Adam mengambil sebatang cerutu dari atas meja. Lalu menghisapnya dengan perlahan.Pandangannya seketika menoleh ke arah sang kepala pelayan yang tengah berdiri di sampingnya."Kepala pelayan. Tolong buatkan aku kopi hitam," ucapnya."Siap pak, mohon ditunggu sebentar," ucap sang kepala pelayan. Lalu ia melangkah ke arah dapur.Beberapa saat kemudian, seorang pelayan cantik dengan rambutnya yang terurai membawa nampan berisi secangkir kopi."Ini Pak Kopinya," ucapnya dengan lembut.Dengan perlahan-lahan ia meletakkan secangkir kopi itu ke atas meja."Terima kasih ya," ucap Adam, tersenyum lalu mengambil secangkir kopi hitam di hadapannya.Pelayan itu pun tersenyum, lalu berbalik badan menuju ke arah dapur.Adam lantas menyeruput kopi hitam itu dengan nikmatnya. Dengan ditemani sebatang cerutu pada jemarinya.Tiba-tiba Paul menghampiri. "Ayah!" teriak Paul memanggil. Lantas Adam tersenyum dan mengusap rambut anak itu."Dimana ibumu?" Tanya Adam."Ibu sedang menelepon temannya di kamar,
"Sudahlah, dari pada kau terus ikut campur. Lebih baik kau diam saja. Kau tak akan mengerti dengan cara berfikir kami!" ucap Jendral Rio."Aku tetap tidak setuju apapun alasannya. Satu nyawa manusia tak ada artinya dengan kekuasaan sekalipun!" tegas Adam."Pasukan! Habisi satu makhluk ini! Aku tak ingin lagi dia ada di Negeri ini!"Seketika Pasukan Pemberontak yang ikut dengan Jendral Rio melepaskan tembakan ke arah Adam.Namun, Adam seketika melesat cepat bagaikan kilat. Hingga tak ada satu butir pun yang dapat mengenai tubuhnya.Sontak saja Rio terkejut memandangnya. Ia tak menyangka Adam yang dulu hanyalah dipandang remeh oleh teman-temannya kini menjelma bak mesin pembunuh.Rio menggeleng-gelengkan kepala. Lalu berkata, "Luar biasa. Aku baru melihat orang sepertimu. Dulu kau hanyalah sampah. Tapi kini kau benar-benar membuatku tertegun. Tapi jangan senang dulu. Aku ada sesuatu untukmu!" seru Rio.Seketika ia menepuk tangannya. Tiba-tiba muncul seseorang dari arah luar ruangan. Ia
"Bagus Rudolf, bunuh satu benalu itu!"Rio tampak begitu bersemangat kala melihat Rudolf kembali melangkah menghadapi Adam.Namun Adam dengan santainya menyilangkan kedua tangan memandang Rudolf."Adam Rudiant! Jangan salahkan aku jika tanganku ini dibasahi oleh darahmu! Matamu akan ku congkel hingga keluar!"Rudolf tampak terbelalak mata dan tersenyum lebar. Dan seketika mengeluarkan sebilah belati dari balik punggungnya.Ia terus mengarahkan ujung belati itu ke arah wajah Adam.Dan tiba-tiba, ia menghunuskannya ke arah bola mata Adam.Namun, Sang Panglima dapat mengelak secepat kilat. Lalu menggenggam tangan Rudolf yang menggenggam belati itu hingga mereka saling tarik menarik.Dan Rudolf terus berusaha menekan belati itu ke arah wajah Adam.Kekuatan Rudolf memanglah tidak bisa dianggap remeh. Kali ini Adam harus lebih mengerahkan tenaganya untuk menahan tangan besar Rudolf yang besar itu.Di saat perhatian Rudolf terpusatkan pada belati yang hendak ditusukkan. Adam langsung menghan
Berjam-jam telah dilewati. Hingga malam semakin larut dan hampir menuju ke pergantian hari.Di Rumah kediaman Adam, Paul dan Lusiana menunggu dengan harap-harap cemas di ruangan depan."Ibu, ayah kenapa belum pulang juga?" tanya Paul."Mungkin ayah sedang disibukkan oleh tugasnya Nak," jawab Lusiana. Raut wajah Paul seperti tak tenang. Lusiana lantas memeluk anak itu untuk mencoba menenangkannya.Seorang pengawal menghampiri Lusiana yang tengah duduk di bangku sofa."Maaf ibu Lusiana, Apakah ibu tau kabar Bapak Adam? Kenapa ponselnya tidak aktif?" tanya Pengawal itu.Lusiana pun menunjukkan raut wajah khawatirnya. "Aku juga tidak tau pengawal. Tolong cari tau dia," ucap Lusiana."Baik Bu, kami akan berusaha mencari tau. Kami ke markas Militer dulu di pusat kota," ucap seorang pengawalnya."Iya Pak, tolong ya," ucap Lusiana, memohon."Baik Bu, kami segera kesana. Harap ibu tenang menunggu di sini," ucap pengawal itu.Lalu ia melangkah ke arah luar rumah.Di depan telah menunggu bebera
