“100 juta?” lirih Titi dengan tatapan kosong.
Biaya penalti kontrak kerjanya bila mundur sebelum waktu yang ditentukan sungguh besar. Tapi, ia pun bingung karena perusahaan startup yang menjadi kantor barunya ternyata milik sang mantan kekasih yang ditinggalkannya tanpa alasan yang jelas. Haruskah dia bertahan di sana dan menebalkan muka saja demi Sifa, keponakan yang sejak bayi dititipkan sang kakak? Terlebih, tabungannya menipis dan sekarang sulit sekali mencari pekerjaan. "Titi, sedang apa kamu di sini?" Deg! Mendengar suara bariton yang familiar itu, Titi yang sedang ingin menjemput Sifa–terkesiap. Bagaimana bisa Ryan–mantan kekasihnya–mendadak ada di depan teras TK ini? "Saya menjemput adik saya, Pak," jawab wanita itu cepat, mencari alasan. Namun, Ryan tampak mengernyitkan dahi. "Seingat saya, kamu anak bungsu?" "Ya... em, Ibu saya menikah lagi dan mereka punya anak," ucap Titi sembari merutuki diri sendiri. Bagaimana bisa dia lupa jika Ryan tahu tentang seluruh latar belakangnya? Titi hanya dapat berharap Ryan segera pergi dan melupakan apa yang terjadi. Untungnya, doa Titi terkabul! Meski masih terlihat bingung, Ryan tampak mengangguk paham. “Bapak sendiri sedang apa di sini?” ucap Titi mengalihkan pembicaraan “Oh. Saya sedang memeriksa proyek yang kebetulan akan dibangun di sekitar sini.” Kini giliran Titi yang mengangguk. Hanya saja saat Titi hendak pamit, anak-anak TK mulai berhamburan keluar! Bersamaan dengan itu, seorang gadis kecil yang cantik dengan hijab mungil itu langsung memeluk Titi yang rutin menjemputnya. "Mama!" teriaknya kencang dan penuh kebahagiaan. "Mama?" ulang Ryan dengan alis terangkat. Pria tampan itu sontak menatap Sifa yang tampak berusia 5 tahun. Bocah itu putih dan memiliki mata sipit, khas orang Asia Timur yang mirip … dengannya. Padahal, Titi dan keluarganya memiliki bentuk mata almond! Segera, Ryan menatap Titi seolah minta penjelasan. Titi jelas menyadari itu. Sayangnya belum sempat ia memberikan alasan, guru TK dari Sifa keluar dan menghampirinya. "Mama-nya Sifa, ini ada pemberitahuan. Minggu depan datang ya...." Titi mengangguk dengan senyum paksa sambil menerimanya. Belum lagi, ia sedikit tertekan di bawah tatapan Ryan saat ini. "Oh ini Bapaknya Sifa, ya?" Kini nasib Titi benar-benar di ujung tanduk karena Guru putrinya itu terus saja berbicara, "Wah, senangnya bisa ketemu Bapaknya Sifa yang ganteng. Semoga sering ke sini jemput anaknya ya, Pak. Kasian Sifa, kadang dikatain temannya karena gak pernah bawa Bapaknya." Dan bukannya menolak, Ryan malah seolah menikmati peran singkatnya itu dengan mengangguk sembari tersenyum sopan! Hanya saja, itu tak bertahan lama. Begitu Guru paruh baya itu pamit dan kembali menemui beberapa wali murid, Ryan tampak menatapnya dalam. “Titi, ikut aku ke mobil!” perintahnya tiba-tiba. “Tapi, Pak.” Sayangnya, Ryan segera memberi isyarat pada sopirnya untuk membukakan pintu. "Silakan, Nona!" ujar sang sopir mempersilahkan. Titi terkejut, sementara Sifa terlihat girang. "Wah, naik mobil. Asyiiiik!" "Enggak