"Tentu saja aku tak akan menolaknya!" jawab Adam dengan antusiasnya.Lusiana pun tertawa kecil menanggapi ucapan Adam. Lalu ia mengangkat kepalanya dari atas dada Adam yang atletis itu. Dan terlentang di sampingnya."Pelan–pelan ya," ucap Lusiana, dengan lembutnya.Adam tersenyum. Lalu mengangkat tubuhnya dan bersiap untuk sebuah permainan.Di bawah siraman sinar rembulan, dari balik jendela yang terbuka lebar sesekali bergoyang dipermainkan angin malam.Mereka memadu kasih di atas ranjang bertabur bunga. Kasur yang bergetar seiring suara desahan nafas yang menderu. Seakan mengisyaratkan sebuah kenikmatan dari sebuah peraduan.Hingga tak terasa, malam semakin larut. Mereka masih juga terjaga, tenggelam dalam puncak asmara.***Di kala pagi telah menjelang. Secercah sinar menyelinap masuk melalui jendela yang terbuka lebar.Adam membuka matanya perlahan. Dan mendapati Lusiana yang begitu cantik telah rapih tengah duduk di hadapan meja rias sedang berdandan."Lusiana, kamu sudah bangun
"Astaga!""Dody!"Adam seketika berlari ke arah tubuh Dody yang terbujur kaku.Lalu ia memperhatikan sekujur tubuhnya. "Aku lihat tak ada sama sekali luka di tubuh Dody. Ini menjadi tanda tanya besar. ""Pengawal, cepat panggil polisi. Biar tim mereka yang menanganinya," Adam memerintahkan Sang Ajudan."Siap Pak!" jawab pengawalnya. Lalu ia langsung menelepon polisi.Beberapa saat kemudian, polisi pun datang ke unit apartemen. Police line dibentangkan.Seorang kepala unit reserse menghampiri Adam. "Selamat siang Jendral Adam, kami akan mengusut tuntas kasus ini. Kami akan memegang penuh kepercayaan Jendral kepada kami.""Terima kasih. Saya harap anda bisa mengabarkannya langsung kepada saya setelah keluar hasil penyelidikan," ucap Adam."Siap, Kami tidak akan menyembunyikan apapun kepada Bapak," ucap kepala reserse itu.Adam tersenyum. Lalu menepuk pundaknya. "Baiklah, saya harus pergi. Saya harap kasus ini dapat terungkap sampai ke akarnya," ucap Adam."Baik Pak, percayakanlah pada k
"Setelah dilakukan otopsi. Kami menemukan adanya zat berbahaya dalam tubuh Bapak Dody. Kami menduga adanya unsur kesengajaan dari seseorang dengan menggunakan alat yang disuntikkan ke tubuh beliau," ucap seorang dari tim forensik."Apakah sudah ditemukan sidik jari atau sebuah barang bukti dari lokasi kejadian?" tanya Adam."Tidak, kami tak menemukannya. Kami kira seseorang ini merupakan pembunuh profesional. Dia dapat menghilangkan jejak. Bahkan bau dari mayat itu sendiri.""Tapi kami berjanji, setelah ini kami akan melakukan investigasi lebih dalam untuk mengungkap siapa dalang dari pembunuhan ini Pak," ucap seorang dari tim Forensik kepolisian."Saya mengapresiasi kinerja kepolisian dalam hal ini. terima kasih banyak telah membantu kami. Yasudah, aku akan pergi. sampai jumpa," ucap Adam, seraya berdiri dari bangku besi.Lalu ia berjabat tangan dengan seorang tim Forensik yang merupakan perwakilan."Terima kasih juga Pak. Kami sangat mengapresiasi usaha Bapak dalam membantu kami," u
Adam berhasil menembak mati seorang pengkhianat yang menodongkan senjatanya ke kepala Paul.Suara letupan senjata itu membuat Lusiana histeris.Lalu Adam mengarahkan pucuk senjatanya ke kepala sang pengawal yang mengendarai mobil."Maaf Pak, saya bukan pengkhianat. Saya diancam oleh orang tersebut!" ucap Pengawal itu."Bohong kamu! Kalau kau bukan pengkhianat kenapa kau menuruti saja perintahnya! Kau juga bersenjata!" Seru Adam."S–saya...""Sudah! Jangan banyak beralasan! Hentikan mobil ini sekarang!" seru Adam. "Ba–baik Pak," ucap seseorang itu dengan gemetaran.Sementara kaca jendela di sisi kanan masih terbuka lebar setelah Adam berhasil memasukinya.Dari belakang mobil yang melaju cepat, ternyata para pemberontak telah mengikutinya dan melajukan mobil ke arah kaca yang terbuka lalu mengarahkan senjatanya.Adam langsung menutup kaca jendela mobil rapat–rapat untuk melindungi Lusiana dan Paul.Darr!Satu tembakan ke arah kaca mobil dapat dibendung dengan kaca anti peluru."Ku kata
