"Gak mungkin, bjir! Pas kita ngobrol-ngobrol juga ada saat di mana dia nunjukkin kalo dia masih normal, kagak gay juga. Tapi lebih ke perasaan sih, dia tipe yang gak mau sama orang yang gak dia pengen," jelas Tristan yang kebetulan paling dekat dengan Ryan.
"Udah fix sih, kalo dia gagal move on," ujar Rey. "Iya, tapi ngomong-ngomong. Lo gak nemenin bini lo?" Rey pun nyengir, kemudian pamit pergi. Gosip ini membuatnya sekejap lupa bahwa hari ini adalah harinya. Sepeninggalannya, pria-pria tampan itu mengobrolkan hal lain dan pulang sejam kemudian. Hanya saja, Tristan tampak kesal karena dirinyalah yang harus membawa pulang Ryan, sementara Steven pulang dengan Hans! ••• "Tanam-tanam Ubi, tak perlu dibajak...." Sifa menyanyi dalam perjalanan mereka ke sekolah. Pagi-pagi sekali, Titi mengantarkan pesanan customernya. Setelah itu, bertolak naik angkot ke sekolah Sifa yang semi daycare itu. "Seneng banget sih, anak Mama. Kenapa nih?" Namun, bukannya menjawab Sifa malah tertawa tidak jelas. "Hihi, rahasia!" Titi pun terkekeh mendengarnya. Sayangnya, setelah selesai dengan pekerjaannya. Titi harus lembur dan tak bisa izin terlebih dahulu. "Bu, gak ada keringanan? Izin dulu, abis itu saya kerjakan," bujuk Titi pada sang Manajer. "No! Kali ini enggak, Bos lagi bad mood," ujar sang Manajer. Titi pun merasa ingin menangis, tapi bagaimana lagi? Ia harus memenuhi semua pekerjaannya, ini juga demi agar ia bertahan hidup. Wanita itu pun menelpon sekolah Sifa, untuk lebih lama menjaganya sampai ia pulang. Gurunya pun menyetujuinya. Hanya saja, kelegaan itu tak berlangsung lama karena pekerjaannya baru selesai di jam 7 malam! "Astaghfirullah! Jam 7, Sifa...." Segera, ia mengambil ponselnya dan menghubungi guru sang putri. "Hallo, Bu Indah! Apakah Sifa masih sama Ibu?" "Hallo? Enggak, Bu. Bukannya tadi Sifa udah dijemput sama Bapaknya," ujar Bu Indah, kebingungan. "Loh, Bapak?" "Iya yang kemarin ke sekolah, terus Sifa manggilnya Papa. Bahkan saya dikasih nomernya kalau ada apa-apa," balas sang guru lalu mengirimkan nomornya pada Titi. Deg! "Namanya Pak Ryan?" tanya Titi. "Iya, Bu. Ada apa sih? Pak Ryan itu Bapaknya Sifa kan?" "Ya udah Bu, terima kasih." Titi pun segera menghubungi nomor pribadi Ryan. "Hallo, Pak. Apakah Bapak bersama Sifa?" tanya Titi panik. "Iya, di kontrakan kalian nih." Titi terkejut dan langsung pulang. Bagaimana bisa bosnya yang serba mewah itu ke kontrakannya yang terbilang sangat sederhana dan di lingkungan yang dihuni oleh rakyat jelata? Meskipun dulu juga Ryan sering main ke kost-nya yang lebih buruk lagi sih…. Untungnya, tak butuh waktu lama untuknya sampai di kontrakan. Hanya saja baru masuk, Titi sudah disuguhkan pemandangan yang mengherankan. Ryan sedang memasak sesuatu. Ia bukannya khawatir, karena Ryan juga hobi masak sejak mereka pacaran dulu. Tapi, di ruang tamu, sudah ada banyak mainan baru yang sedang dibuka oleh Sifa. "Sifa..." gumamnya. Ryan yang sedang menggunakan celemek masak menoleh padanya. "Lembur ya?" Entah kenapa Titi malah berkaca-kaca dan merasa kesal dengan semuanya. Ia berjalan masuk