Malam kian larut, aku melirik waktu di jam tangan sudah menunjukkan pukul 01.00 malam. Lima menit kemudian, tepat pukul 01.05 WIB, mobil Mas Danang berhenti di depan sebuah vila cukup besar dengan nuansa white. Halamannya terdampar begitu luas dengan beberapa bangku dan meja taman. Kemungkinan Vila ini sangat pas untuk liburan keluarga.
Sebuah plang besar tertulis Vila Indah Asri. Letaknya lumayan jauh dari ibu kota. Sepertinya kini aku telah berada di luar kota. Suasana disini sangat sepi dan lumayan jauh dari pemukiman warga.
Mas Danang langsung melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil dan keluar. Aku sudah paham betul dengan sikapnya, jadi aku harus berusaha supaya tetap tenang. Ya Allah, semoga tidak terjadi sesuatu pada diriku. Jangan sampai Mas Danang menodaiku dan melakukan dosa besar.
"
POV REYHANMelihat Danang memperlakukan Indah dengan kasar, sungguh ingin membuatku mematahkan batang lehernya. Kalau saja Haris tidak mencegahku, mungkin laki-laki itu sudah babak belur di tanganku. Hanya saja sayang, lelaki banci itu berteriak bahwa kami dilarang ikut campur. Sebab, Indah masih sah menjadi istri Danang. Itu betul karena Indah memang belum resmi bercerai. Sehingga aku pun lebih memilih diam meski hati panas. Aku juga tidak ingin terjadi keributan. Laki-laki gila tak berotak.Kuperhatikan Danang semakin kasar. Ia mulai menyeret tangan Indah dan membawanya pergi menjauh dari taman. Jelas saja aku langsung mengikuti dari belakang. Namun sebelum itu, aku meminta Novi sekretarisku untuk pulang lebih dulu. Sementara Maya, wanita yang kini telah menjadi istri Danang itu terus berteriak namun sama sekali Danang tidak melirik ke arahnya.Mataku membulat sempurn
Sebelumnya….POV INDAH"Kok kamu ada disini?" tanyaku yang bingung tiba-tiba melihat keberadaan Reyhan. Pria itu, barusan bersikap manis, sekarang kembali dingin."Udahlah, Nggak usah banyak tanya! Masih mending aku datang. Jadi Danang tidak menyakitimu lagi!" ketusnya."Lagian sekalian bareng ke kantor 'kan?" ujarnya. "Nggak usah mikir macam-macam! Jangan Ke GR-an!" Aku menelan ludah melihat wajahnya. Memilih diam itu lebih baik, daripada berdebat. Bukan begitu?Reyhan pun mengemudikan mobilnya ke arah kantor. Sepanjang perjalanan, kami saling terdiam.****Dua puluh menit berlalu,
POV INDAHPerkelahian mereka semakin berlanjut. Keduanya beradu mulut. Banyak kata makian yang terlontar dari mulut Reyhan.Aku menelan ludah. Hatiku terasa sakit, bibirku pun bergetar. Tak kuat akhirnya aku pun membuka pintu kamar."Setop, jangan lanjutkan pertengkaran kalian," ujarku dengan nada suara yang tidak tinggi. Takut kalau sampai mengganggu istirahat Ibu dan Bapak."Kamu, Rey! Tak usah menghina statusku! Kamu percaya diri sekali! Jangan kira karena aku memelukmu, lantas aku mencintai kamu, Rey! Kalau kamu membenciku karena statusku yang seorang janda! Bekas istri dari musuhmu itu hakmu! Aku bahkan tidak pernah memintamu untuk mencintaiku, Rey! Percaya diri sekali kamu? Kamu berkata seperti itu, seakan-akan aku mau sama kamu, Re
POV INDAHSetelah menepikan mobilnya, pemuda itu pun keluar dari mobilnya. Tubuh atletis tinggi semampai itu berjalan menghampiri kami sambil membuka kacamatanya. Setelah turun aku sudah dapat mengenalinya. Siapa lagi kalau bukan Reyhan Aditya Wijaya."Ko bisa laki-laki beku itu? Ngapain coba nyari rumah sewaan? Inalilahi wainailaihi rojiun… Reyhan," ucapku membatin sambil menggelengkan kepala."Ya Allah, ya Robbi," batinku lagi. Terlalu…."Ini, Neng orang yang sudah dulu menyewa rumah ini," ujar Si Bapak."Iya, Pak. Nggak apa-apa. Biar saya cari tempat lain. Bapak kasih dia saja," ujarku."Saya ambil rumah ini," ucap Reyhan s
POV INDAH"Mas Danang," lirihku saat bola mata kami saling bertemu. Dari wajah, nampak aku dan dia sama-sama terkejut. Kok bisa-bisanya ada dia di rumah sebelah. "Ya Allah, sesempit inikah dunia?" gumamku membatin."Kamu kenapa, Ndah?" tanya Adit. Aku tak menjawab. Adit langsung menoleh ke teras sebelah saat aku mengalihkan pandangan."Ndah," lirihnya. Aku mengangkat wajah seolah berkata "apa?""Kalian bertetangga?" tanyanya."Entah," jawabku.Saat kembali lagi hendak menjemput Ibu dan Bapak, di jalan aku bertemu dengan Adit. Lalu, aku cerita mau pindah hari ini. Lantas, dia memaksa untuk mengantar dan ingi
Hati ini gelisah tak menentu. Bahkan sudah selarut ini, aku pun tidak dapat memejamkan mata. Iseng kubuka saja paket yang sore tadi kuterima."Paket dari siapa ini?" lirihku. Cepat kubuka saja karena rasa penasaran ini yang begitu menggebu.Kedua bola mataku membulat sempurna. Pasalnya sebuah ponsel berwarna putih dengan merek ternama dan cukup mahal ada di dalam paket itu. Siapa pengirimnya?[Indah Rahmawati, mulai sekarang gunakan ponsel ini. Sudah lengkap dengan kartunya. Kamu hanya tinggal menggunakannya. Dari aku "DAN"] tulisnya. Siapa Dan? Kenapa dia bisa tahu nama juga rumahku. Ini juga bukan barang murahan. Hanya orang berduit yang bisa membelinya.Berkali-kali aku membolak-balikkan ponsel ini. Ragu saat mau menggunakannya.&nbs
POV DANANGSebelumnya….Kring ...kring ….kring ….Hendra langsung mengangkat telepon kantor."Apa?!" ucap Hendra membuatku semakin deg-degan."Ada apa, Hend?" Namun Hendra mengabaikan ucapanku. Dia terus berbicara di telepon. Wajahnya terlihat shock.Selesai berbicara, Hendra langsung menutup panggilan telepon."Ada apa?" tanyaku.
POV DANANG"Mas ada apa?" Indah terus bertanya Raut wajah cantiknya terlihat sangat panik. Wajar, karena dia melihat Ibunya pingsan. Sengaja aku ulur untuk menjawab pertanyaannya, supaya terkesan drama. Ya, namanya juga sedang mengambil hati mantan istri. Kupandangi wajah itu. Tapi bukan memandangi karena iba atau apa. Tapi baru beberapa Minggu tak melihatnya, wajahnya tampak semakin cantik. Apa lagi menggunakan pakaian kantor seperti ini. Indah sangat kelihatan cantik dan berkelas."Ndah," lirihku. Aku coba kembali menyentuh bahunya. Lagi dan lagi Reyhan yang berada di sampingnya menepis tanganku. Sial memang."Kamu sabar, ya. Bapak sudah pergi menemui Sang pencipta," ucapku. Kalau aku memang mengharapkan semua ini."Inalillahi wainailaihi roj