Dahi Jenia mengerenyit, kepalanya masih terasa begitu sakit karena benturan keras yang disebabkan oleh pria bertopeng itu. Jenia menguatkan tubuhnya untuk duduk dan memperhatikan keadaan di sekelilingnya.
Menatap pada jendela, langit di luar sana sudah mulai gelap, hujanpun sudah mulai reda. Bahkan lampu kamar itu pun menyala begitu menyilaukan mata. Jenia sadar bahwa ia masih berada di tempat yang sama, di Vila di mana Jenia sendiri tidak tahu dengan jelas di mana posisi vila itu.
“Ternyata aku tidak sedang bermimpi. Ini adalah kenyataan pahit yang harus aku telan, tapi, sampai kapan aku terkurung di sini?” tanya Jenia pada dirinya sendiri.
Ia terus memikirkan cara untuk dapat keluar dari ruangan itu. Jenia memijat pelipisnya yang masih terasa sakit.
Seakan tidak dapat menemukan cara karena begitu banyaknya pengawal di luar sana, Jenia kembali menangis, kali ini ia benar-benar merasa hidupnya akan berakhir begitu saja di tempat yang sangat asing baginya.
Jenia berdiri, menatap ke lantai dasar dari jendela yang terkunci, beberapa orang pengawal pun berjaga di sana.
“Bagaimana caranya aku keluar dari tempat ini? Jika aku melewati jendela ini, aku bisa saja terjatuh dan mati karena tidak ada pegangan di sini!” pikir Jenia.
Saat ia sedang memikirkan cara untuk keluar dari tahanan mewah itu, pintu kamar Jenia terbuka. Pria bertopeng itu masuk ke dalam kamar dengan ditemani dua orang yang lain yang tidak memakai topeng sepertinya.
“Ternyata kamu sudah sadar?” ucapnya.
Jenia enggan menjawab, ia hanya menjauhkan diri dari pria gila yang tidak memiliki rasa belas kasih itu.
“Pengacara, mana kontrak yang harus ia tanda tangani?” tanya Marvin kepada dua orang di sampingnya yang merupakan pengacaranya itu.
“Kontrak apa?” tanya Jenia mulai merasa was-was. Apakah pria itu benar-benar akan menjadikan Jenia alat untuk melahirkan anaknya?
Pria di samping Marvin memberikan surat kontrak kepada Marvin.Marvin tersenyum, senyuman itu dapat Jenia lihat dengan jelas karena topengnya hanya menutupi wajah dari atas bibir saja.
“Di dalam kontrak ini tertulis bahwa kamu harus tetap berada di sini dan memberikan aku seorang keturunan yang akan menjadi ahli warisku. Setelah melahirkan, aku akan membebaskanmu dengan satu syarat, hak asuh penuh atas anak yang akan kamu lahirkan adalah hak ku, kamu tidak berhak menyentuhnya, menemuinya bahkan memilikinya serta menganggap kamu adalah ibunya, karena bayi itu hanya milikku seorang!” ucap Pria bertopeng dengan nada yang tegas.
“Bagaimana bisa seperti itu? jika aku harus hamil dan melahirkan, anak itu adalah anakku!” tegas Jenia merasa kesal dengan bunyi kontrak yang sangat tidak adil untuknya.
“Aku membelimu hanya untuk melahirkan anakku dan anak itu hanya akan menjadi anakku, aku tidak akan memberikan sedikit hak pun kepadamu, karena tugasmu hanya memberikan aku seorang anak, mengerti?” Marvin menjambak rambut Jenia karena merasa kesal dengan sikap Jenia yang membantah dirinya.
“Tuan!” seorang pengacara di samping Marvin berusaha untuk mengingatkan Marvin dengan tindakan kasar Marvin saat ini.
“Bila perlu, aku akan membunuhmu setelah kamu melahirkan nanti!”
Suara Marvin yang tegas membuat Jenia bergidik merinding. Rasanya sulit dibayangkan, hal yang hanya ditampilkan dalam drama-drama kini hadir di dalam kehidupan nyatanya.
Jenia merasa tubuhnya seketika menggigil ketakutan. Hidupnya seakan tidak ada arti mendengarkan semua penuturan pria yang ia anggap gila itu.
“Bagaimana jika aku tidak bisa hamil?” celetuk Jenia.
“Aku sudah memeriksanya ke dokter, kamu pasti akan hamil, jika kamu tidak hamil, maka aku akan selalu berusaha untuk membuatmu hamil,” bisik Marvin tersenyum jahat di telinganya.
Jenia melangkah mundur mendengarkan perkataan yang begitu menjijikan di telinganya. Bagaimana bisa pria itu melakukan hal yang dilarang karena mereka bukanlah pasangan yang sah lagi tidak memiliki hubungan khusus dengan Jenia.
“Aku tidak akan menerima hal ini, ini kejahatan! Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu kepada wanita yang bukan istrimu sendiri?” tanya Jenia dengan suara yang tegas tak percaya dengan bisikan pria yang Jenia anggap sebagai pria cabul.
“Ha… ha… ha…” suara itu menggelegar di dalam ruangan yang hanya berisikan mereka berempat saja. Membuat Jenia tertegun, apakah ada yang lucu dari perkataannya saat ini?
“Ke … kenapa kamu tertawa?” tanya Jenia tergagap.
“Aku tidak perlu menikahi wanita sepertimu untuk mendapatkan keturunan, aku bisa melakukan apa saja yang aku kehendaki, tidak akan ada satu orang pun yang dapat menentangku,”
“Ini namanya pelecehan, bukankah begitu Pak pengacara?” tanya Jenia pada dua orang yang ada di sebelah Marvin.
Kedua orang itu hanya diam, seperti kambing yang kekenyangan. Mereka tidak memberikan komentar atau mungkin mereka takut untuk menjawab pertanyaan Jenia karena pria bertopeng itu agaknya memiliki kekuasaan yang begitu besar di sana.
“Kalian berdua sudah menjalankan tugas kalian dengan baik, terima kasih banyak dan kalian bisa kembali pulang ke Jakarta, atau kalian bisa bermain-main di kota ini dahulu!” ucap Marvin kepada dua orang di sampingnya dan sejenak mengabaikan Jenia..
Kedua orang itu sudah seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, mereka mamatuhi perintah tuannya dengan anggukan lalu pergi meninggalkan suasana tegang di ruangan itu.
Marvin berjalan mendekati Jenia. Ia mengelus wajah Jenia dengan lembut, sangat jelas cara ia merayu Jenia dengan belaian lembut itu. Namun, bukan Jenia orangnya yang ingin dirayu dan dibelai oleh pria asing. Segera Jenia menyentak tangan itu dan menjauhi Marvin.
“Kamu adalah wanitaku, aku sudah membelimu untuk melakukan semua perintahku, bukan untuk membantahku!” tegas Marvin.
“Tapi aku tidak pernah menjual diriku kepadamu bahkan aku tidak pernah bermimpi untuk menyerahkan diriku kepada pria sepertimu, lepaskan aku dari sini!” pinta Jenia.
“Dasar wanita bodoh, pantas saja sahabatmu memanfaatkan dirimu, hanya saja aku yang terlalu gegabah dengan membeli wanita tidak berguna sepertimu!” geram Marvin menyentak tubuh Jenia.
“Sahabatku? Siapa yang kamu maksud?”
“…” Marvin tampak enggan untuk menjawab pertanyaan Jenia.
“Apa sahabatku yang kamu maksud adalah Cherry?” tanya Jenia lagi.
“Aku tidak peduli siapa dia, yang aku pedulikan adalah kamu harus memberikan aku seorang anak!”
“Aku bukan mesin pencetak anak, jadi jangan pernah berharap aku akan memberikan anak kepadamu, jika pun aku akan hamil, aku tidak akan pernah memberikan bayiku kepadamu!” Jenia mengatakan apa yang menurutnya harus di katakan agar pria itu menyerah dan melepaskannya.
Plak!!!
Marvin memberikan satu tamparan keras di wajah Jenia hingga Jenia jatuh tersungkur, beruntung kali ini ia terjatuh di atas tempat tidur.
“Sial! Beraninya kamu menentangku, dasar gadis murahan. Jangan pernah berlagak seolah kamu adalah wanita suci di hadapanku!” geram Marvin tegas.
Jenia memegang pipinya yang sakit terkena tamparan tangan pria itu di iringi tangisannya yang pecah. Jenia tidak pernah menyangka ia akan mendapatkan perlakuan yang begitu kasar dari pria yang ia sendiri tidak tahu siapa dia.
“Aku adalah Mr. M. Aku harus mendapatkan apa yang aku inginkan, kamu hanya perlu menandatangani kontrak ini dan bersikap baiklah selama di hadapanku. Aku sangat membenci gadis yang selalu saja menentangku!” ucap Marvin membersihkan tangannya dengan hand sanitizer yang selalu ia siapkan di dalam saku jasnya.
“Gayamu seperti seorang bos besar, tapi ternyata kamu hanya seorang berandal yang tidak mempunyai hati. Aku tidak akan menandatangani kontrak itu!” tegas Jenia dengan penuh keberanian.
Sikap polos Jenia selama ini seakan hilang begitu saja, ia tidak peduli lagi apa yang akan dilakukan oleh pria itu. Jenia hanya tidak ingin pria itu merampas kehidupan dan haknya begitu saja.
“Jangan pernah membuatku marah! Aku bisa membunuhmu hanya dengan satu cekikan saja!” tegas Marvin menjambak rambut gadis malang itu hingga ia merintih kesakitan.
“Dengarkan aku baik-baik!” hening sejenak, Jenia mengambil napas untuk mengungkapkan apa yang sudah berada di ujung lidahnya.
“Aku lebih baik mati dari pada aku harus menyerahkan hidupku kepada orang tak beradab sepertimu! Aku tidak akan pernah memberikan anak kepadamu karena aku bukanlah mesin pencetak anak!” tegas Jenia di sela rintihan kesakitannya karena pria itu menarik rambutnya dengan sangat kuat.
Jenia tidak ingin dirinya terlihat lemah di hadapan pria bertopeng itu. Sebisa mungkin Jenia harus bersikap kuat agar pria itu merasa gentar dan membatalkan niatnya.
“Aku tidak akan berbaik hati, aku hanya akan memberikanmu waktu satu malam untuk memikirkan dan menandatangani kontrak ini, mengerti?” pria bertopeng itu melepaskan tangannya dari rambut Jenia.
Ia berlalu meninggalkan Jenia yang merintih kesakitan.
“Dasar pria tidak memiliki hati, ya, kamu bukan pria, tetapi kamu adalah setan yang merampas kehidupan dan hak orang lain!” pekik Jenia dengan air mata yang berlinang. Jenia begitu marah dengan sikap pria yang semena-mena kepadanya.
Marvin kembali mendekati Jenia. Mata merah penuh amarah dari balik topeng pria itu dapat terlihat jelas di mata Jenia. Jenia terdiam, ada rasa takut berkelibut dalam hatinya melihat sorot mata yang begitu kejam.
Entah apa lagi kali ini yang akan ia lakukan kepada Jenia sehingga Jenia tidak dapat berkutik saat langkah kaki itu semakin dekat dengannya.