ke kamarnya dengan Sifa. Untungnya ia memang membuat sekat di bagian kamar itu karena awalnya tidak ada sekat sama sekali. Jadi ia mengganti kerudungnya dengan kerudung instan dan keluar kamar setelah membersihkan make upnya sebelum kembali menemui Ryan. "Kenapa Bapak ke sini?" tanya Titi akhirnya pada Ryan yang sudah selesai masak dan memindahkan masakan itu ke piring-piring yang ada di rak piring. "Nemenin Sifa, dia nunggu kamu lembur katanya." Titi menghela napas kesal. "Lebih baik Bapak pulang saja. Maaf, ini karena saya tidak nyaman. Ini kontrakan alias tempat privat kami. Takut ada fitnah." Ryan tak menggubris, ia membawa makanannya melewati Titi ke ruang tamu. Di kontrakan tiga petak itu, ada dua kipas di ruang tamu yang terus berputar nonstop. Suasananya yang panas dan semua yang ada di sana terasa gerah. Ryan pun membuka celemeknya. Ia memang masih memakai pakaian kantor. Hanya saja, jas dan dasinya sudah dilepas dan terlihat tergantung di gantungan berdiri bercabang milik Titi. Meski sudah terlihat beberapa kali mengelap keringat dengan tisu, Ryan masih beraroma wangi, yang membuat Titi insecure sendiri. Ia belum ganti baju. Bau badannya pasti tidak enak karena habis naik bus dan angkot, lalu berjalan di trotoar yang pastinya terkontaminasi polusi udara yang tidak sehat. "Mama sini, kita makan enak. Masakannya Papi dong!" Titi hanya bisa tersenyum singkat, lalu duduk di depan Ryan dan di samping Sifa yang bersemangat memakan makanan itu. Menu makanan kali ini sayur lodeh kangkung, sop ceker, dan ayam goreng. Bukankah ini makanan kesukaan Titi?Wanita itu segera menggeleng, mencoba agar tidak terlalu percaya diri. Hanya saja, Ryan tiba-tiba berdiri dan membiarkan pintu kontrakan terbuka. Mungkin, ini efek ucapan Titi tadi? Entahlah…. Yang jelas, Ryan tiba-tiba mengambil bingkisan yang ia beli dan menyerahkan pada tetangga. Bahkan dengan luwes, Ryan mengobrol dengan tetangga-tetangga Titi yang sebenarnya jarang berinteraksi dengannya karena sama-sama sibuk. Ryan juga menjawab pertanyaan mereka dengan baik ketika ditanya siapa dia. Pria itu enjawab kalau ia teman kuliah Titi, sehingga ia main sekaligus kenalan dengan anaknya. Pandai sekali ia mengkondisikan semuanya. ‘Semoga tidak ada drama lain yang menyusul,’ batin Titi merasa tambah terbebani, ia bingung sekaligus merasa berhutang. Namun di depan Sifa, Titi berusaha untuk tidak melakukan konfrontasi apapun pada bos sekaligus mantan kekasihnya itu. **** "Sifa udah kenyang Ma, makanannya enak banget! Makasih Papi!" ujar Sifa bahagia. Tak butuh lama, mereka berti
Begitu tiba di kantor, Ryan sudah disambut pekerjaan yang menumpuk.Pria itu bahkan memijat keningnya sambil membaca dokumen.Melihat keadaannya yang buruk, sang sekretaris sontak memberinya air putih hangat."Minum dulu, Pak."Ryan tersenyum tipis dan meminum air itu dengan santai."Ada masalah, Pak?" tanya Vian memberanikan diri."No, hanya capek aja," jawabnya.Vian mengangguk.Hanya saja, dia merasa gelisah karena masalah dokumen-dokumen itu harus lekas selesai untuk besok pagi.Seolah tahu, Ryan langsung berkata, "Jangan khawatir, saya akan selesaikan ini. Kamu bisa keluar dan pulang saja."Vian pun pamit dan membiarkan bosnya sendiri di ruangannya. Ia sebenarnya tidak tega, tapi mau bagaimana lagi?Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 2 pagi. Vian sendiri sudah pulang empat jam yang lalu, tapi Ryan masih berkutat dengan dokumennya.Pekerjaannya sudah selesai, tapi setelah selesai ia malah memikirkan apa yang dikatakan oleh Titi padanya. Ia tidak bisa menyangkal kalau hatinya
"Eh bukan, Pak." Titi harusnya hati-hati saat tau Tristan yang datang, kenapa ia tak segera menyembunyikan keberadaan Sifa darinya? Pastilah Tristan salah paham. Wajah Sifa, jelas mirip Ryan. Terlalu mirip, sehingga membuat orang langsung mengira alau Sifa anak dari Ryan. "Terus kenapa mirip?" tanya Tristan. "Mirip memang, tapi dia bukan anak Ryan, Pak." "Papi Ryan?" Tamatlah sudah riawayat Titi, bagaimana bisa Sifa malah nyeletuk dengan panggilan 'Papi', yang jelas akan membuat Tristan semakin salah paham. . Setelah sejadian itu, Tristan jadi meminta penjelasan dari Titi, sehingga mereka bicara dan makan di suatu cafe saat jam istirahat. "Saya bukannya ingin ikut campur, tapi kamu tau dan posisi Ryan udah ada pasangan?" Titi mengangguk paham. "Saya mengerti, Pak. Saya tidak menyalahkan rasa penasaran Anda. Bahkan Pak Ryan sendiri juga mengira hal yang sama." "Kalian sempet ketemu sebelumnya berarti?" "Sudah agak lama." Tristan membiarkan Titi memikirkan jawaban
Ryan memijat pelipisnya merasa pusing, bagaimana tidak? Ia merasa diteror karena ketidakhadirannya di acara makan malam tadi. Kini ia baru sampai Bandara dan mulai menuju ke hotel tempatnya akan singgah. Ia membenci saat-saat ini dan memilih mengabaikan semua panggilan yang mengganggunya itu.Untuk mengobati rasa tidak nyaman itu, Rayn pun berselancar di tabletnya yang memang ia isi dengan nomor yang tidak ia sebar ke keluarganya atau siapapun rekan kerjanya. Itu adalah nomor yang secara khusus ia gunakan hanya untuk agar tablet itu bisa mengakses internet jika tidak ada wi-fi. Di sana ia mencari tahu tentang Titi selama mereka berpisah.Ia memulai menelisuri dari media sosial, di sana hanya berisi tentang foto random, quote random, dan banyak sekali status Facebook atau cuitan di X yang tidak banyak menunjukkan cerita tentang masa lalunya.Namun, ketika ia menelusuri X sampai berjam-jam lamanya, ia mendapati beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan Titi. Titi berkata di cuita
Titi dan Tristan sampai di TK tempat Sifa sekolah, sementara itu Titi meminta agar Tristan tidak keluar karena ia tak ingin digosipi macam-macam.Orang-orang terlanjut taunya kalau Ryan adalah ayah Sifa, kalau ia tiba-tiba datang dengan pria lain, ia akan dikira selingkuh."Mama!" panggil Sifa keluar dari TK. Ia membawa plasstik bingkisan, berisi jajanan dan seplastik potongan cake. "Wah bawa apa tuh, Sayang?" tanya Titi. "Hehe... temenku ada yang ulang tahun, Ma. Jadi aku dan temen-temen dikasih jajan.""Sifa seneng?""Banget! Sifa seneng banget!"Sampailah mereka di mobil Tristan yang membuat Sifa heboh karena ad orang lain di sana. Tristan langsung menyapa, "Hai, Manis!"Sifa menoleh pada sang ibu seolah minta persetujuan.Tentu saja Sifa anak yang cerdas, ia akan selektif melihat orang baru."Hai, Om! Om siapa?" tanya Sifa malu-malu.Titi memangku Sifa di samping sopir, sementara Tristan menyetir sendiri. Ia masih menggunakan batik untuk kerja, jadi kelihatan agak lelah."Om n
