Share

Kabur

Jenia sudah memikirkan dengan matang cara untuk keluar dari vila itu. Ia tidak akan peduli dengan hasil yang akan ia capai. Namun, Jenia percaya diri, bahwa ia bisa terbebas dari genggaman pria bertopeng itu meskipun ia harus mempertaruhkan nyawanya.

“Aku pasti bisa menjalankan rencanaku ini,” ucapnya yakin meskipun ada sedikit kegetiran di dalam hatinya.

Jenia tersenyum memandang pada langit yang mulai kelam. Seharian ini pria bertopeng itu tidak mendatanginya, membuat ia merasa sedikit lega dan dapat memulihkan kesehatannya setelah kemarin ia harus menahan rasa sakit yang diberikan oleh pria kejam itu.

Jenia menatap vas bunga berbahan kaca yang ada di atas lemari kayu dekat kamar mandi. Jenia mengelus vas bunga itu dengan senyum penuh harapan.

“Vas  bunga yang sangat cantik, aku harap kamu sangat berguna di dalam kehidupanku ini!” tukas Jenia tidak luput pandangannya dari memandangi vas bunga dan mengelus benda yang ada di hadapannya itu.

Jenia terperogoh kaget, saat pintu kamarnya terbuka dan pria bertopeng itu kembali mendatanginya. Kali ini, Jenia berusaha untuk menepiskan segala rasa takut dan kecemasan yang bergejolak di dalam hatinya.

Di tangan pria itu ada sebuah map hitam, mungkin saja itu adalah sebuah surat kontrak yang harus Jenia tanda tangani saat ini.

Jenia berdiri membelakangi vas bunga, menundukkan pandangannya pada sosok yang berjalan ke arahnya. Ia tidak ingin pria itu dapat melihat secara langsung ketakutan di matanya, sedangkan masih ada keberanian yang tersembunyi di dalam dirinya.

“Aku rasa ini adalah waktuku!” batin Jenia tersenyum.

“Ternyata kamu sedang menungguku,” ucap Marvin dingin. Dinginnya sikap Marvin membuat Jenia semakin ingin mempercepat rencananya.

“Ya, aku memang sedang menunggumu di sini, aku harap, kamu bisa datang lebih cepat kali ini, tapi ternyata aku salah!”

“Hari ini aku akan ada rapat penting bersama dengan rekan-rekanku dan aku harus memberikan dokumen ini kepada pengacaraku, sebaiknya kamu tanda tangani kontrak ini sebelum batas kesabaranku habis!” titah Marvin memberikan salah satu map yang ada di tangannya kepada Jenia.

Jenia sudah mengira, pria di hadapannya itu memang sangat ingin mendapatkan tanda tangan Jenia.

“Jangan harap!” batin Jenia menggertak.

“Mr. M, kepalaku rasanya pusing sekali,” ucap Jenia memegang keningnya. Tiba-tiba Jenia terjatuh ke lantai, ia pun tak sadarkan diri.

Sontak, Marvin merasa kaget melihat Jenia yang jatuh pinsan di atas lantai. Marvin meraih tubuh Jenia dan berusaha untuk membangunkan Jenia yang pinsan.

“Hei, bangun!” pekik Marvin menggoyang-goyangkan tubuh Jenia.

Jenia masih menutup matanya di dalam pangkuan Marvin. Marvin berdiri, meskipun dia begitu keras, tetapi Marvin merasa cemas melihat Jenia yang jatuh pinsan secara tiba-tiba.

Bayangannya mengarah kepada sang istri, ketika itu ia tengah menyiram bunga dan tiba-tiba jatuh pinsan. Pada saat itu, Marvin mengetahui penyakit parah yang di derita sang istri hingga meninggal dunia.

Segera Ia pun mengeluarkan ponselnya. Marvin tidak ingin terjadi hal buruk kepada calon ibu dari anaknya. Ia menelpon dokter keluarga yang berada di kota itu juga sembari membelakangi Jenia.

“Hallo, dokter!” sapa Marvin pada orang yang ia telpon.

Jenia berdiri perlahan, memandang sekitar, tidak ada orang di sana selain dia dan Marvin. Sebisa mungkin Jenia tidak menimbulkan suara agar Marvin tidak membalikkan tubuhnya dan menoleh kepadanya. Lalu, ia mengambil vas bunga yang ada di dekatnya dan memukulkan vas bunga itu ke kepala Marvin yang tengah membelakanginya.

Jenia mengambil pecahan kaca itu. Ia tidak peduli pada Marvin yang tersungkur dan berdarah kepalanya. Jenia berlari ke arah pintu dan menyembunyikan tubuh mungilnya di balik pintu kamar.

Sedangkan para penjaga yang berada di luar kamar, seketika berlari saat mendengarkan suara kaca yang pecah. Mereka melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu. Namun, yang mereka dapati kali ini adalah bosnya yang sudah tersungkur tidak sadarkan diri dengan bergelimang darah yang mengucur deras dari kepalanya.

Mereka segera menghampiri Marvin dan berusaha untuk membangunkan Marvin yang tidak sadarkan diri dengan kepala yang berdarah.

