Tiada yang menyangka seronok malaikat menjemput Icha di lapas. Wanita yang tengah sekarat dibuat senang bukan kepayang oleh salah satu mantan bodyguard papanya. Lelaki bertubuh bongsor dan ekspresi datar hanya bisa mengantar anak mantan majikannya di pinggir jalan. "Tugas saya hanya sampai sini. Hutang budi saya sudah lunas," ujar lelaki itu mempersilakan Icha turun dari sepeda bututnya. "Iya. Thankyou." "Salam buat Pak Seno. Terimakasih atas bantuannya selama ini. Semoga Mbak Icha bisa menjalani hidup yang lebih baik lagi. Saya pamit undur diri." Tanpa menunggu jawaban, lelaki itu telah lenyap dimakan padatnya lalu lintas di siang hari. pengurangan masa tahanan karena perilakunya yang baik serta bantuan suap salah satu rekan bisnis papanya membuat Icha bisa menghirup udara segar. Keputusan penjara 2 tahun 8 bulan hanya ia penuhi 1 tahun 9 bulan. Meskipun begitu, selama berada di lapas hidupnya sangat sengsara. Ia menjadi bulanan di sana. Bahkan aturan senior Junior sangat kenta
Dea melangkahkan kakinya dengan ringan menuju lobi. Meskipun hatinya terasa waspada tetapi ia menghiraukan itu. Beberapa kali langkahnya terhenti karena ada beberapa murid yang menyalaminya. Selain itu, ia juga mampir ke koperasi mencari jajanan yang ia sukai. Terpaksa ia mengolor waktu bertemu tamu karena jajanan yang ia incar akan ludes jika tak membelinya sekarang."Bu Dea, sudah ditunggu," ingat staff TU. Dea tersenyum dan menghampiri tamu tersebut. Ketika membelokkan arah, tubuh wanita itu membeku. 'Icha?' batinnya terkejut. 'Aku kira Mas Levi. Kok dia berkeliaran di sini.' Ia masih membatin tetapi langkah kakinya semakin mendekat pada Icha."Hai De. Gimana kabarmu?" sapa Icha dengan salah satu sudut bibir terangkat."Baik. Bagaimana kabarmu?" Dea menjawabnya dengan enteng."Seperti yang kamu lihat. Aku sangat baik dan sekarang sudah bebas." Icha tersenyum tipis seraya membuka kedua tangannya menunjukkan kebebasan yang ia maknai. Sorot matanya sangat hampa saat menatap Dea."Syuk
Rita berlari kencang memasuki rumah mantan besannya. Kabar mengenai Icha yang menghampiri Dea membuat wanita itu murka bukan kepayang. Tak hanya dia, Gito pun bergerak sangat beringas mengecek keadaan mantan menantunya."Sayang!?" pekik Rita saat memasuki kamar Dea. Raut wajah tertekuk semua, ekspresi campur aduk antara khawatir dan marah membuat siapapun enggan mengusiknya. Bahkan Nala yang sebelumnya duduk di sampi Dea segera beranjak mempersilakan Rita mengecek keadaan putrinya. "Apa yang dilakukan dia sama kamu Nak? Jawab dengan jujur. Biar Mama yang kasih dia pelajaran lebih kejam lagi."Emosi Gito pun tersulut karena suasana tegang di sekitarnya. "Berani-beraninya dia nongol di depan putriku! Dasar wanita tidak tau diri." Napasnya memburu bak banteng akan menyeruduk matador di arena. "Siapa yang membantu dia lolos dari dekaman penjara secepat ini. Kurang ajar!" tangan lelaki itu mengepal erat.Rita masih sibuk meneliti setiap inci tubuh Dea. "Apa dia memberikan luka lagi Sayang
Mendengar teriakan Levi. Nala dan David berhamburan keluar menemui perangai orang yang mengajak putri mereka dinner. Ketiga orang tersebut seakan mengintimidasi Andre yang masih shock. Sorot mata penuh arti mereka lontarkan pada bujang belum genap tiga puluh tahun."Ehehe," kekeh Andre yang tak tau harus apa. Levi menyeretnya duduk."Tunggu sebentar, adikku pasti sedang bersiap," tenang lelaki itu kemudian menoleh ke arah Nala. Iya kan Ma?" Nala terdiam sejenak tetapi kesadaran langsung kembali begitu disenggol David. "I-iya Nak.""Nah. Kalau begitu suruh Adik segera keluar Ma. Kasihan Andre sudah jauh-jauh ke sini."Nala segera ke kamar Dea mengabarkan jika Andre sudah menunggunya di ruang tamu. Segala kerumitan di kepala wanita itu menghilang karena kedatangan Andre."Mas Andre?" tanya Dea terbelalak."Iya Sayang. Cepat bersiap, kasihan kalau dia menunggu terlalu lama. Di sana ada Mas Levi sama Ayah, jadi cepatlah."Astaga, aku bahkan belum mengabari Monica kalau dinnernya malam in
