Nina nampak ketakutan melihat reaksi Dea, wanita itu mengeluarkan ekpresi kaget sekaligus senang ketika melihat Bimo.
“Wahhh... siapa sangka aku langsung ketemu orangnya,” ledek Dea pada Nina yang terduduk lemas di kursi.
Bimo mengerutkan alisnya, tak mengerti dengan percakapan Dea.
Kevin semakin resah melihat tatapan Dea yang penuh dengan kebencian, secara garis besar Kevin mengerti jika istrinya sudah tau mengenai Nina yang menjadi mak comblang pernikahannya dengan Icha.
“Sudah Sayang, ayo ke Mama,” ajak Kevin yang langsung memegang tangan istrinya. Dea langsung mengibaskan tangan suaminya.
Dan berbisik pada Nina.
“Selesaikan dengan cepat, atau kalau berdua akan mendapatkan pembalasan yang sangat keji dariku.”
Mata Nina menyorotkan rasa takut yang berlebihan hingga membuat Bima langsung menjauhkan Dea dari Nina.
“Good luck!” semangat Dea pada kedua orang tersebut, tak lupa membe
Kedatangan keluarga Icha di acara ini membuat Kevin tak berkutik, entah apa yang akan terjadi. Setiap orang yang ada disana memiliki pemikiran dan reaksi yang berbeda-beda.“Nah! Ini putri saya Pak, Icha...” Seno memperkenalkan anak perempuannya kepada Gito dan Rita. Orangtua Kevin tersenyum ramah ketika Icha mencium kedua tangan mereka.Sorot mata Seno sangat menyiratkan kebanggaan. Dea menatap keluarga Icha dengan datar, sedang Kevin menatapnya dengan gelisah.‘Entah apa mau mereka, tapi ini sangat keterlaluan!’benak Kevin yang tak terima atas kedatangan keluarga istri sirinya.“Ngomong-ngomong Pak Dewan bisa tau acara saya darimana ya? Seingat saya tidak mengundang anda untuk mengikuti acara ini, heheee...” tanya Gito sambil terkekeh. Papa mertua Dea menyadari ada hal yang mengganjal dari kedatangan tamu tak diundang ini.“Haha... saya diundang sama Kevin Pak, jadi sekalian untuk bersilaht
Semua orang tertuju pada sumber keributan yang sedang terjadi. Di sana terlihat Icha, Dea, dan Nala. Rita yang mendengar teriakan besannya langsung mendekat, dan matanya melebar melihat gaun menantunya yang kotor karena tumpahan jus dari gelas Icha.“Aduh maaf Mbak, aku tidak sengaja,” ucap Icha yang langsung mengambil tisu berniat untuk membersihkan tumpahan jus yang menempel pada baju istri sah suaminya. Dea menatap Icha dengan datar, wanita itu bahkan berani senyum mengejek kepadanya. Nala menyadari ada hal yang ganjal diinteraksi Dea dan Icha, firasat seorang ibu memang tak bisa dibohongi.‘Benar-benar bikin repot saja,’batin Dea yang sangat jengah karena terus-terusan diganggu oleh Icha.Nala melihat bagian dress putrinya yang kotor, air jus itu menetes ke lantai. Icha menumpahkan cukup banyak air ke dress Dea.Hanya menghela napasnya, menahan emosi.“Ada apa Sayang?” Rita langsung mendekat pa
Kericuhan yang terjadi membuat Kevin dan David bergegas mendekat.“Ada apa Ma?” tanya Kevin.Rita langsung melirik putranya dengan tatapan tajam, perempuan itu masih digerogoti rasa kesal. Apalagi yang membuat kericuhan ini adalah tamu dari Kevin.“Lihat dress Dea!” tunjuk Rita, “ini ulah tamumu.”Mata Kevin langsung tertuju pada dress yang dipakai istrinya, basah dan kotor. Dea yang melihat mertuanya penuh emosi akhirnya melakukan inisiatif untuk menyudahi konflik yang terjadi.“Dea tidak apa-apa Ma, masih bisa ganti baju kok,” tenang Dea sembari memberikan senyuman tipis.“Tapi-” Rita masih tak terima.“Ma...” panggil Dea lemah, memberikan kode pada mertuanya agar segera berhenti berdebat. Banyak tamu yang menatap mereka dengan heran. Ini akan menjadi konflik yang panjang jika diteruskan. Rita menghela napasnya pasrah. Dia tak bisa membantah jika menantunya send
‘Anak dan bapak sama saja, suka ngancam!’ batin Kevin yang tak terima. Dia benar-benar bingung seperti buah simalakama. Apa yang harus Kevin pilih? Pikirannya sangat kacau.Dia tak bisa menolak ancaman Seno, dan akhirnya memilih jawaban, “saya akan membereskannya, tolong beri sedikit waktu,” ujar Kevin yang tak ingin mengambil resiko besar. Menurutnya ini adalah pilihan yang tepat.Seno tersenyum tipis, menantunya sangat mudah untuk disetir.“Baiklah, saya tunggu. Kalau sampai kamu tidak melakukannya dan berpisah dengan perempuan itu, maka ancaman saya bukan sekedar bualan. Kamu mengertikan?” tanya pria itu dengan menepuk pundak Kevin beberapa kali.Menantunya hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali, tanda setuju dengan ucapan mertuanya.“Bagus,” ucap Seno. “Ngomong-ngomong sampai kapan kamu akan menyembunyikan Icha dari orangtuamu? Aku merasa tersinggung dengan kedua orangtua
