“100 juta?” lirih Titi dengan tatapan kosong.
Biaya penalti kontrak kerjanya bila mundur sebelum waktu yang ditentukan sungguh besar. Tapi, ia pun bingung karena perusahaan startup yang menjadi kantor barunya ternyata milik sang mantan kekasih yang ditinggalkannya tanpa alasan yang jelas. Haruskah dia bertahan di sana dan menebalkan muka saja demi Sifa, keponakan yang sejak bayi dititipkan sang kakak? Terlebih, tabungannya menipis dan sekarang sulit sekali mencari pekerjaan. "Titi, sedang apa kamu di sini?" Deg! Mendengar suara bariton yang familiar itu, Titi yang sedang ingin menjemput Sifa–terkesiap. Bagaimana bisa Ryan–mantan kekasihnya–mendadak ada di depan teras TK ini? "Saya menjemput adik saya, Pak," jawab wanita itu cepat, mencari alasan. Namun, Ryan tampak mengernyitkan dahi. "Seingat saya, kamu anak bungsu?" "Ya... em, Ibu saya menikah lagi dan mereka punya anak," ucap Titi sembari merutuki diri sendiri. Bagaimana bisa dia lupa jika Ryan tahu tentang seluruh latar belakangnya? Titi hanya dapat berharap Ryan segera pergi dan melupakan apa yang terjadi. Untungnya, doa Titi terkabul! Meski masih terlihat bingung, Ryan tampak mengangguk paham. “Bapak sendiri sedang apa di sini?” ucap Titi mengalihkan pembicaraan “Oh. Saya sedang memeriksa proyek yang kebetulan akan dibangun di sekitar sini.” Kini giliran Titi yang mengangguk. Hanya saja saat Titi hendak pamit, anak-anak TK mulai berhamburan keluar! Bersamaan dengan itu, seorang gadis kecil yang cantik dengan hijab mungil itu langsung memeluk Titi yang rutin menjemputnya. "Mama!" teriaknya kencang dan penuh kebahagiaan. "Mama?" ulang Ryan dengan alis terangkat. Pria tampan itu sontak menatap Sifa yang tampak berusia 5 tahun. Bocah itu putih dan memiliki mata sipit, khas orang Asia Timur yang mirip … dengannya. Padahal, Titi dan keluarganya memiliki bentuk mata almond! Segera, Ryan menatap Titi seolah minta penjelasan. Titi jelas menyadari itu. Sayangnya belum sempat ia memberikan alasan, guru TK dari Sifa keluar dan menghampirinya. "Mama-nya Sifa, ini ada pemberitahuan. Minggu depan datang ya...." Titi mengangguk dengan senyum paksa sambil menerimanya. Belum lagi, ia sedikit tertekan di bawah tatapan Ryan saat ini. "Oh ini Bapaknya Sifa, ya?" Kini nasib Titi benar-benar di ujung tanduk karena Guru putrinya itu terus saja berbicara, "Wah, senangnya bisa ketemu Bapaknya Sifa yang ganteng. Semoga sering ke sini jemput anaknya ya, Pak. Kasian Sifa, kadang dikatain temannya karena gak pernah bawa Bapaknya." Dan bukannya menolak, Ryan malah seolah menikmati peran singkatnya itu dengan mengangguk sembari tersenyum sopan! Hanya saja, itu tak bertahan lama. Begitu Guru paruh baya itu pamit dan kembali menemui beberapa wali murid, Ryan tampak menatapnya dalam. “Titi, ikut aku ke mobil!” perintahnya tiba-tiba. “Tapi, Pak.” Sayangnya, Ryan segera memberi isyarat pada sopirnya untuk membukakan pintu. "Silakan, Nona!" ujar sang sopir mempersilahkan. Titi terkejut, sementara Sifa terlihat girang. "Wah, naik mobil. Asyiiiik!" "Enggak