Amertha hanya mengangguk, kemudian tersadar akan sesuatu. "Tapi, aku tidak pernah dengar bahwa kamu masih memiliki keluarga," gumam Amertha. Kini, Jevan jadi gelagapan sendiri.
"Ah, iya. Dia itu dari keluarga angkat," jawab Jevan dengan menggaruk kepala bagian belakangnya."Jevan!! Oh ya aku baru ingat," pekik Amertha."A--apa?""Masa tadi ponsel ku mati sih? Coba lihat!! Sama sekali tidak terhubung dengan internet," ujar Amertha sembari menunjukkan layar ponselnya pada Jevan."Oh itu--" Jevan menggantung ucapannya. Itu adalah ulahnya, dia merupakan hacker yang cukup ahli. Atas perintah sang ibu, dia memutuskan jaringan pada ponsel Amertha, agar gadis itu sama sekali tidak mengetahui kabar trending hari ini tentang meninggalnya kedua orang tuanya."Iya, kamu kan bisa membenarkan hal seperti ini. Tolong benarkan ponsel ku, aku ingin menelpon Papa dan Mama." Jevan mematung."Ah kalau itu, ponsel ku juga tidak ada jaringan." Jevan membalasnya dengan nada tidak enak, ragu sebenarnya. Namun, semua sudah dipersiapkan dengan hati-hati. Jadi tidak mungkin dia merusak apa yang telah direncanakan oleh sang ibu. Walau sebenarnya, dia bisa saja melacak jaringan dengan sangat cepat."Kok bisa sih? Kan biasanya kamu selalu bisa jika urusan seperti ini," gerutu Amertha kesal."Maaf, mungkin ini memang dari sistem pusat. Tadi aku sudah mencobanya berulang kali, namun, tetap tidak bisa."***Usai makan malam, Amertha tidak langsung tidur. Dia mampir terlebih dahulu ke ruang keluarga, tepatnya adalah dimana ada televisi di sana. Jevan yang menyadarinya, lantas bertanya. "Anda tidur, Nona?""Tidak! Aku sedang butuh hiburan, karena tidak bisa menelpon Papa dan Mama." Gadis itu sudah duduk manis di sofa, berniat menyalakan televisi dengan remot yang baru saja ia ambil alih dari nakas. Namun, tidak ada layar bergambar seperti yang Amertha inginkan. Yang muncul malah garis berwarna-warni, juga suara decitan yang keluar dari televisi.Amertha menoleh pada Jevan, meminta penjelasan akan apa yang terjadi pada televisi rumahnya. Jevan, mengangkat bahu. "Sepertinya, televisi kita juga bermasalah, Nona."Jawaban itu membuat Amertha menjatuhkan rahangnya, kenapa sejak dari tadi pagi ada yang aneh dengan penghuni rumah ini. Juga Jevan. "Ah, sudahlah. Sepertinya tidur lebih baik untuk ku," ucap Amertha yang kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar, dengan perasaannya yang kesal.Jevan menghembuskan nafas, lega. Namun, pria itu juga menjadi kasihan sendiri pada Amertha. Gadis itu sama sekali tidak tahu jika orang tuanya telah meninggal. Bahkan dia tidak mengantar sampai rumah duka. Lagi-lagi Jevan membenarkan apa yang ia lakukan sekarang, karena hal ini dilakukan juga demi keselamatan Amertha sendiri. Dia tahu, banyak musuh Ferdi yang berkeliaran di luar, dan pasti dengan mudahnya mereka akan menyakiti Amertha jika tahu identitas sebenarnya Nona muda-nya itu.***Satu bulan kemudian, Amertha masih tidak tahu kebenaran atas orang tuanya sampai saat ini. Bahkan, kondisi rumahnya masih tetap seperti biasanya, tidak ada kabar duka yang menyapa. Hari ini, Pelayan Sisca berniat untuk membawa Amertha menuju Ibu kota, tempat makam orangtuanya. Mau tidak mau, cepat atau lambat, kabar duka itu harus disampaikan pada Amertha. Terlebih, Pelayan Sisca yang baru saja pulang usai menghadiri rumah duka Tuannya, secara tidak sengaja mendapatkan berita yang tidak baik. Membuatnya merasa bahwa memberitahu kabar yang sebenarnya pada Nona Amertha adalah keputusan yang benar."Apa kalian tidak sedang mengerjaiku?" tanya Amertha pada Pelayan Sisca dan Jevan. Merasa amat sangat senang, saat diberi kabar bahwa mereka akan berkunjung ke rumah Papa dan Mamanya yang berada di kota. Alasannya sangat simpel, karena orang tua Amertha tidak bisa berkunjung, maka Amertha lah yang akan berkunjung ke rumah orangtuanya. Namun, hal itu tentu bukan dusta, kan? Memang benar, jika kedua orang tuanya sudah tidak bisa mengunjunginya lagi, bahkan selamanya."Tentu