"Gak mungkin, bjir! Pas kita ngobrol-ngobrol juga ada saat di mana dia nunjukkin kalo dia masih normal, kagak gay juga. Tapi lebih ke perasaan sih, dia tipe yang gak mau sama orang yang gak dia pengen," jelas Tristan yang kebetulan paling dekat dengan Ryan."Udah fix sih, kalo dia gagal move on," ujar Rey."Iya, tapi ngomong-ngomong. Lo gak nemenin bini lo?"Rey pun nyengir, kemudian pamit pergi. Gosip ini membuatnya sekejap lupa bahwa hari ini adalah harinya.Sepeninggalannya, pria-pria tampan itu mengobrolkan hal lain dan pulang sejam kemudian.Hanya saja, Tristan tampak kesal karena dirinyalah yang harus membawa pulang Ryan, sementara Steven pulang dengan Hans!•••"Tanam-tanam Ubi, tak perlu dibajak...."Sifa menyanyi dalam perjalanan mereka ke sekolah.Pagi-pagi sekali, Titi mengantarkan pesanan customernya. Setelah itu, bertolak naik angkot ke sekolah Sifa yang semi daycare itu."Seneng banget sih, anak Mama. Kenapa nih?"Namun, bukannya menjawab Sifa malah tertawa tidak jela
Wanita itu segera menggeleng, mencoba agar tidak terlalu percaya diri. Hanya saja, Ryan tiba-tiba berdiri dan membiarkan pintu kontrakan terbuka. Mungkin, ini efek ucapan Titi tadi? Entahlah…. Yang jelas, Ryan tiba-tiba mengambil bingkisan yang ia beli dan menyerahkan pada tetangga. Bahkan dengan luwes, Ryan mengobrol dengan tetangga-tetangga Titi yang sebenarnya jarang berinteraksi dengannya karena sama-sama sibuk. Ryan juga menjawab pertanyaan mereka dengan baik ketika ditanya siapa dia. Pria itu enjawab kalau ia teman kuliah Titi, sehingga ia main sekaligus kenalan dengan anaknya. Pandai sekali ia mengkondisikan semuanya. ‘Semoga tidak ada drama lain yang menyusul,’ batin Titi merasa tambah terbebani, ia bingung sekaligus merasa berhutang. Namun di depan Sifa, Titi berusaha untuk tidak melakukan konfrontasi apapun pada bos sekaligus mantan kekasihnya itu. **** "Sifa udah kenyang Ma, makanannya enak banget! Makasih Papi!" ujar Sifa bahagia. Tak butuh lama, mereka berti
Begitu tiba di kantor, Ryan sudah disambut pekerjaan yang menumpuk.Pria itu bahkan memijat keningnya sambil membaca dokumen.Melihat keadaannya yang buruk, sang sekretaris sontak memberinya air putih hangat."Minum dulu, Pak."Ryan tersenyum tipis dan meminum air itu dengan santai."Ada masalah, Pak?" tanya Vian memberanikan diri."No, hanya capek aja," jawabnya.Vian mengangguk.Hanya saja, dia merasa gelisah karena masalah dokumen-dokumen itu harus lekas selesai untuk besok pagi.Seolah tahu, Ryan langsung berkata, "Jangan khawatir, saya akan selesaikan ini. Kamu bisa keluar dan pulang saja."Vian pun pamit dan membiarkan bosnya sendiri di ruangannya. Ia sebenarnya tidak tega, tapi mau bagaimana lagi?Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 2 pagi. Vian sendiri sudah pulang empat jam yang lalu, tapi Ryan masih berkutat dengan dokumennya.Pekerjaannya sudah selesai, tapi setelah selesai ia malah memikirkan apa yang dikatakan oleh Titi padanya. Ia tidak bisa menyangkal kalau hatinya
