Akhirnya Nala bercerita. Lalu menurut kalian, apakah setelah ini Nala akan mati?
Raga."Mengapa manusia harus memiliki raga dan jiwa, mengapa kesadaran manusia harus terikat pada raganya?"Nala ingat pertanyaan yang diajukan oleh salah satu adik kembarnya, satu yang lahir sekian menit setelah saudaranya, di salah satu malam saat Nala memberi tahu adik-adiknya mengenai keputusannya untuk membantu Dayu dan Dimas."Mungkin kita harus bertahan hidup beberapa tahun ke depan untuk bisa menjawab pertanyaan itu." Begitu jawaban Nala saat itu.Karena sesungguhnya dia sendiri juga tidak tahu, tidak mengerti.Mengapa raga?Dia menyentuh dadanya yang terasa nyeri saat itu, menyentuh tenpat di mana Danyang menumpang pada sesuatu yang di sebut sebagai raga.Oh, rasanya letih dan lelah. Tubuhnya begitu ringan tapi ada perasaan yang sangat berat, seolah mencoba menariknya untuk jatuh ke bawah, ke suatu tempat yang sangat gelap tanpa siapapun yang akan menemaninya.Dalam jerat tipu daya yang tak akan ada akhirnya, apa yang menjadi penentu adalah dirinya sendiri. Apabila dia hanyut
"Sttt!" Nala meletakkan telunjukkan di depan bibir untuk meminta Dayu diam.Lewat sepasang manik bening dengan garis yang idah milik cowok itu, Dayu bisa melihat pusaran asap hitam dan juga pohon keramat dengan cukup jelas.Nala sendiri masih memperhatikan seseorang yang mencoba menarik sesuatu di pusat pusaran. Dia tidak yakin apakah dia mengenali orang itu, tapi dia bisa melihat perawakannya dengan cukup jelas."Apakah kamu tidak berpikir bahwa sesuatu mungkin akan menjadi berkali-kali lipat lebih buruk karena kamu telah mencoba untuk menyelamatkan beberapa tumbal Danyang?"Nala mengangkat sedikit wajahnya, menanggapi pertanyaan itu dengan tatapan yang begitu datar."Hei, Yu. Apakah menurut kamu, akan lebih baik jika Danyang tetap ada atau dilupakan saja?" Nala bertanya pada Dayu yang mulai menundukkan pandangan karena takut akan menyaksikan hal yang mengerikan."Aku tidak tahu. Tapi, aku mempercayai kamu, Nala. Seperti yang sudah kamu katakan, Danyang bukanlah makhluk yang jahat me
"Tentu saja aku harus bisa ada di sini! Aku akan membunuh kamu di sini!" Gadis itu berteriak. Dayu mempererat genggamannya pada benang merah yang menghubungkan antara dirinya dengan Nala. Sebilah belati yang ditempelkan di lehernya terasa semakin menekan dan Dayu bisa merasakan bahwa bagian tajam benda itu sudah mulai menggores kulit lehernya. "Kenapa?" Dayu bertanya. Rasanya nyeri, tapi dia berusaha keras untuk tetap bersikap biasa saja. Setidaknya, Dayu memahami resiko apa yang akan terjadi jika dia tidak bertindak dengan hati-hati atau malah gegabah. Masih ada tanggung jawab besar dalam genggamannya, maka dari itulah dia masih harus bertahan hidup dan tidak membiarkan gadis kecil itu mengirimnya bertemu malaikat maut. Tidak. Dia tidak akan membiarkan dirinya jatuh dalam dalamnya keputusasaan dan dia tidak akan membiarkan gadis kecil itu membunuhnya. Setidaknya, Dayu tidak akan membiarkan gadis itu melakukannya dengan mudah. "Kamu ... aku pikir kamu akan belajar dari apa yang s