Say..." Terlambat. Sifa kini sudah turun dari gendongan Titi dan segera masuk ke mobil mewah itu. Di tengah kebingungannya, Ryan berdiri di belakang Titi dan membisikan sesuatu yang sontak membuatnya tak bisa menolaknya, "Turuti aku atau aku akan membuatmu malu di sini." *** Srak! Di dalam mobil, Ryan menutup pembatas antara sopir dan jok penumpang. Sifa duduk di tengah, diapit Ryan dan Titi yang belum bicara. Ia menikmati perjalanan pulang dengan mobil mewah yang belum pernah ia naiki. "Wah, gede banget. Wanginya enak!" Ia terus mengucapkan kata-kata yang menunjukkan betapa antusiasnya ia naik mobil mewah itu. Sementara Ryan mulai tak tahan untuk tidak bertanya pada mantan kekasihnya itu. "Apakah kamu bisa menjelaskan semua ini sekarang, Titi?" tanya Ryan dingin. Titi memainkan kedua tangannya takut. Ia melihat Sifa yang masih sangat senang, sampai akhirnya ia berkata. "Tolong, kita bicarakan setelah Sifa tidur." Titi tahu Ryan bukan orang yang bisa menunggu, tapi untungnya pria itu mau mendengarnya. Sayangnya, Sifa yang kini tak bisa diajak bekerjasama. Gadis mungil kesayangan Titi itu tak lama tertidur pulas. Tampaknya, ia lelah dengan aktivitas di sekolahnya hari ini. Begitu lima menit setelah Sifa terlelap, Ryan pun langsung bertanya lagi. "Dia anakku, kan?" tanya Ryan. Titi langsung menggeleng, "Bukan, Bos. Dia bukan anakmu.""Lalu siapa ayahnya?" tuntut Ryan segera."Aku tak bisa menjelaskannya sekarang," jawab Titi, "Em... intinya dia bukan anakmu."Ia harap kata-kata itu bisa menjelaskan semuanya, tapi tentu bagi Ryan itu penjelasan rancu yang tak bisa dibilang 'jelas'.Ia tidak bisa mengungkapkan semuanya, ini berbahaya bagi Sifa dan dirinya. Ia juga tak ingin Ryan terlibat dalam masalahnya.Masalahnya kalau Ryan tahu, bisa jadi ayah kandung Sifa akan menemukan mereka. Sebab, ayah Sifa punya hubungan kekerabatan dengan Ryan!Ya, Titi diberitahukan kakaknya--ibu kandung Sifa saat wanita itu hamil.Entah bagaimana mereka terjebak dengan pria yang berasal dari keluarga sama."Kalau kamu begini, justru aku semakin yakin kalau Sifa adalah anakku."Titi menghela napas. Bagaimana ia menjelaskannya?Dulu, Ryan dan Titi adalah sepasang kekasih fenomenal di kampus mereka.Selain karena Ryan adalah Ketua BEM yang masuk jajaran pria tampan di kampus, pria itu adalah bagian dari keluarga konglomerat.Banyak peremp
Dan di sinilah Titi sekarang bersama Ryan yang menggendong Sifa… Pria dan bocah kecil itu tampak begitu akrab, sehingga mereka bertiga jadi tampak seperti keluarga bahagia. Bahkan, langsung jadi pusat perhatian semua yang ada di tempat itu. Tentu saja karena Ryan! Fisik pria itu yang bak model papan atas memang membuatnya selalu bersinar di manapun ia berada. Titi bahkan merasa iri padanya. Sebagai perempuan pendek yang mudah sekali naik berat badan, wajahnya pun pas-pasan. Dulu, Titi sampai heran dengan Ryan. Di antara banyaknya perempuan cantik, kenapa Ryan memilihnya waktu itu? Untungnya, sekarang Ryan bertunangan dengan orang yang sepadan…. "Papa!" "Hah?!" Lamunan Titi buyar seketika. Bukan Sifa yang mengatakannya, tapi Ryan. "Panggil Om dengan panggilan Papa, aku kan Papa kamu," ujar pria itu kembali dengan enteng. "Bukan, dia bukan Papa kamu. Sifa panggil saja dia Om Ryan," jelas Titi yang tak ingin ada kesalahpahaman. "Oke, Papa!" Sayangnya, Ryan dan Sifa suda