Adam mengambil sebatang cerutu dari atas meja. Lalu menghisapnya dengan perlahan.Pandangannya seketika menoleh ke arah sang kepala pelayan yang tengah berdiri di sampingnya."Kepala pelayan. Tolong buatkan aku kopi hitam," ucapnya."Siap pak, mohon ditunggu sebentar," ucap sang kepala pelayan. Lalu ia melangkah ke arah dapur.Beberapa saat kemudian, seorang pelayan cantik dengan rambutnya yang terurai membawa nampan berisi secangkir kopi."Ini Pak Kopinya," ucapnya dengan lembut.Dengan perlahan-lahan ia meletakkan secangkir kopi itu ke atas meja."Terima kasih ya," ucap Adam, tersenyum lalu mengambil secangkir kopi hitam di hadapannya.Pelayan itu pun tersenyum, lalu berbalik badan menuju ke arah dapur.Adam lantas menyeruput kopi hitam itu dengan nikmatnya. Dengan ditemani sebatang cerutu pada jemarinya.Tiba-tiba Paul menghampiri. "Ayah!" teriak Paul memanggil. Lantas Adam tersenyum dan mengusap rambut anak itu."Dimana ibumu?" Tanya Adam."Ibu sedang menelepon temannya di kamar,
"Sudahlah, dari pada kau terus ikut campur. Lebih baik kau diam saja. Kau tak akan mengerti dengan cara berfikir kami!" ucap Jendral Rio."Aku tetap tidak setuju apapun alasannya. Satu nyawa manusia tak ada artinya dengan kekuasaan sekalipun!" tegas Adam."Pasukan! Habisi satu makhluk ini! Aku tak ingin lagi dia ada di Negeri ini!"Seketika Pasukan Pemberontak yang ikut dengan Jendral Rio melepaskan tembakan ke arah Adam.Namun, Adam seketika melesat cepat bagaikan kilat. Hingga tak ada satu butir pun yang dapat mengenai tubuhnya.Sontak saja Rio terkejut memandangnya. Ia tak menyangka Adam yang dulu hanyalah dipandang remeh oleh teman-temannya kini menjelma bak mesin pembunuh.Rio menggeleng-gelengkan kepala. Lalu berkata, "Luar biasa. Aku baru melihat orang sepertimu. Dulu kau hanyalah sampah. Tapi kini kau benar-benar membuatku tertegun. Tapi jangan senang dulu. Aku ada sesuatu untukmu!" seru Rio.Seketika ia menepuk tangannya. Tiba-tiba muncul seseorang dari arah luar ruangan. Ia
"Bagus Rudolf, bunuh satu benalu itu!"Rio tampak begitu bersemangat kala melihat Rudolf kembali melangkah menghadapi Adam.Namun Adam dengan santainya menyilangkan kedua tangan memandang Rudolf."Adam Rudiant! Jangan salahkan aku jika tanganku ini dibasahi oleh darahmu! Matamu akan ku congkel hingga keluar!"Rudolf tampak terbelalak mata dan tersenyum lebar. Dan seketika mengeluarkan sebilah belati dari balik punggungnya.Ia terus mengarahkan ujung belati itu ke arah wajah Adam.Dan tiba-tiba, ia menghunuskannya ke arah bola mata Adam.Namun, Sang Panglima dapat mengelak secepat kilat. Lalu menggenggam tangan Rudolf yang menggenggam belati itu hingga mereka saling tarik menarik.Dan Rudolf terus berusaha menekan belati itu ke arah wajah Adam.Kekuatan Rudolf memanglah tidak bisa dianggap remeh. Kali ini Adam harus lebih mengerahkan tenaganya untuk menahan tangan besar Rudolf yang besar itu.Di saat perhatian Rudolf terpusatkan pada belati yang hendak ditusukkan. Adam langsung menghan
Berjam-jam telah dilewati. Hingga malam semakin larut dan hampir menuju ke pergantian hari.Di Rumah kediaman Adam, Paul dan Lusiana menunggu dengan harap-harap cemas di ruangan depan."Ibu, ayah kenapa belum pulang juga?" tanya Paul."Mungkin ayah sedang disibukkan oleh tugasnya Nak," jawab Lusiana. Raut wajah Paul seperti tak tenang. Lusiana lantas memeluk anak itu untuk mencoba menenangkannya.Seorang pengawal menghampiri Lusiana yang tengah duduk di bangku sofa."Maaf ibu Lusiana, Apakah ibu tau kabar Bapak Adam? Kenapa ponselnya tidak aktif?" tanya Pengawal itu.Lusiana pun menunjukkan raut wajah khawatirnya. "Aku juga tidak tau pengawal. Tolong cari tau dia," ucap Lusiana."Baik Bu, kami akan berusaha mencari tau. Kami ke markas Militer dulu di pusat kota," ucap seorang pengawalnya."Iya Pak, tolong ya," ucap Lusiana, memohon."Baik Bu, kami segera kesana. Harap ibu tenang menunggu di sini," ucap pengawal itu.Lalu ia melangkah ke arah luar rumah.Di depan telah menunggu bebera