Jenia sudah memikirkan dengan matang cara untuk keluar dari vila itu. Ia tidak akan peduli dengan hasil yang akan ia capai. Namun, Jenia percaya diri, bahwa ia bisa terbebas dari genggaman pria bertopeng itu meskipun ia harus mempertaruhkan nyawanya.
“Aku pasti bisa menjalankan rencanaku ini,” ucapnya yakin meskipun ada sedikit kegetiran di dalam hatinya.
Jenia tersenyum memandang pada langit yang mulai kelam. Seharian ini pria bertopeng itu tidak mendatanginya, membuat ia merasa sedikit lega dan dapat memulihkan kesehatannya setelah kemarin ia harus menahan rasa sakit yang diberikan oleh pria kejam itu.
Jenia menatap vas bunga berbahan kaca yang ada di atas lemari kayu dekat kamar mandi. Jenia mengelus vas bunga itu dengan senyum penuh harapan.
“Vas bunga yang sangat cantik, aku harap kamu sangat berguna di dalam kehidupanku ini!” tukas Jenia tidak luput pandangannya dari memandangi vas bunga dan mengelus benda yang ada di hadapannya itu.
Jenia terperogoh kaget, saat pintu kamarnya terbuka dan pria bertopeng itu kembali mendatanginya. Kali ini, Jenia berusaha untuk menepiskan segala rasa takut dan kecemasan yang bergejolak di dalam hatinya.
Di tangan pria itu ada sebuah map hitam, mungkin saja itu adalah sebuah surat kontrak yang harus Jenia tanda tangani saat ini.
Jenia berdiri membelakangi vas bunga, menundukkan pandangannya pada sosok yang berjalan ke arahnya. Ia tidak ingin pria itu dapat melihat secara langsung ketakutan di matanya, sedangkan masih ada keberanian yang tersembunyi di dalam dirinya.
“Aku rasa ini adalah waktuku!” batin Jenia tersenyum.
“Ternyata kamu sedang menungguku,” ucap Marvin dingin. Dinginnya sikap Marvin membuat Jenia semakin ingin mempercepat rencananya.
“Ya, aku memang sedang menunggumu di sini, aku harap, kamu bisa datang lebih cepat kali ini, tapi ternyata aku salah!”
“Hari ini aku akan ada rapat penting bersama dengan rekan-rekanku dan aku harus memberikan dokumen ini kepada pengacaraku, sebaiknya kamu tanda tangani kontrak ini sebelum batas kesabaranku habis!” titah Marvin memberikan salah satu map yang ada di tangannya kepada Jenia.
Jenia sudah mengira, pria di hadapannya itu memang sangat ingin mendapatkan tanda tangan Jenia.
“Jangan harap!” batin Jenia menggertak.
“Mr. M, kepalaku rasanya pusing sekali,” ucap Jenia memegang keningnya. Tiba-tiba Jenia terjatuh ke lantai, ia pun tak sadarkan diri.
Sontak, Marvin merasa kaget melihat Jenia yang jatuh pinsan di atas lantai. Marvin meraih tubuh Jenia dan berusaha untuk membangunkan Jenia yang pinsan.
“Hei, bangun!” pekik Marvin menggoyang-goyangkan tubuh Jenia.
Jenia masih menutup matanya di dalam pangkuan Marvin. Marvin berdiri, meskipun dia begitu keras, tetapi Marvin merasa cemas melihat Jenia yang jatuh pinsan secara tiba-tiba.
Bayangannya mengarah kepada sang istri, ketika itu ia tengah menyiram bunga dan tiba-tiba jatuh pinsan. Pada saat itu, Marvin mengetahui penyakit parah yang di derita sang istri hingga meninggal dunia.
Segera Ia pun mengeluarkan ponselnya. Marvin tidak ingin terjadi hal buruk kepada calon ibu dari anaknya. Ia menelpon dokter keluarga yang berada di kota itu juga sembari membelakangi Jenia.
