Hembusan angin dingin dan gulita malam menyapa pengendara mobil yang melintas di jalanan berbukit, dekat pantai. Di dalam mobil tersebut ada empat orang penumpang; satu supir, satu asisten pribadi yang duduk di kursi depan, juga sepasang suami istri yang merupakan majikan di dalam mobil itu duduk di kursi penumpang. Mereka telah menyelesaikan pekerjaan yang berada di kota seberang. Malam ini, niatnya adalah untuk kembali ke kota asal, karena banyaknya jadwal padat dari pemilik perusahaan terbesar di Asia, yang saat ini duduk santai di kursi penumpang.
Sepasang suami-istri itu tengah menikmati waktu santainya di mobil, sang istri tertidur pulas, begitu pula dengan sang suami. Sama-sama menikmati malam yang menyapa, jalanan cukup lenggang karena kondisi malam, dan juga rute perjalanan mereka yang jarang digunakan, tentu untuk mempersingkat waktu agar segera sampai di ibu kota.Asisten pribadi itu masih terjaga, mengamati jalanan sekitar yang cukup sunyi. Hingga, selang beberapa menit, mobil yang dikendarai tiba-tiba oleng dan berakhir menerobos plang pembatas antara jalanan dan curam pantai di sisi jalan."Apa yang kamu lakukan!!" Asisten pribadi itu berseru, meneriaki si supir yang tiba-tiba saja melepas kendali mobil yang mereka tumpangi. Kini posisi mereka berada di antara pembatas, mobil itu belum sepenuhnya terjun menuju curam pantai. Masih terbelit dengan pembatas jalan, yang menahan berat kendaraan besi roda empat itu."Maafkan saya, Tuan. Maaf, tapi saya harus melakukan ini." Si supir berteriak dengan nada suara yang ketakutan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa kondisi badan mobil yang terbelit pembatas jalan itu tampak menegangkan jiwa. Apalagi jeritan keduanya sampai membangunkan sang majikan."Hah? Ada apa ini? Kenapa bisa jadi seperti ini?" tanya Ferdi, dia kaget saat tahu kaca mobil bagian depannya sudah pecah, bahkan kini sudah menampilkan pemandangan curam pantai yang dipenuhi bebatuan karang. Yang sayangnya langsung membuat si majikan melotot tak percaya dengan kondisinya saat ini."Suruhan siapa kamu?" Si Asisten pribadi masih mengintrogasi. Namun, sayangnya si supir hanya menangis. Entah menyesal melakukan hal ini pada majikannya, atau dia juga tengah ketakutan karena hidupnya juga sedang di ambang Kematian."Maaf, Tuan, Nyonya." Setelah mengucapkan hal itu, dia bukan lantas pergi dengan bala bantuan lainnya seperti apa yang dipikirkan oleh si Asisten pribadi itu. Namun, dia malah segera menerjunkan tubuh mobil dengan cara menginjak gas mobil dengan amat sangat kuat. Membuat badan mobil otomatis terlepas dari lilitan pembatas jalan. Dan terjun bebas menghantam bebatuan karang besar di bawah sana. Penghuni dalam mobil itu masih utuh, dan hanya menyisakan jeritan keras yang berbaur dengan deburan ombak laut di malam hari.***"Anda jahat sekali, Nona. Kenapa saya harus dihukum seperti ini?" Jevan terus saja berteriak. Dia bukan berpura-pura kesakitan atau menyesal telah menggoda Amertha. Dia benar-benar menyesal, ternyata teman masa kecil pria itu menyuruhnya untuk menggantikan orang-orangan sawah yang berada di ladang mereka sebagai ganti hukuman atas kelakuannya pada Amertha. Apalagi di tengah panas terik matahari yang mulai meninggi."Hei, kamu bilang aku apa? Aku tidak jahat, aku hanya menjalankan tugas menjadi majikan yang baik." Amertha tidak mau dikatain jahat."Anda bukan majikan baik, jika membiarkan pelayannya menjadi orang-orangan sawah seperti ini," balas Jevan. Kepalanya terus saja menunduk, menghindari sinar panas dan menyilaukan dari sang mentari."Aku adalah majikan baik hati, yang harus berlaku adil pada pelayannya yang telah menggoda majikannya. Kamu harus tahu itu, bahwa sikap kamu itu tidak baik, apalagi melarang majikannya melakukan hal yang disukainya," ucap Amertha dengan kedua tangan yang berada di atas dadanya. Gadis itu berada di lumbung, tempat istirahat yang terbuat dari bambu dan anyaman daun kelapa sebagai atapnya. Berbentuk seperti rumah kecil tanpa jendela dan pintu.Jevan menghela nafas, terik dari sinar mentari seolah menarik daya tenaga tubuhnya secara berkala. Keringat sudah mulai membanjiri kaos hitam oblong yang ia pakai, juga celana Jeans-nya. Membuat pria itu bergerak tidak nyaman dengan pakaian yang melekat di tubuhnya, apalagi posisinya sekarang yang berada di tengah ladang, dengan kaos hitamnya yang melekat pada tiang bambu, tempat di mana biasanya orang-orangan sawah diletakkan."Ampun, Nona. Saya menyesal, saya sudah kelelahan." Jevan memohon, apalagi memang yang akan ia lakukan dengan tubuh tanpa daya? Tentu dia akan meminta belas kasih pada teman masa kecil, juga majikannya itu."Tunggu sebentar, Jevan. Sebentar lagi, hukuman akan selesai," jelas Amertha.Pria itu kembali menghela nafas, bahkan dengan kasar. Seolah bahwa dia sudah tidak kuat lagi menanggung hukuman dari Tuan Putrinya ini. Namun, sebuah suara menginterupsi keduanya."Nona Amertha!""Pelayan Sisca, apa dia akan marah saat melihat putranya kuhukum seperti itu?" Amertha berbicara pada dirinya sendiri, saat melihat orang yang memanggil namanya adalah ibu dari pria yang kini sedang ia hukum menjadi orang-orangan sawah. Gadis itu segera bangkit dari duduknya di lumbung. Menatap cemas pada kondisi Jevan yang sudah tidak berdaya, jujur saja dia merasa takut kalau Pelayan Sisca memarahinya. Dengan segera Amertha membantu Jevan untuk lepas dari bambu tempat orang-orangan sawah."Haduh, semoga saja Pelayan Sisca tidak marah, karena anaknya aku hukum seperti itu. " Amertha jadi cemas sendirian, apalagi saat melihat Pelayan Sisca yang datang ke tempatnya dengan terburu-buru.Sampai di tempat Amertha berada, Pelayan Sisca bukan memarahinya. Namun, lantas segera menarik Amertha untuk dibawa pulang."Nona, anda harus pulang sekarang!""Tapi--" Belum sempat melanjutkan ucapannya, Pelayan Sisca segera menyela. Mengatakan, bahwa ini adalah perintah dari orang tuanya. Bahkan, Jevan saja masih terbaring tak berdaya di atas ladang. Matanya menatap sayu saat tahu sang ibu menarik paksa Nona majikannya.Pria itu masih menormalkan keadaan fisiknya, walau dalam hati terus saja bertanya-tanya perihal apa gerangan sehingga membuat sang ibu berlaku seperti itu pada Nona majikan mereka. Padahal, sebelumnya Pelayan Sisca sama sekali tidak pernah memaksa ataupun memotong ucapan Amertha.***"Berita liputan malam ini, merupakan HOT NEWS yang cukup menggemparkan jagat industri perusahaan pangan di Indonesia. Kecelakaan yang terjadi di rute jalan tol Bali Mandara, ternyata kecelakan pertama di jalan tersebut. Kecelakaan itu menewaskan empat orang korban dalam sebuah mobil. Empat orang korban merupakan tiga orang pria dewasa dan satu orang perempuan. Yang mengejutkan adalah, dua orang korban teridentifikasi merupakan sepasang suami istri keluarga konglomerat yang merajai bidang industri pangan di Asia. Mari kita simak, penjelasan rekan kami di tempat kejadian perkara. Saudara Herman Mulyono, silahkan." Pembawa acara berita mengalihkan anestesinya pada rekan kerjanya.Tampak di layar televisi besar, seorang dengan menggunakan jas hujan, menatap tegas pada layar monitor yang menyorotnya. Hujan lebat ikut menjadi background berita malam ini, si penyiar mulai membuka suara saat merasa bahwa dia sudah tersambung dengan tempat pusat penyiaran berita televisi.Sedangkan kondisi di rumah Amertha, Pelayan Sisca sudah mengurung majikannya di dalam kamar. Ah, bukan mengurung. Lebih tepatnya, malam ini sudah sangat larut dan sudah waktunya untuk Amertha istirahat. Pelayan Sisca juga mengunci kamar Nona muda-nya, mengantisipasi dengan kedatangan tiba-tiba sang Nona, di tengah pemberitaan televisi pada malam ini yang menjadi banyak tontonan para pelayan malam ini. Termasuk dengan Jevan.Pria itu menjatuhkan rahangnya, saat identitas dari korban kecelakaan tersebut disebut dengan amat sangat jelas. Mereka adalah orang tua Amertha, Nona muda-nya. Menatap sang ibu dengan rasa cemas, Pelayan Sisca berdeham. Hatinya juga sedih, namun, dia tidak bisa menunjukkannya di depan sang anak."Ibu, bagaimana ini?" tanya Jevan. Para pelayan sudah banyak yang menangis dengan tersedu-sedu. Pelayan Sisca menatap anaknya dalam, kemudian menatap sekitar. Semua bersedih."Tolong, jangan ada yang menangis. Jangan membuat hal yang akan mengakibatkan Nona muda bangun dar
