"Pengumuman! Pengumuman! Kami dari Kerajaan Strong saat ini sedang mencari seorang perawat kuda untuk merawat kuda-kuda Pangeran Alden, Putra Mahkota Kerajaan Strong. Ini tak terbatas untuk siapapun, pria atau wanita, tua atau muda, yang terpenting adalah ia memiliki keahlian merawat kuda dengan baik. Mulai besok akan dimulai test untuk itu. Upah yang akan diberikan pihak kerajaan adalah sebesar 20 koin emas setiap bulannya untuk siapa yang menjadi perawat kuda Pangeran Alden. Sekian dan terima kasih!”
Lalu rombongan utusan dari Kerajaan Strong langsung meninggalkan pasar.
Keriuhan pun mulai terjadi.
“Aku akan mencobanya!” Lelaki tua berhidung bulat berteriak lantang dengan penuh percaya diri kepada orang-orang di sekitarnya.
“Kau bisa apa, Jerry? Urus saja daganganmu!” Wanita tua berambut keriting terlihat kesal terhadap lelaki itu.
“Aku juga ingin mencobanya, karena upahnya sangat menggiurkan sekali," terdengar suara lainnya.
“Jangan bermimpi untuk itu! Memegang seekor kucing kecil saja kau tak berani, apalagi harus memegang seekor kuda yang tubuhnya jauh lebih besar dari seekor anak kucing.” Pemuda bernama Megan tertawa mengejek.
Alice dan Putri Kimberley hanya tersenyum saja mendengar keriuhan itu.
“Ayo, sekarang kita pulang! Gaun dan sepatumu sudah kita dapatkan!”
“Baik, Bu!” Putri Kimberley menepis tangan Alice, dan langsung berlari meninggalkan ibunya.
“Ibu, maaf aku harus segera sampai ke hutan, karena aku sangat merindukan dua sahabatku, Jessy dan Rury. Mereka pasti sedang menantiku!” teriaknya lagi sambil terus berlari sambil mengangkat gaunnya, terlihat ia kepayahan mengayuhkan langkahnya karena sepatu yang dikenakannya kebesaran.
“Hati-hati Kim!”
Bruuuukkk!
“Kim! Kamu kenapa?"
***
“Biar Ibu obati lukamu!” Alice membaluri luka di kedua lutut putrinya.
“Auuww, sakit, Bu!” Putri Kimberley meringis menahan sakit.
“Kau tidak mendengar kata Ibu tadi!"
“Maaf, Bu, tadi aku ingin cepat-cepat sampai di tempat kita, karena aku sudah sangat merindukan Jessy dan Rury. Aku pun tadi sudah sangat bosan berada di pasar itu.”
“Kenapa?”
“Banyak orang-orang aneh di sana!” jawab gadis itu.
“Orang-orang memang seperti itu, sering bertingkah aneh. Sekarang coba kau kenakan gaun dan sepatu yang baru kita beli tadi!”
Putri Kimberley dengan semangat mencoba gaun dan sepasang sepatu cantik yang mereka beli tadi.
“Wow, betapa cantiknya kau, Sayang! Kau dengar ucapan Deke si pedagang pakaian tadi, katanya kau lebih cantik dari Putri Juliette anak si selir licik itu.
“Terima kasih, Bu! Ya, tadi aku memang mendengar ia berbicara seperti itu.” Putri Kimberley terlihat bangga mendengar pujian dari ibunya.
“Kim, sekarang duduklah di dekat Ibu. Ibu ingin berbicara padamu!”
Putri Kimberley langsung mendekat pada ibunya.
“Ada apa, Bu?”
“Kim, kau harus ikut tes pemilihan untuk menjadi perawat kuda Pangeran Alden.”
“Tapi, Bu, bagaimana dengan kau dan teman-temanku di sini?” Wajah Putri Kimberley tampak cemas.
“Tidak usah kau pikirkan itu. Hutan sudah menjadi bagian dari hidup kita. Jadi tak ada yang perlu kau khawatirkan terhadap diriku!” Dengan tegas Alice menolak alasan sang putri.
“Tapi, untuk apa aku harus menjadi perawat kuda Pangeran Alden, Bu?”
“Agar kau pelan-pelan bisa kembali ke istana ayahmu. Nanti akan ibu tunjukkan caranya.”
“Aku ...”
“Tak usah membantah, Kim! Dengarkan Ibu. Ibu lebih tahu soal itu!”
Putri Kimberley hanya mampu menundukkan kepalanya, sebenarnya ia berat sekali jika harus meninggalkan kehidupannya di hutan, yang baginya sangat menyenangkan. Tapi ia tak mungkin menolaknya, karena melihat mimik wajah sang ibu yang kini tampak menyeramkan.