Dea melirik suaminya yang sedang dalam kondisi bingung, dia sangat membenci melihat Kevin tak berdaya seperti itu.“Buka Mas,” perintah Dea pada Kevin. Lelaki itu sempat ragu untuk menuruti perintah istrinya, tapi pada akhirnya ia tetap menurunkan kaca mobil.Terlihat Seno dengan ekspresi bengis menatap kedua manik Dea.“Jadi kamu yang mempermalukan putriku di tempat umum?” tanya Seno tanpa basa-basi.Dengan santai Dea menjawab, “Putri Anda yang mempermalukan dirinya sendiri di tempat umum.” Tak ada sedikitpun rasa takut di wajah perempuan itu. Justru ia merasa ingin tertawa melihat pria paruh baya di depannya yang sangat sok berkuasa.“Tetap saja kamu yang bikin masalah!” seru lelaki itu tak ingin disalahkan.“Terserah Bapak,” pungkas Dea dan menutup kaca mobil, sebelum kaca itu tertutup dengan rapat. Seno sempat mengucapkan sebuah ancaman untuk Dea. Namun, perempuan itu hanya meng
Mendengar teriakan itu membuat Kevin terkejut dan langsung mendatangi istrinya. Kakinya sempat tersandung karpet yang ada di ruang tengah karena panik. Saat sampai di depan kamar, mata Kevin melebar melihat pemandangan di dalam. Dea yang tau kehadiran Kevin langsung memeluk tubuh lelaki itu. Dia sangat benci dengan darah, apalagi sekarang hampir seluruh lantai dan ranjangnya dipenuhi dengan cairan merah berbau amis. “Mas, ini kok bisa kayak gini?” tanya Dea panik. Perempuan itu terlihat terkejut melihat kamarnya yang porak poranda dengan beberapa darah yang sudah berceceran di ranjang mereka. Kevin menelan salivanya dengan paksa, ‘Apa ini yang dimaksud Papa Icha?’ batinnya. “Mas!” sentak Dea membuyarkan lamunan suaminya. Kevin langsung gelagapan mendengar suara istrinya yang meninggi. Dirinya sedang ling-lung sekarang. “Tidak tau, Mas tidak tau kenapa bisa seperti ini.” Lelaki itu terlihat kebingungan, otaknya tak bisa diajak bekerja sama memikirkan masalah yang sedang dihadapi. D
Keesokan paginya, Dea berangkat ke sekolah dengan lemas. Badannya terasa sangat lelah lantaran semalam banyak yang dia lakukan. Otaknya tak berhenti memikirkan kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang. Keluarga Icha benar-benar gila, ia sangat yakin jika darah yang ada di kamarnya adalah ulahnya. Entah itu Icha sendiri atau bapaknya. Mendapat teguran langsung saat di acara mertuanya, membuat Dea jika musuhnya bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan tujuannya.Sayangnya ia juga memiliki tujuan tersendiri. Dan intinya sama dengan keluarga Icha, yakni cerai dengan Kevin. Ia tak ingin hidup dalam rumah tangga yang toxic. Cerai adalah pilihan yang tepat untuknya. Namun, sebelum itu, ia harus mengambil semua hartanya dan suaminya.“Mbak Dea,” sapa Sri yang berjalan di belakangnya.“Pagi...” Wanita itu tersenyum lebar menyapa Dea.Dea memamerkan senyum manis pada rekan kerjanya.“Pagi-pagi kok sudah lem
"Semakin hari dia semakin murung. Apa masalahnya begitu besar?" gumam Andre melihat punggu Dea yang menghilang dari balik pintu. Setelah mengetahui fakta jika wanita yang dicintainya telah dimadu soleh Kevin. Membuat Andre menyesal kenapa dulu tak memaksa kehendaknya untuk menikahi Dea. Ia berpikir jika Kevin adalah lelaki tepat yang bisa membahagiakan wanita itu. Pada kenyataannya tidak. Hatinya ikut sakit melihat Dea yang nampak sedih. Meskipun sudah ditutupi sebaik mungkin, tapi Andre tau jika dia tengah terpuruk. "Pak Andre," sapa Jono. "Iya?" "Lagi lihat apa Pak?" penasaran lelaki paruh baya itu. Ketika keluar dari kantor ia melihat Andre mematung di koridor, ini membuatnya bertanya-tanya apa yang dilakukan kepala sekolahnya. "Lihat kelas-kelas saja Pak. Ternyata anak-anak menjaga kebersihan dengan baik." "Oh..." Jono menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Mau saya temani keliling?" tawarnya. "Boleh." ########## Di sisi lain, Kevin tengah membasuh wajahnya di washtafel.
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng