POV MAYA
Sebenarnya aku senang Mas Danang berbuat sedemikian itu pada Indah. Aku juga senang pada akhirnya Indah Pergi. Aku jadi tidak memiliki saingan lagi. Karena jelas aku menjadi istri satu-satunya. Istri Mas Danang. Sudah kaya, tampan pula. Tapi …..
Tapi yang aku takutkan Mas Danang akan memperlakukan aku seperti Indah. Wajah tampan yang terlihat kalem ternyata hatinya seperti itu. Mengerikan juga. Aku tidak boleh bodoh seperti Indah harus selangkah lebih maju.
Jujur aku mencintai Mas Danang. Aku bahagia dia bisa menjadi suamiku. Meskipun aku jadi yang kedua, toh aku yakin bisa sepenuhnya mendapat kasih sayang dari Mas Danang. Sebab, istri pertamanya itu kan tidak bisa memberikan keturunan. Sedangkan Mas Danang sangat menginginkan seorang anak. Hanya saja, baru sehari aku menjadi istri Mas Danang, Indah sudah mengundurkan diri terlebih dahulu. Ada ya, istri kaya Indah tidak menuntut apapun. Malah orang tuanya juga mengembalikan uang Mas Danang. Disini sih sebenarnya aku juga yang senang. Karena uang itu diberikan padaku.
Ya intinya aku seneng lah ya jadi istri Mas Danang satu-satunya. Siapa sih yang nggak seneng punya suami kaya, tampan, mampu mencukupi semua kebutuhan kita. Ya, asal kita bisa mengambil hatinya saja. Atau kita turuti saja kemauannya. Lagipula Mas Danang juga sebenarnya baik kok. Mungkin dia bersikap demikian pada Indah ya karena Indah saja yang memang tidak tahu diri. Tidak mampu memberi keturunan bertingkah tidak mau dimadu. Memang betul lah sikap suamiku itu. Harusnya Indah tidak boleh egois.
Tapi bagus juga sih, dia melakukan itu, aku tidak perlu buang tenaga untuk menyingkirkannya. Tidak perlu juga menahan cemburu. Meskipun aku yang kedua, tetap saja ingin menjadi yang pertama. Tidak yakin juga kalau aku akan tahan berbagai suami. Semoga saja, Mas Danang berkata benar. Dia bersikap sedemikian karena kecewa sama Indah. Tidak akan melakukannya padaku. Meski bagaimana pun, aku harus tetap waspada. Aku tetap ada rasa takut akan diperlakukan seperti Indah kelak. Intinya agar tidak mengalami hal serupa, aku harus secepatnya memberikan dia seorang anak.
"Mas, uang ini untuk apa?" Aku coba bertanya setelah kami berada di dalam mobil.
"Itu uang kamu, itu hak kamu. Terserah kamu mau apakan. Bebas. Kamu jangan pikirkan perlakuan aku sama Indah. Aku tidak akan memperlakukan kamu seperti dia. Sekali lagi aku lakukan itu pada Indah karena aku sakit hati padanya. Aku ingin dia hidup menderita," ucap Mas Danang.
"Kamu ngomong benar kan? Nanti kamu ungkit juga semua pemberian kamu ke aku!"
"Aku tidak akan pernah melakukan itu, Sayang. Percaya sama aku. Apalagi setelah kamu bisa kasih aku anak. Apapun akan aku berikan nantinya," ucap Mas Danang.
"Kamu tidak perlu takut aku melakukan hal yang sama padamu. Kamu hanya perlu menjadi istri yang baik untukku. Sudah begitu saja," lanjutnya.
"Aku pasti akan jadi istri yang baik buat kamu, Mas." Apalagi jika semua kebutuhanku kau cukupi, jelas aku akan menjadi istri sebaik-baiknya seorang istri yang kamu inginkan. Akhirnya, mulai besok aku bebas menguasaimu dan hartamu. Semua yang kamu punya, Mas Danang. Semuanya akan menjadi milikku. Ah betapa nikmatnya hidupku ini.
"Aku percaya sayang," balasnya. Tapi aku penasaran dengan Indah. Pergi kemana mereka dan kenapa bisa memiliki uang banyak. Ah nanti saja akan kucari tahu.