“Dengar, Kim, besok pagi-pagi sekali kau harus bangun, kenakan gaun sederhana untuk menutupi kecantikanmu. Ingat tak boleh ada yang tahu siapa dirimu yang sebenarnya. Tetap katakan namamu Wilona, dan katakan pada mereka bahwa kau anak seorang petani miskin. Tunjukkan kemampuanmu dalam merawat kuda. Saat kau memenangkannya, bekerjalah dengan keras. Sampai kerja kerasmu itu bisa membawamu masuk ke dalam kerajaan ayahmu kembali, Kerajaan White Tiger.” Alice mendekatkan wajahnya ke wajah Putrinya. Tatapannya tajam penuh kebencian dan dendam di masa lalu.
"Tapi, Bu?"
"Tidak usah membantahku!" teriak Alice. *** “Jessy, antarkan Putri Kimberley sampai ke tepian hutan! Baru setelah itu kau harus kembali!” Alice mengelus-elus punggung kuda putih itu. “Ngiiiiiikkkk ... ngiiiiikkkk ...” Jessy meringkik seolah mengerti perintah Alice. Meski berat, akhirnya Putri Kimberley naik ke punggung Jessy, kuda putih yang manis, yang selalu setia padanya. Putri Kimberley pun melambaikan tangan pada Alice. Alice membalas lambaian tangan putrinya itu sambil matanya tampak berkaca-kaca. Haaaap ... haaaaap ... haaaaap ... si gendut Rury pun ikut mengejar tuannya. Sampai di tepi hutan, Jessy menghentikan larinya, Putri Kimberley pun langsung melompat turun dari punggung kuda itu. “Terima kasih Jessy, Sayang! Doakan aku bisa berhasil menjadi perawat kuda Pang
“Wilona!” “Hm, ya, Nyonya Dorothy?!” Putri Kimberley tak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari foto yang terpasang di dinding ruangan itu. “Wilona, maaf, kau harus lama menungguku!” “Tidak masalah, Nyonya Dorothy!” Wilona kembali duduk. “Hei, Nona cantik, ayo ke meja makan dulu!” “Tunggu sebentar, Nyonya Dorothy!”, “Ada apa lagi, Wilona?” Nyonya Dorothy heran saat dilihatnya mata Wilona tak berkedip memandang foto yang ada di dinding ruangan itu. “Ada yang salah dengan foto itu?” tanyanya lagi dengan nada penasaran. “Oh, tidak Nyonya. Aku hanya ingin bertanya tentang itu!” tangan Putri Kimberley menunjuk ke arah foto yang dari tadi mencuri perhatiannya itu. “Itu foto! Itu namanya foto, Wilona. Itu fotoku bersama keluarga kerajaan White Tiger. Itu aku yang berdiri paling
“Wilona, inilah Istana Kerajaan Strong. Aku hanya bisa mengantarkanmu sampai di sini, karena orang yang tidak berkepentingan tidak bisa masuk ke dalamnya. Jaga dirimu baik-baik Wilona. Suatu saat datanglah ke rumah kami lagi!” Lalu Fredy menghentakkan cemeti kudanya, lalu kuda itu pun berlari membawa kereta yang ditumpanginya itu dan meninggalkan Putri Kimberley sendirian. Putri Kimberley lalu memberanikan diri melangkah menuju pintu gerbang istana itu. “Nona, ada kepentingan apa kau datang ke istana ini?” Seorang pengawal kerajaan yang sedang berjaga di pintu itu mendekati Putri Kimberley. “A-a-a-aku ingin mengikuti tes untuk menjadi seorang perawat kuda Pangeran Alden. Apa aku bisa masuk?” Putri Kimberley menunduk tak berani menatap wajah pengawal itu. “Apa kau yakin? Semua yang mengikuti tes tadi adalah lelaki. Tak ada satu orang pun yang wanita.” Pengawal itu menatap heran
"Sabar dulu …" jawab Chaiden sambil mendengus. Lalu kembali berucap. “Siapa namamu gadis kumal?” “Wilona, Tuan!” “Wah, namamu indah sekali! Seindah paras wajahmu!” Wilona menatap tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ternyata lelaki bermulut besar itu bisa juga memuji dirinya. “Terima Kasih, Tuan!” “Wilona coba kau masuk ke kandang! Bawa Ruby dan Daren keluar. Buat mereka tidak ketakutan saat kau menyentuhnya!” Kali ini tanpa ragu Putri Kimberley langsung masuk ke kandang kuda itu. Kemudian dengan penuh kasih sayang ia mengelus-elus tubuh kedua kuda itu bergantian. Ruby dan Daren langsung menggesek-gesekkan kepala mereka ke pipi Putri Kimberley yang putih mulus. Putri Kimberley bukannya jijik, ia malah tertawa hangat sambil terus mengelus-elus tubuh kedua kuda itu. Lalu perlahan-la