"Sifa, kamu kalo manggil Om Ryan dengan sebutan Papa, kamu juga harus menyebut Tante Queen sebagai Mama, dong!" Titi segera menjelaskannya. Jangan sampai usahanya tadi sia-sia!Di sisi lain, Sifa tampak bingung."Tapi kan Mamanya Sifa, Mama Titi," balas bocah itu tak mengerti.Queen terlihat canggung, tetapi Titi segera mengoreksi."Kalo gitu, Sifa panggil Om Ryan itu Papi dan Tante Queen sebagai Mami. Papi dan Mami," ujar Titi menunjuk Ryan dan Queen bergantian.Sifa sempat berpikir. Akan tetapi melihat peringatan dari mata Titi, ia pun mengangguk."Hai! Papi dan Mami!"'Syukurlah, selamat-selamat!' batin Titi lega.Terlebih, ia sudah melihat wajah Queen yang melunak.Sayangnya, wanita itu tak menyadari jika Ryan tampak menunjukkan ekspresi berbeda.Pria itu seolah tak rela jika Sifa bukanlah putrinya dan Titi.Untungnya, Ryan tadi diam-diam sudah mengambil rambut Sifa yang jatuh untuk dijadikannya sample Tes DNA.Ya, Ryan harus bisa memastikan secepatnya.Daripada mengikuti perasa
"Saya gak akan marahin kamu atau apapun itu ya, Ti. Hanya saja, Pak Ryan biasanya gak sesabar itu ngadepin kita. Sayangnya, pertanyaanmu tadi seolah merasa terganggu. Saya harap kamu memperhatikannya kembali."Mendengar wejangan sang manager, Titi pun mengangguk. "Iya, Bu. Saya paham."Untungnya, Bu Kikan bukan tipe atasan galak atau banyak bicara. Ia tipe bos yang santai dan asal pekerjaan bawahannya beres.Jadi setelah memastikan Titi memahami point pembicaraan, ia tak punya banyak hal untuk dikomentari dan langsung pergi.Menyisakan Titi yang terdiam karena posisinya belum aman selama ia masih bekerja di sini!•••Di sisi lain, Ryan melakukan rapat dengan Tristan.Keduanya tampak serius membicarakan masa depan startup garapan keduanya.Hanya saja, begitu selesai dan keluar ruangan, keduanya terkejut dengan kedatangan seseorang."Lo ngundang Queen ke sini?" tanya Tristan heran.Tunangan Ryan itu hampir tidak pernah ke perusahaan mereka.Belum lagi, status Queen yang merupakan model
"Ma! Kenapa Mama masih jualan kue? Padahal Mama udah kerja?"Titi sedang menghias kue ulang tahun yang dipesan oleh customernya sontak tersenyum mendengar pertanyaan Sifa."Buat tambahan, Sayang. Biar Sifa bisa makan enak," ujarnya.Sifa pun mengangguk meski masih tampak bingung.Hanya saja, satu hal yang Titi syukuri: Sifa tidak terlalu terpengaruh dengan keberadaan Ryan beberapa hari lalu. Saat dinasehati bahwa Ryan bukan ayah kandungnya pun, Sifa menurut tanpa banyak drama.Jujur, Titi tak tega sebenarnya. Namun, ia harus tegas mendidik Sifa agar tidak menjadi anak manja."Ma … kalau Papa Ryan bukan Papa aku, terus siapa Papa aku?" tanya Sifa tiba-tiba.Deg!Padahal baru saja Titi bersyukur Sifa tidak menanyakan tentang Ryan lagi.Kenapa tiba-tiba…?"Papa Sifa pergi jauh, entah kapan pulangnya. Jadi, Sifa gak perlu nunggu. Cukup jadi anak baik, semoga suatu hari kalo Papa Sifa pulang, Sifa bisa menyambutnya dengan baik."Sifa pun mengerucutkan bibirnya, ia tak suka dengan keadaan