Tapi untuk Indah temanku tersayang, thanks banget udah mau ngelepasin Mas Danang. Aku kira kita akan bersaing. Ternyata, tak perlu bersusah payah membuat Mas Danang menjauh darimu, kau melepaskannya untukku. Aku wanita kedua tetap meskipun diam, aku ingin jadi yang pertama. Hatiku ingin menjadi yang utama. Sekalipun tak pernah terlontar dari mulutku. Tapi kini aku tak perlu bersembunyi dalam topeng kemunafikan yang harus berpura-pura menerima Mbak Indah. Karena apa? Karena wanita mandul itu telah pergi.
******
Malam menyapa, kami pun telah sampai di kota. Aku memiliki uang cukup banyak dari Mas Danang. Jadi aku berniat membelikan Mama sebuah mobil. Sebab, Mama pernah berkata ingin memiliki mobil. Sekarang adalah kesempatanku untuk mewujudkan keinginannya.
"Mas, uang ini beneran untuk aku?" Sebelum turun dari mobil untuk segera masuk ke rumah, aku coba bertanya supaya lebih meyakinkan.
"Beneran. Terserah kamu mau untuk apa," jawabnya sambil mencubit hidung mancungku. Meskipun tak semancung mantan istrinya.
"Aku kan punya tabungan 30 juta, niatnya sih tabungan itu untuk membelikan Mama mobil. Mama pingin banget punya mobil sendiri, supaya kalau pergi-pergi satu keluarga itu nggak bingung. Apalagi keluargaku kan keluarga besar," tuturku.
"Berapa juta beli mobil?" tanyanya.
"221.000.000 juta, Mas."
"Ya sudah besok kita ke dealer mobil kita beli untuk Mama. Tabungan kamu dipegang aja buat simpenan kamu. Beli mobil make uang tadi, nanti Mas tambahin," ujarnya sambil melepaskan sabuk pengaman.
"Mas serius? Nggak bohong? Tapi nggak diminta lagi kan? Kalau bakal diminta kaya Indah mending nggak usah deh, Mas," ucapku menunduk.
"Nggak, Sayang. Demi Tuhan Mas tidak akan lakukan itu. Kan sudah Mas bilang, Mas lakukan itu karena Mas sakit hati sama Indah. Kalau saja Indah tidak berbuat seperti itu, mungkin Mas tidak akan melakukannya. Mas hanya tak menyangka Indah bisa minta cerai, Mas panik. Tidak ada cara lain supaya dia tidak jadi minta cerai. Mas sangat mencintai Indah. Mas hanya emosi, tapi ternyata malah jadi fatal begini." Terlihat sesal di wajahnya. Jelas saja aku tidak suka. Yang aku inginkan, Mas Danang tidak menyesali keputusannya menceraikan Indah.
"Mas, nyesel?" tanyaku karena penasaran. Meskipun sesak sih dada ini bertanya seperti itu.
"Mas Nyesal melakukannya. Mas hanya emosi."
"Ya sudah kembali lagi saja sama Indah!" ketusku.
"Aku tidak akan pernah kembali padanya. Lihat saja nanti, ketika tidak ada satu orangpun laki-laki yang mau menjadi suaminya. Pasti dia akan memohon pada Mas untuk dinikahi."
"Terus Mas mau?" tanyaku.
"Mau, tapi hanya untuk menjadikannya pembantu. Atau tidak untuk baby sitter anak kita," ucapnya seraya meraih tubuhku ke pelukannya. Hangat sekali….
"Ya udah yuk, Mas. Kita masuk, mandi istirahat. Terus… proses supaya cepat jadi," bisikku manja. Mas Danang tertawa sembari mencubit daguku. Hum, bahagianya jadi aku. Aku akan membuat Mas Danang melupakan Indah. Meski bibir dia berkata seperti itu, aku tahu betul wajahnya terlukis rasa penyesalan. Hanya saja dia gengsi untuk mengatakannya. Hati manusia, siapa yang tahu kalau bukan manusia itu sendiri.
******
"Sayang, kamu mau kerja apa mau istirahat dulu? Kelihatannya masih ngantuk banget. Makasih ya untuk yang semalam," ucapnya mengecup keningku. Uhuk, serasa menjadi ratu aku tuh. Eh emang ratu sih di rumah ini.
"Hum, udah siang ternyata ya, Mas?" tanyaku sembari menarik selimut. Mas udah sarapan?"
"Sudah tadi. Ria yang membuatkan." Ria itu adalah pembantu baru di rumah kami. Kami dapat dari yayasan khusus menyalurkan pembantu. Baru kemarin dia mulai bekerja di rumah ini.