Say..." Terlambat. Sifa kini sudah turun dari gendongan Titi dan segera masuk ke mobil mewah itu. Di tengah kebingungannya, Ryan berdiri di belakang Titi dan membisikan sesuatu yang sontak membuatnya tak bisa menolaknya, "Turuti aku atau aku akan membuatmu malu di sini." *** Srak! Di dalam mobil, Ryan menutup pembatas antara sopir dan jok penumpang. Sifa duduk di tengah, diapit Ryan dan Titi yang belum bicara. Ia menikmati perjalanan pulang dengan mobil mewah yang belum pernah ia naiki. "Wah, gede banget. Wanginya enak!" Ia terus mengucapkan kata-kata yang menunjukkan betapa antusiasnya ia naik mobil mewah itu. Sementara Ryan mulai tak tahan untuk tidak bertanya pada mantan kekasihnya itu. "Apakah kamu bisa menjelaskan semua ini sekarang, Titi?" tanya Ryan dingin. Titi memainkan kedua tangannya takut. Ia melihat Sifa yang masih sangat senang, sampai akhirnya ia berkata. "Tolong, kita bicarakan setelah Sifa tidur." Titi tahu Ryan bukan orang yang bisa menunggu, tapi untungnya pria itu mau mendengarnya. Sayangnya, Sifa yang kini tak bisa diajak bekerjasama. Gadis mungil kesayangan Titi itu tak lama tertidur pulas. Tampaknya, ia lelah dengan aktivitas di sekolahnya hari ini. Begitu lima menit setelah Sifa terlelap, Ryan pun langsung bertanya lagi. "Dia anakku, kan?" tanya Ryan. Titi langsung menggeleng, "Bukan, Bos. Dia bukan anakmu.""Lalu siapa ayahnya?" tuntut Ryan segera."Aku tak bisa menjelaskannya sekarang," jawab Titi, "Em... intinya dia bukan anakmu."Ia harap kata-kata itu bisa menjelaskan semuanya, tapi tentu bagi Ryan itu penjelasan rancu yang tak bisa dibilang 'jelas'.Ia tidak bisa mengungkapkan semuanya, ini berbahaya bagi Sifa dan dirinya. Ia juga tak ingin Ryan terlibat dalam masalahnya.Masalahnya kalau Ryan tahu, bisa jadi ayah kandung Sifa akan menemukan mereka. Sebab, ayah Sifa punya hubungan kekerabatan dengan Ryan!Ya, Titi diberitahukan kakaknya--ibu kandung Sifa saat wanita itu hamil.Entah bagaimana mereka terjebak dengan pria yang berasal dari keluarga sama."Kalau kamu begini, justru aku semakin yakin kalau Sifa adalah anakku."Titi menghela napas. Bagaimana ia menjelaskannya?Dulu, Ryan dan Titi adalah sepasang kekasih fenomenal di kampus mereka.Selain karena Ryan adalah Ketua BEM yang masuk jajaran pria tampan di kampus, pria itu adalah bagian dari keluarga konglomerat.Banyak peremp
Dan di sinilah Titi sekarang bersama Ryan yang menggendong Sifa… Pria dan bocah kecil itu tampak begitu akrab, sehingga mereka bertiga jadi tampak seperti keluarga bahagia. Bahkan, langsung jadi pusat perhatian semua yang ada di tempat itu. Tentu saja karena Ryan! Fisik pria itu yang bak model papan atas memang membuatnya selalu bersinar di manapun ia berada. Titi bahkan merasa iri padanya. Sebagai perempuan pendek yang mudah sekali naik berat badan, wajahnya pun pas-pasan. Dulu, Titi sampai heran dengan Ryan. Di antara banyaknya perempuan cantik, kenapa Ryan memilihnya waktu itu? Untungnya, sekarang Ryan bertunangan dengan orang yang sepadan…. "Papa!" "Hah?!" Lamunan Titi buyar seketika. Bukan Sifa yang mengatakannya, tapi Ryan. "Panggil Om dengan panggilan Papa, aku kan Papa kamu," ujar pria itu kembali dengan enteng. "Bukan, dia bukan Papa kamu. Sifa panggil saja dia Om Ryan," jelas Titi yang tak ingin ada kesalahpahaman. "Oke, Papa!" Sayangnya, Ryan dan Sifa suda