"Lorong ini lagi." Dayu berucap lirih."Ya. Ini satu-satunya jalan yang paling aman, paling dekat dari yang bisa aku jangkau. Kak Nala terluka parah, jika terjadi sesuatu dia tidak akan bisa membantu kita untuk saat ini, jadi kita harus bisa bertahan dan membantu diri kita sendiri." Nala menjelaskan.Dayu mendengar suara napas adik perempuan Nala itu di sampingnya, tapi dia tidak bisa melihatnya saking gelapnya tempat itu. Satu-satunya yang bisa dia kenala adalah rasa lembab dan juga sedikit air di kakinya.Clik!Ada satu suara terdengar dan sebuah lentera muncul dari ujung lorong."Ayo berjalan ke arah cahaya itu!" Naya memberi instruksi.Begitu mendengar suara langkah kaki yang terayun dan memecah genangan air, baru Dayu melangkah mengikuti suara itu.Pelan tapi pasti, Dayu terus melangkah sampai akhirnya dia berhasil menempuh jarak yang memisahkan antara dirinya dengan lentera itu."Dimas?" Dayu memanggil nama adiknya begitu melihat wajah Dimas dibingkai cahaya lentera."Aku datang
"Kamu kelihatannya sudah sehat?" Leah menyapa Dayu yang berdiri memandangi halaman samping rumah sakit."Yah, aku merasa sudah benar-benar sehat sebenarnya. Terima kasih banyak atas semuanya, Leah!" Dayu menjawab lalu kembali memandang ke arah yang sama.Di balik dinding samping rumah sakit, seharusnya berdiri sebuah rumah yang Nala tempati bersama teman-teman sesama dokter koasnya. Dayu diam-diam berharap bisa melihat sosok lelaki itu meski hanya sepintas saja, meskipun di sisi lain dia juga tahu bahwa kemungkinan itu sangat kecil."Nah, jika kamu berharap bisa melihat dokter Nala dengan memperhatikan halaman, maka kamu tak akan melihatnya. Dokter Nala baru akan kembali ke rumah sakit ini besok, aku sudah mengkonfirmasinya!" Leah kembali berucap.Gadis berambut kemerahan itu meletakkan tangannya di atas pundak Dayu, memberi semangat pada saudarinya itu.Mendengar nama Nala disebut oleh Leah, Dayu langsung menoleh dan memandang wajah cantik Leah dengan mata berbinar.Leah sendiri ters
Nala tersenyum.Senyum cowok itu masih manis dan lembut seperti apa yang Dayu ingat, dengan mata yang indah dan wajah yang teduh. Bahkan, meski ada kumpulan asap hitam tipis yang menyelimuti tubuhnya, sosok Nala yang akhirnya menapakkan kali keliar dari ruang penyimpanan jenazah itu tetap terlihat bersinar.Bagi Dayu, bunga-bunga imajiner seolah melar di sekitaran Nala dan butiran keemasan berjatuhan dari langit."Kamu terlihat sudah jauh lebih baik. Syukurlah!" Nala berucap dengan suaranya yang merdu.Dayu mengangguk dengan malu-malu, dia menunduk sampai dia melihat ada satu kaki lain yang berdiri di belakang Nala. Sepasang kaki tanpa alasa dengan kain batik yang menyelimuti sampai ke mata kaki. Dayu bisa melihat ada gelang kaki di pergelangan kaki kirinya.Keberadaan sosok itu entah mengapa membuat Dayu ragu untuk mengangkat wajahnya kembali."Tidak apa-apa, dia sama sekali tidak berniat buruk!" Nala berkata dengan tenang.Dayu melepas napas panjang lalu mengangkat wajahnya. Dia tak
Dayu memperhatikan sampai wanita itu melintas. Dia berjalan ke arah lorong yang hanya akan berakhir di ruang penyimpanan jenazah. Penampilannya sama sekali tak menunjukkan bahwa dia adalah seoramg dokter, perawat, tenaga medis atau pihak yang terkait dan diizinkan untuk memasuki ruangan itu secara bebas."Kak Dayu, ayo!" Dimas berucap.Dayu mengangguk dan kembali melangkah mengikuti ke mana adik lelakinya pergi. Setelah beberapa meter menjauh, Dayu menoleh dan dia mendapati bahwa wanita tadi berdiri diam di persimpangan, tak jauh dari kamar tempat para jenazah disimpan.Dayu kembali berjalan dan mencoba berpikir positif, mungkin saja wanita itu salah jalan atau memang anggota keluarganya ada yang meninggal di rumah sakot itu. Dia tak tahu dan tak bisa membaca apa yang ada dalam pikiran manusia."Apakah kamu tahu soal kematian mereka bertiga?" tanya Dayu pada Dimas setelah mereka mulai memasuki lorong-lorong yang ramai di antara deretan kamar pasien.Dimas mengangguk."Aku mendengarnya