Saat mereka tengah sibuk pada bosnya itu, saat itulah kesempatan Jenia untuk kabur dari sana. Semua orang yang berjaga di depan pintu kamar Jenia dan di anak tangga kini berlarian melihat keadaan bosnya dan mengupayakan untuk melakukan pertolongan pertama.

 Jenia terus berlari, ia tidak peduli pada sekelompok orang yang menyadari kepergiannya. Mereka terus mengejar Jenia yang berusaha kabur dari Vila itu.

Jenia mengerahkan segala kekuatan dan kemampuannya untuk terus berlari. Ia tidak peduli dengan jumlah para pengawal yang tidak sedikit itu, sekurangnya ada lima belas orang pengawal yang mengejar Jenia hingga ke depan pintu gerbang saat ini.

Di belakang Jenia, para pengawal itu masih terus mengejarnya. Bahkan salah seorang dari pengawal itu melemparkan senjata apinya ke arah Jenia berharap Jenia berhenti berlari, membuat Jenia kaget setengah mati mendengar suara yang menggelegar.

Meskipun tembakan itu meleset dan tidak mengenainya, Jenia tidak tahu harus berbuat apa. Pecahan vas bunga masih ia pegang di tangan. Jenia memandang ke arah para pengawal yang berusaha untuk mendekatinya.

“Jika kalian maju satu langkah lagi, lihat apa yang bisa aku lakukan!” Jenia menunjukkan pecahan kaca di tangannya itu, kemudian menaruh di lehernya.

“Aku bilang, jangan ada yang mendekat!” pekik Jenia lagi.

Semua pengawal yang tengah mengejar Jenia kali ini tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena bos mereka meminta Jenia untuk tetap hidup dan tetap dalam keadaan sehat.

Jenia mundur hingga punggungnya berbenturan dengan pintu gerbang Vila yang tidak terkunci.

“Buka pintu ini dan jangan ada yang mendekat!” titah Jenia dengan suara yang terdengar gemetar.

Salah seorang pengawal berani melanggar perintah Jenia, mereka berpikir bahwa Jenia hanya sekadar mengancam. Dengan gagah berani Jenia pun menunjukkan bahwa ia tidak hanya sekadar mengancam saja.

“Aku sudah bilang, jika kalian mendekat aku akan menyayat leherku sendiri dan mati dengan damai di hadapan kalian! Lagi pula, kalian semua juga pasti akan ikut mati menemaniku!”

Kali ini Jenia tidak hanya sekadar mengancam, Jenia menempelkan pecahan kaca itu di lehernya. Dengan tangan yang bergetar, pecahan kaca itu berhasil memberikan goresan dilehernya sehingga mengeluarkan sedikit darah.

“Jangan ada yang mendekat, leher Non Jenia berdarah!” ucap salah seorang pengawal yang posisinya berada paling dekat dengan Jenia. Melihat ada darah yang keluar dari kulit leher Jenia membuat mereka merasa takut.

Kali ini mereka takut jika Jenia akan lebih nekat lagi, bisa-bisa mereka di pecat oleh Mr. M atau lebih parahnya lagi, mereka tidak akan bisa menghirup udara karena Mr. M sudah meminta mereka untuk menjaga Jenia hingga tidak ada hal buruk terjadi pada gadis itu.

Jenia keluar dari pintu gerbang yang sudah terbuka, masih dengan menempelkan kaca itu di lehernya yang sudah berdarah, ia meminta pengawal untu menutup dan mengunci kembali pintu gerbang.

Berada cukup jauh dari mereka dengan sebuah ancaman akan membunuh dirinya sendiri, Jenia berlari sebisa mungkin untuk dapat keluar dari kawasan Vila.

Jenia menunduk, ia mengambil pasir yang ada di depan pintu gerbang, lalu melemparkan pasir itu ke arah para pengawal yang berada di dalam pintu gerbang sehingga mata mereka terasa perih.

Jenia tidak peduli dengan apa yang ia lakukan kali ini, ia terus berlari tak tentu arah. Jalanan yang Jenia tempuh kali ini dipenuhi dengan pepohonan yang menjulang tinggi dan lebat.

Tidak ada penerangan sama sekali, beruntung malam ini bulan bersinar dengan sangat terang, sehingga remang-remang Jenia bisa melihat medan yang sedang ia tempuh saat ini.

Suara para pengawal itu masih terdengar mengejar Jenia. Mereka tidak akan membiarkan Jenia pergi dengan mudah dari Vila itu, terlebih ketika Jenia sudah membuat bos mereka menjadi terluka.

“Aku tidak akan mungkin bisa terus berlari seperti ini, lagi pula, mereka sangat banyak!” gumamnya dengan napas yang masih tersengal.

“Aku harus tetap berlari, aku tidak bisa tertangkap oleh mereka. Aku harus bebas!” ucapnya meyakinkan dirinya sendiri.

***

Thietha

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, karena cerita ini sedang dalam proses perbaikan, hehehe sedang di maintenance. semoga para readers kesayanganku tidak berat hati untuk terus membaca kelanjutannya

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status