"Eh bukan, Pak." Titi harusnya hati-hati saat tau Tristan yang datang, kenapa ia tak segera menyembunyikan keberadaan Sifa darinya? Pastilah Tristan salah paham. Wajah Sifa, jelas mirip Ryan. Terlalu mirip, sehingga membuat orang langsung mengira alau Sifa anak dari Ryan. "Terus kenapa mirip?" tanya Tristan. "Mirip memang, tapi dia bukan anak Ryan, Pak." "Papi Ryan?" Tamatlah sudah riawayat Titi, bagaimana bisa Sifa malah nyeletuk dengan panggilan 'Papi', yang jelas akan membuat Tristan semakin salah paham. . Setelah sejadian itu, Tristan jadi meminta penjelasan dari Titi, sehingga mereka bicara dan makan di suatu cafe saat jam istirahat. "Saya bukannya ingin ikut campur, tapi kamu tau dan posisi Ryan udah ada pasangan?" Titi mengangguk paham. "Saya mengerti, Pak. Saya tidak menyalahkan rasa penasaran Anda. Bahkan Pak Ryan sendiri juga mengira hal yang sama." "Kalian sempet ketemu sebelumnya berarti?" "Sudah agak lama." Tristan membiarkan Titi memikirkan jawaban
Ryan memijat pelipisnya merasa pusing, bagaimana tidak? Ia merasa diteror karena ketidakhadirannya di acara makan malam tadi. Kini ia baru sampai Bandara dan mulai menuju ke hotel tempatnya akan singgah. Ia membenci saat-saat ini dan memilih mengabaikan semua panggilan yang mengganggunya itu. Untuk mengobati rasa tidak nyaman itu, Rayn pun berselancar di tabletnya yang memang ia isi dengan nomor yang tidak ia sebar ke keluarganya atau siapapun rekan kerjanya. Itu adalah nomor yang secara khusus ia gunakan hanya untuk agar tablet itu bisa mengakses internet jika tidak ada wi-fi. Di sana ia mencari tahu tentang Titi selama mereka berpisah. Ia memulai menelisuri dari media sosial, di sana hanya berisi tentang foto random, quote random, dan banyak sekali status F******k atau cuitan di X yang tidak banyak menunjukkan cerita tentang masa lalunya. Namun, ketika ia menelusuri X sampai berjam-jam lamanya, ia mendapati beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan Titi. Titi berkata di cu
Titi dan Tristan sampai di TK tempat Sifa sekolah, sementara itu Titi meminta agar Tristan tidak keluar karena ia tak ingin digosipi macam-macam. Orang-orang terlanjur taunya kalau Ryan adalah ayah Sifa, kalau ia tiba-tiba datang dengan pria lain, ia akan dikira selingkuh. "Mama!" panggil Sifa keluar dari TK. Ia membawa plastik bingkisan, berisi jajanan dan seplastik potongan cake. "Wah bawa apa tuh, Sayang?" tanya Titi. "Hehe... temenku ada yang ulang tahun, Ma. Jadi aku dan temen-temen dikasih jajan." "Sifa seneng?" "Banget! Sifa seneng banget!" Sampailah mereka di mobil Tristan yang membuat Sifa heboh karena ad orang lain di sana. Tristan langsung menyapa, "Hai, Manis!" Sifa menoleh pada sang ibu seolah minta persetujuan. Tentu saja Sifa anak yang cerdas, ia akan selektif melihat orang baru. "Hai, Om! Om siapa?" tanya Sifa malu-malu. Titi memangku Sifa di samping sopir, sementara Tristan menyetir sendiri. Ia masih menggunakan batik untuk kerja, jadi kelihatan agak l
"Aku gak pingin nyakitin kamu," lanjut Ryan. Queen masih tidak bisa menerima apa yang disampaikan oleh Ryan, meski ia tau kalau Ryan punya potensi untuk mengatakan itu. Karena perasaan Ryan padanya memang tidak ada, hati Ryan sudah diambil oleh orang lama. Ia terisak sejenak, meresapi dan mencoba tenang. Ryan tau Queen sedang menangis, tapi ia sudah jujur sejak awal, tapi Queen merasa bisa membuatnya jatuh cinta. Padahal setelah bertahun-tahun berlalu, itu tidak membuahkan hasil. "Jujur sama aku, pikiran putus itu ... datang karena kamu ketemu sama Titi kan?"Ryan menghela napas, pasti Queen akan seemosi itu. Harusnya ia membicarakan ini ketika pulang, ia lupa timingnya tidak tepat."Pasti gara-gara dia, kamu jadi kayak gini!"Ryan pun menjawab, "100% iya, tapi selama ini aku juga nunggu dia. Nunggu pertemuan kami, dan harusnya kalau kamu sudah tau aku jahat kamu, kamu bisa lihat sejak lama, bukan sekarang kamu baru ptotes! Aku udah jujur loh waktu itu!""Tapi kan setelah apa