"Mas, malam nanti pada pukul 7 malam, ada pertemuan dengan Pak Adit. Pembahasan siapa yang akan memenangkan kontrak pertemuan lusa kemarin. Sekalian acara makan malam bersama juga. Semoga saja Pak Adit melirik produk kita. Kontrak ini sangat besar karena bernilai 1 triliun," ujarku.
"Beli mobilnya bagaimana?" tanya Mas Danang.
"Lusa saja setelah pertemuan. Mobil masih bisa ditunda. Aku yakin bisa memenangkan kontrak ini, Mas."
"Semoga saja. Kalau begitu cepat kamu bersiap. Aku tunggu di bawah."
"Oke, Mas."
***********************
POV INDAH
"Ris, kamu berangkat sendiri aja. Indah biar berangkat bareng gue." Aku tersedak mendengar ucapan Reyhan.
"Nggak ada, Indah bareng gue. Dia kan sekretaris gue," ucap Haris. Aku mengernyitkan kening. Sedangkan Ayah dan Ibu tertawa menyaksikan kami.
"Lagian tar pulang kerja, gue mau bawa Indah shoping. Kan dia mau nemenin gue ke acara pertemuan sama Pak Adit," ucap Haris.
"Gue jadi deg-degan siapa yang menang kontrak besar ini," ucap Haris.
"Kontrak yang bernilai 1 triliun itu kan?"
"Kok kamu tahu?" tanya Reyhan.
"Soalnya tadi kalian ngomong soal Pak Adit. Jelas aku tahu karena kemarin aku kasih ide ke Mas Danang seputar produk apa saja yang diminati bukan hanya kalangan menengah atas. Tapi juga semua kalangan. Dan produk terbaru itu sudah pasti booming karena belum ada yang menciptakan produk serupa. Dan ide ini pun hanya dimiliki oleh perusahaan Mas Danang. Aku yakin Mas Danang yang menang kontrak ini," ucapku.
"Tapi jika pun Mas Danang memenangkan kontrak ini, kita masih bisa meluncurkan produk baru untuk menyainginya. Tadinya ide kedua ini ingin aku berikan, supaya Mas Danang bisa menjadi nomor satu dan semakin maju setelah peresmian produk barunya itu. Tapi ternyata seperti ini. Karena aku sudah menjadi bagian dari perusahaan kalian maka, aku juga bisa kan menyumbangkan ide yang tertumpuk selama ini? Aku juga punya kewajiban untuk memajukan perusahaan kalian kan?"
"Lama-lama kamu bukan lagi jadi sekretaris Haris, Ndah. Tapi lebih cocok sebagai direktur pemasaran," ucap Reyhan yang tak lain adalah CEO perusahaan. Sementara Haris sebagai Direktur utama. Kakak beradik ini memang sangat kompak.
"Oke kalau begitu, kita berangkat sekarang?" tanya Haris. Aku yang sudah rapi pun segera bangun dan berdiri. Lepas itu berpamitan pada Ayah dan Ibu.
Sementara sambil mencari tempat tinggal baru kami menumpang di rumah Haris.
"Hati-hati, Nduk," ucap Ibu. Aku tersenyum. Sebelum berangkat, aku coba melirik Reyhan dan memberikan senyum untuknya. Tapi dia hanya diam saja tak membalas senyumku. Dasar aneh…
POV INDAH"Gue jalan dulu, Bos," ucap Haris dengan raut wajah meledek. Entah apa maksudnya. Reyhan tak menjawab dan memilih untuk menghabiskan roti bakarnya."Si Reyhan kenapa, Ris. Aneh ya? Kadang baik, kadang judes. Kayak orang angot-angotan gitu," lirihku setengah berbisik. Haris terlihat cekikikan."Jangan begitu, Ndah. Kayak baru kenal Reyhan aja," ujarnya. Aku hanya menganggukan kepala."Kalau mau berangkat kerja, berangkat aja! Nggak usah ghibahin saya!" sungutnya sembari berjalan cepat. Padahal tadi dia masih makan roti bakar. Cepet banget tiba-tiba sudah ada di belakang. Aku sedikit merasa tak enak. Sementara Haris hanya menertawakannya.Saat kami sampai di mobil, Reyhan yang sudah berada di da
POV DANANGSeperti rencana, selepas makan siang, kami pergi menemui Pak Andalas di kantorku. Sejak dua hari ini mulai ada yang mengganggu pikiran. Rasanya aku tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Entahlah, tiba-tiba saja pikiranku terbesit akan bayangan seorang Indah, senyum manisnya, dan sambutannya saat aku pulang dari kantor.Lepas bayangan manis, tiba-tiba singgah juga bayangan saat dirinya berdiam diri. Saat aku mengusirnya hingga jidatnya terpentok tiang dan meninggalkan bekas memar. Hujan-hujan aku tega mengusirnya. Tak menyangka aku bahkan bisa sampai berbuat demikian karena rasa sakit hati. Aneh memang, kenapa seperti ada rasa merindukanya. Tapi jika kuingat hal yang membuat kesal, rasa marah itu kembali lagi. Sebisa mungkin aku menolak rasa kalau aku merindukannya.Sampai di
Tok … tok … tok ….!Suara pintu itu kembali terdengar. Aku segera bergegas membuka pintunya. Mungkin saja itu Reyhan yang akan memberikan obat untukku."Mana obatnya?" tanyaku."Lah, memang belum dikasih sama Reyhan?" tanyanya. Aku menggeleng.Ternyata Haris yang datang."Sudah kuduga," lirihnya."Apa?" tanyaku tak mengerti. Haris hanya diam saja. Tapi wajahnya terlihat sangat kesal. "Keterlaluan," ujarnya lagi semakin membuatku tak mengerti. Aku melirik jam di dinding sudah pukul 18.45 menit. Itu artinya lima belas menit lagi dari sekarang."Kayaknya aku nggak bisa ikut, Ris. Maaf ya? Kamu pergi sendiri aja. Perutku masih sakit,"
"Ingat Adit Tiagautama?" tanyanya sambil mengajakku duduk di meja yang sedikit jauh dari kebisingan."Aditya Tiagutama? Aku ingat. Mahasiswa yang paling gendut di kelas? Korban bully anak satu kelas. Terutama Mas Danang? Tiada hari tanpa dikerjai Mas Danang. Dijauhi oleh hampir semua siswa karena bau badan? Dianggap jorok dan ….""Dan hanya kamu kan yang mau berteman sama dia? Kamu selalu belain dia. Pasang badan di depan dia. Sering berantem sama Danang gara-gara belain dia. Terakhir kamu bertengkar hebat sama Danang, gara-gara Danang minta dibeliin kopi panas di kantin, tapi dia bawain es cofe, dan Danang marah terus ngeguyur minumannya ke kepala dia. Danang juga sering banget minta dia buat joget di depan kelas. Buat hiburan mereka. Kalau Adit berjoget, karena badannya yang besar bagaikan gajah itu, meliuk-liuk, anak satu kelas akan tertawa terbahak
Malam kian larut, aku melirik waktu di jam tangan sudah menunjukkan pukul 01.00 malam. Lima menit kemudian, tepat pukul 01.05 WIB, mobil Mas Danang berhenti di depan sebuah vila cukup besar dengan nuansa white. Halamannya terdampar begitu luas dengan beberapa bangku dan meja taman. Kemungkinan Vila ini sangat pas untuk liburan keluarga.Sebuah plang besar tertulis Vila Indah Asri. Letaknya lumayan jauh dari ibu kota. Sepertinya kini aku telah berada di luar kota. Suasana disini sangat sepi dan lumayan jauh dari pemukiman warga.Mas Danang langsung melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil dan keluar. Aku sudah paham betul dengan sikapnya, jadi aku harus berusaha supaya tetap tenang. Ya Allah, semoga tidak terjadi sesuatu pada diriku. Jangan sampai Mas Danang menodaiku dan melakukan dosa besar."
