Dayu kehilangan rasa lega yang sudah ditumbuhkan oleh Nala begitu melihat sepasang mata raksasa yang muncul di langit ungu sana. Mata itu begitu besar, memandang ke arahnya dan pohon keramat dengan tatapan yang menakutkan.Bola mata itu berwarna hitam, dengan bulatan merah di tengahnya. Rasanya sangat menakutkan sampai Dayu tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia kehilangan kemampuannya untuk berpikir, dia tak bisa melakukan apapun. Bibirnya terkunci, sementara tubuhnya membantu.Dayu sangat yakin, dia sendiri tak tau dari mana dia bisa merasa seyakin itu, tapi dia merasa bahwa apa yang Nala sampaikan sebelumnya seharusnya adalah sebuah berita baik. Dayu merasa bahwa mata besar itu seperti mata pemangsa, bukan salah satu dari berita baik yang dia harapkan.Mata besar itu menatapnya, lalu dia berkedip. Dayu semakin gemetaran. Mungkin perasaannya sama seperti seekor ikan yang bersembunyi di celah karang, sementara manusia dengan mata bengisnya mencoba mengincar keberadaannya, mengancam ke
"Dayu!!" Nala menyebut nama Dayu dengan suara yang lebih kuat saat kaki gadis itu ditarik masuk kembali ke dalam pusaran asap hitam. Dayu bertahan dengan berpengang pada tangan Nala, sementara pergelangan tangannya yang lain digenggam erat oleh Nala. Mereka bertahan dengan cara itu meski Dayu merasa bahwa seperti ada yang melilit kedua pergelangan kaki sampai ke betisnya, sesuatu yang entah apa tapi Dayu bisa merasakan bahwa benda itu panas, memberinya rasa terbakar. Asap hitam sendiri terus melewati tubub Dayu dan menyeberang menuju ke tubuh Nala. Dayu mengangkat wajahnya, mengalihkan tatapannya dari makhluk-makhluk mengerikan yang merangkak di seluruh permukaan tanah dan mencoba untuk memperebutkan Nala. Dalam posisi itu, mereka berdua seperti bertahan antara menjadi makanan Danyang atau dicabik-cabik sampai habis oleh makhluk-makhluk yang merangkan berhimpitan dengan wajah hancur dan rahang terbelah itu. "Tidak apa-apa, Dayu. Tolong tetaplah yakin. Kita berdua, Dimas dan semuany
Raga."Mengapa manusia harus memiliki raga dan jiwa, mengapa kesadaran manusia harus terikat pada raganya?"Nala ingat pertanyaan yang diajukan oleh salah satu adik kembarnya, satu yang lahir sekian menit setelah saudaranya, di salah satu malam saat Nala memberi tahu adik-adiknya mengenai keputusannya untuk membantu Dayu dan Dimas."Mungkin kita harus bertahan hidup beberapa tahun ke depan untuk bisa menjawab pertanyaan itu." Begitu jawaban Nala saat itu.Karena sesungguhnya dia sendiri juga tidak tahu, tidak mengerti.Mengapa raga?Dia menyentuh dadanya yang terasa nyeri saat itu, menyentuh tenpat di mana Danyang menumpang pada sesuatu yang di sebut sebagai raga.Oh, rasanya letih dan lelah. Tubuhnya begitu ringan tapi ada perasaan yang sangat berat, seolah mencoba menariknya untuk jatuh ke bawah, ke suatu tempat yang sangat gelap tanpa siapapun yang akan menemaninya.Dalam jerat tipu daya yang tak akan ada akhirnya, apa yang menjadi penentu adalah dirinya sendiri. Apabila dia hanyut
"Sttt!" Nala meletakkan telunjukkan di depan bibir untuk meminta Dayu diam.Lewat sepasang manik bening dengan garis yang idah milik cowok itu, Dayu bisa melihat pusaran asap hitam dan juga pohon keramat dengan cukup jelas.Nala sendiri masih memperhatikan seseorang yang mencoba menarik sesuatu di pusat pusaran. Dia tidak yakin apakah dia mengenali orang itu, tapi dia bisa melihat perawakannya dengan cukup jelas."Apakah kamu tidak berpikir bahwa sesuatu mungkin akan menjadi berkali-kali lipat lebih buruk karena kamu telah mencoba untuk menyelamatkan beberapa tumbal Danyang?"Nala mengangkat sedikit wajahnya, menanggapi pertanyaan itu dengan tatapan yang begitu datar."Hei, Yu. Apakah menurut kamu, akan lebih baik jika Danyang tetap ada atau dilupakan saja?" Nala bertanya pada Dayu yang mulai menundukkan pandangan karena takut akan menyaksikan hal yang mengerikan."Aku tidak tahu. Tapi, aku mempercayai kamu, Nala. Seperti yang sudah kamu katakan, Danyang bukanlah makhluk yang jahat me