"Sifa, kamu kalo manggil Om Ryan dengan sebutan Papa, kamu juga harus menyebut Tante Queen sebagai Mama, dong!" Titi segera menjelaskannya. Jangan sampai usahanya tadi sia-sia!Di sisi lain, Sifa tampak bingung."Tapi kan Mamanya Sifa, Mama Titi," balas bocah itu tak mengerti.Queen terlihat canggung, tetapi Titi segera mengoreksi."Kalo gitu, Sifa panggil Om Ryan itu Papi dan Tante Queen sebagai Mami. Papi dan Mami," ujar Titi menunjuk Ryan dan Queen bergantian.Sifa sempat berpikir. Akan tetapi melihat peringatan dari mata Titi, ia pun mengangguk."Hai! Papi dan Mami!"'Syukurlah, selamat-selamat!' batin Titi lega.Terlebih, ia sudah melihat wajah Queen yang melunak.Sayangnya, wanita itu tak menyadari jika Ryan tampak menunjukkan ekspresi berbeda.Pria itu seolah tak rela jika Sifa bukanlah putrinya dan Titi.Untungnya, Ryan tadi diam-diam sudah mengambil rambut Sifa yang jatuh untuk dijadikannya sample Tes DNA.Ya, Ryan harus bisa memastikan secepatnya.Daripada mengikuti perasa
"Saya gak akan marahin kamu atau apapun itu ya, Ti. Hanya saja, Pak Ryan biasanya gak sesabar itu ngadepin kita. Sayangnya, pertanyaanmu tadi seolah merasa terganggu. Saya harap kamu memperhatikannya kembali."Mendengar wejangan sang manager, Titi pun mengangguk. "Iya, Bu. Saya paham."Untungnya, Bu Kikan bukan tipe atasan galak atau banyak bicara. Ia tipe bos yang santai dan asal pekerjaan bawahannya beres.Jadi setelah memastikan Titi memahami point pembicaraan, ia tak punya banyak hal untuk dikomentari dan langsung pergi.Menyisakan Titi yang terdiam karena posisinya belum aman selama ia masih bekerja di sini!•••Di sisi lain, Ryan melakukan rapat dengan Tristan.Keduanya tampak serius membicarakan masa depan startup garapan keduanya.Hanya saja, begitu selesai dan keluar ruangan, keduanya terkejut dengan kedatangan seseorang."Lo ngundang Queen ke sini?" tanya Tristan heran.Tunangan Ryan itu hampir tidak pernah ke perusahaan mereka.Belum lagi, status Queen yang merupakan model
"Ma! Kenapa Mama masih jualan kue? Padahal Mama udah kerja?"Titi sedang menghias kue ulang tahun yang dipesan oleh customernya sontak tersenyum mendengar pertanyaan Sifa."Buat tambahan, Sayang. Biar Sifa bisa makan enak," ujarnya.Sifa pun mengangguk meski masih tampak bingung.Hanya saja, satu hal yang Titi syukuri: Sifa tidak terlalu terpengaruh dengan keberadaan Ryan beberapa hari lalu. Saat dinasehati bahwa Ryan bukan ayah kandungnya pun, Sifa menurut tanpa banyak drama.Jujur, Titi tak tega sebenarnya. Namun, ia harus tegas mendidik Sifa agar tidak menjadi anak manja."Ma … kalau Papa Ryan bukan Papa aku, terus siapa Papa aku?" tanya Sifa tiba-tiba.Deg!Padahal baru saja Titi bersyukur Sifa tidak menanyakan tentang Ryan lagi.Kenapa tiba-tiba…?"Papa Sifa pergi jauh, entah kapan pulangnya. Jadi, Sifa gak perlu nunggu. Cukup jadi anak baik, semoga suatu hari kalo Papa Sifa pulang, Sifa bisa menyambutnya dengan baik."Sifa pun mengerucutkan bibirnya, ia tak suka dengan keadaan
