POV DANANG
Kenapa rumah ini terasa begitu sunyi. Sangat sunyi dan tidak seperti biasanya. Kemana penghuninya berada.
"Bu! Ibu!" Aku terus memanggil mantan mertuaku itu. Tapi tak kunjung dibuka pintunya. Dari menekan bel hingga gedoran pintu cukup keras tidak ada yang membukanya. "Sial!" gumamku. Karena sangking kesalnya, akhirnya pintu rumah itu kutendang sekencang mungkin.
"Buka! Woy! Pada mati nggak ketahuan kali ya!" teriakku lagi. Entah kenapa, setelah mentalak Indah, hilang juga rasa hormatku pada mereka.
"Assalamualaikum," terdengar suara mengucap salam. Aku dan Maya menoleh ke sumber suara itu. Berat rasanya menjawab salamnya. Lagian moodku juga sedang tidak bagus. "Walaikumsalam," jawab Maya lirih.
"Eh Bu Endah," sapa Maya. Bu Endah adalah tetangga mantan Ibu mertua, juga tetangga Maya. Rumahnya persis di samping tanah kosong bekas rumah Maya dulu.
Entahlah, padahal Indah dan Maya bertetangga, tapi aku dan Maya tidak pernah bertemu. Mungkin karena Maya harus tinggal jauh di kota Kalimantan saat kuliah dulu. Sedangkan aku mengenal Indah juga saat kuliah. Jadi wajar kalau misalnya aku tidak tahu Maya adalah teman Indah awalnya ketika dia melamar pekerjaan di perusahaanku.
Maya sendiri, tahu Indah telah menikah pun dari keluarganya. Aku dan Maya tidak pernah bertemu sebelumnya.
"Bu, Mau tanya, Bu Ana dan Pak Rusman pada kemana ya? Kok kami panggil-panggil tidak ada yang menyahut ya?" tanya Maya. Aku masih terdiam. Sengaja rumah ini kubangun lumayan besar dan mewah untuk ukuran di kampung. Untuk pamer ke orang-orang bahwa Aku ini Wah. Suami Indah ini wah! Meskipun aku pun hanya menjatah satu juta perbulan untuk mereka. Tapi orang-orang tidak akan mengira aku menjatah mereka segitu. Lagipula, mertuaku juga sudah sangat senang dan bersyukur.
Bu Endah menatap kami dengan tatapan sinis. "Ibu kenapa natap saya seperti itu?" tanyaku dengan nada sedikit ketus. Maya mencubit pelan tanganku.
"Barusan, Bu Ana, Pak Rusman dan Indah sudah pergi dari rumah ini," ujarnya. Mereka pergi? Sertifikat rumah ini bagaimana? Jangan-jangan rumah ini dijual murah atau digadaikan lagi ke rentenir. Sialan! Awas saja Indah.
"Rumah ini bagaimana, Bu?" tanyaku.
"Bagaimana apanya, Danang? Aneh banget sih kamu. Ini! Indah tadi menitipkan kunci rumahnya sama saya!" ucap Bu Endah sambil memberikan kunci pada Maya. "Terimakasih, Bu," ucap Maya. Tapi Bu Endah hanya menatap ke arah Maya dengan penuh kebencian.
"Oh iya, Indah pergi sama orang tuanya saja?" tanya Maya.
"Nggak kok, naik mobil mewah warna putih. Sama laki-laki sangat tampan. Indah bilang sudah diceraikan sama kamu! Pantas ya diceraikan, rupanya sudah tergila-gila sama temannya sendiri. Dasar laki-laki nggak punya hati kamu, Danang! Kamu juga Maya, suami teman sendiri kok diembat!" cibir Bu Endah. Kurang ajar, carita apa Indah pada mereka.
"Eh, Bu Endah! Ibu kalau nggak tahu apa-apa itu diam saja!" Belum sempat Maya melanjutkan ucapannya, Bu Endah main ngeloyor meninggalkan kami. Dasar orang kampungan! Nggak punya etika sama sekali.
Laki-laki tampan bersama Indah tadi, siapa dia. Sialan! Pantas saja dia berani meminta pisah. Ternyata sudah ada laki-laki lain. Brengsek kamu, Indah! Jangan-jangan kamu memang telah berselingkuh dariku.
Aku tahu betul tentang Indah, tidak mungkin dia berani meminta pisah dariku kalau tidak ada laki-laki lain.
"Mas ayok, Masuk. Kenapa kamu malah bengong sih," ujar Maya. "Kesel aku sama mantan istri kamu itu! Cerita apa dia? Bukan kamu yang malu-maluin Indah! Justru kita yang malu!" sungut Maya. Aku diam saja dan memilih mengambil kunci dari tangannya, kemudian membukanya.
