Beranda / Urban / DENDAM GADIS PEWARIS / MENEKAN DUA SISI

Share

MENEKAN DUA SISI

"Kapan? Kapan mereka meninggal? Kenapa makam ini tampak sudah lama?" Suaranya sangat rendah, apalagi dengan paduan serak dari deru nafasnya yang tidak beraturan.

Pelayan Sisca menghela nafas. "Satu bulan yang lalu, Nona."

Amertha segera mengalihkan anestesinya pada Pelayan Sisca. "Apa? Sa--satu b--bulan yang la-lu?"

Pelayan Sisca mengangguk, membenarkan.

"Kenapa kalian tidak memberitahuku? Aku tidak tahu jika mereka telah meninggal, aku juga tidak memberi penghormatan terakhir pada mereka sebelum dikremasi. Jahat! Kalian jahat! Kalian tega sekali," teriak Amertha keras, dia merasa semakin terpukul atas kepergian orang tuanya, juga pada Pelayan Sisca dan Jevan yang dengan tega sama sekali tidak memberitahu kabar besar ini padanya.

"Aku benci sama kalian, kalian jahat!!" Amertha terus saja berteriak. Bahkan, kesadarannya mulai menghilang secara berkala, karena anestesinya hanya tertuju pada rasa kesal dan marah yang menguras seluruh tenaganya.

"Nona Amertha!!" Jevan segera menghampiri Nona muda-nya yang tiba-tiba limbung begitu saja, di dekat sang ibu.

"Bagaimana ini, Bu?" tanya Jevan.

"Kita bawa ke penginapan dulu, sebaiknya kita cepat pergi dari sini sebelum ada orang yang curiga dengan kedatangan kita." Pelayan Sisca segera bergegas menuju mobil, dengan Jevan yang menggendong Amertha. Mereka berlalu menuju tempat penginapan.

****

Dua hari kemudian, kondisi Amertha masih sama seperti sejak mengetahui kabar meninggalnya kedua orang tuanya. Bahkan, gadis itu sekarang lebih tertutup. Jarang keluar dari kamar, tidak lagi merawat bunga-bunga di tamannya, dan tidak ada lagi hukuman bagi Jevan yang gemar mengganggunya. Amertha seakan menutup dunianya.

"Nona muda, saya ingin berbicara dengan Anda," ucap Pelayan Sisca yang masih berada di balik pintu kamar Amertha.

"Tidak! Aku tidak ingin berbicara denganmu lagi."

"Anda yakin, Nona?"

"Ya, aku yakin. Aku sangat membencimu, asal kamu tahu," balas Amertha keras.

"Ini perihal kedua orang tua Anda, Nona. Tentang kecelakaan yang menimpa mereka." Pelayan Sisca masih berusaha, dia harus menyampaikan hal ini pada Amertha, setidaknya Nona muda-nya tahu, bahwa kecelakaan yang menewaskan orang tuanya bukanlah mutlak kecelakaan biasa.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Amertha begitu saja, ia sangat ingin tahu dengan kecelakaan yang menimpa orang tuanya.

"Mari kita duduk dulu, Nona." Seakan terhipnotis dengan ucapan Pelayan Sisca, Amertha menuruti ucapan Pelayan Sisca. Dia bahkan lupa jika beberapa saat lalu, dia berteriak mengatakan membenci Pelayan Sisca.

Kini mereka duduk di sofa, ada Jevan juga di sana. Pelayan Sisca membuka obrolannya dengan kata maaf. "Sebenarnya, kecelakaan kedua orang tua anda adalah sebuah kecelakaan yang direncanakan, Nona."

"Apa maksudmu, Pelayan Sisca?"

"Apa benar, Bu?" Jevan ikut berseru, dia juga baru tahu bahwa kecelakaan tersebut direncanakan.

"Iya, Nona. Kecelakaan tersebut direncanakan oleh seseorang yang mungkin ingin mengambil alih kuasa kekayaan keluarga anda."

"Kekayaan apa?"

Pelayan Sisca menerawang pada beberapa waktu lalu, tepatnya saat dia menghadiri acara kremasi jenazah Ferdi dan Alea. Seseorang menegurnya, Pelayan Sisca sendiri yang tidak ingin orang tahu akan identitasnya sebagai kaki tangan Tuan Ferdi untuk menjaga Amertha, putri tunggalnya terbongkar, Pelayan Sisca segera beranjak dari rumah duka. Namun, ternyata pemuda yang menegurnya tadi mengikuti langkahnya sampai halte bus di depan rumah duka.

"Tunggu sebentar, Nyonya."

"Ada apa?"

"Apa anda ... keluarga dekat Tuan Ferdi? Atau Nyonya Alea?" tanya pemuda itu.