Di kala Jody tengah membangunkan Rudolf, tiba-tiba dari arah belakang. Adam berdiri dengan tatapan penuh kegelapan.Jody menoleh ke arah belakang dengan wajah menyeringai, Jody berkata, "Kenapa kau memperhatikanku seperti itu?!"Lalu Jody berdiri dan berbalik menatapnya.Tatapan Adam yang dingin mengisyaratkan akan sebuah tatapan kematian. Dan Adam langsung memanggul tubuh Jody ke pundaknya."Apa-apaan ini! Lepaskan aku!"Jody meronta-ronta mencoba melawan. Kali ini Adam benar-benar tidak akan memberinya ampun sedikitpun.Adam langsung membanting tubuhnya ke arah depan.Braakk!berkali-kali bantingan membuat Jody semakin lemah dan tak berdaya.Adam telah gelap mata. Menjadikan Jody bak sebuah boneka pelampiasan amarahnya. Kali ini Adam benar-benar menghabisinya tanpa belas kasihan.Hingga akhirnya di bantingan terakhir. Jody sudah tak sadarkan diri. Dengan kepala yang penuh luka lebam.Lantas Adam meletakkan Jody ke pundaknya. Memanggulnya keluar dari ruangan.Adam menatap ke seluruh
Sebuah potongan kepala itu kemudian dibawa oleh seorang ajudan menuju ke kantor kepolisian. Di sana, bagian tubuh itu dibawa untuk dilakukan otopsi.Setelah beberapa jam, Seorang tim forensik keluar dari ruangan dan menghampiri seseorang yang tengah menunggu hasil di depan ruangan."Permisi Pak, setelah kami lakukan pemeriksaan. Ternyata potongan kepala itu milik seorang Perwira yang bertugas di kantor Kemiliteran. Mungkin anda bisa melaporkannya kepada Bapak Adam," ujar seorang dari tim Forensik di hadapan Ajudan Adam. "Baik Pak, terima kasih, saya akan kembali ke Kediaman Jenderal Adam untuk melaporkannya," ucap Sang ajudan.Lalu ia melangkah keluar dari ruangan itu. Dan berjalan tergopoh-gopoh menuju ke mobilnya.Setelah itu, ia melajukan mobil menuju ke istana Rudiant.***Di kediamannya, Adam tengah menikmati secangkir teh hangat seraya memandangi tamannya yang megah.Puluhan rusa tampak bertebaran di sekeliling taman. Menghibur Adam dari segala kepenatan.Lalu Lusiana melangka
Adam kemudian melangkah ke mobilnya di pekarangan."Adam, kamu jangan pergi dulu. Bukankah kamu sedang lelah?" tanya Lusiana dengan memandang penuh kekhawatiran."Tidak Lusy, aku tak bisa membiarkan ini terus berlarut. Jody adalah orang yang sangat berbahaya. Jika dia dibiarkan, maka dia akan mencelakai kita dan orang-orang di sekitar kita," ucap Adam."Adam, aku sangat mengkhawatirkan kamu," ucap Lusiana. Adam lantas menatap Lusiana dengan senyum penuh keyakinan."Percayalah Lusy. Aku bisa menyelesaikan semua ini dengan baik," ucap Adam.Akhirnya Lusiana mengizinkannya. Lalu Adam memasuki Mobil Knight XV yang terparkir di pekarangan."Lusiana, kamu baik-baik di rumah ya," ucap Adam, seraya melambaikan tangannya."Iya, kamu hati-hati ya!" seru Lusiana.Lantas mobil itu pun melaju pergi menuju ke markas kemiliteran.Di markas itu, Adam dan Letjen Charles tengah berbincang. Mereka merencanakan sesuatu."Jendral Adam, apa yang akan kita lakukan untuk merespon atas perbuatan Jody?" tanya
Di ruangan gelap itu, Jody hanya bisa pasrah. Jika dia berani melawan, maka konsekuensinya adalah mati."Sedikit lagi, kau akan diadili," ucap Adam. "Aku tidak takut dengan ancaman itu. Jika aku diadili. Maka Mafia lain akan mengincarmu dan keluargamu!" seru Jody, mengancam.Adam tersenyum kecut. lalu berkata, "Ya, itulah yang aku tunggu-tunggu selama ini. Yaitu kedatangan Para Mafia. Karena dengan begitu aku bisa dengan mudah membasmi mereka dari tanah Andalas."Jody tampak menyeringai, lalu ia berkata, "Kau pikir semudah itu membasmi Para Mafia? Mereka akan terus menjamur dimana-mana. Karena satu hal yang pasti, narkotika adalah barang yang sangat dicari dari berbagai kalangan."Adam langsung mengenggam kerah baju Jody, lalu mendekatkan pada wajahnya. "Tak akan! Suatu saat Mafia tak akan berani beraksi di negeri ini! Aku yang akan menjamin!""Hahaha! Bermimpilah saja kau Adam!" seru Jody.Adam mendorong Jody hingga terjungkal ke belakang bersama bangku yang didudukinya.Lalu Ia kem