Amertha hanya mengangguk, kemudian tersadar akan sesuatu. "Tapi, aku tidak pernah dengar bahwa kamu masih memiliki keluarga," gumam Amertha. Kini, Jevan jadi gelagapan sendiri."Ah, iya. Dia itu dari keluarga angkat," jawab Jevan dengan menggaruk kepala bagian belakangnya."Jevan!! Oh ya aku baru ingat," pekik Amertha."A--apa?""Masa tadi ponsel ku mati sih? Coba lihat!! Sama sekali tidak terhubung dengan internet," ujar Amertha sembari menunjukkan layar ponselnya pada Jevan."Oh itu--" Jevan menggantung ucapannya. Itu adalah ulahnya, dia merupakan hacker yang cukup ahli. Atas perintah sang ibu, dia memutuskan jaringan pada ponsel Amertha, agar gadis itu sama sekali tidak mengetahui kabar trending hari ini tentang meninggalnya kedua orang tuanya."Iya, kamu kan bisa membenarkan hal seperti ini. Tolong benarkan ponsel ku, aku ingin menelpon Papa dan Mama." Jevan mematung."Ah kalau itu, ponsel ku juga tidak ada jaringan." Jevan membalasnya dengan nada tidak enak, ragu sebenarnya. Namu
"Kapan? Kapan mereka meninggal? Kenapa makam ini tampak sudah lama?" Suaranya sangat rendah, apalagi dengan paduan serak dari deru nafasnya yang tidak beraturan.Pelayan Sisca menghela nafas. "Satu bulan yang lalu, Nona."Amertha segera mengalihkan anestesinya pada Pelayan Sisca. "Apa? Sa--satu b--bulan yang la-lu?"Pelayan Sisca mengangguk, membenarkan."Kenapa kalian tidak memberitahuku? Aku tidak tahu jika mereka telah meninggal, aku juga tidak memberi penghormatan terakhir pada mereka sebelum dikremasi. Jahat! Kalian jahat! Kalian tega sekali," teriak Amertha keras, dia merasa semakin terpukul atas kepergian orang tuanya, juga pada Pelayan Sisca dan Jevan yang dengan tega sama sekali tidak memberitahu kabar besar ini padanya."Aku benci sama kalian, kalian jahat!!" Amertha terus saja berteriak. Bahkan, kesadarannya mulai menghilang secara berkala, karena anestesinya hanya tertuju pada rasa kesal dan marah yang menguras seluruh tenaganya."Nona Amertha!!" Jevan segera menghampiri N
"Sebenarnya, anda adalah pewaris tunggal semua aset keluarga konglomerat yang merajai industri pangan di Indonesia, Nona. Anda jelas tahu perusahaan itu bukan?""Kamu bercanda, Pelayan Sisca?""Tidak, Nona. Tidak ada waktunya bercanda saat ini."Amertha menatap Jevan, tersenyum miris. Ternyata banyak sekali rahasia yang baru ia ketahui. ‘Kenapa mereka menyembunyikan semua itu?’ pikir Amertha.***"Hasilnya tidak bisa begitu! Bagaimana bisa? Saya kerabat Ferdi, seharusnya saya yang mendapatkan hak kuasa atas perusahaan dan asetnya." Suara Tuan Alex menggema dalam ruangan, dia masih tidak terima jika tambuk kepemimpinan perusahaan jatuh pada Tuan Ramon."Semua sudah jelas, Tuan Alex. Anda harus menerima keputusan ini, jika tidak silahkan anda keluar dari perusahaan ini." Kini Tuan Ramon tersenyum remeh."Jadi, bisa diputuskan bahwa tanggal 06 Maret 2022, tambuk kekuasaan dan aset perusahaan milik keluarga konglomerat Ferdi Adistra Gunawan, SENTRA GOLDEN TBK… akan jatuh pada … .""Tunggu
"Apa benar dia memang anaknya Ferdi, hah? Sialan!! Ini di luar ekspektasi ku!" Tuan Ramon berdecih kesal. Dia sungguh sangat kesal saat kedatangan Amerta tadi di rapat pemegang saham. Pria tua itu mengira semua jalannya akan semakin mulus setelah meninggalnya pasangan konglomerat itu, tapi nyatanya masih ada saja batu terjal yang menghalangi langkahnya untuk mengambil alih semua aset yang dimiliki Ferdi dan Alea."Menurut data yang diberikan pelayan tadi, beserta lembar tes DNA ... gadis itu benar-benar putri Nyonya Alea dan Tuan Ferdi, Tuan Ramon." Ajudannya berkata, memberikan informasi yang ingin diketahui oleh tuannya ini.Membuat Tuan Ramon semakin menggeram dalam kursi kebesarannya. "Aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja. Meski dia memang benar-benar putri Ferdi atau bukan. Dia hanya gadis lugu, menyingkirkan dia sama sekali bukan masalah yang besar bagi ku." Tersenyum puas, Tuan Ramon menatap Ajudannya."Segera kirim orang untuk mencari informasi tentang gadis itu, kem