Andre duduk di ruang VIP restoran yang dikhususkan untuk mereka, dikelilingi oleh keindahan yang elegan. Meja dihias indah dengan lilin menyala dan bunga segar, tetapi hatinya terasa berdebar. Malam ini, segalanya terasa tak terencana, hanya sebuah keputusan mendadak karena desakan Levi untuk menghabiskan waktu bersama Dea. Sejujurnya Andre pun sejak lama ingin melakukannya.Sudah hampir dua puluh menit Dea pergi ke kamar mandi. Jarak antara ruang makan dan kamar mandi cukup jauh. Andre yang tiba-tiba ditinggal wanita itu mulai gelisah. Dia melirik jam tangannya, berusaha menenangkan diri. “Apa dia baik-baik saja?” pikirnya. Mungkin dia terlalu terburu-buru memilih tempat ini. Andre menggigit bibirnya, teringat betapa canggungnya momen-momen awal ketika mereka bertemu. Meski mereka sudah berteman lama, ada perasaan yang terus menggelayut di hati Andre. Perasaan yang membuatnya ingin lebih, tetapi takut akan risiko yang dihadapi. Lelaki itu berusaha menyingkirkan ketidakpastian itu da
Dea menatap Andre dengan penuh perhatian, merasakan ketulusan dalam matanya. Namun, semakin dalam dia merenungkan perasaannya, semakin jelas rasa keraguannya. Kecemasan tentang Monica menghantui pikirannya, membuatnya sulit untuk sepenuhnya membiarkan diri terjun ke dalam perasaan yang diungkapkan Andre.“Aku… aku juga ingin mengenalmu lebih dekat Mas,” jawab Dea perlahan, berusaha memilih kata-kata yang tepat. “Tapi saat ini, semuanya terasa sangat rumit.”“Rumit?” tanya Andre dengan kedua alis melekat, wajahnya menampilkan keraguan. “Apa yang membuatnya rumit? Kita hanya perlu saling terbuka.”Dea menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan pikiran. “Maksudku, kita sudah berteman lama. Mengubah itu menjadi sesuatu yang lebih bukanlah hal yang sederhana. Ditambah aku masih trauma.” Wanita itu menundukkan kepalanya dalam-dalam.Andre mengangguk. “Aku mengerti. Tapi jika kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu apa yang bisa terjadi. Aku hanya ingin memberi kamu memberiku k
Kevin berjalan lunglai menuju pengepul barang bekas. Selama ini ia berusaha menjauhkan diri dari daerah keluarganya. Nino sempat memberikan bantuan dan modal usaha tetapi Kevin tolak karena rasa sungkan berlebih merepotkan kawannya. Kaki yang berjalan terseok kini terhenti mendadak. Seorang wanita berkaos oblong dan celana hitam berdiri memandangnya penuh kasih."Mas," panggil Icha langsung menghamburkan pelukan pada suaminya."Kenapa Mas Kevin selama ini tidak menjengukku? Mas tau nggak aku kangen banget sama Mas Kevin," ujar Icha dengan linangan air mata.Kevin melepaskan Icha dari tubuhnya. Tanpa banyak bicara, Kevin menghampiri tempat pengepul barang bekas yang ia dapatkan.Di dalam hatinya, hanya ada satu perasaan—kebencian pada dirinya sendiri. Mengapa Icha masih mencintainya? Bagi lelaki itu, cinta itu hanyalah ilusi yang tak pernah ada. Ia merasa beban berat di dadanya, tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan betapa ia merasa hampa."Mas, tolong jangan seperti ini," suara Icha
Icha mengikuti Kevin yang menelusuri jalanan di pinggir kota. Lelaki itu sesekali berhenti di tong sampah mencari barang bekas yang bisa ia angkut. Perlahan Icha melakukan hal yang sama. Jika keluarganya tidak dipenjara, mungkin wanita itu akan sangat jijik mengambil barang yang ada di tempat pembuangan. Tetapi selama berada di lapas, ia terpaksa membiasakan diri dengan kotoran. Hampir setiap waktu ia diperintah untuk menggosok toilet, mengumpulkan sampah, membersihkan ruangan terbengkalai, dan banyak lagi. Pembiasaan itu membuat rasa jijiknya terhempas dan lebih tegar saat berada di lingkungan kumuh.Matahari mulai terbenam, memancarkan cahaya oranye yang meremang. Icha menundukkan kepala, berusaha menyamarkan air mata yang mulai menggenang. Ia merasa kesedihan membebani dadanya, tetapi di saat yang sama, melihat Kevin yang begitu keras berjuang untuk bertahan membuatnya tak ingin mundur. "Mas, ayo kita lakukan ini bersama," katanya dengan suara bergetar, mencoba membangkitkan seman