POV REYHANMelihat Danang memperlakukan Indah dengan kasar, sungguh ingin membuatku mematahkan batang lehernya. Kalau saja Haris tidak mencegahku, mungkin laki-laki itu sudah babak belur di tanganku. Hanya saja sayang, lelaki banci itu berteriak bahwa kami dilarang ikut campur. Sebab, Indah masih sah menjadi istri Danang. Itu betul karena Indah memang belum resmi bercerai. Sehingga aku pun lebih memilih diam meski hati panas. Aku juga tidak ingin terjadi keributan. Laki-laki gila tak berotak.Kuperhatikan Danang semakin kasar. Ia mulai menyeret tangan Indah dan membawanya pergi menjauh dari taman. Jelas saja aku langsung mengikuti dari belakang. Namun sebelum itu, aku meminta Novi sekretarisku untuk pulang lebih dulu. Sementara Maya, wanita yang kini telah menjadi istri Danang itu terus berteriak namun sama sekali Danang tidak melirik ke arahnya.Mataku membulat sempurn
Sebelumnya….POV INDAH"Kok kamu ada disini?" tanyaku yang bingung tiba-tiba melihat keberadaan Reyhan. Pria itu, barusan bersikap manis, sekarang kembali dingin."Udahlah, Nggak usah banyak tanya! Masih mending aku datang. Jadi Danang tidak menyakitimu lagi!" ketusnya."Lagian sekalian bareng ke kantor 'kan?" ujarnya. "Nggak usah mikir macam-macam! Jangan Ke GR-an!" Aku menelan ludah melihat wajahnya. Memilih diam itu lebih baik, daripada berdebat. Bukan begitu?Reyhan pun mengemudikan mobilnya ke arah kantor. Sepanjang perjalanan, kami saling terdiam.****Dua puluh menit berlalu,
POV INDAHPerkelahian mereka semakin berlanjut. Keduanya beradu mulut. Banyak kata makian yang terlontar dari mulut Reyhan.Aku menelan ludah. Hatiku terasa sakit, bibirku pun bergetar. Tak kuat akhirnya aku pun membuka pintu kamar."Setop, jangan lanjutkan pertengkaran kalian," ujarku dengan nada suara yang tidak tinggi. Takut kalau sampai mengganggu istirahat Ibu dan Bapak."Kamu, Rey! Tak usah menghina statusku! Kamu percaya diri sekali! Jangan kira karena aku memelukmu, lantas aku mencintai kamu, Rey! Kalau kamu membenciku karena statusku yang seorang janda! Bekas istri dari musuhmu itu hakmu! Aku bahkan tidak pernah memintamu untuk mencintaiku, Rey! Percaya diri sekali kamu? Kamu berkata seperti itu, seakan-akan aku mau sama kamu, Re
Hari yang ditunggu telah tiba, Nadira sudah berdandan cantik, dirias oleh MUA profesional. Tak lama lagi pihak keluarga Melvin akan datang untuk melamarnya secara resmi. Jantung Nadira amaih terus berdebar-debar karena hari ini adalah momentum penentuan tanggal pernikahan mereka juga.Gebby masuk ke kamar Nadira setelah mendapat izin. Ia juga sudah berdandan cantik untuk menyambut kedatangan pihak keluarga Melvin. Semua keluarga Nadira sudah berkumpul di rumah itu."Kamu cantik banget, Nad! Pasti lagi deg-degan banget, ya?""Makasih, Geb. Iya, aku beneran deg-degan banget.""Udah, bawa rileks aja. Aku ikut bahagia, aku udah bawakan kado untuk kamu. Ini," ucao Gebby seraya menyerahkan sebuah goodie bag pada Nadira."Ya ampun, Gebby ... kamu kenapa repot-repot, sih?""Enggak, lah, Nad. Kamu kan saudaraku, kalau kamu bahagia, aku juga ikut bahagia.""Makasih, ya ... sampai kapanpun kita memang saudara, Geb. Semoga kamu juga bisa segera mendapatkan lelaki baik hati yang akan jadi suami ka