tidak, Nona. Mari lekas kita berangkat, Papa dan Mama anda sudah menunggu kedatangan, anda!" Jevan tersenyum miris dengan ucapan Ibunya. Yang benar saja, jelas saat Amertha tahu semuanya, dia akan bersimbah dengan deraian air mata.Mobil yang ditumpangi oleh Amertha, Pelayan Sisca, dan Jevan sudah sampai di Ibu Kota saat petang menyapa. Tak ingin membuat kecurigaan, dengan menginap di tempat istirahat. Akhirnya perjalanan mereka masih diteruskan menuju pemakaman tempat keluarga Ferdi dan Alea bersemayam. Mata Amertha sama sekali tidak lepas dari kaca jendela pintu mobil yang menampakkan sisi keramaian Ibu Kota. Ini pertama kalinya dia melihat suasana ibu kota, dulu sewaktu dia merengek ingin ikut kedua orang tuanya ke Ibu Kota, selalu saja ditolak. Dengan berbagai alasan, dan janji manis supaya gadis itu melupakan keinginannya untuk pergi ke Ibu kota.Namun, lambat laun keramaian Ibu kota sudah hilang, tergantikan dengan jajaran nisan yang rapi. Amertha mengerutkan keningnya, menoleh pada Pelayan Sisca untuk meminta penjelasan."Mari turun, Nona." Pelayan Sisca lebih dulu meminta pada Amertha. Semua turun, dan mengikuti langkah Pelayan Sisca."Kenapa kita kesini, Jevan?"Pria itu hanya diam, pertanyaan Amertha bagai angin lalu. Dia menundukkan kepalanya saja, tidak kuat rasanya saat nanti melihat Amertha mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.Mereka sampai pada sebuah makam yang cukup mewah, terlihat sekali bahwa makam tersebut sudah cukup lama. Banyak rumput yang memenuhi daerah sekitarnya. "Makam siapa ini, Pelayan Sisca?" tanya Amertha, matanya mencari tahu dari balik nisan."Maafkan saya, Nona. Baru bisa memberi tahu kabar ini, bahwa orang tua anda, telah meninggal dunia." Pelayan Sisca mengucapkan hal tersebut dengan sangat pelan. Namun, bagi Amertha yang mendengarnya. Gadis itu merasa tertampar dengan sangat keras, bahkan dia masih tidak yakin bahwa nama yang terukir di batu nisan tersebut adalah nama orang tuanya."Tidak!! Tidak mungkin mereka meninggal, tidak! Kalian pasti sedang bercanda kan? Kalian ingin membuatkan ku kejutan, bukan?" Amertha masih meracau, masih yakin bahwa semua ini adalah rencana kejutan yang disiapkan oleh sang Papa dan Mama yang menyambut kedatangannya di ibu kota.Dia bahkan masih bisa tertawa, namun, melihat sama sekali tidak ada interaksi dari Pelayan Sisca yang mengubah pikirannya. Juga Jevan yang kini malah terdiam kaku, sembari menangis dalam diam. Perlahan, tawa itu menjadi sebuah tawa miris. Segera Amertha duduk lemas di dekat makam orang tuanya. Air matanya mulai tergerai, isak tangisnya sudah menderu."Ini bukan Papa, kan? Papa kenapa jahat banget bikin kejutan seperti ini ke aku, Pa, Ma?" Gadis itu mulai merengkuh nisan makam orang tuanya. Pelayan Sisca ikut duduk di sebelah Amertha, merangkul tubuh menggigil Nona muda-nya."Nona--" Belum juga Pelayan Sisca mengutarakan apa yang akan ia ucap, Amertha lebih dulu menyela."Kapan? Kapan mereka meninggal? Kenapa makam ini tampak sudah lama?" Suaranya sangat rendah, apalagi dengan paduan serak dari deru nafasnya yang tidak beraturan.Pelayan Sisca menghela nafas. "Satu bulan yang lalu, Nona."Amertha segera mengalihkan anestesinya pada Pelayan Sisca. "Apa? Sa--satu b--bulan yang la-lu?"Pelayan Sisca mengangguk, membenarkan."Kenapa kalian tidak memberitahuku? Aku tidak tahu jika mereka telah meninggal, aku juga tidak memberi penghormatan terakhir pada mereka sebelum dikremasi. Jahat! Kalian jahat! Kalian tega sekali," teriak Amertha keras, dia merasa semakin terpukul atas kepergian orang tuanya, juga pada Pelayan Sisca dan Jevan yang dengan tega sama sekali tidak memberitahu kabar besar ini padanya."Aku benci sama kalian, kalian jahat!!" Amertha terus saja berteriak. Bahkan, kesadarannya mulai menghilang secara berkala, karena anestesinya hanya tertuju pada rasa kesal dan marah yang menguras seluruh tenaganya."Nona Amertha!!" Jevan segera menghampiri N