"Gak mungkin, bjir! Pas kita ngobrol-ngobrol juga ada saat di mana dia nunjukkin kalo dia masih normal, kagak gay juga. Tapi lebih ke perasaan sih, dia tipe yang gak mau sama orang yang gak dia pengen," jelas Tristan yang kebetulan paling dekat dengan Ryan."Udah fix sih, kalo dia gagal move on," ujar Rey."Iya, tapi ngomong-ngomong. Lo gak nemenin bini lo?"Rey pun nyengir, kemudian pamit pergi. Gosip ini membuatnya sekejap lupa bahwa hari ini adalah harinya.Sepeninggalannya, pria-pria tampan itu mengobrolkan hal lain dan pulang sejam kemudian.Hanya saja, Tristan tampak kesal karena dirinyalah yang harus membawa pulang Ryan, sementara Steven pulang dengan Hans!•••"Tanam-tanam Ubi, tak perlu dibajak...."Sifa menyanyi dalam perjalanan mereka ke sekolah.Pagi-pagi sekali, Titi mengantarkan pesanan customernya. Setelah itu, bertolak naik angkot ke sekolah Sifa yang semi daycare itu."Seneng banget sih, anak Mama. Kenapa nih?"Namun, bukannya menjawab Sifa malah tertawa tidak jela
Wanita itu segera menggeleng, mencoba agar tidak terlalu percaya diri. Hanya saja, Ryan tiba-tiba berdiri dan membiarkan pintu kontrakan terbuka. Mungkin, ini efek ucapan Titi tadi? Entahlah…. Yang jelas, Ryan tiba-tiba mengambil bingkisan yang ia beli dan menyerahkan pada tetangga. Bahkan dengan luwes, Ryan mengobrol dengan tetangga-tetangga Titi yang sebenarnya jarang berinteraksi dengannya karena sama-sama sibuk. Ryan juga menjawab pertanyaan mereka dengan baik ketika ditanya siapa dia. Pria itu enjawab kalau ia teman kuliah Titi, sehingga ia main sekaligus kenalan dengan anaknya. Pandai sekali ia mengkondisikan semuanya. ‘Semoga tidak ada drama lain yang menyusul,’ batin Titi merasa tambah terbebani, ia bingung sekaligus merasa berhutang. Namun di depan Sifa, Titi berusaha untuk tidak melakukan konfrontasi apapun pada bos sekaligus mantan kekasihnya itu. **** "Sifa udah kenyang Ma, makanannya enak banget! Makasih Papi!" ujar Sifa bahagia. Tak butuh lama, mereka berti
Begitu tiba di kantor, Ryan sudah disambut pekerjaan yang menumpuk.Pria itu bahkan memijat keningnya sambil membaca dokumen.Melihat keadaannya yang buruk, sang sekretaris sontak memberinya air putih hangat."Minum dulu, Pak."Ryan tersenyum tipis dan meminum air itu dengan santai."Ada masalah, Pak?" tanya Vian memberanikan diri."No, hanya capek aja," jawabnya.Vian mengangguk.Hanya saja, dia merasa gelisah karena masalah dokumen-dokumen itu harus lekas selesai untuk besok pagi.Seolah tahu, Ryan langsung berkata, "Jangan khawatir, saya akan selesaikan ini. Kamu bisa keluar dan pulang saja."Vian pun pamit dan membiarkan bosnya sendiri di ruangannya. Ia sebenarnya tidak tega, tapi mau bagaimana lagi?Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 2 pagi. Vian sendiri sudah pulang empat jam yang lalu, tapi Ryan masih berkutat dengan dokumennya.Pekerjaannya sudah selesai, tapi setelah selesai ia malah memikirkan apa yang dikatakan oleh Titi padanya. Ia tidak bisa menyangkal kalau hatinya
