"Kapan? Kapan mereka meninggal? Kenapa makam ini tampak sudah lama?" Suaranya sangat rendah, apalagi dengan paduan serak dari deru nafasnya yang tidak beraturan.
Pelayan Sisca menghela nafas. "Satu bulan yang lalu, Nona."Amertha segera mengalihkan anestesinya pada Pelayan Sisca. "Apa? Sa--satu b--bulan yang la-lu?"Pelayan Sisca mengangguk, membenarkan."Kenapa kalian tidak memberitahuku? Aku tidak tahu jika mereka telah meninggal, aku juga tidak memberi penghormatan terakhir pada mereka sebelum dikremasi. Jahat! Kalian jahat! Kalian tega sekali," teriak Amertha keras, dia merasa semakin terpukul atas kepergian orang tuanya, juga pada Pelayan Sisca dan Jevan yang dengan tega sama sekali tidak memberitahu kabar besar ini padanya."Aku benci sama kalian, kalian jahat!!" Amertha terus saja berteriak. Bahkan, kesadarannya mulai menghilang secara berkala, karena anestesinya hanya tertuju pada rasa kesal dan marah yang menguras seluruh tenaganya."Nona Amertha!!" Jevan segera menghampiri Nona muda-nya yang tiba-tiba limbung begitu saja, di dekat sang ibu."Bagaimana ini, Bu?" tanya Jevan."Kita bawa ke penginapan dulu, sebaiknya kita cepat pergi dari sini sebelum ada orang yang curiga dengan kedatangan kita." Pelayan Sisca segera bergegas menuju mobil, dengan Jevan yang menggendong Amertha. Mereka berlalu menuju tempat penginapan.****Dua hari kemudian, kondisi Amertha masih sama seperti sejak mengetahui kabar meninggalnya kedua orang tuanya. Bahkan, gadis itu sekarang lebih tertutup. Jarang keluar dari kamar, tidak lagi merawat bunga-bunga di tamannya, dan tidak ada lagi hukuman bagi Jevan yang gemar mengganggunya. Amertha seakan menutup dunianya."Nona muda, saya ingin berbicara dengan Anda," ucap Pelayan Sisca yang masih berada di balik pintu kamar Amertha."Tidak! Aku tidak ingin berbicara denganmu lagi.""Anda yakin, Nona?""Ya, aku yakin. Aku sangat membencimu, asal kamu tahu," balas Amertha keras."Ini perihal kedua orang tua Anda, Nona. Tentang kecelakaan yang menimpa mereka." Pelayan Sisca masih berusaha, dia harus menyampaikan hal ini pada Amertha, setidaknya Nona muda-nya tahu, bahwa kecelakaan yang menewaskan orang tuanya bukanlah mutlak kecelakaan biasa.Pintu kamar tiba-tiba terbuka. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Amertha begitu saja, ia sangat ingin tahu dengan kecelakaan yang menimpa orang tuanya."Mari kita duduk dulu, Nona." Seakan terhipnotis dengan ucapan Pelayan Sisca, Amertha menuruti ucapan Pelayan Sisca. Dia bahkan lupa jika beberapa saat lalu, dia berteriak mengatakan membenci Pelayan Sisca.Kini mereka duduk di sofa, ada Jevan juga di sana. Pelayan Sisca membuka obrolannya dengan kata maaf. "Sebenarnya, kecelakaan kedua orang tua anda adalah sebuah kecelakaan yang direncanakan, Nona.""Apa maksudmu, Pelayan Sisca?""Apa benar, Bu?" Jevan ikut berseru, dia juga baru tahu bahwa kecelakaan tersebut direncanakan."Iya, Nona. Kecelakaan tersebut direncanakan oleh seseorang yang mungkin ingin mengambil alih kuasa kekayaan keluarga anda.""Kekayaan apa?"Pelayan Sisca menerawang pada beberapa waktu lalu, tepatnya saat dia menghadiri acara kremasi jenazah Ferdi dan Alea. Seseorang menegurnya, Pelayan Sisca sendiri yang tidak ingin orang tahu akan identitasnya sebagai kaki tangan Tuan Ferdi untuk menjaga Amertha, putri tunggalnya terbongkar, Pelayan Sisca segera beranjak dari rumah duka. Namun, ternyata pemuda yang menegurnya tadi mengikuti langkahnya sampai halte bus di depan rumah duka."Tunggu sebentar, Nyonya.""Ada apa?""Apa anda ... keluarga dekat Tuan Ferdi? Atau Nyonya Alea?" tanya pemuda itu."Tidak, saya bukan keluarga mereka." Pelayan Sisca menjawabnya dengan ketus."Anda yakin?""Namun, jika Anda bukan keluarga dekat mereka. Mana mungkin anda rela datang tengah malam ke rumah duka seperti ini?" Pertanyaan sarkas dari pemuda di depannya itu membuat pelayan Sisca menegang. Dia hanya perempuan tua, yang juga akan ketakutan jika identitasnya terbongkar begitu saja."Anda salah orang, saya memang tadi menghampiri jenazah mereka. Namun, saya