"Awas saja kalau sampai sertifikat rumah ini dibawa sama Indah. Bisa saja kan digadaikan untuk modal hidup!"
"Kamu yang dipikirin sertifikat Mulu! Heran aku! Perhitungan banget sama mantan istri. Lagipula kamu bisa berkembang pesat juga Indah banyak menyumbang ide-ide luar biasa dari pikirannya untuk menciptakan produk baru! Jadi ikhlaskan saja kalaupun rumah ini kembali digadaikan!" cetus Maya. Heran juga kenapa perempuan ini terus membela Indah. Harusnya dia senang aku bertindak seperti ini pada Indah.
Sampai di dalam, rumah ini masih sama. Tidak ada yang berubah. Perabotan yang bisa dijual ulang juga masih ada. Rumah pun terlihat rapi. Aku gegas ke kamar Ibu mertua, dan sampai disana, seluruh pakaiannya pun masih ada. Tersusun rapi di lemari.
Ada sebuah amplop tebal berwarna coklat. Di atas meja lampu kamar. Jelas saja membuat mataku mendelik. Aku dan Maya saling berpandangan. Di atasnya juga ada secarik kertas putih bertuliskan pesan yang sangat rapi. Gegas aku meraih kertas putih di atas amplop coklat cukup tebal itu. Disampingnya, juga terletak dua buah ponsel berwarna hitam yang pernah aku belikan untuk mereka.
[Danang, Terimakasih untuk kebaikanmu selama 10 tahun ini. Ibu dan Bapak kembalikan semua sebelum kamu mempermalukan kami dan menghina kami seperti yang kamu lakukan terhadap putri kami Indah. Kami kira kamu mencintainya tulus. Menerima semua kekurangannya, seperti yang kamu katakan untuk mendapatkannya saat itu. Namun, ucapan hanyalah ucapan. Bahkan kami dengar, kamu meminta kami pergi bukan?
Sebelum pergi, Ibu dan Bapak mau kembalikan uangmu. Kau selalu memberikan uang pada kami sebesar 1 juta rupiah bukan? Uang ini sama sekali tidak kami sentuh. Selama 10 tahun kami menyimpannya. Cek saja kamu kalikan 10 tahun. Insya Allah tidak berkurang sama sekali. Sertifikat rumah kami pun, kami serahkan kepadamu. Kami anggap tidak bisa menebus rumah ini. Namun, jika perhitunganmu sampai pada bunga. Ambil saja uang 40 juta ini. Kami kembalikan padamu Danang. Kami sudah tidak punya sangkutan apapun dengan kamu bukan?
Kami sebagai orang tua ingin sekali memakimu untuk apa yang telah kamu lakukan pada putri tercinta kami. Tahu seperti ini, kami sebagai orang tua sangat menyesal telah menikahkan anak kami dengan pria sepertimu. Pria yang penuh kemunafikan. Tapi kami sadar ini sudah menjadi jalan hidup Indah. Setidaknya, dia belum terlambat untuk memperbaiki hidup dan mendapatkan kebahagiaan sejatinya bersama orang yang kelak benar-benar tulus mencintainya. Kami sudah tidak punya hutang apapun denganmu bukan? Jadi kami pergi pun tenang. Tanpa ada bayang-bayang seorang Danang. Hutang Budi pada Danang]
Selesai membaca surat itu, aku dan Maya saling berpandangan. Aku menelan ludahku sendiri. Ini seperti kejutan. Bagaimana mungkin semua ini. Darimana mereka memiliki uang sebanyak ini. Atau jangan-jangan, Indah benar-benar telah menjual diri. Kalau tidak, maka tidak mungkin mereka memiliki uang sebanyak ini. Hingga mengembalikan uang 40 juta rupiah yang dulu kupakai untuk menebus rumah ini.
"Mas, ini semua benar? Nggak mimpi?" tanya Maya. Aku menggeleng. "Kok bisa ya? Bukan mereka yang shock tapi kita lah yang seperti diberi kejutan," ucapnya. Aku sendiri juga bingung. Kok bisa. Ah tapi lumayan jugalah uangnya.
Dasar keluarga bodoh. Tidak mau menuntut apapun. Kalau yang pintar justru akan menuntut hak ke pengadilan. Aku harus secepatnya mengirim surat cerai sebelum Indah menuntut harta gono-gini. Bisa saja keadaan berbalik dia yang menggugatku. Sebab, sepertinya mereka telah memiliki uang. Meskipun uang itu hasil menjual diri mungkin? Indah kan cantik, bisa dengan mudah mendapat uang dari hasil Mela*ur. Tapi kalau untuk dijadikan sosok istri, laki-laki yang mencicipinya tidak akan ada yang bersedia. Sekalipun ada paling hanya hitungan bulan sudah cerai. Lepas itu, ya dia dibuang. Untuk apa menikahi wanita yang tidak bisa memiliki keturunan. Keturunan itu kan penting. Itu sih kalau aku. Mungkin pemikiran laki-laki lain seperti itu juga? Atau hanya aku saja?