"Gak mungkin, bjir! Pas kita ngobrol-ngobrol juga ada saat di mana dia nunjukkin kalo dia masih normal, kagak gay juga. Tapi lebih ke perasaan sih, dia tipe yang gak mau sama orang yang gak dia pengen," jelas Tristan yang kebetulan paling dekat dengan Ryan."Udah fix sih, kalo dia gagal move on," ujar Rey."Iya, tapi ngomong-ngomong. Lo gak nemenin bini lo?"Rey pun nyengir, kemudian pamit pergi. Gosip ini membuatnya sekejap lupa bahwa hari ini adalah harinya.Sepeninggalannya, pria-pria tampan itu mengobrolkan hal lain dan pulang sejam kemudian.Hanya saja, Tristan tampak kesal karena dirinyalah yang harus membawa pulang Ryan, sementara Steven pulang dengan Hans!•••"Tanam-tanam Ubi, tak perlu dibajak...."Sifa menyanyi dalam perjalanan mereka ke sekolah.Pagi-pagi sekali, Titi mengantarkan pesanan customernya. Setelah itu, bertolak naik angkot ke sekolah Sifa yang semi daycare itu."Seneng banget sih, anak Mama. Kenapa nih?"Namun, bukannya menjawab Sifa malah tertawa tidak jela
Wanita itu segera menggeleng, mencoba agar tidak terlalu percaya diri. Hanya saja, Ryan tiba-tiba berdiri dan membiarkan pintu kontrakan terbuka. Mungkin, ini efek ucapan Titi tadi? Entahlah…. Yang jelas, Ryan tiba-tiba mengambil bingkisan yang ia beli dan menyerahkan pada tetangga. Bahkan dengan luwes, Ryan mengobrol dengan tetangga-tetangga Titi yang sebenarnya jarang berinteraksi dengannya karena sama-sama sibuk. Ryan juga menjawab pertanyaan mereka dengan baik ketika ditanya siapa dia. Pria itu enjawab kalau ia teman kuliah Titi, sehingga ia main sekaligus kenalan dengan anaknya. Pandai sekali ia mengkondisikan semuanya. ‘Semoga tidak ada drama lain yang menyusul,’ batin Titi merasa tambah terbebani, ia bingung sekaligus merasa berhutang. Namun di depan Sifa, Titi berusaha untuk tidak melakukan konfrontasi apapun pada bos sekaligus mantan kekasihnya itu. **** "Sifa udah kenyang Ma, makanannya enak banget! Makasih Papi!" ujar Sifa bahagia. Tak butuh lama, mereka berti
Begitu tiba di kantor, Ryan sudah disambut pekerjaan yang menumpuk.Pria itu bahkan memijat keningnya sambil membaca dokumen.Melihat keadaannya yang buruk, sang sekretaris sontak memberinya air putih hangat."Minum dulu, Pak."Ryan tersenyum tipis dan meminum air itu dengan santai."Ada masalah, Pak?" tanya Vian memberanikan diri."No, hanya capek aja," jawabnya.Vian mengangguk.Hanya saja, dia merasa gelisah karena masalah dokumen-dokumen itu harus lekas selesai untuk besok pagi.Seolah tahu, Ryan langsung berkata, "Jangan khawatir, saya akan selesaikan ini. Kamu bisa keluar dan pulang saja."Vian pun pamit dan membiarkan bosnya sendiri di ruangannya. Ia sebenarnya tidak tega, tapi mau bagaimana lagi?Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 2 pagi. Vian sendiri sudah pulang empat jam yang lalu, tapi Ryan masih berkutat dengan dokumennya.Pekerjaannya sudah selesai, tapi setelah selesai ia malah memikirkan apa yang dikatakan oleh Titi padanya. Ia tidak bisa menyangkal kalau hatinya