"Ayo, kita segera pergi dari tempat ini, Tuan Putri!" Tangan kekar Gavin mengajak perempuan yang sedang dikuasai oleh amarah itu untuk segera keluar dari Istana Kerajaan Strong. “Sial, bukankah gadis itu terlalu cantik untuk menjadi seorang perawat kuda Pangeran Alden, Gavin?” Putri Juliette memukul-mukul pahanya. Gavin dengan hidung tomat dan pipi bulatnya hanya menggeleng. Di dalam kereta kudanya ia terus memaki-maki Putri Kimberley. Di matanya Putri Kimberley terlalu cantik, meski Putri Kimberley telah menyembunyikan kecantikannya di balik gaun lusuh dan sepatu kebesaran milik ibunya. “Aku takut kekasihku tertarik dan jatuh cinta padanya. Aku tak bisa membiarkan ini! Gavin, ayo kencangkan lari kudamu! Aku ingin lebih cepat bisa sampai di istanaku!” “Baik, Putri Juliette yang cantik!" Lalu Gavin hentakkan cemeti kudanya dengan sangat keras sekali.
"Maaf, Permaisuri Zelena, apakah kau memanggilku?" Emilly menunduk dengan penuh rasa hormat. "Emilly, aku tidak memanggilmu. Atau jangan-jangan kau sedang mencuri dengar percakapan kami?!" Zelena membesarkan matanya, ia takut kalau pembicaraannya dengan sang putri didengarnya. Zelena tahu di dalam istana Kerajaan White Tiger banyak sekali dinding-dinding yang bisa mendengar pembicaraannya. Zelena tak ingin ada penyusup dalam istana ini yang bisa membuat dirinya dan putrinya, Juliette tersingkir dari dalam istana. "Tidak, Permaisuri. Saya hanya mendengar nama saya tadi di panggil dari arah kamar ini." Wajah gadis itu terlihat tegang seperti sedang menahan ketakutannya. Justru itu membuat Zelena dan Putri Juliette semakin heran. "Ibu, aku curiga dengan dia! Aku yakin dia sedang memata-matai kita," ujar Putri Juliette sambil berkeliling di tempat Emilly berdiri. &nbs
Sambil menunggu Emilly kembali dari kamarnya, Daroll dan Jose saling berpandangan. "Ini Paman, syaratnya!" Tak perlu menunggu lama, akhirnya gadis itu keluar sambil membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu? Itu kan hanya sebuah boneka?" Keduanya semakin dibuat heran dengan tingkah lucu Emilly. "Yah, ini hanya sebuah boneka bagi kalian. Tapi, teman bagiku!" Emilly memeluk tubuh boneka kecilnya itu dengan sangat erat. Boneka berbentuk gadis kecil dengan rambut yang dikepang dua itu, memang terlihat lucu dan menggemaskan sekali. "Lalu?" Jose mendekat pada Emilly dan menyentuh boneka itu. "Aku ingin membawanya juga ke istana. Itu kalau boleh, tapi sebaliknya kalau tidak boleh, maka aku terpaksa tidak bisa menerima tawaran kalian untuk menjadi mata-mata Permaisuri Zelena dan Putri Juliette." Bibir tipis Emilly tampak maju sedikit. Membuat wajahnya kian lucu saja
"Paman Jose, Paman Daroll, kalian dipanggil oleh Sang Raja untuk menghadapi di dalam istana," suara teriakan itu tentu saja membuat Daroll tidak bisa meneruskan kalimatnya, padahal Jose sudah menunggu dan merasa sangat penasaran sekali dengan kelanjutan kalimat sahabatnya itu. "Ada apa Raja memanggil kami, Robin?" tanya Jose sambil menyipitkan sedikit kelopak matanya. Dan ia juga memandang wajah Daroll. Daroll mengangkat bahunya sedikit, seolah ingin menunjukkan bahwa ia juga tidak tahu kenapa Sang Raja meminta mereka untuk memanggil mereka untuk menghadapinya. "Aku juga tidak tahu, Paman!" Robin dengan sopan mendekat pada kedua orang yang dari tadi ia cari. "Terima kasih kalau begitu, Robin!" seru Daroll, sambil tangannya menarik lengan baju sahabatnya, Jose. Jose akhirnya ikut saja. Ia tak ingin berlama-lama jika Sang Raja memintanya untuk menghadap padanya. Sa