"Ya bisalah. Mungkin saja Indah sudah bingung jadi dia cari mangsa pria hidung belang mungkin untuk mendapatkan uang? Atau jadi istri simpanan? Bisa jadi kan?" jawabku sambil memasukan uang itu. Menyatukannya dalam satu amplop.
"Yang, untuk kamu. Ambil semuanya buat belanja ya," ujarku menyerahkan amplop coklat itu pada Maya.
"Kamu serius? Nanti akan kejadian seperti Indah nggak?"
"Nggak, Sayang. Sudah aku bilang, kalau Indah aku memang sakit hati padanya. Dan aku sengaja melakukannya. Sudahlah, nggak usah bahasa-bahas soal Indah. Anggap saja perempuan itu sudah mati. Tidak pernah hadir dalam hidup kita. Aku akan menyuruh Ramdan menjual rumah ini. Toh kita tidak mungkin kembali lagi ke kampung ini," ujarku.
"Iya, benar sekali kamu, Sayang," ucap Maya.
********
POV MAYA
Sebenarnya aku senang Mas Danang berbuat sedemikian itu pada Indah. Aku juga senang pada akhirnya Indah Pergi. Aku jadi tidak memiliki saingan lagi. Karena jelas aku menjadi istri satu-satunya. Istri Mas Danang. Sudah kaya, tampan pula. Tapi ....
POV MAYASebenarnya aku senang Mas Danang berbuat sedemikian itu pada Indah. Aku juga senang pada akhirnya Indah Pergi. Aku jadi tidak memiliki saingan lagi. Karena jelas aku menjadi istri satu-satunya. Istri Mas Danang. Sudah kaya, tampan pula. Tapi …..Tapi yang aku takutkan Mas Danang akan memperlakukan aku seperti Indah. Wajah tampan yang terlihat kalem ternyata hatinya seperti itu. Mengerikan juga. Aku tidak boleh bodoh seperti Indah harus selangkah lebih maju.Jujur aku mencintai Mas Danang. Aku bahagia dia bisa menjadi suamiku. Meskipun aku jadi yang kedua, toh aku yakin bisa sepenuhnya mendapat kasih sayang dari Mas Danang. Sebab, istri pertamanya itu kan tidak bisa memberikan keturunan. Sedangkan Mas Danang sangat menginginkan seorang anak. Hanya saja, baru sehari aku menjadi istri Mas Danang,
POV INDAH"Gue jalan dulu, Bos," ucap Haris dengan raut wajah meledek. Entah apa maksudnya. Reyhan tak menjawab dan memilih untuk menghabiskan roti bakarnya."Si Reyhan kenapa, Ris. Aneh ya? Kadang baik, kadang judes. Kayak orang angot-angotan gitu," lirihku setengah berbisik. Haris terlihat cekikikan."Jangan begitu, Ndah. Kayak baru kenal Reyhan aja," ujarnya. Aku hanya menganggukan kepala."Kalau mau berangkat kerja, berangkat aja! Nggak usah ghibahin saya!" sungutnya sembari berjalan cepat. Padahal tadi dia masih makan roti bakar. Cepet banget tiba-tiba sudah ada di belakang. Aku sedikit merasa tak enak. Sementara Haris hanya menertawakannya.Saat kami sampai di mobil, Reyhan yang sudah berada di da
POV DANANGSeperti rencana, selepas makan siang, kami pergi menemui Pak Andalas di kantorku. Sejak dua hari ini mulai ada yang mengganggu pikiran. Rasanya aku tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Entahlah, tiba-tiba saja pikiranku terbesit akan bayangan seorang Indah, senyum manisnya, dan sambutannya saat aku pulang dari kantor.Lepas bayangan manis, tiba-tiba singgah juga bayangan saat dirinya berdiam diri. Saat aku mengusirnya hingga jidatnya terpentok tiang dan meninggalkan bekas memar. Hujan-hujan aku tega mengusirnya. Tak menyangka aku bahkan bisa sampai berbuat demikian karena rasa sakit hati. Aneh memang, kenapa seperti ada rasa merindukanya. Tapi jika kuingat hal yang membuat kesal, rasa marah itu kembali lagi. Sebisa mungkin aku menolak rasa kalau aku merindukannya.Sampai di
