"Apa benar dia memang anaknya Ferdi, hah? Sialan!! Ini di luar ekspektasi ku!" Tuan Ramon berdecih kesal. Dia sungguh sangat kesal saat kedatangan Amerta tadi di rapat pemegang saham. Pria tua itu mengira semua jalannya akan semakin mulus setelah meninggalnya pasangan konglomerat itu, tapi nyatanya masih ada saja batu terjal yang menghalangi langkahnya untuk mengambil alih semua aset yang dimiliki Ferdi dan Alea.
"Menurut data yang diberikan pelayan tadi, beserta lembar tes DNA ... gadis itu benar-benar putri Nyonya Alea dan Tuan Ferdi, Tuan Ramon." Ajudannya berkata, memberikan informasi yang ingin diketahui oleh tuannya ini.Membuat Tuan Ramon semakin menggeram dalam kursi kebesarannya. "Aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja. Meski dia memang benar-benar putri Ferdi atau bukan. Dia hanya gadis lugu, menyingkirkan dia sama sekali bukan masalah yang besar bagi ku." Tersenyum puas, Tuan Ramon menatap Ajudannya."Segera kirim orang untuk mencari informasi tentang gadis itu, kemana saja selama dua puluh tahun ini dan apa alasan Ferdi dan Alea menyembunyikan keberadaan putri mereka!! Jangan sampai ada yang terlewat!! Aku sungguh tidak akan membiarkan dia terlalu lama nyaman berada di rumah itu.""Baik, Tuan," ucap Ajudannya sembari membungkukkan badannya, lantas segera memenuhi perintah tuannya.***"Sayang!! Bagaimana ini? Kenapa kamu tidak memberikan aku uang lagi? Aku juga butuh shopping! Kamu sudah lama tidak memberikan ku uang untuk mempercantik diri." Suara wanita itu dibuat semanja mungkin untuk menarik perhatian pria dewasa di depannya ini, bahkan tanpa segan dia mulai meraba dada bidang pria yang dipanggil Sayang itu.Berniat memberikan kenikmatan pada pria yang menjadi kekasihnya itu.Tapi, bukannya merasakan kenikmatan. Si pria malah merasakan telinganya berdengung, karena mendengar ocehan dari si wanita.Kesal karena si wanita terus merengek, si pria malah menghempaskan tangan nakal wanitanya. "Sialan!! Diam sebentar, Veronika!! Kau hanya tau belanja dan perawatan diri saja. Kau tidak tau bagaimana aku harus mengambil alih semua aset milik Ferdi. Jangan banyak mengoceh hal yang tidak berguna saat ini, Veronika." Suaranya keras, membentak wanita bernama Veronika hingga membuatnya cemberut."Aku kan memang hanya tau shopping sama dandan. Aku mana tau kerjaan kamu ... lagian, bukankah kamu satu-satunya keluarga mereka? Harusnya bukan perkara yang sulit buat dapatin semua asetnya kan?" Wanita itu tidak mau disalahkan, tapi juga tidak menunjukkan rasa kesalnya. Dia masih berusaha mempertahankan wajahnya dengan senyuman lebar dan tatapan mata sok polos."Iya, harusnya memang seperti itu!! Tapi sekarang semuanya semakin sulit!" Alex, yang merupakan saudara jauh Ferdi, bersungut-sungut."Terus-terus, kok bisa jadi sulit, Sayang?" Veronika jadi tertarik saat ini, pasalnya, Alex adalah tambang uangnya saat ini. Mau minta kemana lagi, jika bukan ke Alex."Tadi, pas rapat pemegang saham. Tiba-tiba ada yang datang terus ngaku-ngaku jadi anaknya Ferdi, sialan. Si tua bangka Ramon saja aku sudah kewalahan, malah sekarang datang lagi saingan baru."Pria berusia empat puluh tahun itu menceritakan semuanya dengan menggebu-gebu. "Veronika!!" Lantang menyebut nama kekasihnya.Membuat si wanita tergagap. "Eh, kenapa, Sayang?""Kau harus bantu aku!!""Hah? Bantu gimana, Sayang? Aku kan nggak paham dunia kerja perusahaan!!" Wanita itu jadi bingung sendiri dengan ucapan kekasihnya."Aku tau itu. Tapi kau masih punya hal yang bisa membantu ku." Sebuah seringai muncul di wajah tuanya. Alex menatap penuh minat pada Veronika, spontan membuat wanita itu tersenyum kikuk, dia belum paham apa yang diinginkan oleh Alex.***Berada di mansion utama Keluarga Ferdi dan Alea. Amertha terdiam, kala melihat foto besar di sebuah kamar. Foto yang menampilkan wajah bahagia kedua orang tuanya, rasanya sedih ketika menyadari kalau mereka sudah tidak ada di dunia ini lagi."Sebenarnya siapa yang tega membunuh kalian?" gumam Amertha sembari mengusap foto tersebut.