"Danyang tidak mati, itu adalah fakta yang baik aku, kalian berdua, ataupun orang-orang yang mencoba mengambil keuntungan dari apa yang terjadi terima." Nala berucap, nadanya tenang, wajahnya juga tenang, tapi bagi Dayu dan Dimas yang mendengarnya, apa yang Nala katakan memberikan efek sama seperti petir di tengah malam yang tenang saat listrik mati.Dimas meneguk ludahnya sendiri dan tampak gugup. Dayu menoleh ke arah adiknya itu dan bisa melihat bagaimana Dimas terlihat menjadi gugup secara tiba-tiba, seolah dia baru saja menerima ancaman yang tak bisa dia atasi."Namun, hubungan antara kalian berdua dengan Danyang tidak lagi sama dengan sebelumnya. Jika sebelumnya, sangat mudah bagi Danyang untuk menemukan celah agar bisa mencelakaan kalian, maka sekarang tidak lagi. Hubungan antara pemangsa dan mangsanya sudah selesai, tapi bukan berarti Danyang tidak lagi ada di sekitar kita. Hanya saja, baik kita maupun Danyang tidak lagi berada dalam jalur yang sama, sehingga kita berdua tidak
"Apa maksudmu? Apa yang ada di sana?" Dayu bertanya pada sosok yang terus mengulang kata tunjuk yang sama itu.Dia tak merasa perlu untuk berpura-pura tak mendengar, karena dia yakin di dalam mobil itu bukan hanya dia yang mendengarnya."Di sana! Itu di sana!" Sosok gadis itu seolah tidak bisa memahami apa yang Dayu tanyakan, dia hanya menjawab dengan kalimat yang sudah dia ucapkan sebelumnya, dia ulang dan ulangi lagi saja."Hei!" Dayu merasa sedikit kesal sendiri sehingga dia langsung membentak sosok itu tanpa sadar.Nala terbangun karena suara bentakan Dayu, sementara sosok itu justru menghilang dari sana. Dalu tertawa dan terlihat senang sekali."Nah, seperti itu. Ketika kamu menunjukkan bahwa kamu juga bisa menjadi lebih kuat darinya, dia akan menyembunyikan dirinya darimu!" Dalu memuji apa yang baru saja Dayu lakukan, meski Dayu tak sengaja melakukannya."Ah, begitukah? Tapi, dia terus mengulang kalimat yang sama, menunjuk ke arah yang sama, menyebalkan sekali!" Dalu menyahut.N
"Hah? Bagaimana caranya aku memotong tangan makhluk ini?" Dayu bertanya dengan panik.Anehnya, Dalu terkekeh seolah semua itu hanyalah lelucon, sementara Nala menoleh dengan wajah tenangnya yang terlihat sedikit lebih pucat dari biasanya dan memberikan senyum yang membuat Kiana merasa nyaman."Tidak apa-apa. Setiap dari kita bisa memutus rantai jika kita mau!" Dalu berucap.Dayu menggelengkan kepalanya. Dia tak mengerti. Rasanya, hanya dengan mendengar apa yang Dalu katakan saja sudah terasa mengerikan.Wanita yang sudah bisa dikatakan dalam usia dewasa itu menunjukkan sikap yang sangat stabil. Dia tenang dalam situasi yang menurut Dayu bisa disebut genting atau tak menguntungkan sekalipun, sementara di saat yang lain dia bisa terlihat ceria dalam porsi yang tidak berlebihan. Kali ini juga sama. Dalu berjalan mendekat, memutari meja hingga berada di sebelah Dayu lalu menunjukkan apa yang dia maksud dengan memotong tangan makhluk itu.Dia tenang seperti air, tapi saat tangannya dengan