"Ma! Papi kok gak pernah ke sini lagi ya?" tanya Sifa sambil makan permen. Titi yang sedang membuat adonan roti pun tersenyum tipis. "Lagi kerja, kerjaannya banyak." "Gitu ya, Ma?" Sifa terlihat sedih, lalu ia keluar kontrakan. Biasanya sih ia akan main dengan temannya sebelum isya, karena malam Jum'at libur mengaji. "Mau ke mana Sayang, main?" tanya Titi lembut. "Enggak... eh... Ma!" ujar Sifa tiba-tiba terlihat excited. Titi pun bingung dan langsung melihat keluar, saat tiba-tiba seseorang muncul di depan pintu. "Kak Tristan?" tanya Titi kaget. "Yoi! Yuk makan sate dulu, ini enak loh!" "Yey!!!" Titi terkekeh mendengarnya, ia pun mempersilahkan Tristan masuk dan ia mengambil wadah terlebih dahulu. Setelah menyerahkan wadah, Titi pamit untuk memanggang kuenya dulu. "Aku mau manggang roti dulu ya, Kak." "Oke, santai aja, Ti." Melihat situasinya, sepertinya Titi belum melihat media sosialnya karena saat ini.Banyak yang sudah membicarakannya, namanya menjad
"Sejak kuliah..." Titi terkejut mendengarnya, "Tapi waktu itu, Bapak keliatan gak suka sama saya. Malah terlihat gak suka pas Ryan berpacaran dengan saya, aaya kira karena saya orang biasa. Apa alasannya?" tanyanya bingung. "Itu cuma kamuflase karena waktu itu kamu pacar sahabatku, jadi... aku mencoba untuk mengalah. Tapi kali ini, aku gak akan membiarkan semuanya begitu saja." "Anda yakin?" "Yes, Aku tahu kamu bakal nggak yakin, tapi itulah faktanya. Bahkan Ryan juga udah tahu kok," jelas Tristan. "Hem... terus dia nggak curiga atau apa sejak dulu Ryan tahunya juga?" "Baru-baru ini dia tau, karena aku baru ngomong soal ini. Waktu kami benar-benar diskusi soal kamu dan Sifa." "Terus bagaimana tanggapan dia?" "Ya dia nggak nanggepin apa-apa, cuman ya kaget dan bilang sewajarnya orang-orang aja. Kami merasa bahwa kami harus bersaing secara sehat," ujar Trsitan. "Luar biasa sih kalian, gak sampai musuhan." "Sebenarnya ada bumbu-bumbu musuhan, cuman kami cukup dewasa un
"Gila anjir! Gue gak tau kalo Dea ama Pak Boss putus!" "Masalahnya nih kenapa tadi Queen bilang kalo Titi yang ngerebut?" "Apa cuma gue yang mikir ini gak masuk akal? Mira dan Queen itu jauh banget!" "Iya njir, kalo bener mah... Pak Boss udah gila dan bakal jadi skandal besar." "Iya kalau dipikir-pikir ya, secara logika paling mudah, bisa-bisanya Pak Bos lebih milih cewek biasa yang sederhana daripada tunangannya yang udah jelas-jelas punya kualitas lebih bagus daripada kayak kita-kita. Titi standar banget bjir?""Iya juga, kalau misal sama cewek lain yang cantik juga sih, mungkin masih percaya ya... tapi ini Titi?""Ini gila banget sih....""Eh tapi, kan Titi juga pernah bilang katanya mereka pernah satu kampus dulu. Bisa aja kan kalau mereka punya kisah lain yang nggak diceritain ke kita.""Bener juga sih, dan satu hal yang paling sakral dalam hidup adalah cinta pertama. Cinta pertama Pak Bos, mungkin Titi.""Aduh udah gila kalo iya, tetep gak masuk akal kalo Titi Cinta Perta