*** Bersambung***
Mohon maaf atas ketidak nyamanannya, karena cerita ini sedang diperbaharui. Selamat membaca untuk Readers terlove-love
“Tanda tangani kontrak ini, atau kamu akan menyesal!” geram pria itu mencekik Jenia penuh amarah. “Tidak! Aku tidak akan menandatanganinya!” Jenia keras kepala, menolak untuk menandatangani surat kontrak yang ada di atas ranjangnya. “Huh, ternyata kamu memanglah gadis yang amat keras kepala. Kamu terlalu egois, sehingga kamu tidak memikirkan keluargamu yang berada di Jakarta akan hidup menderita karenamu!” Jenia membulatkan matanya mendengarkan ucapan pria itu yang merembet kepada keluarganya. Mungkinkah dia mengenal keluarga Jenia? ataukah ini hanya sekadar ancama belaka? “Kamu tidak kenal siapa keluargaku!” ucap Jenia dengan bangga dengan suaranya yang ia paksakan. Cekikan itu semakin kuat membuat Jenia merasa kesulitan untuk bernapas. Jenia merasa suaranya tercekat. “Pikirkanlah baik-baik, jika kamu tidak ingin tanda tangani perjanjian ini, maka bersiaplah mengucapkan selamat tinggal kepada ayah tercintamu, aku bisa membuatnya mati
Jenia sudah memikirkan dengan matang cara untuk keluar dari vila itu. Ia tidak akan peduli dengan hasil yang akan ia capai. Namun, Jenia percaya diri, bahwa ia bisa terbebas dari genggaman pria bertopeng itu meskipun ia harus mempertaruhkan nyawanya. “Aku pasti bisa menjalankan rencanaku ini,” ucapnya yakin meskipun ada sedikit kegetiran di dalam hatinya. Jenia tersenyum memandang pada langit yang mulai kelam. Seharian ini pria bertopeng itu tidak mendatanginya, membuat ia merasa sedikit lega dan dapat memulihkan kesehatannya setelah kemarin ia harus menahan rasa sakit yang diberikan oleh pria kejam itu. Jenia menatap vas bunga berbahan kaca yang ada di atas lemari kayu dekat kamar mandi. Jenia mengelus vas bunga itu dengan senyum penuh harapan. “Vas bunga yang sangat cantik, aku harap kamu sangat berguna di dalam kehidupanku ini!” tukas Jenia tidak luput pandangannya dari memandangi vas bunga dan mengelus benda yang ada di hadapannya itu.
Jenia mengandalkan segala kepandaiannya kali ini. Ia tidak bisa terus berlari sedangkan para pengawal itu terus saja mengejarnya, lagi pula, Jenia tidak tahu jalan mana yang harus ia telusuri agar terbebas dari tempat gelap dan dipenuhi pepohonan itu. Di hadapan Jenia ada sebuah pohon yang menjulang tinggi dan begitu banyak dahan di pohon yang bisa Jenia andalkan kali ini. Jenia tersenyum senang, seakan kepintarannya memberikan keberuntungan padanya. Ia tidak peduli dengan kemungkinan-kemungkinan binatang yang ada di atas pohon itu. Jenia berusaha untuk memanjat pohon itu setingginya, hingga para pengawal yang terus saja mengejarnya tidak dapat menemukan keberadaannya. Dari atas pohon, Jenia bisa mendengarkan suara para pengawal yang masih mengejarnya dan mencari-cari keberadaannya. Ia meneguk salivanya ketika seokor ular putih berada di dekatnya. Ia berusaha untuk tetap diam dan tenang, saat ular pohon menjulur melewati tubuhnya. Rasa
“Apa maksud ucapanmu itu?” tanya Jenia dengan nada yang mulai meninggi. Jonathan meneguk salivanya, jakunnya turun naik mendengarkan suara Jenia yang bernada tinggi dan memekakan telinganya. Sepertinya kali ini ia telah salah dalam berkata sehingga memancing kemarahan gadis yang tengah terpuruk di belakangnya saat ini. “Maaf, aku hanya bercanda saja, aku tidak bersungguh-sungguh dalam mengucapkannya!” Jonathan berusaha untuk meyakinkan Jenia dengan menggeleng-gelengkan kepala, menunjukkan bahwa ia adalah pria yang baik-baik. “Kenapa kalian para pria selalu saja seenaknya dalam bicara? Bukankah kamu tahu apa yang kamu katakan barusan itu adalah salah satu pelecehan terhadap wanita?” “Tolong, jangan berpikir seperti itu tentangku, aku sungguh-sungguh, sama sekali tidak bermaksud seperti itu, aku hanya bercanda saja,” gagap Jonathan. “Dalam situasi seperti ini, kamu masih bisa membuat guyonan kepadaku?” “Baiklah, aku minta maaf! Aku menga