Titi menyadari bahwa nomor itu adalah milik orang yang paling berkesan di dalam hidupnya, selain keluarganya. Siapa lagi kalau bukan Rayn, pria itu masih mencoba mengirimnya pesan meski ia sudah memblokir nomornya. Apakah ia akan tetap bisa menghindari Mantan sekaligus Bosnya? Sementara ia tidak ingin jadi perusak hubungan orang lain. Mata Tristan, Rayn jelas sedang mengejar Titi, itu akan berbahaya dalam hubungan Rayn dengan tunangannya. Jelas ialah yang jadi tersangka di sini. Ia makin cemas, dan kembali memblokir nomor itu. Ia terus mencoba untuk meyakinkan diri sendiri, bertahan dengan prinsipnya itu, kemudian ia ingat kalau ia bisa meminta bantuan Tristan. Semoga saja Tristan tidak mendapat masalah hanya karena telah membantunya. ••• Rayn akhirnya pulang ke Indonesia dan menemui keluarganya di rumah utama, bukan di rumahnya. Saat ia sampai di ruang tamu, ia terkejut karena di sana sudah berkumpul seluruh keluarga inti. "Aku datang," sapanya. Bug! Tanpa
"Ma! Papi kok gak pernah ke sini lagi ya?" tanya Sifa sambil makan permen. Titi yang sedang membuat adonan roti pun tersenyum tipis. "Lagi kerja, kerjaannya banyak." "Gitu ya, Ma?" Sifa terlihat sedih, lalu ia keluar kontrakan. Biasanya sih ia akan main dengan temannya sebelum isya, karena malam Jum'at libur mengaji. "Mau ke mana Sayang, main?" tanya Titi lembut. "Enggak... eh... Ma!" ujar Sifa tiba-tiba terlihat excited. Titi pun bingung dan langsung melihat keluar, saat tiba-tiba seseorang muncul di depan pintu. "Kak Tristan?" tanya Titi kaget. "Yoi! Yuk makan sate dulu, ini enak loh!" "Yey!!!" Titi terkekeh mendengarnya, ia pun mempersilahkan Tristan masuk dan ia mengambil wadah terlebih dahulu. Setelah menyerahkan wadah, Titi pamit untuk memanggang kuenya dulu. "Aku mau manggang roti dulu ya, Kak." "Oke, santai aja, Ti." Melihat situasinya, sepertinya Titi belum melihat media sosialnya karena saat ini.Banyak yang sudah membicarakannya, namanya menjad
"Sejak kuliah..." Titi terkejut mendengarnya, "Tapi waktu itu, Bapak keliatan gak suka sama saya. Malah terlihat gak suka pas Ryan berpacaran dengan saya, aaya kira karena saya orang biasa. Apa alasannya?" tanyanya bingung. "Itu cuma kamuflase karena waktu itu kamu pacar sahabatku, jadi... aku mencoba untuk mengalah. Tapi kali ini, aku gak akan membiarkan semuanya begitu saja." "Anda yakin?" "Yes, Aku tahu kamu bakal nggak yakin, tapi itulah faktanya. Bahkan Ryan juga udah tahu kok," jelas Tristan. "Hem... terus dia nggak curiga atau apa sejak dulu Ryan tahunya juga?" "Baru-baru ini dia tau, karena aku baru ngomong soal ini. Waktu kami benar-benar diskusi soal kamu dan Sifa." "Terus bagaimana tanggapan dia?" "Ya dia nggak nanggepin apa-apa, cuman ya kaget dan bilang sewajarnya orang-orang aja. Kami merasa bahwa kami harus bersaing secara sehat," ujar Trsitan. "Luar biasa sih kalian, gak sampai musuhan." "Sebenarnya ada bumbu-bumbu musuhan, cuman kami cukup dewasa un
"Gila anjir! Gue gak tau kalo Dea ama Pak Boss putus!" "Masalahnya nih kenapa tadi Queen bilang kalo Titi yang ngerebut?" "Apa cuma gue yang mikir ini gak masuk akal? Mira dan Queen itu jauh banget!" "Iya njir, kalo bener mah... Pak Boss udah gila dan bakal jadi skandal besar." "Iya kalau dipikir-pikir ya, secara logika paling mudah, bisa-bisanya Pak Bos lebih milih cewek biasa yang sederhana daripada tunangannya yang udah jelas-jelas punya kualitas lebih bagus daripada kayak kita-kita. Titi standar banget bjir?""Iya juga, kalau misal sama cewek lain yang cantik juga sih, mungkin masih percaya ya... tapi ini Titi?""Ini gila banget sih....""Eh tapi, kan Titi juga pernah bilang katanya mereka pernah satu kampus dulu. Bisa aja kan kalau mereka punya kisah lain yang nggak diceritain ke kita.""Bener juga sih, dan satu hal yang paling sakral dalam hidup adalah cinta pertama. Cinta pertama Pak Bos, mungkin Titi.""Aduh udah gila kalo iya, tetep gak masuk akal kalo Titi Cinta Perta
Biaya rumah sakit Sifa dibayar oleh Tristan, karena awalnya akan dibayar oleh Ryan, tapi sudah keduluan Tristan. Ryan pun hanya bisa pasrah, ia kecolongan lagi. Kemudian karena ada rencana dari Titi untuk tes, maka Ryan lah yang membayar itu, sehingga dokter mengambil sampel darah dari Sifa dan akan mengeceknya untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sebagaimana diagnosa yang sudah disampaikan oleh dokter, Titi masih berharap bahwa itu tidak benar. Akan tetapi, bagaimanapun kemungkinan besarnya adalah seperti apa yang dokter Adi sampaikan. ••• Keesokam harinya dan hari-hari berikutnya, Ryan dan Tristan benar-benar mulai bersaing dengan imbang. Titi jadi bingung di sini, mereka berdua seperti tidak ada cewek lain di dunia ini. Itu jelas membuat Titi merasa kesulitan. Bagaimana tidak? Keduanya terus berebut untuk mengantar jemputnya dan Sifa, jadi akhirnya Titi membuat jadwal agar keduanya bisa gantian, daripada terus berdebat tiap pagi sore. Hal itu membuat semuanya terhamba
Di ruang praktik dokter, Dokter Adi pun menjelaskan apa yang ia temukan setelah pemeriksaan Sifa. "Jadi begini Bu Titi, boleh saya ngobrol sebentar ya? Saya tanya dulu, bagaimana siklus demamnya Sifa? Apa berulang?" "Iya, dok." "Baiklah... Terkait kondisi Sifa yang sering demam berulang ini, saya ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan." "Iya, Dok. Memang Sifa sering banget demam, terus sembuh sendiri, tapi nanti kambuh lagi. Saya jadi bingung, ini kenapa ya?" "Nah, itu dia, Bu. Dari catatan yang Ibu sampaikan, dan hasil pemeriksaan sejauh ini, kita belum menemukan tanda-tanda infeksi seperti flu, radang tenggorokan, atau infeksi lainnya." Titi terlihat sangat cemas. "Tapi demamnya Sifa itu datang berulang, mirip pola penyakit yang disebut Hyper IgD Syndrome, atau kita singkat saja HIDS ya." "Hah, itu penyakit apa ya, Dok? Bahaya?" "Tenang dulu, Bu. Saya jelaskan pelan-pelan ya. HIDS itu penyakit bawaan dari lahir—jadi bukan karena virus atau bakteri, tapi karena si
Titi pun langsung menghentikannya, sebelum Tristan benar-benar memukulnya. "Dia nggak ngelakuin apa-apa. Kami cuma bicara," ujar Titi keras sehingga kedia pria yang saling tatap itu terjerat. Mendengar itu pun, Tristan langsung melepaskan tangannya dari kerah kemeja sahabat sekaligus musuh cintanya itu. Ia kemudian duduk, bersandar di tembok dan memperhatikan sahabatnya yang terus menatap Titi yang jelas tidak nyaman diperhatikan seintens itu. Maka, setelah hampir 15 menit saling diam. Ryan pun berkata pada Tristan. "Gue cuma mau ngomong sama Titi, tadi gue jelaskan sama dia kalau gue benar-benar berjuang untuknya. Jadi, apapun yang aku lakuin ke dia nanti, aku bukan sedang selingkuh dari tunanganky." Tristan sampai melongo mendengarnya. Bagaimana bisa sahabatnya itu sangat gigih? "Mari kita kembali bersaing," ujarnya lagi, sambil mengeluarkan tangan pada sahabatnya itu untuk bersalaman. Tristan diam saja, ia bingung harus melakukan apa dengan kegilaan sahabatnya itu.