"Aku gak pingin nyakitin kamu," lanjut Ryan. Queen masih tidak bisa menerima apa yang disampaikan oleh Ryan, meski ia tau kalau Ryan punya potensi untuk mengatakan itu. Karena perasaan Ryan padanya memang tidak ada, hati Ryan sudah diambil oleh orang lama. Ia terisak sejenak, meresapi dan mencoba tenang. Ryan tau Queen sedang menangis, tapi ia sudah jujur sejak awal, tapi Queen merasa bisa membuatnya jatuh cinta. Padahal setelah bertahun-tahun berlalu, itu tidak membuahkan hasil. "Jujur sama aku, pikiran putus itu ... datang karena kamu ketemu sama Titi kan?"Ryan menghela napas, pasti Queen akan seemosi itu. Harusnya ia membicarakan ini ketika pulang, ia lupa timingnya tidak tepat."Pasti gara-gara dia, kamu jadi kayak gini!"Ryan pun menjawab, "100% iya, tapi selama ini aku juga nunggu dia. Nunggu pertemuan kami, dan harusnya kalau kamu sudah tau aku jahat kamu, kamu bisa lihat sejak lama, bukan sekarang kamu baru ptotes! Aku udah jujur loh waktu itu!""Tapi kan setelah apa
Titi dan Tristan sampai di TK tempat Sifa sekolah, sementara itu Titi meminta agar Tristan tidak keluar karena ia tak ingin digosipi macam-macam.Orang-orang terlanjut taunya kalau Ryan adalah ayah Sifa, kalau ia tiba-tiba datang dengan pria lain, ia akan dikira selingkuh."Mama!" panggil Sifa keluar dari TK. Ia membawa plasstik bingkisan, berisi jajanan dan seplastik potongan cake. "Wah bawa apa tuh, Sayang?" tanya Titi. "Hehe... temenku ada yang ulang tahun, Ma. Jadi aku dan temen-temen dikasih jajan.""Sifa seneng?""Banget! Sifa seneng banget!"Sampailah mereka di mobil Tristan yang membuat Sifa heboh karena ad orang lain di sana. Tristan langsung menyapa, "Hai, Manis!"Sifa menoleh pada sang ibu seolah minta persetujuan.Tentu saja Sifa anak yang cerdas, ia akan selektif melihat orang baru."Hai, Om! Om siapa?" tanya Sifa malu-malu.Titi memangku Sifa di samping sopir, sementara Tristan menyetir sendiri. Ia masih menggunakan batik untuk kerja, jadi kelihatan agak lelah."Om n
Ryan memijat pelipisnya merasa pusing, bagaimana tidak? Ia merasa diteror karena ketidakhadirannya di acara makan malam tadi. Kini ia baru sampai Bandara dan mulai menuju ke hotel tempatnya akan singgah. Ia membenci saat-saat ini dan memilih mengabaikan semua panggilan yang mengganggunya itu.Untuk mengobati rasa tidak nyaman itu, Rayn pun berselancar di tabletnya yang memang ia isi dengan nomor yang tidak ia sebar ke keluarganya atau siapapun rekan kerjanya. Itu adalah nomor yang secara khusus ia gunakan hanya untuk agar tablet itu bisa mengakses internet jika tidak ada wi-fi. Di sana ia mencari tahu tentang Titi selama mereka berpisah.Ia memulai menelisuri dari media sosial, di sana hanya berisi tentang foto random, quote random, dan banyak sekali status Facebook atau cuitan di X yang tidak banyak menunjukkan cerita tentang masa lalunya.Namun, ketika ia menelusuri X sampai berjam-jam lamanya, ia mendapati beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan Titi. Titi berkata di cuita