"Aku gak pingin nyakitin kamu," lanjut Ryan. Queen masih tidak bisa menerima apa yang disampaikan oleh Ryan, meski ia tau kalau Ryan punya potensi untuk mengatakan itu. Karena perasaan Ryan padanya memang tidak ada, hati Ryan sudah diambil oleh orang lama. Ia terisak sejenak, meresapi dan mencoba tenang. Ryan tau Queen sedang menangis, tapi ia sudah jujur sejak awal, tapi Queen merasa bisa membuatnya jatuh cinta. Padahal setelah bertahun-tahun berlalu, itu tidak membuahkan hasil. "Jujur sama aku, pikiran putus itu ... datang karena kamu ketemu sama Titi kan?"Ryan menghela napas, pasti Queen akan seemosi itu. Harusnya ia membicarakan ini ketika pulang, ia lupa timingnya tidak tepat."Pasti gara-gara dia, kamu jadi kayak gini!"Ryan pun menjawab, "100% iya, tapi selama ini aku juga nunggu dia. Nunggu pertemuan kami, dan harusnya kalau kamu sudah tau aku jahat kamu, kamu bisa lihat sejak lama, bukan sekarang kamu baru ptotes! Aku udah jujur loh waktu itu!""Tapi kan setelah apa
“100 juta?” lirih Titi dengan tatapan kosong.Biaya penalti kontrak kerjanya bila mundur sebelum waktu yang ditentukan sungguh besar.Tapi, ia pun bingung karena perusahaan startup yang menjadi kantor barunya ternyata milik sang mantan kekasih yang ditinggalkannya tanpa alasan yang jelas.Haruskah dia bertahan di sana dan menebalkan muka saja demi Sifa, keponakan yang sejak bayi dititipkan sang kakak? Terlebih, tabungannya menipis dan sekarang sulit sekali mencari pekerjaan."Titi, sedang apa kamu di sini?"Deg!Mendengar suara bariton yang familiar itu, Titi yang sedang ingin menjemput Sifa–terkesiap.Bagaimana bisa Ryan–mantan kekasihnya–mendadak ada di depan teras TK ini?"Saya menjemput adik saya, Pak," jawab wanita itu cepat, mencari alasan.Namun, Ryan tampak mengernyitkan dahi. "Seingat saya, kamu anak bungsu?""Ya... em, Ibu saya menikah lagi dan mereka punya anak," ucap Titi sembari merutuki diri sendiri.Bagaimana bisa dia lupa jika Ryan tahu tentang seluruh latar belakangn
"Lalu siapa ayahnya?" tuntut Ryan segera."Aku tak bisa menjelaskannya sekarang," jawab Titi, "Em... intinya dia bukan anakmu."Ia harap kata-kata itu bisa menjelaskan semuanya, tapi tentu bagi Ryan itu penjelasan rancu yang tak bisa dibilang 'jelas'.Ia tidak bisa mengungkapkan semuanya, ini berbahaya bagi Sifa dan dirinya. Ia juga tak ingin Ryan terlibat dalam masalahnya.Masalahnya kalau Ryan tahu, bisa jadi ayah kandung Sifa akan menemukan mereka. Sebab, ayah Sifa punya hubungan kekerabatan dengan Ryan!Ya, Titi diberitahukan kakaknya--ibu kandung Sifa saat wanita itu hamil.Entah bagaimana mereka terjebak dengan pria yang berasal dari keluarga sama."Kalau kamu begini, justru aku semakin yakin kalau Sifa adalah anakku."Titi menghela napas. Bagaimana ia menjelaskannya?Dulu, Ryan dan Titi adalah sepasang kekasih fenomenal di kampus mereka.Selain karena Ryan adalah Ketua BEM yang masuk jajaran pria tampan di kampus, pria itu adalah bagian dari keluarga konglomerat.Banyak peremp