Tok … tok … tok ….!Suara pintu itu kembali terdengar. Aku segera bergegas membuka pintunya. Mungkin saja itu Reyhan yang akan memberikan obat untukku."Mana obatnya?" tanyaku."Lah, memang belum dikasih sama Reyhan?" tanyanya. Aku menggeleng.Ternyata Haris yang datang."Sudah kuduga," lirihnya."Apa?" tanyaku tak mengerti. Haris hanya diam saja. Tapi wajahnya terlihat sangat kesal. "Keterlaluan," ujarnya lagi semakin membuatku tak mengerti. Aku melirik jam di dinding sudah pukul 18.45 menit. Itu artinya lima belas menit lagi dari sekarang."Kayaknya aku nggak bisa ikut, Ris. Maaf ya? Kamu pergi sendiri aja. Perutku masih sakit,"
"Ingat Adit Tiagautama?" tanyanya sambil mengajakku duduk di meja yang sedikit jauh dari kebisingan."Aditya Tiagutama? Aku ingat. Mahasiswa yang paling gendut di kelas? Korban bully anak satu kelas. Terutama Mas Danang? Tiada hari tanpa dikerjai Mas Danang. Dijauhi oleh hampir semua siswa karena bau badan? Dianggap jorok dan ….""Dan hanya kamu kan yang mau berteman sama dia? Kamu selalu belain dia. Pasang badan di depan dia. Sering berantem sama Danang gara-gara belain dia. Terakhir kamu bertengkar hebat sama Danang, gara-gara Danang minta dibeliin kopi panas di kantin, tapi dia bawain es cofe, dan Danang marah terus ngeguyur minumannya ke kepala dia. Danang juga sering banget minta dia buat joget di depan kelas. Buat hiburan mereka. Kalau Adit berjoget, karena badannya yang besar bagaikan gajah itu, meliuk-liuk, anak satu kelas akan tertawa terbahak
Malam kian larut, aku melirik waktu di jam tangan sudah menunjukkan pukul 01.00 malam. Lima menit kemudian, tepat pukul 01.05 WIB, mobil Mas Danang berhenti di depan sebuah vila cukup besar dengan nuansa white. Halamannya terdampar begitu luas dengan beberapa bangku dan meja taman. Kemungkinan Vila ini sangat pas untuk liburan keluarga.Sebuah plang besar tertulis Vila Indah Asri. Letaknya lumayan jauh dari ibu kota. Sepertinya kini aku telah berada di luar kota. Suasana disini sangat sepi dan lumayan jauh dari pemukiman warga.Mas Danang langsung melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil dan keluar. Aku sudah paham betul dengan sikapnya, jadi aku harus berusaha supaya tetap tenang. Ya Allah, semoga tidak terjadi sesuatu pada diriku. Jangan sampai Mas Danang menodaiku dan melakukan dosa besar."
POV REYHANMelihat Danang memperlakukan Indah dengan kasar, sungguh ingin membuatku mematahkan batang lehernya. Kalau saja Haris tidak mencegahku, mungkin laki-laki itu sudah babak belur di tanganku. Hanya saja sayang, lelaki banci itu berteriak bahwa kami dilarang ikut campur. Sebab, Indah masih sah menjadi istri Danang. Itu betul karena Indah memang belum resmi bercerai. Sehingga aku pun lebih memilih diam meski hati panas. Aku juga tidak ingin terjadi keributan. Laki-laki gila tak berotak.Kuperhatikan Danang semakin kasar. Ia mulai menyeret tangan Indah dan membawanya pergi menjauh dari taman. Jelas saja aku langsung mengikuti dari belakang. Namun sebelum itu, aku meminta Novi sekretarisku untuk pulang lebih dulu. Sementara Maya, wanita yang kini telah menjadi istri Danang itu terus berteriak namun sama sekali Danang tidak melirik ke arahnya.Mataku membulat sempurn
Sebelumnya….POV INDAH"Kok kamu ada disini?" tanyaku yang bingung tiba-tiba melihat keberadaan Reyhan. Pria itu, barusan bersikap manis, sekarang kembali dingin."Udahlah, Nggak usah banyak tanya! Masih mending aku datang. Jadi Danang tidak menyakitimu lagi!" ketusnya."Lagian sekalian bareng ke kantor 'kan?" ujarnya. "Nggak usah mikir macam-macam! Jangan Ke GR-an!" Aku menelan ludah melihat wajahnya. Memilih diam itu lebih baik, daripada berdebat. Bukan begitu?Reyhan pun mengemudikan mobilnya ke arah kantor. Sepanjang perjalanan, kami saling terdiam.****Dua puluh menit berlalu,