"Ya, semacam itulah. Apakah kamu tidak bisa melihat apa yang sedang dia ajak berbicara?" Dalu balik bertanya.Dayu langsung menggelengkan kepalanya tanpa ragu. Dia sangat yakin hanya melihat Nala di sana dan tak melihat apapun yang lain. Cowok itu berpenampilan santai tapi rapi, membuatnya terpesona. Sejujurnya, dia tak bisa memperhatikan hal lain karena Nala yang belum resmi menolaknya, dan cowok itu semakin hari juga terlihat semakin gemerlapan di matanya."Dia bersama dengan wujud dari ingatannya sendiri!" Dalu menjawab.Mobil yang Dalu kendarai mendekati Nala, lalu berhenti persis di depan cowok itu. Begitu roda mobik berhenti bergerak secara resmi, Dalu melepas sabuk pengamannya lalu turun dari mobil dan meninggalkan pintu mobil dalam keadaan terbuka.Nala mendatangi adik dari mendiang ibunya itu, menyapanya lalu mencium tangannya dengan sangat sopan. Dalu membisikkan sesuatu kepada Nala, dan saat itulah Dayu disadarkan bahwa Dalu memiliki tubuh yang terbilang tinggi.Begitu kedu
"Bukankah manusia sangat sombong? Ya, kamu benar, kalian sangat sombong. Itu adalah apa yang membuat kalian dan kami menjadi mirip, tapi semakin lama aku pikir manusia menjadi lebih serakah dari makhluk apapun. Ketika mereka berpikir bisa memperbudak aku, maka aku akan menang melawan orang-orang semacam itu!" Danyang berucap.Dalu terkekeh."Benar, benar. Benar sekali. Maka bukankah kamu hanya akan perlu melihat siapakah yang lebih baik di antara kami dan mereka, sementara kamu hanya akan menerima keuntungannya?" Gadis itu seolah tengah membenarkan apa yang Danyang katakan, tapi dalam makna yang sebenarnya, dia masih mengajukan sebuah dorongan agar Danyang tidak ikut campur.Danyang menyeringai. Dengan penampilan dan rupa Nala, seringaiannya itu tidak nampak menyenangkan untuk diingat bagi Dayu, karena itu bisa merusak sosok Nala dalam kepalanya.Begitu Danyang mengibaskan tangannya, Dayu langsung kembali menyaksikan penampakan genteng-genteng yang berjejeran. Dalu yang ada di sebelah
"Siapa yang kamu maksud?" tanya Dayu.Dalu menoleh lalu tersenyum. Gadis itu melepas outer yang dia pakai dan menggantungnya dengan rapi, meletakkan tas kecil yang menggantung di bahunya, lalu kembali berjalan ke arah balkon."Orang yang sedang mencoba menyeret Danyang keluar dari tempat tinggalnya dan membawa makhluk itu ke dunia manusia ini. Orang itu memang kuat dan dia berpikir bahwa dirinya akan menjadi lebih kuat dengan memanfaatkan energi Danyang. Kesombongan manusia benar-benar melampaui jangkauan akal!" Dalu menjelaskan apa yang dia maksud kepada Dayu sambil terus berjalan sampai dia bisa berada di balkon.Dayu turut berjalan untuk menyusul Dalu. Dia berdiri di sebelah wanita itu, menghirup aroma parfumnya dengan jelas sampai kemudian dia bisa menghirup aroma bebungaan yang bercampuran."Apakah itu dia?" tanya Dalu.Dayu mengenyitkan dahi, memandang ke kanan dan ke kiri."Di bawah sana. Laki-laki yang sudah mati itu, apakah itu dia yang kamu maksud?" tanya Dalu lagi, memperte