"Eh bukan, Pak." Titi harusnya hati-hati saat tau Tristan yang datang, kenapa ia tak segera menyembunyikan keberadaan Sifa darinya? Pastilah Tristan salah paham. Wajah Sifa, jelas mirip Ryan. Terlalu mirip, sehingga membuat orang langsung mengira alau Sifa anak dari Ryan. "Terus kenapa mirip?" tanya Tristan. "Mirip memang, tapi dia bukan anak Ryan, Pak." "Papi Ryan?" Tamatlah sudah riawayat Titi, bagaimana bisa Sifa malah nyeletuk dengan panggilan 'Papi', yang jelas akan membuat Tristan semakin salah paham. . Setelah sejadian itu, Tristan jadi meminta penjelasan dari Titi, sehingga mereka bicara dan makan di suatu cafe saat jam istirahat. "Saya bukannya ingin ikut campur, tapi kamu tau dan posisi Ryan udah ada pasangan?" Titi mengangguk paham. "Saya mengerti, Pak. Saya tidak menyalahkan rasa penasaran Anda. Bahkan Pak Ryan sendiri juga mengira hal yang sama." "Kalian sempet ketemu sebelumnya berarti?" "Sudah agak lama." Tristan membiarkan Titi memikirkan jawaban
Begitu tiba di kantor, Ryan sudah disambut pekerjaan yang menumpuk.Pria itu bahkan memijat keningnya sambil membaca dokumen.Melihat keadaannya yang buruk, sang sekretaris sontak memberinya air putih hangat."Minum dulu, Pak."Ryan tersenyum tipis dan meminum air itu dengan santai."Ada masalah, Pak?" tanya Vian memberanikan diri."No, hanya capek aja," jawabnya.Vian mengangguk.Hanya saja, dia merasa gelisah karena masalah dokumen-dokumen itu harus lekas selesai untuk besok pagi.Seolah tahu, Ryan langsung berkata, "Jangan khawatir, saya akan selesaikan ini. Kamu bisa keluar dan pulang saja."Vian pun pamit dan membiarkan bosnya sendiri di ruangannya. Ia sebenarnya tidak tega, tapi mau bagaimana lagi?Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 2 pagi. Vian sendiri sudah pulang empat jam yang lalu, tapi Ryan masih berkutat dengan dokumennya.Pekerjaannya sudah selesai, tapi setelah selesai ia malah memikirkan apa yang dikatakan oleh Titi padanya. Ia tidak bisa menyangkal kalau hatinya
Wanita itu segera menggeleng, mencoba agar tidak terlalu percaya diri. Hanya saja, Ryan tiba-tiba berdiri dan membiarkan pintu kontrakan terbuka. Mungkin, ini efek ucapan Titi tadi? Entahlah…. Yang jelas, Ryan tiba-tiba mengambil bingkisan yang ia beli dan menyerahkan pada tetangga. Bahkan dengan luwes, Ryan mengobrol dengan tetangga-tetangga Titi yang sebenarnya jarang berinteraksi dengannya karena sama-sama sibuk. Ryan juga menjawab pertanyaan mereka dengan baik ketika ditanya siapa dia. Pria itu enjawab kalau ia teman kuliah Titi, sehingga ia main sekaligus kenalan dengan anaknya. Pandai sekali ia mengkondisikan semuanya. ‘Semoga tidak ada drama lain yang menyusul,’ batin Titi merasa tambah terbebani, ia bingung sekaligus merasa berhutang. Namun di depan Sifa, Titi berusaha untuk tidak melakukan konfrontasi apapun pada bos sekaligus mantan kekasihnya itu. **** "Sifa udah kenyang Ma, makanannya enak banget! Makasih Papi!" ujar Sifa bahagia. Tak butuh lama, mereka berti