"Tentu saja aku harus bisa ada di sini! Aku akan membunuh kamu di sini!" Gadis itu berteriak. Dayu mempererat genggamannya pada benang merah yang menghubungkan antara dirinya dengan Nala. Sebilah belati yang ditempelkan di lehernya terasa semakin menekan dan Dayu bisa merasakan bahwa bagian tajam benda itu sudah mulai menggores kulit lehernya. "Kenapa?" Dayu bertanya. Rasanya nyeri, tapi dia berusaha keras untuk tetap bersikap biasa saja. Setidaknya, Dayu memahami resiko apa yang akan terjadi jika dia tidak bertindak dengan hati-hati atau malah gegabah. Masih ada tanggung jawab besar dalam genggamannya, maka dari itulah dia masih harus bertahan hidup dan tidak membiarkan gadis kecil itu mengirimnya bertemu malaikat maut. Tidak. Dia tidak akan membiarkan dirinya jatuh dalam dalamnya keputusasaan dan dia tidak akan membiarkan gadis kecil itu membunuhnya. Setidaknya, Dayu tidak akan membiarkan gadis itu melakukannya dengan mudah. "Kamu ... aku pikir kamu akan belajar dari apa yang s
"Lorong ini lagi." Dayu berucap lirih."Ya. Ini satu-satunya jalan yang paling aman, paling dekat dari yang bisa aku jangkau. Kak Nala terluka parah, jika terjadi sesuatu dia tidak akan bisa membantu kita untuk saat ini, jadi kita harus bisa bertahan dan membantu diri kita sendiri." Nala menjelaskan.Dayu mendengar suara napas adik perempuan Nala itu di sampingnya, tapi dia tidak bisa melihatnya saking gelapnya tempat itu. Satu-satunya yang bisa dia kenala adalah rasa lembab dan juga sedikit air di kakinya.Clik!Ada satu suara terdengar dan sebuah lentera muncul dari ujung lorong."Ayo berjalan ke arah cahaya itu!" Naya memberi instruksi.Begitu mendengar suara langkah kaki yang terayun dan memecah genangan air, baru Dayu melangkah mengikuti suara itu.Pelan tapi pasti, Dayu terus melangkah sampai akhirnya dia berhasil menempuh jarak yang memisahkan antara dirinya dengan lentera itu."Dimas?" Dayu memanggil nama adiknya begitu melihat wajah Dimas dibingkai cahaya lentera."Aku datang
"Kamu kelihatannya sudah sehat?" Leah menyapa Dayu yang berdiri memandangi halaman samping rumah sakit."Yah, aku merasa sudah benar-benar sehat sebenarnya. Terima kasih banyak atas semuanya, Leah!" Dayu menjawab lalu kembali memandang ke arah yang sama.Di balik dinding samping rumah sakit, seharusnya berdiri sebuah rumah yang Nala tempati bersama teman-teman sesama dokter koasnya. Dayu diam-diam berharap bisa melihat sosok lelaki itu meski hanya sepintas saja, meskipun di sisi lain dia juga tahu bahwa kemungkinan itu sangat kecil."Nah, jika kamu berharap bisa melihat dokter Nala dengan memperhatikan halaman, maka kamu tak akan melihatnya. Dokter Nala baru akan kembali ke rumah sakit ini besok, aku sudah mengkonfirmasinya!" Leah kembali berucap.Gadis berambut kemerahan itu meletakkan tangannya di atas pundak Dayu, memberi semangat pada saudarinya itu.Mendengar nama Nala disebut oleh Leah, Dayu langsung menoleh dan memandang wajah cantik Leah dengan mata berbinar.Leah sendiri ters
Nala tersenyum.Senyum cowok itu masih manis dan lembut seperti apa yang Dayu ingat, dengan mata yang indah dan wajah yang teduh. Bahkan, meski ada kumpulan asap hitam tipis yang menyelimuti tubuhnya, sosok Nala yang akhirnya menapakkan kali keliar dari ruang penyimpanan jenazah itu tetap terlihat bersinar.Bagi Dayu, bunga-bunga imajiner seolah melar di sekitaran Nala dan butiran keemasan berjatuhan dari langit."Kamu terlihat sudah jauh lebih baik. Syukurlah!" Nala berucap dengan suaranya yang merdu.Dayu mengangguk dengan malu-malu, dia menunduk sampai dia melihat ada satu kaki lain yang berdiri di belakang Nala. Sepasang kaki tanpa alasa dengan kain batik yang menyelimuti sampai ke mata kaki. Dayu bisa melihat ada gelang kaki di pergelangan kaki kirinya.Keberadaan sosok itu entah mengapa membuat Dayu ragu untuk mengangkat wajahnya kembali."Tidak apa-apa, dia sama sekali tidak berniat buruk!" Nala berkata dengan tenang.Dayu melepas napas panjang lalu mengangkat wajahnya. Dia tak