"Sebenarnya, anda adalah pewaris tunggal semua aset keluarga konglomerat yang merajai industri pangan di Indonesia, Nona. Anda jelas tahu perusahaan itu bukan?"
"Kamu bercanda, Pelayan Sisca?""Tidak, Nona. Tidak ada waktunya bercanda saat ini."Amertha menatap Jevan, tersenyum miris. Ternyata banyak sekali rahasia yang baru ia ketahui. ‘Kenapa mereka menyembunyikan semua itu?’ pikir Amertha.***"Hasilnya tidak bisa begitu! Bagaimana bisa? Saya kerabat Ferdi, seharusnya saya yang mendapatkan hak kuasa atas perusahaan dan asetnya." Suara Tuan Alex menggema dalam ruangan, dia masih tidak terima jika tambuk kepemimpinan perusahaan jatuh pada Tuan Ramon."Semua sudah jelas, Tuan Alex. Anda harus menerima keputusan ini, jika tidak silahkan anda keluar dari perusahaan ini." Kini Tuan Ramon tersenyum remeh."Jadi, bisa diputuskan bahwa tanggal 06 Maret 2022, tambuk kekuasaan dan aset perusahaan milik keluarga konglomerat Ferdi Adistra Gunawan, SENTRA GOLDEN TBK… akan jatuh pada … .""Tunggu sebentar! Saya tidak setuju," ucap Pelayan Sisca yang baru saja datang. Wanita paruh baya itu masuk lewat pintu utama yang terhubung dengan ruangan Tuan Ferdi, membuat semua orang terkejut akan kedatangannya."Hey, siapa yang mengizinkan dia masuk ke ruangan ini?""Saya Anastasia Sisca. Salah satu tangan kanan Tuan Ferdi dan Nyonya Alea, datang hari ini di sini, untuk menyampaikan hal besar yang wajib kalian ketahui. Bahwa, mendiang Tuan Ferdi dan Nyonya Alea memiliki ahli waris yang sah, di mata hukum dan agama.""Apa-apaan kamu? Jangan bicara yang tidak-tidak." Tuan Ramon berseru.Banyak suara bisik-bisik dari beberapa dewan perusahaan. "Perkenalkan, dia pewaris tunggal semua aset perusahaan dan kekayaan keluarga Tuan Ferdi dan Nyonya Alea. Nona Amertha Queenara, silahkan masuk!"Jika bukan karena keinginan Pelayan Sisca yang menyuruhnya untuk mengambil kembali hak orang tuanya yang sudah meninggal. Dan juga harus membongkar dalang dari kecelakaan berencana yang menewaskan kedua orang tuanya, mungkin saat ini Amertha masih berada di kebun. Seperti biasa, merawat bunga-bunga miliknya dan juga milik sang Mama. Bukan malah tampil di hadapan banyak orang berpakaian rapi saat ini, pertemuan besar yang terlaksana untuk menetapkan beberapa bagian harta peninggalan milik keluarga konglomerat Indonesia. Gadis dengan mimik wajah datar itu hanya bisa melihat ke depan, tidak tahu apa yang akan ia lakukan bersama dengan mereka. Masih dengan pelayan Sisca yang setia menemaninya.Yang Amertha tahu, dia hanya menjalankan misi yang telah direncanakan oleh sang pelayan kepercayaan orang tuanya. Dan saat ini dia hanya bisa diam, karena memang itu rencana mereka untuk saat ini dulu.Sedangkan pelayan Sisca-lah yang masih terus beradu argumentasi dengan beberapa orang di sana. Pertemuan tersebut harus terpaksa berhenti sejenak, tidak ada yang bisa memutuskan perkara saat ini. Karena pelayan Sisca sendiri telah memblokir semua akses data tentang harta peninggalan tuannya. Tentu dengan bantuan putra tunggalnya, Jevan. Sehingga membuat Tuan Ramon yang hendak melangsungkan rencana awalnya harus terkekang sejenak, dia tidak bisa melakukan apapun saat ini. Bahkan para tangan kanannya hanya bisa menggeram kesal dalam diam, di meja bagian ujung.Hakim sidang yang sengaja didatangkan dalam pertemuan perusahaan saat ini, terpaksa memberhentikan. Tidak ada bukti yang kuat saat ini, jika memang Tuan Ferdi dan Nyonya Alea tidak memiliki seorang putri. Apalagi mereka sama sekali tidak pernah menemukan bahwa Nyonya Alea mengidap penyakit serius yang mungkin saja mampu membuatnya terhalang mendapatkan seorang keturunan. Meski begitu, para orang-orang berpakaian licin itu tidak terlalu menganggap bahwa Amertha merupakan ancaman yang tidak berarti. Mereka melihatnya dalam bayangan gadis perempuan yang tidak tahu apa-apa, sayangnya dugaan mereka memang benar. Dan itu terjadi saat ini, entah esok lusa akan bagaimana gadis itu menunjukkan sisi lainnya. Dan Amertha lakukan semua itu untuk kedua orang tuanya.Pertemuan itu bubar selayaknya seperti biasanya, namun tatapan tajam dari beberapa orang terlempar begitu saja. Yang paling mencolok adalah Tuan Alex, pria dewasa itulah yang merasa sangat terancam dengan keberadaan Amertha saat ini. Karena jika benar dia putri dari Ferdi, sepupu jauhnya yang baru saja meninggal itu. Maka harapannya untuk kembali ke rumah bak istana milik keluarga konglomerat itu harus kandas, namun tentu dia tidak akan menyerah begitu saja.