"Sebenarnya, anda adalah pewaris tunggal semua aset keluarga konglomerat yang merajai industri pangan di Indonesia, Nona. Anda jelas tahu perusahaan itu bukan?""Kamu bercanda, Pelayan Sisca?""Tidak, Nona. Tidak ada waktunya bercanda saat ini."Amertha menatap Jevan, tersenyum miris. Ternyata banyak sekali rahasia yang baru ia ketahui. ‘Kenapa mereka menyembunyikan semua itu?’ pikir Amertha.***"Hasilnya tidak bisa begitu! Bagaimana bisa? Saya kerabat Ferdi, seharusnya saya yang mendapatkan hak kuasa atas perusahaan dan asetnya." Suara Tuan Alex menggema dalam ruangan, dia masih tidak terima jika tambuk kepemimpinan perusahaan jatuh pada Tuan Ramon."Semua sudah jelas, Tuan Alex. Anda harus menerima keputusan ini, jika tidak silahkan anda keluar dari perusahaan ini." Kini Tuan Ramon tersenyum remeh."Jadi, bisa diputuskan bahwa tanggal 06 Maret 2022, tambuk kekuasaan dan aset perusahaan milik keluarga konglomerat Ferdi Adistra Gunawan, SENTRA GOLDEN TBK… akan jatuh pada … .""Tunggu
"Apa benar dia memang anaknya Ferdi, hah? Sialan!! Ini di luar ekspektasi ku!" Tuan Ramon berdecih kesal. Dia sungguh sangat kesal saat kedatangan Amerta tadi di rapat pemegang saham. Pria tua itu mengira semua jalannya akan semakin mulus setelah meninggalnya pasangan konglomerat itu, tapi nyatanya masih ada saja batu terjal yang menghalangi langkahnya untuk mengambil alih semua aset yang dimiliki Ferdi dan Alea."Menurut data yang diberikan pelayan tadi, beserta lembar tes DNA ... gadis itu benar-benar putri Nyonya Alea dan Tuan Ferdi, Tuan Ramon." Ajudannya berkata, memberikan informasi yang ingin diketahui oleh tuannya ini.Membuat Tuan Ramon semakin menggeram dalam kursi kebesarannya. "Aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja. Meski dia memang benar-benar putri Ferdi atau bukan. Dia hanya gadis lugu, menyingkirkan dia sama sekali bukan masalah yang besar bagi ku." Tersenyum puas, Tuan Ramon menatap Ajudannya."Segera kirim orang untuk mencari informasi tentang gadis itu, kem
Hembusan angin dingin dan gulita malam menyapa pengendara mobil yang melintas di jalanan berbukit, dekat pantai. Di dalam mobil tersebut ada empat orang penumpang; satu supir, satu asisten pribadi yang duduk di kursi depan, juga sepasang suami istri yang merupakan majikan di dalam mobil itu duduk di kursi penumpang. Mereka telah menyelesaikan pekerjaan yang berada di kota seberang. Malam ini, niatnya adalah untuk kembali ke kota asal, karena banyaknya jadwal padat dari pemilik perusahaan terbesar di Asia, yang saat ini duduk santai di kursi penumpang.Sepasang suami-istri itu tengah menikmati waktu santainya di mobil, sang istri tertidur pulas, begitu pula dengan sang suami. Sama-sama menikmati malam yang menyapa, jalanan cukup lenggang karena kondisi malam, dan juga rute perjalanan mereka yang jarang digunakan, tentu untuk mempersingkat waktu agar segera sampai di ibu kota.Asisten pribadi itu masih terjaga, mengamati jalanan sekitar yang cukup sunyi. Hingga, selang beberapa menit, m
Sedangkan kondisi di rumah Amertha, Pelayan Sisca sudah mengurung majikannya di dalam kamar. Ah, bukan mengurung. Lebih tepatnya, malam ini sudah sangat larut dan sudah waktunya untuk Amertha istirahat. Pelayan Sisca juga mengunci kamar Nona muda-nya, mengantisipasi dengan kedatangan tiba-tiba sang Nona, di tengah pemberitaan televisi pada malam ini yang menjadi banyak tontonan para pelayan malam ini. Termasuk dengan Jevan.Pria itu menjatuhkan rahangnya, saat identitas dari korban kecelakaan tersebut disebut dengan amat sangat jelas. Mereka adalah orang tua Amertha, Nona muda-nya. Menatap sang ibu dengan rasa cemas, Pelayan Sisca berdeham. Hatinya juga sedih, namun, dia tidak bisa menunjukkannya di depan sang anak."Ibu, bagaimana ini?" tanya Jevan. Para pelayan sudah banyak yang menangis dengan tersedu-sedu. Pelayan Sisca menatap anaknya dalam, kemudian menatap sekitar. Semua bersedih."Tolong, jangan ada yang menangis. Jangan membuat hal yang akan mengakibatkan Nona muda bangun dar