“Hallo, dokter!” sapa Marvin pada orang yang ia telpon.
Jenia berdiri perlahan, memandang sekitar, tidak ada orang di sana selain dia dan Marvin. Sebisa mungkin Jenia tidak menimbulkan suara agar Marvin tidak membalikkan tubuhnya dan menoleh kepadanya. Lalu, ia mengambil vas bunga yang ada di dekatnya dan memukulkan vas bunga itu ke kepala Marvin yang tengah membelakanginya.
Jenia mengambil pecahan kaca itu. Ia tidak peduli pada Marvin yang tersungkur dan berdarah kepalanya. Jenia berlari ke arah pintu dan menyembunyikan tubuh mungilnya di balik pintu kamar.
Sedangkan para penjaga yang berada di luar kamar, seketika berlari saat mendengarkan suara kaca yang pecah. Mereka melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu. Namun, yang mereka dapati kali ini adalah bosnya yang sudah tersungkur tidak sadarkan diri dengan bergelimang darah yang mengucur deras dari kepalanya.
Mereka segera menghampiri Marvin dan berusaha untuk membangunkan Marvin yang tidak sadarkan diri dengan kepala yang berdarah.
Saat mereka tengah sibuk pada bosnya itu, saat itulah kesempatan Jenia untuk kabur dari sana. Semua orang yang berjaga di depan pintu kamar Jenia dan di anak tangga kini berlarian melihat keadaan bosnya dan mengupayakan untuk melakukan pertolongan pertama.
Jenia terus berlari, ia tidak peduli pada sekelompok orang yang menyadari kepergiannya. Mereka terus mengejar Jenia yang berusaha kabur dari Vila itu.
Jenia mengerahkan segala kekuatan dan kemampuannya untuk terus berlari. Ia tidak peduli dengan jumlah para pengawal yang tidak sedikit itu, sekurangnya ada lima belas orang pengawal yang mengejar Jenia hingga ke depan pintu gerbang saat ini.
Di belakang Jenia, para pengawal itu masih terus mengejarnya. Bahkan salah seorang dari pengawal itu melemparkan senjata apinya ke arah Jenia berharap Jenia berhenti berlari, membuat Jenia kaget setengah mati mendengar suara yang menggelegar.
Meskipun tembakan itu meleset dan tidak mengenainya, Jenia tidak tahu harus berbuat apa. Pecahan vas bunga masih ia pegang di tangan. Jenia memandang ke arah para pengawal yang berusaha untuk mendekatinya.
“Jika kalian maju satu langkah lagi, lihat apa yang bisa aku lakukan!” Jenia menunjukkan pecahan kaca di tangannya itu, kemudian menaruh di lehernya.
“Aku bilang, jangan ada yang mendekat!” pekik Jenia lagi.
Semua pengawal yang tengah mengejar Jenia kali ini tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena bos mereka meminta Jenia untuk tetap hidup dan tetap dalam keadaan sehat.
Jenia mundur hingga punggungnya berbenturan dengan pintu gerbang Vila yang tidak terkunci.
“Buka pintu ini dan jangan ada yang mendekat!” titah Jenia dengan suara yang terdengar gemetar.
Salah seorang pengawal berani melanggar perintah Jenia, mereka berpikir bahwa Jenia hanya sekadar mengancam. Dengan gagah berani Jenia pun menunjukkan bahwa ia tidak hanya sekadar mengancam saja.
“Aku sudah bilang, jika kalian mendekat aku akan menyayat leherku sendiri dan mati dengan damai di hadapan kalian! Lagi pula, kalian semua juga pasti akan ikut mati menemaniku!”
Kali ini Jenia tidak hanya sekadar mengancam, Jenia menempelkan pecahan kaca itu di lehernya. Dengan tangan yang bergetar, pecahan kaca itu berhasil memberikan goresan dilehernya sehingga mengeluarkan sedikit darah.