hanya orang biasa yang ingin tahu wajah konglomerat Indonesia yang baru saja meninggal dunia.""Tidak! Anda bukan orang seperti itu, saya mohon Nyonya, biarkan saya memberitahu sesuatu mengenai kematian mereka," ujar pemuda itu dengan sangat melas.Dalam hati pelayan Sisca terus berkobar rasa ingin tahu, apalagi jika mengenai majikannya. "A--apa itu yang akan kau sampaikan?" Berusaha mempertahankan sikap tenang."Saya tahu, anda adalah orang yang tepat untuk rahasia ini.""Cepat katakan! Saya tidak punya waktu lagi, sebentar lagi bus saya akan datang," ujar Pelayan Sisca."Anda tahu, di dalam kecelakaan mobil itu ada Ayah saya. Dia yang mengendarai mobil itu. Dan dia juga ikut menjadi korban atas apa yang dia lakukan untuk anak yang tidak bergunanya ini." Pemuda itu menjeda penjelasannya."Apa maksudmu itu?""Yah, kecelakaan itu bukan sebuah musibah. Melainkan sudah direncanakan.""Bagaimana kamu bisa tahu?" Pelayan Sisca memekik kaget."Yah, karena Ayah saya yang menyebabkan kecelakaan itu. Dia yang sengaja menabrak plang pembatas jalan tol." Pernyataan dari anak muda di depan pelayan Sisca itu cukup mengejutkan. Bagaimana bisa?"Kenapa Ayahmu melakukan hal itu?" Pelayan Sisca sungguh tidak terima."Karena anak tidak bergunanya ini, yang disekap oleh seseorang yang kejam." Pemuda itu menghela nafas. Dia akhirnya merasa tenang telah menceritakan sedikit bebannya pada Pelayan Sisca."Siapa? Siapa orang itu? Katakan!!""Saya tidak tahu, lebih tepatnya. Yang saya tahu dia cukup berkuasa, seperti orang konglomerat lainnya." Pikiran Pelayan Sisca menjadi bercabang setelah mendengar pernyataan dari anak muda di hadapannya ini.Tak terasa, bus Pelayan Sisca sudah datang. "Terima kasih, Nyonya. Anda sudah berkenan menjadi tempat rahasia saya. Semoga anda mendapatkan info yang lebih terkait dalang kecelakaan Tuan Ferdi," ucap pemuda itu memberi salam perpisahan.***"Jadi mereka dibunuh?" tanya Amertha dengan mata sembabnya. Dia sudah menangis, sejak Pelayan Sisca memberi tahu bahwa kecelakaan yang dialami oleh kedua orang tuanya adalah sebuah kecelakaan yang direncanakan. Amertha menangis tersedu-sedu. "Kenapa mereka jahat sekali? Kenapa mereka tega merencanakan hal itu pada Papa dan Mama? Mereka orang yang baik, tidak mungkin mereka jahat kan, Jevan?"“Iya, Tuan Ferdi dan Nyonya Alea sangat baik." Jevan berusaha menenangkan Nona muda-nya.Pelayan Sisca menghela nafas, sedikit lega karena sudah menyampaikan yang sebenarnya. Dia sendiri masih bingung, siapa dalang dari kecelakaan tersebut."Nona, anda harus segera pergi ke ibu kota besok," ucap Pelayan Sisca."Untuk apa? Papa dan Mama sudah tidak ada. Apa yang aku harapkan lagi untuk ke sana?" tanya Amertha dengan menahan tangisnya."Untuk mengambil alih apa yang seharusnya menjadi milik anda, Nona.""Apa maksudmu?""Kecelakaan berencana ini, sepertinya karena mereka memang mengincar harta dan perusahaan milik keluarga anda," jelas Pelayan Sisca."Tapi, bagaimana mungkin? Bukankah Papa dan Mama hanya seorang pegawai biasa? Kekayaan sebanyak apa yang mereka incar dari orang tua ku?""Sebenarnya, anda adalah pewaris tunggal semua aset keluarga konglomerat yang merajai industri pangan di Indonesia, Nona. Anda jelas tahu perusahaan itu bukan?""Kamu bercanda, Pelayan Sisca?""Tidak, Nona. Tidak ada waktunya bercanda saat ini."Amertha menatap Jevan, tersenyum miris. Ternyata banyak sekali rahasia yang baru ia ketahui. ‘Kenapa mereka menyembunyikan semua itu?’ pikir Amertha.***"Hasilnya tidak bisa begitu! Bagaimana bisa? Saya kerabat Ferdi, seharusnya saya yang mendapatkan hak kuasa atas perusahaan dan asetnya." Suara Tuan Alex menggema dalam ruangan, dia masih tidak terima jika tambuk kepemimpinan perusahaan jatuh pada Tuan Ramon."Semua sudah jelas, Tuan Alex. Anda harus menerima keputusan ini, jika tidak silahkan anda keluar dari perusahaan ini." Kini Tuan Ramon tersenyum remeh."Jadi, bisa diputuskan bahwa tanggal 06 Maret 2022, tambuk kekuasaan dan aset perusahaan milik keluarga konglomerat Ferdi Adistra Gunawan, SENTRA GOLDEN TBK… akan jatuh pada … .""Tunggu
