POV INDAH
Setelah menepikan mobilnya, pemuda itu pun keluar dari mobilnya. Tubuh atletis tinggi semampai itu berjalan menghampiri kami sambil membuka kacamatanya. Setelah turun aku sudah dapat mengenalinya. Siapa lagi kalau bukan Reyhan Aditya Wijaya.
"Ko bisa laki-laki beku itu? Ngapain coba nyari rumah sewaan? Inalilahi wainailaihi rojiun… Reyhan," ucapku membatin sambil menggelengkan kepala.
"Ya Allah, ya Robbi," batinku lagi. Terlalu….
"Ini, Neng orang yang sudah dulu menyewa rumah ini," ujar Si Bapak.
"Iya, Pak. Nggak apa-apa. Biar saya cari tempat lain. Bapak kasih dia saja," ujarku.
"Saya ambil rumah ini," ucap Reyhan s
POV INDAH"Mas Danang," lirihku saat bola mata kami saling bertemu. Dari wajah, nampak aku dan dia sama-sama terkejut. Kok bisa-bisanya ada dia di rumah sebelah. "Ya Allah, sesempit inikah dunia?" gumamku membatin."Kamu kenapa, Ndah?" tanya Adit. Aku tak menjawab. Adit langsung menoleh ke teras sebelah saat aku mengalihkan pandangan."Ndah," lirihnya. Aku mengangkat wajah seolah berkata "apa?""Kalian bertetangga?" tanyanya."Entah," jawabku.Saat kembali lagi hendak menjemput Ibu dan Bapak, di jalan aku bertemu dengan Adit. Lalu, aku cerita mau pindah hari ini. Lantas, dia memaksa untuk mengantar dan ingi
Hati ini gelisah tak menentu. Bahkan sudah selarut ini, aku pun tidak dapat memejamkan mata. Iseng kubuka saja paket yang sore tadi kuterima."Paket dari siapa ini?" lirihku. Cepat kubuka saja karena rasa penasaran ini yang begitu menggebu.Kedua bola mataku membulat sempurna. Pasalnya sebuah ponsel berwarna putih dengan merek ternama dan cukup mahal ada di dalam paket itu. Siapa pengirimnya?[Indah Rahmawati, mulai sekarang gunakan ponsel ini. Sudah lengkap dengan kartunya. Kamu hanya tinggal menggunakannya. Dari aku "DAN"] tulisnya. Siapa Dan? Kenapa dia bisa tahu nama juga rumahku. Ini juga bukan barang murahan. Hanya orang berduit yang bisa membelinya.Berkali-kali aku membolak-balikkan ponsel ini. Ragu saat mau menggunakannya.&nbs
POV DANANGSebelumnya….Kring ...kring ….kring ….Hendra langsung mengangkat telepon kantor."Apa?!" ucap Hendra membuatku semakin deg-degan."Ada apa, Hend?" Namun Hendra mengabaikan ucapanku. Dia terus berbicara di telepon. Wajahnya terlihat shock.Selesai berbicara, Hendra langsung menutup panggilan telepon."Ada apa?" tanyaku.
POV DANANG"Mas ada apa?" Indah terus bertanya Raut wajah cantiknya terlihat sangat panik. Wajar, karena dia melihat Ibunya pingsan. Sengaja aku ulur untuk menjawab pertanyaannya, supaya terkesan drama. Ya, namanya juga sedang mengambil hati mantan istri. Kupandangi wajah itu. Tapi bukan memandangi karena iba atau apa. Tapi baru beberapa Minggu tak melihatnya, wajahnya tampak semakin cantik. Apa lagi menggunakan pakaian kantor seperti ini. Indah sangat kelihatan cantik dan berkelas."Ndah," lirihku. Aku coba kembali menyentuh bahunya. Lagi dan lagi Reyhan yang berada di sampingnya menepis tanganku. Sial memang."Kamu sabar, ya. Bapak sudah pergi menemui Sang pencipta," ucapku. Kalau aku memang mengharapkan semua ini."Inalillahi wainailaihi roj
POV DANANG….Pukul 20.30 acara tahlilan selesai… kami kembali duduk santai di teras. Novi dan Luna akan menginap. Begitupun Haris dan Adit yang juga akan menginap di rumah baru Reyhan. Sedangkan aku memang memutuskan untuk tidak pulang dan tidur di rumah Hendra."Kalian nggak istirahat?" tanya Indah yang tiba-tiba datang menghampiri kami dan langsung duduk di samping Luna."Masih mau ngobrol. Kamu istirahat aja, Ndah. Sama Ibu. Oh iya, bagaimana keadaan Ibu?" tanya Luna."Ibu lagi pengen sendirian. Tadi aku disuruh keluar. Mungkin mau menenangkan diri," ucap Indah."Kamu yang sabar ya, Ndah. Kuat aku yakin," ucap Luna lagi.&nbs
POV DANANG"Luna siapa, Mas? Kamu jangan macam-macam! Kamu dimana sekarang?" tanya Maya."Luna teman aku waktu kuliah dulu. Aku hanya bercanda tadi. Nggak ada perempuan lain hanya kamu seorang. Masih ada perempuan lain ya Indah. Aku nyesel udah nyakitin Indah. Demi nikah sama kamu malah aku sial!" ucapku."Mas! Kamu apa-apaan sih. Nggak punya otak ya ngomong begitu? Kamu nggak bisa jaga perasaan aku banget sih! Sekarang kamu ngomong begitu! Kemaren-kemaren kamu ngomong cinta sama aku! Bulshit ya ternyata kamu!" balas Maya."Ya wajar aku bilang nyesel sama nyakitin Indah. Orang Indah istri yang baik. Lagi pula sepuluh tahun aku jadi suami dia. Meskipun aku sempat khilaf, tetap saja aku cinta sama dia. Aku masih mencintai dia. Jadi kamu har
POV LUNAPagi ini, saat baru saja terbangun dan menunaikan shalat subuh, aku teringat untuk menelepon Danang. Akhirnya, tepat pukul 05.30 aku pun menghubungi nomor Danang."Nov, aku yakin Danang masih tidur, telpon aja kali ya, biar Maya panas," ucapku. Novi yang sedang melipat mukena bekas shalat pun hanya terkikik. Kami meskipun masih bersikap kurang baik, shalat tetap kewajiban yang harus ditunaikan."Kamu jail banget, Lun," ucap Novi yang kemudian kembali duduk di atas ranjang tempat tidur."Nggak apa-apa. Biar aja. Biar Danang tau rasa. Benci banget aku dia udah nyakitin Indah. Aku nggak rela, sahabatku itu disakiti. Benci aku sama Danang juga perempuan kampungan yang katanya tetangga Ind
"Indah. Yang sabar ya. Kamu kuat, Ndah," ucapku saat Indah sudah berada di depan pintu. Aku pun hendak menyentuh bahunya. Namun, dengan cepat Indah menepis tanganku. Sorot matanya tajam menatapku. Sombong sekali dia."Nggak usah sok peduli kamu!" ketusnya melewatiku. "Sabar, Danang," ucapku membatin. Aku diam saja sambil mengikutinya masuk ke dalam rumah."Mampus!" ucap Luna di samping telingaku. Entah kapan wanita itu tiba. Tapi mulutnya membuatku betul-betul ingin meremasnya."Mama," lirih Tiara anak Adit. Anak itu langsung berlari ke arah Indah dan menggenggam tangannya. Wajahnya mendongak menatap wajah Indah. Adit pun kemudian berdiri. Sementara Haris dan Novi masih terlihat tenang di posisi tempat duduknya.