“Jangan ada yang mendekat, leher Non Jenia berdarah!” ucap salah seorang pengawal yang posisinya berada paling dekat dengan Jenia. Melihat ada darah yang keluar dari kulit leher Jenia membuat mereka merasa takut.
Kali ini mereka takut jika Jenia akan lebih nekat lagi, bisa-bisa mereka di pecat oleh Mr. M atau lebih parahnya lagi, mereka tidak akan bisa menghirup udara karena Mr. M sudah meminta mereka untuk menjaga Jenia hingga tidak ada hal buruk terjadi pada gadis itu.
Jenia keluar dari pintu gerbang yang sudah terbuka, masih dengan menempelkan kaca itu di lehernya yang sudah berdarah, ia meminta pengawal untu menutup dan mengunci kembali pintu gerbang.
Berada cukup jauh dari mereka dengan sebuah ancaman akan membunuh dirinya sendiri, Jenia berlari sebisa mungkin untuk dapat keluar dari kawasan Vila.
Jenia menunduk, ia mengambil pasir yang ada di depan pintu gerbang, lalu melemparkan pasir itu ke arah para pengawal yang berada di dalam pintu gerbang sehingga mata mereka terasa perih.
Jenia tidak peduli dengan apa yang ia lakukan kali ini, ia terus berlari tak tentu arah. Jalanan yang Jenia tempuh kali ini dipenuhi dengan pepohonan yang menjulang tinggi dan lebat.
Tidak ada penerangan sama sekali, beruntung malam ini bulan bersinar dengan sangat terang, sehingga remang-remang Jenia bisa melihat medan yang sedang ia tempuh saat ini.
Suara para pengawal itu masih terdengar mengejar Jenia. Mereka tidak akan membiarkan Jenia pergi dengan mudah dari Vila itu, terlebih ketika Jenia sudah membuat bos mereka menjadi terluka.
“Aku tidak akan mungkin bisa terus berlari seperti ini, lagi pula, mereka sangat banyak!” gumamnya dengan napas yang masih tersengal.
“Aku harus tetap berlari, aku tidak bisa tertangkap oleh mereka. Aku harus bebas!” ucapnya meyakinkan dirinya sendiri.
***
Mohon maaf atas ketidaknyamanannya, karena cerita ini sedang dalam proses perbaikan, hehehe sedang di maintenance. semoga para readers kesayanganku tidak berat hati untuk terus membaca kelanjutannya
Jenia mengandalkan segala kepandaiannya kali ini. Ia tidak bisa terus berlari sedangkan para pengawal itu terus saja mengejarnya, lagi pula, Jenia tidak tahu jalan mana yang harus ia telusuri agar terbebas dari tempat gelap dan dipenuhi pepohonan itu. Di hadapan Jenia ada sebuah pohon yang menjulang tinggi dan begitu banyak dahan di pohon yang bisa Jenia andalkan kali ini. Jenia tersenyum senang, seakan kepintarannya memberikan keberuntungan padanya. Ia tidak peduli dengan kemungkinan-kemungkinan binatang yang ada di atas pohon itu. Jenia berusaha untuk memanjat pohon itu setingginya, hingga para pengawal yang terus saja mengejarnya tidak dapat menemukan keberadaannya. Dari atas pohon, Jenia bisa mendengarkan suara para pengawal yang masih mengejarnya dan mencari-cari keberadaannya. Ia meneguk salivanya ketika seokor ular putih berada di dekatnya. Ia berusaha untuk tetap diam dan tenang, saat ular pohon menjulur melewati tubuhnya. Rasa