"Aku gak pingin nyakitin kamu," lanjut Ryan. Queen masih tidak bisa menerima apa yang disampaikan oleh Ryan, meski ia tau kalau Ryan punya potensi untuk mengatakan itu. Karena perasaan Ryan padanya memang tidak ada, hati Ryan sudah diambil oleh orang lama. Ia terisak sejenak, meresapi dan mencoba tenang. Ryan tau Queen sedang menangis, tapi ia sudah jujur sejak awal, tapi Queen merasa bisa membuatnya jatuh cinta. Padahal setelah bertahun-tahun berlalu, itu tidak membuahkan hasil. "Jujur sama aku, pikiran putus itu ... datang karena kamu ketemu sama Titi kan?"Ryan menghela napas, pasti Queen akan seemosi itu. Harusnya ia membicarakan ini ketika pulang, ia lupa timingnya tidak tepat."Pasti gara-gara dia, kamu jadi kayak gini!"Ryan pun menjawab, "100% iya, tapi selama ini aku juga nunggu dia. Nunggu pertemuan kami, dan harusnya kalau kamu sudah tau aku jahat kamu, kamu bisa lihat sejak lama, bukan sekarang kamu baru ptotes! Aku udah jujur loh waktu itu!""Tapi kan setelah apa
Titi dan Tristan sampai di TK tempat Sifa sekolah, sementara itu Titi meminta agar Tristan tidak keluar karena ia tak ingin digosipi macam-macam.Orang-orang terlanjut taunya kalau Ryan adalah ayah Sifa, kalau ia tiba-tiba datang dengan pria lain, ia akan dikira selingkuh."Mama!" panggil Sifa keluar dari TK. Ia membawa plasstik bingkisan, berisi jajanan dan seplastik potongan cake. "Wah bawa apa tuh, Sayang?" tanya Titi. "Hehe... temenku ada yang ulang tahun, Ma. Jadi aku dan temen-temen dikasih jajan.""Sifa seneng?""Banget! Sifa seneng banget!"Sampailah mereka di mobil Tristan yang membuat Sifa heboh karena ad orang lain di sana. Tristan langsung menyapa, "Hai, Manis!"Sifa menoleh pada sang ibu seolah minta persetujuan.Tentu saja Sifa anak yang cerdas, ia akan selektif melihat orang baru."Hai, Om! Om siapa?" tanya Sifa malu-malu.Titi memangku Sifa di samping sopir, sementara Tristan menyetir sendiri. Ia masih menggunakan batik untuk kerja, jadi kelihatan agak lelah."Om n
Ryan memijat pelipisnya merasa pusing, bagaimana tidak? Ia merasa diteror karena ketidakhadirannya di acara makan malam tadi. Kini ia baru sampai Bandara dan mulai menuju ke hotel tempatnya akan singgah. Ia membenci saat-saat ini dan memilih mengabaikan semua panggilan yang mengganggunya itu.Untuk mengobati rasa tidak nyaman itu, Rayn pun berselancar di tabletnya yang memang ia isi dengan nomor yang tidak ia sebar ke keluarganya atau siapapun rekan kerjanya. Itu adalah nomor yang secara khusus ia gunakan hanya untuk agar tablet itu bisa mengakses internet jika tidak ada wi-fi. Di sana ia mencari tahu tentang Titi selama mereka berpisah.Ia memulai menelisuri dari media sosial, di sana hanya berisi tentang foto random, quote random, dan banyak sekali status Facebook atau cuitan di X yang tidak banyak menunjukkan cerita tentang masa lalunya.Namun, ketika ia menelusuri X sampai berjam-jam lamanya, ia mendapati beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan Titi. Titi berkata di cuita
