Ketiganya langsung serentak mengarahkan pandangannya mereka ke arah suara itu.
Jantung Jose dan Daroll semakin berdetak kencang, saat suara itu kian dekat menembus pepohonan yang ada di sekitar mereka.
"Ibu!" Seorang gadis cantik berambut pirang berseru di atas punggung kuda berwarna putih yang ditungganginya.
"Kim!" Alice membalas panggilan gadis itu, yang ternyata adalah Putri Kimberley.
Daroll mengucek-ngucek kedua matanya. Ia seperti ingin memastikan siapa sebenarnya gadis penunggang kuda itu.
"Diakah Putri Kimberley? Berarti …?" Mulut Daroll ternganga seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Ada apa kau daroll?" Jose menoleh pada sahabatnya, selagi Alice dan putrinya saling berangkulan. Sepertinya kerinduan yang mereka pendam dalam hati mereka sudah terlalu besar.
"Itukan Wilona, si gadis perawat
Selagi keduanya kebingungan. Putri Kimberley tiba-tiba bersuara,"besok pagi-pagi sekali kita akan sama-sama keluar dari hutan ini. Aku pastikan akan aman-aman saja. Dan tentunya tak akan ada yang menaruh curiga pada kalian berdua, Paman!" "Baiklah, kami akan menginap di sini. Karena sebenarnya kami juga sangat takut dengan binatang-binatang buas yang bisa saja akan memangsa kami." Jose akhirnya mengalah demi keselamatan mereka. "Horeee! Itu artinya kita bisa bercerita sepanjang malam!" teriak gadis itu kegirangan layaknya anak kecil. "Tapi kenapa kamu kembali dari Kerajaan Strong, Putri?" Daroll yang dari tadi tak pernah melepas pandangannya pada Putri Kimberley akhirnya bersuara juga. "Seminggu sekali aku mendapat jatah libur dari Tuan Chaiden. Tapi besok pagi-pagi sekali aku harus kembali lagi, sebab kedua kuda Pangeran Alden yang manis-manis itu
"Eh-eh-ti-tidak, Tuan. Maksudku, aku sebentar lagi akan bertemu ayahnya Putri Juliette. Ayahnya seorang raja di Kerajaan White Tiger kan?" Putri Kimberley membuang mukanya, dan langsung masuk ke kandang Ruby dan Daren. "Oh, kalau bicara yang jelas, Wilona! Jangan membuat aku bingung." Chaiden lantas meninggalkan tempat itu, sebab masih banyak pekerjaan yang harus ia kerjakan lagi. "Untung saja Tuan Chaiden tak banyak tanya tentang apa yang kukatakan tadi. Ups … Kim jangan bicara bodoh lagi kau!" ucap Putri Kimberley pada dirinya sendiri. Setelahnya, seperti biasa gadis itu dengan sangat cekatan merawat dua ekor kuda milik Pangeran Alden. Tak ada yang sulit baginya saat melakukan pekerjaannya itu. Ia yang sudah terbiasa bersahabat dengan hewan-hewan di dalam hutan, membuatnya mudah melakukan pekerjaan itu. "Ayo, kita mandi dulu, Manis?" Putri Kimberley mengajak kedua kuda
"Kenapa dia?" Salah seorang pengawal istana Kerajaan White Tiger berseru, dan meminta kepada Putri Kimberley untuk diam, sebab acara penyambutan tamu sedang berlangsung. Acara seperti ini memang wajib dilakukan di setiap kerajaan setiap kali ada tamu kehormatan yang datang berkunjung ke istana mereka. Seperti saat ini Pangeran Alden sedang disambut oleh Raja Rehard. "Oooohhh, tampan sekali Ayahku!" Matanya membesar saat melikat lelaki yang ditunjuk oleh Chaiden tadi. Sungguh gagah Raja Rehard dengan jubah yang di lapisi serpihan emas murni. Hingga Putri Kimberly seperti tidak menggubris peringatan dari salah seorang pengawal istana Kerajaan White Tiger barusan. "Wilona? Apakah kau sedang bermimpi dengan mengatakan bahwa Raja Rehard adalah Ayahmu?" Chaiden mencibirkan bibirnya pada putri Kimberley, hingga kumis tebal berwarna pirangnya naik sedikit menempel ke lubang hidungnya. "O
"Sudah diamlah kau!" teriak Jose kencang. Untung saja suara orang-orang terdengar sangat riuh sekali membicarakan tingkah aneh Wilona alias Putri Kimberley, sehingga suaranya saat memanggil Jose dan Daroll dengan sebutan paman tadi tidak terdengar sama sekali oleh mereka. "Ayo, ikut kami!" Daroll membantu menyeret Putri Kimberley. Semua mata memandangi mereka, lalu kembali menekuni acara penyambutan yang sempat tertunda tadi. Tingkah Putri Kimberley sungguh diluar dugaan semua orang. "Putri, kenapa kau bertingkat bodoh seperti itu? Beruntung semua orang menganggap kau tak waras. Jadi hanya ini lah hukuman untukmu!" Jose berbisik pada Putri Kimberley. "Paman aku tidak dapat menguasai diri saat aku melihat Ayah kandungku ada di dekatku. Bahkan pesan Ibu saja aku lupa," suara Putri Kimberley terdengar lirih, sepertinya ia menyesali sikap bodohnya tadi.
Langkah kaki renta itu kian dekat dengan Wilona alias Putri Kimberley. "Ehem … ehem." Sempat ia berdehem dua kali sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bertanya pada gadis yang ada di hadapannya itu. "Hai, gadis?" sapanya dengan suara lembutnya. "Nyonya?" Putri Kimberley sadar ada yang sedang menyapanya. Kemudian ia abaikan dulu makanan yang sedang ada di piring yang ada di tangannya. "Dari mana asalmu, gadis?" Mata tuanya tak berkedip sedikitpun mengamati garis wajah Putri Kimberley yang menurutnya sangat istimewa itu. "Hm, dari desa yang letaknya di pinggiran hutan, Nyonya," jelasnya berbohong. Sebab ia bingung sekali untuk menyebutkan tempat tinggalnya yang sebenarnya. "Katakan namamu Wilona, dan katakan saja kalau kau adalah anak seorang petani miskin," itu pesan ibunya sebelum ia berangkat pertama kali menuju Istana Ke
"Pam …" Putri Kimberley kembali membungkam mulutnya, saat dilihatnya lelaki yang menahan tangan Zelena itu adalah Daroll. Daroll memberi isyarat pada Putri Kimberley untuk tidak melanjutkan ucapannya."Daroll, lepaskan tanganku. Atau kuadukan perbuatanmu ini pada Suamiku. Apakah kau lupa siapa Suamiku?" Dengan senyum pongahnya Zelena menghentakkan tangannya dari cengkeraman Daroll.Perlu diingat, bahwa Daroll menyimpan dendam yang sangat besar pada Zelena. Karena Zelena telah membuatnya mendekam selama belasan tahun dalam penjara bawah tanah, oleh karena fitnah keji wanita laknat ini.Tapi demi mendengar ancaman wanita itu, Daroll bergeming dan beringsut dari tempat itu. Daroll tak ingin lebih jauh berurusan dengan wanita berhati iblis ini. Baginya bukan ini cara melawannya, tapi melawannya harus dengan kecerdasan."Tunggu saja saat yang tepat kau harus mendekam dalam penjara baw
Nyonya Rebecca, kenapa kau kembali ke kamarmu lagi?" Emilly yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya memandangi Rebecca yang sedang menuju ke kamarnya. "Zelena yang memintaku untuk kembali ke kamar!" Wajah itu terlihat redup, dan memilih diam saat Emilly mendatanginya. "Bukankah semua orang di dalam istana ini juga diminta oleh Raja untuk berkumpul di sana? Setidaknya untuk menikmati sajian istimewa yang disajikan oleh koki istana," ucap Emilly dan berhenti tepat di hadapan wanita tua itu. "Betul, tapi bukan Zelena namanya jika tidak merusak kesenangan orang lain." Rebecca mencibirkan bibirnya sedikit. "Sabar saja Nyonya. Sama seperti aku yang juga harus berusaha menahan hati saat berada di dekat Zelena." Entah kenapa Emilly selalu merasa nyaman saat sedang berdekatan dengan wanita tua ini. Wanita yang sudah c
Keduanya lalu saling berpandangan. "Ayo kita lihat keluar!" Rebecca menarik tangan Emilly. Dan gadis itu pun bangkit, lalu berjalan mengikuti Rebecca. Mereka angkat gaun mereka sedikit, agar mereka dapat dengan mudah berlari menuju ke halaman samping istana untuk melihat apa yang sedang terjadi. Keriuhan mulai terdengar. Suara derap langkah kaki kuda pun memekakkan telinga. "Ada apa ini sebenarnya?" Rebecca bergumam, sambil sepasang kaki tuanya terus berlari menuju ke tempat itu. "Kita lihat saja nanti, Nyonya!" Napas Emilly tersengal, sangat susah payah ia mengaturnya. Saat sampai di pintu samping istana, keduanya terperanjat saat mereka lihat kuda-kuda berlarian kian kemari. Ringkikan mereka pun jadi satu dengan suara derap langkah mereka.