“Apa maksud ucapanmu itu?” tanya Jenia dengan nada yang mulai meninggi. Jonathan meneguk salivanya, jakunnya turun naik mendengarkan suara Jenia yang bernada tinggi dan memekakan telinganya. Sepertinya kali ini ia telah salah dalam berkata sehingga memancing kemarahan gadis yang tengah terpuruk di belakangnya saat ini. “Maaf, aku hanya bercanda saja, aku tidak bersungguh-sungguh dalam mengucapkannya!” Jonathan berusaha untuk meyakinkan Jenia dengan menggeleng-gelengkan kepala, menunjukkan bahwa ia adalah pria yang baik-baik. “Kenapa kalian para pria selalu saja seenaknya dalam bicara? Bukankah kamu tahu apa yang kamu katakan barusan itu adalah salah satu pelecehan terhadap wanita?” “Tolong, jangan berpikir seperti itu tentangku, aku sungguh-sungguh, sama sekali tidak bermaksud seperti itu, aku hanya bercanda saja,” gagap Jonathan. “Dalam situasi seperti ini, kamu masih bisa membuat guyonan kepadaku?” “Baiklah, aku minta maaf! Aku menga
Marvin tengah dirawat oleh seorang Dokter karena luka akibat vas bunga itu begitu dalam. Sedangkan Ferdinand mondar-mandir di luar ruangan menantikan Dokter keluar dari dalam dan memberikan kabar padanya. “Dasar bodoh! Kenapa kalian bisa melepaskan gadis itu begitu begitu saja!” berang Marvin pada salah seorang pengawal yang bertugas untuk menjaga Jenia. Tangan Ferdinand tidak hentinya menampar dan memukuli wajah pria di hadapannya itu, dengan kekesalan yang mendalam dan amarah yang memuncak. “Aku tidak mau tahu, sekarang kalian cari gadis itu sampai dapat dan pastikan kalian membawanya kembali ke hadapanku!” tegas Ferdinand. Pengawal itu pergi setelah mendapatkan perintah dari Ferdinand. Ferdinand begitu merasa kesal. Bagaimana tidak, ia merasa takut jika saja Marvin bangun dan mempertanyakan keberadaan gadis itu. Marvin pasti akan marah besar padanya dan membatalkan semua kerja sama yang sudah ada di depan mata karena gadis itu. Ferdin
Jonathan merasa tubuhnya begitu ringan kali ini, padahal dengan jelas semalam ia tidur sembari mendekap Jenia. Ia tidak bisa merasakan keberadaan gadis yang semalam menggigil kedinginan di dalam dekapannya. Jonathan membuka matanya ia segera membetulkan posisi duduknya. Jenia sudah tidak ada di dekatnya. Ia menatap ke sekitar, Jenia sudah tidak ada di dalam ruangan itu. Jonathan berdiri dan mencari Jenia keluar. Berharap gadis itu masih berada di dalam apartemennya. “Gadis itu sudah pergi, dia pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku!” pikirnya sembari memukul-mukul kepalanya. Jonathan merasa bersalah pada Jenia, karena gadis itu baru saja keluar dari masalahnya dan kini ia memberikan masalah baru pada Jenia. “Bodoh… bodoh… bodoh!” ucap Jonathan mengatai dirinya sendiri. Jenia pasti tidak akan menerima alasannya hingga ia harus mendekap Jenia semalaman. Jonathan tidak bisa berpikir lain, selain memikirkan tanggapan Jenia kepadanya.