Biaya rumah sakit Sifa dibayar oleh Tristan, karena awalnya akan dibayar oleh Ryan, tapi sudah keduluan Tristan. Ryan pun hanya bisa pasrah, ia kecolongan lagi. Kemudian karena ada rencana dari Titi untuk tes, maka Ryan lah yang membayar itu, sehingga dokter mengambil sampel darah dari Sifa dan akan mengeceknya untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sebagaimana diagnosa yang sudah disampaikan oleh dokter, Titi masih berharap bahwa itu tidak benar. Akan tetapi, bagaimanapun kemungkinan besarnya adalah seperti apa yang dokter Adi sampaikan. ••• Keesokam harinya dan hari-hari berikutnya, Ryan dan Tristan benar-benar mulai bersaing dengan imbang. Titi jadi bingung di sini, mereka berdua seperti tidak ada cewek lain di dunia ini. Itu jelas membuat Titi merasa kesulitan. Bagaimana tidak? Keduanya terus berebut untuk mengantar jemputnya dan Sifa, jadi akhirnya Titi membuat jadwal agar keduanya bisa gantian, daripada terus berdebat tiap pagi sore. Hal itu membuat semuanya terhamba
Di ruang praktik dokter, Dokter Adi pun menjelaskan apa yang ia temukan setelah pemeriksaan Sifa. "Jadi begini Bu Titi, boleh saya ngobrol sebentar ya? Saya tanya dulu, bagaimana siklus demamnya Sifa? Apa berulang?" "Iya, dok." "Baiklah... Terkait kondisi Sifa yang sering demam berulang ini, saya ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan." "Iya, Dok. Memang Sifa sering banget demam, terus sembuh sendiri, tapi nanti kambuh lagi. Saya jadi bingung, ini kenapa ya?" "Nah, itu dia, Bu. Dari catatan yang Ibu sampaikan, dan hasil pemeriksaan sejauh ini, kita belum menemukan tanda-tanda infeksi seperti flu, radang tenggorokan, atau infeksi lainnya." Titi terlihat sangat cemas. "Tapi demamnya Sifa itu datang berulang, mirip pola penyakit yang disebut Hyper IgD Syndrome, atau kita singkat saja HIDS ya." "Hah, itu penyakit apa ya, Dok? Bahaya?" "Tenang dulu, Bu. Saya jelaskan pelan-pelan ya. HIDS itu penyakit bawaan dari lahir—jadi bukan karena virus atau bakteri, tapi karena si
Titi pun langsung menghentikannya, sebelum Tristan benar-benar memukulnya. "Dia nggak ngelakuin apa-apa. Kami cuma bicara," ujar Titi keras sehingga kedia pria yang saling tatap itu terjerat. Mendengar itu pun, Tristan langsung melepaskan tangannya dari kerah kemeja sahabat sekaligus musuh cintanya itu. Ia kemudian duduk, bersandar di tembok dan memperhatikan sahabatnya yang terus menatap Titi yang jelas tidak nyaman diperhatikan seintens itu. Maka, setelah hampir 15 menit saling diam. Ryan pun berkata pada Tristan. "Gue cuma mau ngomong sama Titi, tadi gue jelaskan sama dia kalau gue benar-benar berjuang untuknya. Jadi, apapun yang aku lakuin ke dia nanti, aku bukan sedang selingkuh dari tunanganky." Tristan sampai melongo mendengarnya. Bagaimana bisa sahabatnya itu sangat gigih? "Mari kita kembali bersaing," ujarnya lagi, sambil mengeluarkan tangan pada sahabatnya itu untuk bersalaman. Tristan diam saja, ia bingung harus melakukan apa dengan kegilaan sahabatnya itu.