"Gak mungkin, bjir! Pas kita ngobrol-ngobrol juga ada saat di mana dia nunjukkin kalo dia masih normal, kagak gay juga. Tapi lebih ke perasaan sih, dia tipe yang gak mau sama orang yang gak dia pengen," jelas Tristan yang kebetulan paling dekat dengan Ryan."Udah fix sih, kalo dia gagal move on," ujar Rey."Iya, tapi ngomong-ngomong. Lo gak nemenin bini lo?"Rey pun nyengir, kemudian pamit pergi. Gosip ini membuatnya sekejap lupa bahwa hari ini adalah harinya.Sepeninggalannya, pria-pria tampan itu mengobrolkan hal lain dan pulang sejam kemudian.Hanya saja, Tristan tampak kesal karena dirinyalah yang harus membawa pulang Ryan, sementara Steven pulang dengan Hans!•••"Tanam-tanam Ubi, tak perlu dibajak...."Sifa menyanyi dalam perjalanan mereka ke sekolah.Pagi-pagi sekali, Titi mengantarkan pesanan customernya. Setelah itu, bertolak naik angkot ke sekolah Sifa yang semi daycare itu."Seneng banget sih, anak Mama. Kenapa nih?"Namun, bukannya menjawab Sifa malah tertawa tidak jela
"Ma! Kenapa Mama masih jualan kue? Padahal Mama udah kerja?"Titi sedang menghias kue ulang tahun yang dipesan oleh customernya sontak tersenyum mendengar pertanyaan Sifa."Buat tambahan, Sayang. Biar Sifa bisa makan enak," ujarnya.Sifa pun mengangguk meski masih tampak bingung.Hanya saja, satu hal yang Titi syukuri: Sifa tidak terlalu terpengaruh dengan keberadaan Ryan beberapa hari lalu. Saat dinasehati bahwa Ryan bukan ayah kandungnya pun, Sifa menurut tanpa banyak drama.Jujur, Titi tak tega sebenarnya. Namun, ia harus tegas mendidik Sifa agar tidak menjadi anak manja."Ma … kalau Papa Ryan bukan Papa aku, terus siapa Papa aku?" tanya Sifa tiba-tiba.Deg!Padahal baru saja Titi bersyukur Sifa tidak menanyakan tentang Ryan lagi.Kenapa tiba-tiba…?"Papa Sifa pergi jauh, entah kapan pulangnya. Jadi, Sifa gak perlu nunggu. Cukup jadi anak baik, semoga suatu hari kalo Papa Sifa pulang, Sifa bisa menyambutnya dengan baik."Sifa pun mengerucutkan bibirnya, ia tak suka dengan keadaan
"Saya gak akan marahin kamu atau apapun itu ya, Ti. Hanya saja, Pak Ryan biasanya gak sesabar itu ngadepin kita. Sayangnya, pertanyaanmu tadi seolah merasa terganggu. Saya harap kamu memperhatikannya kembali."Mendengar wejangan sang manager, Titi pun mengangguk. "Iya, Bu. Saya paham."Untungnya, Bu Kikan bukan tipe atasan galak atau banyak bicara. Ia tipe bos yang santai dan asal pekerjaan bawahannya beres.Jadi setelah memastikan Titi memahami point pembicaraan, ia tak punya banyak hal untuk dikomentari dan langsung pergi.Menyisakan Titi yang terdiam karena posisinya belum aman selama ia masih bekerja di sini!•••Di sisi lain, Ryan melakukan rapat dengan Tristan.Keduanya tampak serius membicarakan masa depan startup garapan keduanya.Hanya saja, begitu selesai dan keluar ruangan, keduanya terkejut dengan kedatangan seseorang."Lo ngundang Queen ke sini?" tanya Tristan heran.Tunangan Ryan itu hampir tidak pernah ke perusahaan mereka.Belum lagi, status Queen yang merupakan model