin jika mereka berdua bersekongkol untuk mengelabui kita, karena Cherry sangat membenci gadis itu,”“Apa kamu yakin? Para wanita itu sangat mudah untuk membohongi orang lain dengan mimic wajah mereka,” ucap Marvin.“Ya, aku sangat yakin. Aku rasa, gadis itu masih berada di Bandung, Vin!”“Aku merasa yakin bahwa dia kembali ke Jakarta dan kembali pulang ke keluarganya,” ucap Marvin merasa yakin dengan apa yang terpikir di otaknya.“Itu dia