"Tunangan lu tuh, Queen!" ujar teman Queen saat melihat Ryan berjalan ke arah mereka.Queen dan temannya itu memang sedang hangout bareng di cafe, dan baru saja duduk selama 15 menit.Mendengar itu, Queen pun langsung menoleh dan melihat kalau Ryan menghampiri mereka. Ia pun langsung berdiri dan menyapanya dengan senyum cerah.Pertemuan mereka diperhatikan banyak orang, terutama karena keduanya terkenal."Hai, Sayang, kamu ke sini mau nemuin aku?"Ryan mengangguk dengan tersenyum manis, membuat semua orang percaya kalau mereka saling cinta. Ia juga tersenyum ke arah teman Queen.Ia kemudian berkata."Em... Queen, aku minta maaf karena ganggu, tapi bisa nggak bicara sekarang?" Teman Queen yang peka pun langsung berkata."Ah boleh, aku juga udah mau pulang ada janji sama Mama. Kita juga udah lama kan, jadi ya udah aku pulang dulu. Bye!"Kemudian ia pulang, tinggallah Queen dan Ryan kemudian mengajak Queen untuk mencari tempat yang lebih private.Mereka memilih ruang VIP di cafe itu.
"Hentikan itu, Ryan! Hentikan!" Ryan terkejut dengan bentakkan Titi, ia sudah kelewat batas memang. "Keluar dari sini, sekarang juga!" perintahnya tegas. Ryan pun tak punya pilihan lain selain pergi dari sana. Ia benar-benar shock dengan kenyataan itu, tapi sekaligus bingung dengan jalan hidupnya selanjutnya. Sementara di Club tempatnya bertemu dengan Tristan, Tristan mengatakan kalau ia sudah tau soal ayah dan ibu kandung Sifa. "Kenapa lo gak cerita?" "Ada batas, Bro. Titi al ngizinin gue buat cerita." "Anjir, gue kayak orang tolol banget! Selama ini, gue gak bisa nemenin Titi di masa-masa sulitnya!" umpat Ryan pada diri sendiri. Tristan hanya bisa diam, menatap sahabatnya dengan prihatin. Setelah Ryan tenang, barulah Tristan mengajaknya bicara untuk pembahasan yang lebih serius. "Sebenernya gue juga nggak tau harus gimana. Gue merasa prihatin sama fakta kalau lu harus nikah sama orang yang nggak lu suka. Gue tahu pasti itu berat banget, tapi kalau dipikir-pikir
"Aku tahu siapa Ibu dan ayahnya, Ryan."Ryan datang ke kontrakan Titi dan Sifa malam-malam, terkejut dengan kehadirannya.kemudian Ryan dengan sadar malah mengungkapkan niatnya untuk melamar Titi untuk saja sifat sudah tidur jadi ini hanya. dan Rayan d ruang tamu karena itu titik langsung memutuskan untuk memberitahu Ryan Apa yang terjadi dan Kini giliran Ryan yang terkejut. "Sorry?"ayah dan ibu Syifa aku tahu siapa mereka "Jadi, Sifa bukan anak kandungmu?" "Yah..."Ryan mematung syok dengan semua itu."Jadi tolong berhentilah mengejarku," ujar Titi merasa putus asa."Tunggu-tunggu! Tolong jelasin siapa orang tuanya Sifa! Lalu kenapa dia sangat mirip denganku?""Ya karena ayahnya juga mirip denganmu," balas Titi cepat."Apakah yang kamu bilang adalah kakak sepupuku yang sedih diusir dari Keluargaku?""Itu benar ...""Dasar, brengsek!" umpat Ryan tanpa sadar."Jadi, tolong menjauhlah dariku. Aku ingin melindungi Sifa darinya. Apakah apakah dia keponakanmu?""Iya betul.""Pantas sa