Menatap sekeliling kamar milik orang tuanya, gadis itu tanpa sengaja melihat sesuatu yang menarik minatnya. Namun sayang, baru saja dia hendak menggapai benda tersebut, panggilan Pelayan Sisca menggema.
Kepala pelayan itu datang dengan menundukkan kepalanya, tanda hormat. "Nona, kita harus segera berdiskusi lebih lanjut untuk memperkuat posisi Nona saat ini." Wanita paruh baya itu berkata, memberitahu jika meskipun Amertha sudah membawa hasil tes DNA dan beberapa lembar foto kebersamaannya dengan almarhum kedua orang tuanya. Tapi tetap saja, posisi gadis itu belum kuat. Dia hanya seorang gadis dua puluh dua tahun yang tiba-tiba muncul di tengah pertikaian pelik banyak pihak yang menginginkan seluruh harta kekayaan Tuan Ferdi dan Nyonya Alea.
Apalagi dalang dari kecelakaan kedua orang tuanya belum ditemukan. Gadis itu harus tetap waspada dalam hal apapun.
"Baiklah," ucap Amertha, dia akhirnya mengikuti langkah Pelayan Sisca.
Di setiap langkahnya, ketika bertemu dengan para maid, mereka akan menundukkan kepalanya pada mereka. Hingga mereka berdua tiba di sebuah ruangan, di sana sudah ada Jevan ternyata.
Klik.. pintu tertutup secara otomatis.
Amertha yang sudah akrab dengan Jevan, langsung saja duduk di samping pemuda itu. Disusul oleh Pelayan Sisca setelah wanita paruh baya itu menekan beberapa tombol yang di samping pintu, yang Amertha tidak tau tombol apa saja itu.
"Semua sudah aman. Jevan, tunjukan semuanya pada Nona Amertha." Pelayan Sisca langsung memberikan instruksi pada putranya.
Dengan cekatan, Jevan langsung mengotak-atik laptopnya hingga terpampang deretan nama di sana.
"Apa ini, Pelayan Sisca?" tanya Amertha kebingungan.
Hembusan angin dingin dan gulita malam menyapa pengendara mobil yang melintas di jalanan berbukit, dekat pantai. Di dalam mobil tersebut ada empat orang penumpang; satu supir, satu asisten pribadi yang duduk di kursi depan, juga sepasang suami istri yang merupakan majikan di dalam mobil itu duduk di kursi penumpang. Mereka telah menyelesaikan pekerjaan yang berada di kota seberang. Malam ini, niatnya adalah untuk kembali ke kota asal, karena banyaknya jadwal padat dari pemilik perusahaan terbesar di Asia, yang saat ini duduk santai di kursi penumpang.Sepasang suami-istri itu tengah menikmati waktu santainya di mobil, sang istri tertidur pulas, begitu pula dengan sang suami. Sama-sama menikmati malam yang menyapa, jalanan cukup lenggang karena kondisi malam, dan juga rute perjalanan mereka yang jarang digunakan, tentu untuk mempersingkat waktu agar segera sampai di ibu kota.Asisten pribadi itu masih terjaga, mengamati jalanan sekitar yang cukup sunyi. Hingga, selang beberapa menit, m
Sedangkan kondisi di rumah Amertha, Pelayan Sisca sudah mengurung majikannya di dalam kamar. Ah, bukan mengurung. Lebih tepatnya, malam ini sudah sangat larut dan sudah waktunya untuk Amertha istirahat. Pelayan Sisca juga mengunci kamar Nona muda-nya, mengantisipasi dengan kedatangan tiba-tiba sang Nona, di tengah pemberitaan televisi pada malam ini yang menjadi banyak tontonan para pelayan malam ini. Termasuk dengan Jevan.Pria itu menjatuhkan rahangnya, saat identitas dari korban kecelakaan tersebut disebut dengan amat sangat jelas. Mereka adalah orang tua Amertha, Nona muda-nya. Menatap sang ibu dengan rasa cemas, Pelayan Sisca berdeham. Hatinya juga sedih, namun, dia tidak bisa menunjukkannya di depan sang anak."Ibu, bagaimana ini?" tanya Jevan. Para pelayan sudah banyak yang menangis dengan tersedu-sedu. Pelayan Sisca menatap anaknya dalam, kemudian menatap sekitar. Semua bersedih."Tolong, jangan ada yang menangis. Jangan membuat hal yang akan mengakibatkan Nona muda bangun dar