“Anda baik-baik saja, Nona?” Pelayan Sisca menghampiri Amertha yang masih duduk di tempat duduknya yang berada di tengah tempat pertemuan tadi.“A—aku, mereka sangat menakutkan Pelayan Sisca. Aku takut,” ucap Amertha jujur. Sejak dari tadi dia hanya menahan nafasnya, karena terlalu takut dia bahkan tidak berani untuk mengambil nafasnya. Dan baru setelah mereka semua yang sempat memenuhi ruangan rapat besar ini. Kini di ruangan itu hanya menyisakan Amertha dan Pelayan Sisca, gadis itu berlari memeluk ketua pelayan rumahnya. Dia bingung, juga rasa takut akan banyak orang yang menatapnya dengan tatapan tidak suka. Amertha sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa dia akan berada di tengah-tengah orang-orang yang menatapnya dengan tatapan tajam seperti tadi. Hingga tubuh pelayan Sisca sempat terhuyung karena tidak siap mendapatkan pelukan dadakan dari Nonanya.Pelayan Sisca tahu, bahwa Nona mudanya saat ini belum bisa beradaptasi dengan mereka yang merupakan kebanyakan musuh dari orang tuanya. Dan tugasnya saat ini adalah untuk membantu Nona Mudanya dalam menyelamatkan semua aset yang seharusnya memang menjadi milik dari sang Nona muda. Meski Pelayan Sisca tahu, bahwa membawa Nona mudanya terlibat dalam misi scandal keluarga konglomerat tuannya, hanya akan membuat gadis muda itu dalam bahaya dan terancam. Namun apa boleh buat, mereka tidak bisa terus bersembunyi seperti dulu. Tidak sampai mereka mengetahui bahwa kecelakaan yang menyebabkan tuannya tewas merupakan rencana seseorang yang mungkin sedang menyamar di antara beberapa orang tadi. Pelayan Sisca tetap berusaha membuat Nona mudanya bisa masuk ke rumah utama Tuan Ferdi dan Nyonya Alea.***Setelah dirasa hari ini cukup melelahkan, Pelayan Sisca segera membawa Amertha ke rumah besar yang lebih mirip istana dalam negeri dongeng. Membuat Amertha bertanya-tanya, memangnya apa pekerjaan kedua orang tuanya hingga bisa memiliki kekayaan sebanyak ini. Padahal rumah di desa yang menjadi tempat tinggalnya selama dua puluh empat tahun, hanya rumah sederhana nan nyaman. Tidak seperti rumah yang saat ini dikunjungi Amertha, dinding dan pagar pembatas yang menjulang tinggi.Mata Amertha tidak hentinya menatap sekelilingnya, saat mereka berdua sampai di depan pintu utama yang cukup lebar dan besar berwarna putih itu, terbuka begitu saja dan menampakkan deretan pelayan lengkap dengan seragam maidnya, dan berjajar rapi. Seolah-olah menyambut kedatangan mereka.Salah satu dari para maid itu menghampiri Pelayan Sisca dan Amertha, membungkukkan badan sejenak. Lantas menginstruksikan pelayan lainnya untuk kembali menegakkan tubuhnya. Memberi salam hormat kepada dua wanita berbeda usia yang berada di ambang pintu."Selamat datang di kehidupan orang tua Anda, Nona Amerta!""Apa benar dia memang anaknya Ferdi, hah? Sialan!! Ini di luar ekspektasi ku!" Tuan Ramon berdecih kesal. Dia sungguh sangat kesal saat kedatangan Amerta tadi di rapat pemegang saham. Pria tua itu mengira semua jalannya akan semakin mulus setelah meninggalnya pasangan konglomerat itu, tapi nyatanya masih ada saja batu terjal yang menghalangi langkahnya untuk mengambil alih semua aset yang dimiliki Ferdi dan Alea."Menurut data yang diberikan pelayan tadi, beserta lembar tes DNA ... gadis itu benar-benar putri Nyonya Alea dan Tuan Ferdi, Tuan Ramon." Ajudannya berkata, memberikan informasi yang ingin diketahui oleh tuannya ini.Membuat Tuan Ramon semakin menggeram dalam kursi kebesarannya. "Aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja. Meski dia memang benar-benar putri Ferdi atau bukan. Dia hanya gadis lugu, menyingkirkan dia sama sekali bukan masalah yang besar bagi ku." Tersenyum puas, Tuan Ramon menatap Ajudannya."Segera kirim orang untuk mencari informasi tentang gadis itu, kem