Jonathan kembali ke rumah sakit. Sedangkan Jenia tidak ingin berlama-lama berada di kamar kossan Cherry. Setelah mendengarkan cerita Bu Yuni panjang lebar, Jenia memberanikan dirinya untuk kembali pulang ke rumah. “Aku pulang!” sapa Jenia dengan lemas. Julia, Ibu tiri Jenia tengah sibuk membaca majalah harian terkejut dengan kedatangan Jenia kali ini. Ia berdiri bertolak pinggang menatap Jenia dengan tatapan yang begitu kejam berselimut amarah. “Oh, enak sekali ya hidupmu, setelah pergi tanpa kabar kamu pulang begitu saja!” omel Julia dengan nada tinggi. “Ma, aku lelah. Aku tidak ingin berdebat dengan Mama!” ucap Jenia terus melangkah masuk ke dalam rumahnya berusaha untuk mengabaikan Julia yang memerah karena marah. Julia berjalan menghampiri Jenia. Ia merasa kesal dengan sikap Jenia yang mengabaikannya. Plak!!! Satu tamparan melesat di pipi Jenia sehingga pipi itu berjejak merah. Jenia memegang pipinya yang terasa sakit. Ia b
Jonathan kembali masuk ke dalam ruangan di mana Ferdinand tampak tegang. Entah apa yang sedang mereka bicarakan kali ini membuat rasa penasarannya semakin membuncah. “Apa yang sedang kalian bicarakan? Kenapa sikap kamu seperti kawat tegang begitu?” tanya Jonathan menepuk pundak Ferdinand yang tengah berusaha menyembunyikan wajahnya dari sang kakak. “Ha, enak saja, lihat ini, bahkan aku lebih tampan darimu!” keluh Ferdinand. “Kami hanya sedang membicarakan pertemuan kita yang gagal.” “Oh ya, aku juga minta maaf karena ada hal yang mendesak sehingga aku tidak bisa mengunjungimu tadi malam!” ucap Jonathan penuh sesal. “Hal mendesak apa yang pernah kamu lakukan kak, selain pekerjaan? Bukankah semua pekerjaan sudah beres?” tanya Ferdinand merasa curiga. Ferdinand merasa heran karena kakaknya selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan, bahkan dari yang Ferdinand tahu selama ini, Cherry berniat memutuskannya karena Jonathan tidak pernah memilik
Jenia menyeka air mata yang terus-terusan tumpah karena penyesalan atas diri yang tidak bisa ia jaga. Ia tidak ingin terus berada di ambang kehancuran seperti yang ia rasakan. Ia berdiri di depan pintu, berniat untuk keluar kamar. Namun, Jenia mengurungkan niatnya ketika mendengar suara perdebatan antara Erliza dan Erlina di depan kamarnya. Di luar kamar, Erlina membawakan makanan untuk Jenia. Ia merasa iba kepada Jenia, meskipun Jenia hanyalah adik tirinya saja, tetapi rasa sayangnya kepada Jenia sama besar dengan kasih sayang yang Erlina berikan kepada Erliza. “Kakak kenapa selalu bersikap sok baik sama Jenia? Biarkan saja dia mati kelaparan karena tidak makan. Siapa suruh dia mengurung diri saja di kamar sejak dia pulang?” gerutu Erliza merasa cemburu melihat Erlina yang selalu baik kepada Jenia. “Za, kamu tidak boleh berkata kasar seperti itu, bagaimanapun Jenia adalah adikku, aku tidak ingin terjadi sesuatu hal kepadanya,” “Dia hany
Sudah dua bulan lamanya Jenia kembali pulang ke rumah. Ia juga memutuskan untuk kembali menjalankan aktifitasnya di sebuah toko kue tempat ia bekerja. Jenia tidak ingin menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menangisi apa yang telah terjadi padanya saat ini. Ia masih terus berusaha untuk membungkam semua rahasia tentang malam itu dari keluarga besarnya. Jenia tidak ingin menjadi beban pikiran bagi keluarganya, Jenia memutuskan untuk selalu diam dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja. "Je, kamu terlihat pucat, apa kamu sedang kurang sehat?" tanya Dion, salah seorang rekan kerja Jenia. "Iya, sepertinya aku agak sedikit pusing," ucap Jenia memija-mijat pelipisnya. "Kalau kamu merasa pusing, sebaiknya kamu duduk dan istirahat saja dulu, biar aku yang menggantikan kamu mengadon kue-kue ini." "Tidak Dion, pekerjaanmu juga masih banyak bukan? Aku masih bisa mengerjakan semua ini." Jenia menolak. Jenia tidak ingin Dion men