Malam itu, Gebby tidur di pangkuan Ana. Ia merasa tubuhnya begitu lelah dan lemas. Ana mengusap rambut Gebby sambil bercerita dan memberikan nasihat."Nenek senang kamu sudah mau minta maaf pada mereka, Geb. Itu artinya kamu sudah berdamai dengan masa lalu. Nenek juga yakin mamamu di alam sana tak menginginkan jika kamu terus-terusan dikuasai dendam.""Iya, Nek. Sekarang aku merasa sudah jauh lebih tenang. Lelah juga ternyata selama ini berkejaran dengan nafsuku sendiri. Hati selalu panas dikuasai kebencian," jawab Gebby."Badanmu hangat, Geb! Hari ini kamu nggak lupa untuk minum obat, kan?""Aku nggak pernah lupa untuk minum obat setiap hari, karena dulu aku selalu bertekad untuk hidup lebih lama demi bisa membalaskan dendam mengenal pada keluarga Mama Indah. Tapi rasanya semakin keras aku berjuang, semakin aku merasa tak pernah tenang. Aku lelah, Nek.""Sayang ... Dulu juga nenek pernah berada di posisi seperti kamu yang selalu merasa bahwa diri nenek adalah orang yang paling benar
Gebby merenung dalam pelukan Indah, bahkan setelah ia bertindak sejahat itu pada mereka, Indah masih saja menyebutnya sebagai anak yang baik? Ya, Gebby memang baik pada mamanya, tapi tidak pada yang lain.Rumah sudah semakin ramai dengan orang-orang yang diundang di acara takziah itu. Nadira, Rashi, mereka sibuk menata makanan di atas meja yang nantinya akan disuguhkan. Sementara itu, Indah dan Maya sibuk menata bingkisan sedekah."Lihat, Geb, mereka begitu sibuk membantu kita meskipun kita tak pernah memintanya," bisik Ana pada Gebby. Gebby mengusap matanya lagi ia mengangguk dan mengakui semua itu.Acara pun dimulai. Semua orang melantunkan ayat suci Al-Qur'an lalu berdoa dengan khusyuk. Harusnya Gebby bersyukur karena masih ada orang yang bersedia mendoakan mamanya itu. Gebby juga melihat Reyhan sesekali mengusap matanya yang basah.Setelah acara selesai dan sedekah dibagikan, Indah beserta yang lain langsung berpamitan pada Ana dan Gebby."Sudah, jangan sedih terus, kasihan nanti
Gebby berjalan gontai meninggalkan area rumah sakit. Kata-kata mamanya maafin barusan benar-benar membuat hatinya hancur. Meskipun terasa begitu menyakitkan tapi Gebby tak menyangkal semua yang dikatakan oleh mamanya Melvin itu.Selama ini dirinya memang terlalu terobsesi untuk menjadi orang yang paling mendapatkan perhatian. Gebby selalu akan melakukan segala cara untuk bisa mencapai kemauannya. Bahkan seringkali ia tak memikirkan dampak buruk yang akan terjadi akibat dari perbuatannya itu. Kata-kata sang nenek kembali terngiang di telinganya. Apa mungkin hidupnya sampai se menderita ini karena memang dirinya terlalu sulit untuk melupakan dendam itu?Gebby sampai ke rumahnya dan langsung memeluk sang nenek. Ia menangis sejadi-jadinya karena hatinya benar-benar sangat terluka kali ini. Cinta yang ingin ia raih harus kandas seketika itu juga. Melvin menolaknya, dan kini mamanya juga."Geb ... kamu tenangkan diri kamu, baru nanti cerita sama Nenek, ya!" ucap Ana sambil mengusap kepala c
Gebby, tunggu! Kamu mau kemana? Jangan nekat, Geb! Panggil Melvin untuk kesekian kalinya. Ana juga jadi kalut dan ikut mengejar cucunya itu,.ia takut Gebby akan melakukan hal nekat seperti yang dilakukan oleh Luna."Gebby!" Ana memanggil Gebby meski napasnya mulai terengah. Ia sudah tua, tenanganya sudah tak sekuat dulu, berlari sebentar saja ia sudah ngos-ngosan.Gebby sudah keluar dari gerbang portal kompleks dan terus berjalan di trotoar pinggir jalan raya. Melvin masih tak putus asa, ia mencoba terus mengejar. Genby sesekali menoleh ke belakang sambil terisak. Ia pun turun dari trotoar itu dan terlihat pasrah sembari merentangkan kedua tangannya dan berjalan perlahan ke arah tengah jalanan."Gebby! Jangan nekat kamu?" seru Melvin yang melihat Gebby senekat itu, ingin mencelakai dirinya sendiri dengan berdiri di tengah jalanan.Klakson kendaraan bermotor bersahutan dan sebagian ada yang marah karena ulah Gebby itu."Mau mati, Lu?" maki pengendara yang lewat."Gila, lu, woy?""Hey!
Gebby melamun di teras belakang rumah itu. Sudah dua hari Luna pergi mengahadap Yang Maha Kuasa. Rumah sudah mulai sepi, hanya ada Ana dan Reyhan serta mamanya Melvin di rumah itu yang masih berbincang dan ada juga beberapa anggota kepolisian di bagian depan bersama papanya Melvin.Tak ada indikasi kekerasan dalam kematian Luna, semua orang meyakini itu merupakan murni sebagai kasus bunuh diri. Ditemukan foto Indah yang tertancap pena di dalam kamar. Polisi dan dokter menduga halusinasi Luna sempat kambuh ketika malam kejadian itu.Luna selalu bersikap impulsif dan tak peduli pada keadaan sekitar, jika sosok dalam halusinasinya muncul, ia bahkan tak tahu jika posisinya sedang di atas jurang sekalipun."Geb, kamu makan dulu, Sayang," bujuk Ana pada Gebby. Sejak kemarin tampaknya Gebby sama sekali belum makan. Ana khawatir karena Gebby tak boleh sampai melewatkan jadwal minum obatnya."Nanti saja, Nek. Belum ada selera.""Jangan begitu, dong, Geb. Kamu boleh bersedih tapi kamu juga haru
Suasana kompleks pagi itu dibuat heboh atas penemuan tubuh Luna yang menyedihkan itu. Warga langsung mencari bantuan untuk segera membawa Luna pergi ke rumah sakit karena setelah diperiksa ternyata denyut nadinya masih ada.Gebby dan Ana hanya bisa pasrah, serasa tubuh mereka lemas tak berdaya menghadapi kenyataan itu. Luna kehilangan banyak darah akibat luka di bagian kepalanya. Bahkan mereka berdua tidak tahu kapan kejadian itu terjadi karena malam itu mereka tidur sangat nyenyak. Sebenarnya Gebby sempat terbangun beberapa kali untuk mengecek keadaan mamanya itu namun tidak terjadi apa-apa. Akhirnya setelah larut malam kantuk pengendara dan ia tertidur dengan sangat pulas. Gebby pin menyesal karena membiarkan mamanya itu tidur di lantai dua. Bukan tanpa sebab, mamanya dulu pernah menempati kamar itu, Gebby berharap ingatannya bisa kembali secara perlahan dengan merasakan suasana kamar itu setiap hari.Luna akhirnya tiba di rumah sakit dan langsung ditangani oleh tim medis. Gebby da
"Pa, mana uangnya yang aku minta? Transfer sekarang juga, lusa aku akan terbang bawa Mama," ucap Gebby pada Reyhan hari itu."Papa cuma bisa kasih kamu lima ratus juta dulu, Geb. Nanti kurangnya beberapa hari lagi, ya!""Log, kok gitu, sih, Pa?" seru Gebby tak senang."Bukannya kamu ya yang maksa untuk segera mencairkan dana investasi ke perusahaan Melvin? Kamu pikir uang di perusahaan kita bisa kamu atur seenaknya?""Ya ampun, Pa, aku tih cuma minta sedikit, apa susahnya sih tinggal transfer?""Semua uang pribadi papa sudah papa masukkan ke deposit berjangka. Hanya bisa diambil pada waktu yang tepat.""Papa sengaja, ya, biar aku gak bisa mintabuang sama Papa? Papa bener-bener tega, ya? Aku itu sedang berusaha supaya mama sembuh, tapi papa malah menghalang-halangi!""Kamu salah, uang papa sudah papa depositokan jauh sebelum kamu berencana mengambil mama kamu dari yayasan itu.""Papa sepertimya emang gak pernah sayang sama aku! Papa selalu aja bikin aku kecewa!""Geb, papa gak ada bila
"Hai, Vin!" sapa Gebby pada Melvin. Melvin agak terkejut saat ia melihat Gebby ada di lobby kantornya terlihat sedang menunggu."Oh, hai, Geb!""Aku dari tadi nunggu kamu, loh.""Oh, ya? Bukannya kita belum ada janji untuk bertemu sebelumnya?""Sorry, emang belum. Tapi boleh, dong, kalau aku sesekali datang ke sini untuk sekedar melihat progres kerjasama kita? Lagian aku belum pernah ke sini, aku juga ingin tahu bagaimana sistem kerja di sini.""Ooh ... Oke, boleh aja, kok. Ayo, aku ajak berkeliling," sahut Melvin."Oke," ucap Gebby senang. Ia dan Melvin pun akhirnya mengitari sekitaran kantor dan Melvin menunjukkan bagian demi bagian di kantornya itu. Padahal Gebby tidak terlalu ingin tahu tentang itu tujuan utamanya datang ke kantor Melvin adalah supaya ia dan Melvin bisa punya pertemuan yang intens sehingga Gebby punya peluang untuk bisa semakin dekat dengannya."Padahal kamu ini bisa dikatakan pemula, tapi keren, loh. Kantor kamu bagus, sistem kerja juga bagus. Aku saranin kamu bu