Amertha hanya mengangguk, kemudian tersadar akan sesuatu. "Tapi, aku tidak pernah dengar bahwa kamu masih memiliki keluarga," gumam Amertha. Kini, Jevan jadi gelagapan sendiri."Ah, iya. Dia itu dari keluarga angkat," jawab Jevan dengan menggaruk kepala bagian belakangnya."Jevan!! Oh ya aku baru ingat," pekik Amertha."A--apa?""Masa tadi ponsel ku mati sih? Coba lihat!! Sama sekali tidak terhubung dengan internet," ujar Amertha sembari menunjukkan layar ponselnya pada Jevan."Oh itu--" Jevan menggantung ucapannya. Itu adalah ulahnya, dia merupakan hacker yang cukup ahli. Atas perintah sang ibu, dia memutuskan jaringan pada ponsel Amertha, agar gadis itu sama sekali tidak mengetahui kabar trending hari ini tentang meninggalnya kedua orang tuanya."Iya, kamu kan bisa membenarkan hal seperti ini. Tolong benarkan ponsel ku, aku ingin menelpon Papa dan Mama." Jevan mematung."Ah kalau itu, ponsel ku juga tidak ada jaringan." Jevan membalasnya dengan nada tidak enak, ragu sebenarnya. Namu
"Kapan? Kapan mereka meninggal? Kenapa makam ini tampak sudah lama?" Suaranya sangat rendah, apalagi dengan paduan serak dari deru nafasnya yang tidak beraturan.Pelayan Sisca menghela nafas. "Satu bulan yang lalu, Nona."Amertha segera mengalihkan anestesinya pada Pelayan Sisca. "Apa? Sa--satu b--bulan yang la-lu?"Pelayan Sisca mengangguk, membenarkan."Kenapa kalian tidak memberitahuku? Aku tidak tahu jika mereka telah meninggal, aku juga tidak memberi penghormatan terakhir pada mereka sebelum dikremasi. Jahat! Kalian jahat! Kalian tega sekali," teriak Amertha keras, dia merasa semakin terpukul atas kepergian orang tuanya, juga pada Pelayan Sisca dan Jevan yang dengan tega sama sekali tidak memberitahu kabar besar ini padanya."Aku benci sama kalian, kalian jahat!!" Amertha terus saja berteriak. Bahkan, kesadarannya mulai menghilang secara berkala, karena anestesinya hanya tertuju pada rasa kesal dan marah yang menguras seluruh tenaganya."Nona Amertha!!" Jevan segera menghampiri N
"Sebenarnya, anda adalah pewaris tunggal semua aset keluarga konglomerat yang merajai industri pangan di Indonesia, Nona. Anda jelas tahu perusahaan itu bukan?""Kamu bercanda, Pelayan Sisca?""Tidak, Nona. Tidak ada waktunya bercanda saat ini."Amertha menatap Jevan, tersenyum miris. Ternyata banyak sekali rahasia yang baru ia ketahui. ‘Kenapa mereka menyembunyikan semua itu?’ pikir Amertha.***"Hasilnya tidak bisa begitu! Bagaimana bisa? Saya kerabat Ferdi, seharusnya saya yang mendapatkan hak kuasa atas perusahaan dan asetnya." Suara Tuan Alex menggema dalam ruangan, dia masih tidak terima jika tambuk kepemimpinan perusahaan jatuh pada Tuan Ramon."Semua sudah jelas, Tuan Alex. Anda harus menerima keputusan ini, jika tidak silahkan anda keluar dari perusahaan ini." Kini Tuan Ramon tersenyum remeh."Jadi, bisa diputuskan bahwa tanggal 06 Maret 2022, tambuk kekuasaan dan aset perusahaan milik keluarga konglomerat Ferdi Adistra Gunawan, SENTRA GOLDEN TBK… akan jatuh pada … .""Tunggu