"Apa benar dia memang anaknya Ferdi, hah? Sialan!! Ini di luar ekspektasi ku!" Tuan Ramon berdecih kesal. Dia sungguh sangat kesal saat kedatangan Amerta tadi di rapat pemegang saham. Pria tua itu mengira semua jalannya akan semakin mulus setelah meninggalnya pasangan konglomerat itu, tapi nyatanya masih ada saja batu terjal yang menghalangi langkahnya untuk mengambil alih semua aset yang dimiliki Ferdi dan Alea."Menurut data yang diberikan pelayan tadi, beserta lembar tes DNA ... gadis itu benar-benar putri Nyonya Alea dan Tuan Ferdi, Tuan Ramon." Ajudannya berkata, memberikan informasi yang ingin diketahui oleh tuannya ini.Membuat Tuan Ramon semakin menggeram dalam kursi kebesarannya. "Aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja. Meski dia memang benar-benar putri Ferdi atau bukan. Dia hanya gadis lugu, menyingkirkan dia sama sekali bukan masalah yang besar bagi ku." Tersenyum puas, Tuan Ramon menatap Ajudannya."Segera kirim orang untuk mencari informasi tentang gadis itu, kem
Hembusan angin dingin dan gulita malam menyapa pengendara mobil yang melintas di jalanan berbukit, dekat pantai. Di dalam mobil tersebut ada empat orang penumpang; satu supir, satu asisten pribadi yang duduk di kursi depan, juga sepasang suami istri yang merupakan majikan di dalam mobil itu duduk di kursi penumpang. Mereka telah menyelesaikan pekerjaan yang berada di kota seberang. Malam ini, niatnya adalah untuk kembali ke kota asal, karena banyaknya jadwal padat dari pemilik perusahaan terbesar di Asia, yang saat ini duduk santai di kursi penumpang.Sepasang suami-istri itu tengah menikmati waktu santainya di mobil, sang istri tertidur pulas, begitu pula dengan sang suami. Sama-sama menikmati malam yang menyapa, jalanan cukup lenggang karena kondisi malam, dan juga rute perjalanan mereka yang jarang digunakan, tentu untuk mempersingkat waktu agar segera sampai di ibu kota.Asisten pribadi itu masih terjaga, mengamati jalanan sekitar yang cukup sunyi. Hingga, selang beberapa menit, m
Sedangkan kondisi di rumah Amertha, Pelayan Sisca sudah mengurung majikannya di dalam kamar. Ah, bukan mengurung. Lebih tepatnya, malam ini sudah sangat larut dan sudah waktunya untuk Amertha istirahat. Pelayan Sisca juga mengunci kamar Nona muda-nya, mengantisipasi dengan kedatangan tiba-tiba sang Nona, di tengah pemberitaan televisi pada malam ini yang menjadi banyak tontonan para pelayan malam ini. Termasuk dengan Jevan.Pria itu menjatuhkan rahangnya, saat identitas dari korban kecelakaan tersebut disebut dengan amat sangat jelas. Mereka adalah orang tua Amertha, Nona muda-nya. Menatap sang ibu dengan rasa cemas, Pelayan Sisca berdeham. Hatinya juga sedih, namun, dia tidak bisa menunjukkannya di depan sang anak."Ibu, bagaimana ini?" tanya Jevan. Para pelayan sudah banyak yang menangis dengan tersedu-sedu. Pelayan Sisca menatap anaknya dalam, kemudian menatap sekitar. Semua bersedih."Tolong, jangan ada yang menangis. Jangan membuat hal yang akan mengakibatkan Nona muda bangun dar
Amertha hanya mengangguk, kemudian tersadar akan sesuatu. "Tapi, aku tidak pernah dengar bahwa kamu masih memiliki keluarga," gumam Amertha. Kini, Jevan jadi gelagapan sendiri."Ah, iya. Dia itu dari keluarga angkat," jawab Jevan dengan menggaruk kepala bagian belakangnya."Jevan!! Oh ya aku baru ingat," pekik Amertha."A--apa?""Masa tadi ponsel ku mati sih? Coba lihat!! Sama sekali tidak terhubung dengan internet," ujar Amertha sembari menunjukkan layar ponselnya pada Jevan."Oh itu--" Jevan menggantung ucapannya. Itu adalah ulahnya, dia merupakan hacker yang cukup ahli. Atas perintah sang ibu, dia memutuskan jaringan pada ponsel Amertha, agar gadis itu sama sekali tidak mengetahui kabar trending hari ini tentang meninggalnya kedua orang tuanya."Iya, kamu kan bisa membenarkan hal seperti ini. Tolong benarkan ponsel ku, aku ingin menelpon Papa dan Mama." Jevan mematung."Ah kalau itu, ponsel ku juga tidak ada jaringan." Jevan membalasnya dengan nada tidak enak, ragu sebenarnya. Namu