Marvin tengah dirawat oleh seorang Dokter karena luka akibat vas bunga itu begitu dalam. Sedangkan Ferdinand mondar-mandir di luar ruangan menantikan Dokter keluar dari dalam dan memberikan kabar padanya. “Dasar bodoh! Kenapa kalian bisa melepaskan gadis itu begitu begitu saja!” berang Marvin pada salah seorang pengawal yang bertugas untuk menjaga Jenia. Tangan Ferdinand tidak hentinya menampar dan memukuli wajah pria di hadapannya itu, dengan kekesalan yang mendalam dan amarah yang memuncak. “Aku tidak mau tahu, sekarang kalian cari gadis itu sampai dapat dan pastikan kalian membawanya kembali ke hadapanku!” tegas Ferdinand. Pengawal itu pergi setelah mendapatkan perintah dari Ferdinand. Ferdinand begitu merasa kesal. Bagaimana tidak, ia merasa takut jika saja Marvin bangun dan mempertanyakan keberadaan gadis itu. Marvin pasti akan marah besar padanya dan membatalkan semua kerja sama yang sudah ada di depan mata karena gadis itu. Ferdin
Jonathan merasa tubuhnya begitu ringan kali ini, padahal dengan jelas semalam ia tidur sembari mendekap Jenia. Ia tidak bisa merasakan keberadaan gadis yang semalam menggigil kedinginan di dalam dekapannya. Jonathan membuka matanya ia segera membetulkan posisi duduknya. Jenia sudah tidak ada di dekatnya. Ia menatap ke sekitar, Jenia sudah tidak ada di dalam ruangan itu. Jonathan berdiri dan mencari Jenia keluar. Berharap gadis itu masih berada di dalam apartemennya. “Gadis itu sudah pergi, dia pasti berpikir yang tidak-tidak tentangku!” pikirnya sembari memukul-mukul kepalanya. Jonathan merasa bersalah pada Jenia, karena gadis itu baru saja keluar dari masalahnya dan kini ia memberikan masalah baru pada Jenia. “Bodoh… bodoh… bodoh!” ucap Jonathan mengatai dirinya sendiri. Jenia pasti tidak akan menerima alasannya hingga ia harus mendekap Jenia semalaman. Jonathan tidak bisa berpikir lain, selain memikirkan tanggapan Jenia kepadanya.
Jonathan kembali ke rumah sakit. Sedangkan Jenia tidak ingin berlama-lama berada di kamar kossan Cherry. Setelah mendengarkan cerita Bu Yuni panjang lebar, Jenia memberanikan dirinya untuk kembali pulang ke rumah. “Aku pulang!” sapa Jenia dengan lemas. Julia, Ibu tiri Jenia tengah sibuk membaca majalah harian terkejut dengan kedatangan Jenia kali ini. Ia berdiri bertolak pinggang menatap Jenia dengan tatapan yang begitu kejam berselimut amarah. “Oh, enak sekali ya hidupmu, setelah pergi tanpa kabar kamu pulang begitu saja!” omel Julia dengan nada tinggi. “Ma, aku lelah. Aku tidak ingin berdebat dengan Mama!” ucap Jenia terus melangkah masuk ke dalam rumahnya berusaha untuk mengabaikan Julia yang memerah karena marah. Julia berjalan menghampiri Jenia. Ia merasa kesal dengan sikap Jenia yang mengabaikannya. Plak!!! Satu tamparan melesat di pipi Jenia sehingga pipi itu berjejak merah. Jenia memegang pipinya yang terasa sakit. Ia b
Jonathan kembali masuk ke dalam ruangan di mana Ferdinand tampak tegang. Entah apa yang sedang mereka bicarakan kali ini membuat rasa penasarannya semakin membuncah. “Apa yang sedang kalian bicarakan? Kenapa sikap kamu seperti kawat tegang begitu?” tanya Jonathan menepuk pundak Ferdinand yang tengah berusaha menyembunyikan wajahnya dari sang kakak. “Ha, enak saja, lihat ini, bahkan aku lebih tampan darimu!” keluh Ferdinand. “Kami hanya sedang membicarakan pertemuan kita yang gagal.” “Oh ya, aku juga minta maaf karena ada hal yang mendesak sehingga aku tidak bisa mengunjungimu tadi malam!” ucap Jonathan penuh sesal. “Hal mendesak apa yang pernah kamu lakukan kak, selain pekerjaan? Bukankah semua pekerjaan sudah beres?” tanya Ferdinand merasa curiga. Ferdinand merasa heran karena kakaknya selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan, bahkan dari yang Ferdinand tahu selama ini, Cherry berniat memutuskannya karena Jonathan tidak pernah memilik