"Tidak, saya bukan keluarga mereka." Pelayan Sisca menjawabnya dengan ketus.

"Anda yakin?"

"Namun, jika Anda bukan keluarga dekat mereka. Mana mungkin anda rela datang tengah malam ke rumah duka seperti ini?" Pertanyaan sarkas dari pemuda di depannya itu membuat pelayan Sisca menegang. Dia hanya perempuan tua, yang juga akan ketakutan jika identitasnya terbongkar begitu saja.

"Anda salah orang, saya memang tadi menghampiri jenazah mereka. Namun, saya hanya orang biasa yang ingin tahu wajah konglomerat Indonesia yang baru saja meninggal dunia."

"Tidak! Anda bukan orang seperti itu, saya mohon Nyonya, biarkan saya memberitahu sesuatu mengenai kematian mereka," ujar pemuda itu dengan sangat melas.

Dalam hati pelayan Sisca terus berkobar rasa ingin tahu, apalagi jika mengenai majikannya. "A--apa itu yang akan kau sampaikan?" Berusaha mempertahankan sikap tenang.

"Saya tahu, anda adalah orang yang tepat untuk rahasia ini."

"Cepat katakan! Saya tidak punya waktu lagi, sebentar lagi bus saya akan datang," ujar Pelayan Sisca.

"Anda tahu, di dalam kecelakaan mobil itu ada Ayah saya. Dia yang mengendarai mobil itu. Dan dia juga ikut menjadi korban atas apa yang dia lakukan untuk anak yang tidak bergunanya ini." Pemuda itu menjeda penjelasannya.

"Apa maksudmu itu?"

"Yah, kecelakaan itu bukan sebuah musibah. Melainkan sudah direncanakan."

"Bagaimana kamu bisa tahu?" Pelayan Sisca memekik kaget.

"Yah, karena Ayah saya yang menyebabkan kecelakaan itu. Dia yang sengaja menabrak plang pembatas jalan tol." Pernyataan dari anak muda di depan pelayan Sisca itu cukup mengejutkan. Bagaimana bisa?

"Kenapa Ayahmu melakukan hal itu?" Pelayan Sisca sungguh tidak terima.

"Karena anak tidak bergunanya ini, yang disekap oleh seseorang yang kejam." Pemuda itu menghela nafas. Dia akhirnya merasa tenang telah menceritakan sedikit bebannya pada Pelayan Sisca.

"Siapa? Siapa orang itu? Katakan!!"

"Saya tidak tahu, lebih tepatnya. Yang saya tahu dia cukup berkuasa, seperti orang konglomerat lainnya." Pikiran Pelayan Sisca menjadi bercabang setelah mendengar pernyataan dari anak muda di hadapannya ini.

Tak terasa, bus Pelayan Sisca sudah datang. "Terima kasih, Nyonya. Anda sudah berkenan menjadi tempat rahasia saya. Semoga anda mendapatkan info yang lebih terkait dalang kecelakaan Tuan Ferdi," ucap pemuda itu memberi salam perpisahan.

***

"Jadi mereka dibunuh?" tanya Amertha dengan mata sembabnya. Dia sudah menangis, sejak Pelayan Sisca memberi tahu bahwa kecelakaan yang dialami oleh kedua orang tuanya adalah sebuah kecelakaan yang direncanakan. Amertha menangis tersedu-sedu. "Kenapa mereka jahat sekali? Kenapa mereka tega merencanakan hal itu pada Papa dan Mama? Mereka orang yang baik, tidak mungkin mereka jahat kan, Jevan?"

“Iya, Tuan Ferdi dan Nyonya Alea sangat baik." Jevan berusaha menenangkan Nona muda-nya.

Pelayan Sisca menghela nafas, sedikit lega karena sudah menyampaikan yang sebenarnya. Dia sendiri masih bingung, siapa dalang dari kecelakaan tersebut.

"Nona, anda  harus segera pergi ke ibu kota besok," ucap Pelayan Sisca.

"Untuk apa? Papa dan Mama sudah tidak ada. Apa yang aku harapkan lagi untuk ke sana?" tanya Amertha dengan menahan tangisnya.

"Untuk mengambil alih apa yang seharusnya menjadi milik anda, Nona."

"Apa maksudmu?"

"Kecelakaan berencana ini, sepertinya karena mereka memang mengincar harta dan perusahaan milik keluarga anda," jelas Pelayan Sisca.

"Tapi, bagaimana mungkin? Bukankah Papa dan Mama hanya seorang pegawai biasa? Kekayaan sebanyak apa yang mereka incar dari orang tua ku?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Zi Aldina
demi menyelamatkan harta?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status