"Eh bukan, Pak." Titi harusnya hati-hati saat tau Tristan yang datang, kenapa ia tak segera menyembunyikan keberadaan Sifa darinya? Pastilah Tristan salah paham. Wajah Sifa, jelas mirip Ryan. Terlalu mirip, sehingga membuat orang langsung mengira alau Sifa anak dari Ryan. "Terus kenapa mirip?" tanya Tristan. "Mirip memang, tapi dia bukan anak Ryan, Pak." "Papi Ryan?" Tamatlah sudah riawayat Titi, bagaimana bisa Sifa malah nyeletuk dengan panggilan 'Papi', yang jelas akan membuat Tristan semakin salah paham. . Setelah sejadian itu, Tristan jadi meminta penjelasan dari Titi, sehingga mereka bicara dan makan di suatu cafe saat jam istirahat. "Saya bukannya ingin ikut campur, tapi kamu tau dan posisi Ryan udah ada pasangan?" Titi mengangguk paham. "Saya mengerti, Pak. Saya tidak menyalahkan rasa penasaran Anda. Bahkan Pak Ryan sendiri juga mengira hal yang sama." "Kalian sempet ketemu sebelumnya berarti?" "Sudah agak lama." Tristan membiarkan Titi memikirkan jawaban
Begitu tiba di kantor, Ryan sudah disambut pekerjaan yang menumpuk.Pria itu bahkan memijat keningnya sambil membaca dokumen.Melihat keadaannya yang buruk, sang sekretaris sontak memberinya air putih hangat."Minum dulu, Pak."Ryan tersenyum tipis dan meminum air itu dengan santai."Ada masalah, Pak?" tanya Vian memberanikan diri."No, hanya capek aja," jawabnya.Vian mengangguk.Hanya saja, dia merasa gelisah karena masalah dokumen-dokumen itu harus lekas selesai untuk besok pagi.Seolah tahu, Ryan langsung berkata, "Jangan khawatir, saya akan selesaikan ini. Kamu bisa keluar dan pulang saja."Vian pun pamit dan membiarkan bosnya sendiri di ruangannya. Ia sebenarnya tidak tega, tapi mau bagaimana lagi?Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 2 pagi. Vian sendiri sudah pulang empat jam yang lalu, tapi Ryan masih berkutat dengan dokumennya.Pekerjaannya sudah selesai, tapi setelah selesai ia malah memikirkan apa yang dikatakan oleh Titi padanya. Ia tidak bisa menyangkal kalau hatinya
Wanita itu segera menggeleng, mencoba agar tidak terlalu percaya diri. Hanya saja, Ryan tiba-tiba berdiri dan membiarkan pintu kontrakan terbuka. Mungkin, ini efek ucapan Titi tadi? Entahlah…. Yang jelas, Ryan tiba-tiba mengambil bingkisan yang ia beli dan menyerahkan pada tetangga. Bahkan dengan luwes, Ryan mengobrol dengan tetangga-tetangga Titi yang sebenarnya jarang berinteraksi dengannya karena sama-sama sibuk. Ryan juga menjawab pertanyaan mereka dengan baik ketika ditanya siapa dia. Pria itu enjawab kalau ia teman kuliah Titi, sehingga ia main sekaligus kenalan dengan anaknya. Pandai sekali ia mengkondisikan semuanya. ‘Semoga tidak ada drama lain yang menyusul,’ batin Titi merasa tambah terbebani, ia bingung sekaligus merasa berhutang. Namun di depan Sifa, Titi berusaha untuk tidak melakukan konfrontasi apapun pada bos sekaligus mantan kekasihnya itu. **** "Sifa udah kenyang Ma, makanannya enak banget! Makasih Papi!" ujar Sifa bahagia. Tak butuh lama, mereka berti