"Tunangan lu tuh, Queen!" ujar teman Queen saat melihat Ryan berjalan ke arah mereka.Queen dan temannya itu memang sedang hangout bareng di cafe, dan baru saja duduk selama 15 menit.Mendengar itu, Queen pun langsung menoleh dan melihat kalau Ryan menghampiri mereka. Ia pun langsung berdiri dan menyapanya dengan senyum cerah.Pertemuan mereka diperhatikan banyak orang, terutama karena keduanya terkenal."Hai, Sayang, kamu ke sini mau nemuin aku?"Ryan mengangguk dengan tersenyum manis, membuat semua orang percaya kalau mereka saling cinta. Ia juga tersenyum ke arah teman Queen.Ia kemudian berkata."Em... Queen, aku minta maaf karena ganggu, tapi bisa nggak bicara sekarang?" Teman Queen yang peka pun langsung berkata."Ah boleh, aku juga udah mau pulang ada janji sama Mama. Kita juga udah lama kan, jadi ya udah aku pulang dulu. Bye!"Kemudian ia pulang, tinggallah Queen dan Ryan kemudian mengajak Queen untuk mencari tempat yang lebih private.Mereka memilih ruang VIP di cafe itu.
"Hentikan itu, Ryan! Hentikan!" Ryan terkejut dengan bentakkan Titi, ia sudah kelewat batas memang. "Keluar dari sini, sekarang juga!" perintahnya tegas. Ryan pun tak punya pilihan lain selain pergi dari sana. Ia benar-benar shock dengan kenyataan itu, tapi sekaligus bingung dengan jalan hidupnya selanjutnya. Sementara di Club tempatnya bertemu dengan Tristan, Tristan mengatakan kalau ia sudah tau soal ayah dan ibu kandung Sifa. "Kenapa lo gak cerita?" "Ada batas, Bro. Titi al ngizinin gue buat cerita." "Anjir, gue kayak orang tolol banget! Selama ini, gue gak bisa nemenin Titi di masa-masa sulitnya!" umpat Ryan pada diri sendiri. Tristan hanya bisa diam, menatap sahabatnya dengan prihatin. Setelah Ryan tenang, barulah Tristan mengajaknya bicara untuk pembahasan yang lebih serius. "Sebenernya gue juga nggak tau harus gimana. Gue merasa prihatin sama fakta kalau lu harus nikah sama orang yang nggak lu suka. Gue tahu pasti itu berat banget, tapi kalau dipikir-pikir
"Aku tahu siapa Ibu dan ayahnya, Ryan."Ryan datang ke kontrakan Titi dan Sifa malam-malam, terkejut dengan kehadirannya.kemudian Ryan dengan sadar malah mengungkapkan niatnya untuk melamar Titi untuk saja sifat sudah tidur jadi ini hanya. dan Rayan d ruang tamu karena itu titik langsung memutuskan untuk memberitahu Ryan Apa yang terjadi dan Kini giliran Ryan yang terkejut. "Sorry?"ayah dan ibu Syifa aku tahu siapa mereka "Jadi, Sifa bukan anak kandungmu?" "Yah..."Ryan mematung syok dengan semua itu."Jadi tolong berhentilah mengejarku," ujar Titi merasa putus asa."Tunggu-tunggu! Tolong jelasin siapa orang tuanya Sifa! Lalu kenapa dia sangat mirip denganku?""Ya karena ayahnya juga mirip denganmu," balas Titi cepat."Apakah yang kamu bilang adalah kakak sepupuku yang sedih diusir dari Keluargaku?""Itu benar ...""Dasar, brengsek!" umpat Ryan tanpa sadar."Jadi, tolong menjauhlah dariku. Aku ingin melindungi Sifa darinya. Apakah apakah dia keponakanmu?""Iya betul.""Pantas sa