Hembusan angin dingin dan gulita malam menyapa pengendara mobil yang melintas di jalanan berbukit, dekat pantai. Di dalam mobil tersebut ada empat orang penumpang; satu supir, satu asisten pribadi yang duduk di kursi depan, juga sepasang suami istri yang merupakan majikan di dalam mobil itu duduk di kursi penumpang. Mereka telah menyelesaikan pekerjaan yang berada di kota seberang. Malam ini, niatnya adalah untuk kembali ke kota asal, karena banyaknya jadwal padat dari pemilik perusahaan terbesar di Asia, yang saat ini duduk santai di kursi penumpang.Sepasang suami-istri itu tengah menikmati waktu santainya di mobil, sang istri tertidur pulas, begitu pula dengan sang suami. Sama-sama menikmati malam yang menyapa, jalanan cukup lenggang karena kondisi malam, dan juga rute perjalanan mereka yang jarang digunakan, tentu untuk mempersingkat waktu agar segera sampai di ibu kota.Asisten pribadi itu masih terjaga, mengamati jalanan sekitar yang cukup sunyi. Hingga, selang beberapa menit, m
Sedangkan kondisi di rumah Amertha, Pelayan Sisca sudah mengurung majikannya di dalam kamar. Ah, bukan mengurung. Lebih tepatnya, malam ini sudah sangat larut dan sudah waktunya untuk Amertha istirahat. Pelayan Sisca juga mengunci kamar Nona muda-nya, mengantisipasi dengan kedatangan tiba-tiba sang Nona, di tengah pemberitaan televisi pada malam ini yang menjadi banyak tontonan para pelayan malam ini. Termasuk dengan Jevan.Pria itu menjatuhkan rahangnya, saat identitas dari korban kecelakaan tersebut disebut dengan amat sangat jelas. Mereka adalah orang tua Amertha, Nona muda-nya. Menatap sang ibu dengan rasa cemas, Pelayan Sisca berdeham. Hatinya juga sedih, namun, dia tidak bisa menunjukkannya di depan sang anak."Ibu, bagaimana ini?" tanya Jevan. Para pelayan sudah banyak yang menangis dengan tersedu-sedu. Pelayan Sisca menatap anaknya dalam, kemudian menatap sekitar. Semua bersedih."Tolong, jangan ada yang menangis. Jangan membuat hal yang akan mengakibatkan Nona muda bangun dar
Amertha hanya mengangguk, kemudian tersadar akan sesuatu. "Tapi, aku tidak pernah dengar bahwa kamu masih memiliki keluarga," gumam Amertha. Kini, Jevan jadi gelagapan sendiri."Ah, iya. Dia itu dari keluarga angkat," jawab Jevan dengan menggaruk kepala bagian belakangnya."Jevan!! Oh ya aku baru ingat," pekik Amertha."A--apa?""Masa tadi ponsel ku mati sih? Coba lihat!! Sama sekali tidak terhubung dengan internet," ujar Amertha sembari menunjukkan layar ponselnya pada Jevan."Oh itu--" Jevan menggantung ucapannya. Itu adalah ulahnya, dia merupakan hacker yang cukup ahli. Atas perintah sang ibu, dia memutuskan jaringan pada ponsel Amertha, agar gadis itu sama sekali tidak mengetahui kabar trending hari ini tentang meninggalnya kedua orang tuanya."Iya, kamu kan bisa membenarkan hal seperti ini. Tolong benarkan ponsel ku, aku ingin menelpon Papa dan Mama." Jevan mematung."Ah kalau itu, ponsel ku juga tidak ada jaringan." Jevan membalasnya dengan nada tidak enak, ragu sebenarnya. Namu
"Kapan? Kapan mereka meninggal? Kenapa makam ini tampak sudah lama?" Suaranya sangat rendah, apalagi dengan paduan serak dari deru nafasnya yang tidak beraturan.Pelayan Sisca menghela nafas. "Satu bulan yang lalu, Nona."Amertha segera mengalihkan anestesinya pada Pelayan Sisca. "Apa? Sa--satu b--bulan yang la-lu?"Pelayan Sisca mengangguk, membenarkan."Kenapa kalian tidak memberitahuku? Aku tidak tahu jika mereka telah meninggal, aku juga tidak memberi penghormatan terakhir pada mereka sebelum dikremasi. Jahat! Kalian jahat! Kalian tega sekali," teriak Amertha keras, dia merasa semakin terpukul atas kepergian orang tuanya, juga pada Pelayan Sisca dan Jevan yang dengan tega sama sekali tidak memberitahu kabar besar ini padanya."Aku benci sama kalian, kalian jahat!!" Amertha terus saja berteriak. Bahkan, kesadarannya mulai menghilang secara berkala, karena anestesinya hanya tertuju pada rasa kesal dan marah yang menguras seluruh tenaganya."Nona Amertha!!" Jevan segera menghampiri N