"Gak mungkin, bjir! Pas kita ngobrol-ngobrol juga ada saat di mana dia nunjukkin kalo dia masih normal, kagak gay juga. Tapi lebih ke perasaan sih, dia tipe yang gak mau sama orang yang gak dia pengen," jelas Tristan yang kebetulan paling dekat dengan Ryan."Udah fix sih, kalo dia gagal move on," ujar Rey."Iya, tapi ngomong-ngomong. Lo gak nemenin bini lo?"Rey pun nyengir, kemudian pamit pergi. Gosip ini membuatnya sekejap lupa bahwa hari ini adalah harinya.Sepeninggalannya, pria-pria tampan itu mengobrolkan hal lain dan pulang sejam kemudian.Hanya saja, Tristan tampak kesal karena dirinyalah yang harus membawa pulang Ryan, sementara Steven pulang dengan Hans!•••"Tanam-tanam Ubi, tak perlu dibajak...."Sifa menyanyi dalam perjalanan mereka ke sekolah.Pagi-pagi sekali, Titi mengantarkan pesanan customernya. Setelah itu, bertolak naik angkot ke sekolah Sifa yang semi daycare itu."Seneng banget sih, anak Mama. Kenapa nih?"Namun, bukannya menjawab Sifa malah tertawa tidak jela
"Ma! Kenapa Mama masih jualan kue? Padahal Mama udah kerja?"Titi sedang menghias kue ulang tahun yang dipesan oleh customernya sontak tersenyum mendengar pertanyaan Sifa."Buat tambahan, Sayang. Biar Sifa bisa makan enak," ujarnya.Sifa pun mengangguk meski masih tampak bingung.Hanya saja, satu hal yang Titi syukuri: Sifa tidak terlalu terpengaruh dengan keberadaan Ryan beberapa hari lalu. Saat dinasehati bahwa Ryan bukan ayah kandungnya pun, Sifa menurut tanpa banyak drama.Jujur, Titi tak tega sebenarnya. Namun, ia harus tegas mendidik Sifa agar tidak menjadi anak manja."Ma … kalau Papa Ryan bukan Papa aku, terus siapa Papa aku?" tanya Sifa tiba-tiba.Deg!Padahal baru saja Titi bersyukur Sifa tidak menanyakan tentang Ryan lagi.Kenapa tiba-tiba…?"Papa Sifa pergi jauh, entah kapan pulangnya. Jadi, Sifa gak perlu nunggu. Cukup jadi anak baik, semoga suatu hari kalo Papa Sifa pulang, Sifa bisa menyambutnya dengan baik."Sifa pun mengerucutkan bibirnya, ia tak suka dengan keadaan
"Saya gak akan marahin kamu atau apapun itu ya, Ti. Hanya saja, Pak Ryan biasanya gak sesabar itu ngadepin kita. Sayangnya, pertanyaanmu tadi seolah merasa terganggu. Saya harap kamu memperhatikannya kembali."Mendengar wejangan sang manager, Titi pun mengangguk. "Iya, Bu. Saya paham."Untungnya, Bu Kikan bukan tipe atasan galak atau banyak bicara. Ia tipe bos yang santai dan asal pekerjaan bawahannya beres.Jadi setelah memastikan Titi memahami point pembicaraan, ia tak punya banyak hal untuk dikomentari dan langsung pergi.Menyisakan Titi yang terdiam karena posisinya belum aman selama ia masih bekerja di sini!•••Di sisi lain, Ryan melakukan rapat dengan Tristan.Keduanya tampak serius membicarakan masa depan startup garapan keduanya.Hanya saja, begitu selesai dan keluar ruangan, keduanya terkejut dengan kedatangan seseorang."Lo ngundang Queen ke sini?" tanya Tristan heran.Tunangan Ryan itu hampir tidak pernah ke perusahaan mereka.Belum lagi, status Queen yang merupakan model