Dayu melambaikan tangan kepada adik barunya yang begitu muncul sudah langsung berusia enam belas tahun itu sambil tersenyum lebar, begitu juga ketika bunda dan ayah melambaikan tangan kepada dirinya. Seharusnya, jika sesuai rencana, dia akan turut serta mengantar Dimas ke sekolahnya, tapi dia akhirnya memutuskan untuk tinggal.Dia punya hal lain yang harus dilakukan, dan Dimas membantunya untuk meyakinkan ayah serta bunda bahwa Dayu memang lebih baik tinggal dan tak turut bepergian jauh untuk mengantar. Apa lagi, sebenarnya ayah sendiri juga belum memiliki kembali keberanian untuk menyetir sendiri dalam jarak jauh, membuat mereka harus menyertakan seorang supir yang kebetulan direkomendasikan oleh pihak hotel.Satu hal yang baru Dayu tahu adalah hotel itu merupakan salah satu aset milik keluarga Nala. Hotel paling besar di pusat kabupaten yang sebenarnya tak terlalu ramai, dan mungkin tidak akan memberikan keuntungan yang besar. Akan tetapi, menurut cerita Nala semalam setrlah ditodon
Nala tersenyum, dia tidak mengatakan apapun tapi dia sedang menelepon. Dayu tak mengerti mengapa cowok itu berlaku demikian, tapi sepertinya dia hanya sedang menerima instruksi dari seseorang setelah mengatakan satu kalimat saja selain salam."Seperti yang sudah kamu katakan waktu itu!"Setelah kalimat itu, selama sepuluh menit, Nala hanya diam dan mendengarkan. Sesekali dia mengangguk-angguk atau menggeleng, kadang dia memandang ke arah Dayu atau Dimas lalu tersenyum.Setelah menyelesaikan panggilan telepon itu, Nala menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dia, entah mengapa melirik ke arah kirinya yang kosong sebentar lalu memberikan tatapan dan semakin lama semakin menajam, sebelum kemudian dia kembali menoleh ke arah lain dan memberikan tatapan lembutnya, seolah dia baru saja mengungkapkan ketidaksukaannya pada sesuatu yang ada di sampingnya."Siapa yang baru saja kamu telepon?" tanya Dayu."Oh, tanteku. Dia adik paling muda dari mendiang mama!" Nala menjawab sambil menyunggin
Dayu dibangunkan oleh Dimas ketika baru memejamkan mata dan membuatnya terkesiap."Katanya, tidak baik jika kita tidur dalam pergantian antara terang dan gelap!" Dimas mengingatkan Dayu.Sebenarnya, Dayu tak tahu dari mana Dimas bisa mendapatkan ide itu, tapi dia rasa apa yang Dimas katakan ada benarnya. Apa lagi setelah mengalami kejadian buruk seperti tadi, Dayu mengingatkan dirinya untuk tidak segampang itu tertidur."Berapa lama lagi sampai kita akan pergi ke restoran dan bertemu Nala?" tanya Dayu."Dayu, kamu merindukan Nala?"Suara ayah yang bertanya membuat Dayu menoleh. Sejenak dia sempat terlupa bahwa dia sedang berada di kamar kedua orang tuanya, dan pasangan itu sedang berada di dekatnya.Mereka menonton bersama-sama, sebuah series komedi yang bukannya membuat Dayu tertawa, tapi justru mengantuk."Oh, bukan begitu. Hanya saja ada yang mau aku bicarakan dengan Nala ketika kami bertemu nanti!" jawab Dayu.Ayah dan bunda tersenyum."Dia calon dokter yang sering kita temui buka
Dayu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Tubuhnya bergetar dan dia mundur tiga langkah ke belakang. Dimas sendiri tak terlihat baik-baik saja. Cowok itu segera berbalik badan dan terlihat sedikit panik. Bagaimanapun, dari kejahatan yang sudah Agus lakukan, Dimas adalah target utama penumbalannya.Dua kakak beradik yang disatukan lewat ikatan pernikahan kedua orang tua mereka itu segera saling tatap. Tanpa mengatakan apapun, Dayu segera menyambar gawainya dan berusaha untuk menelepon Nala, tapi cowok itu tak mengangkatnya.Dimas juga terlihat kecewa saat Dayu menggelengkan kepalanya. Berdua, mereka kembali mengendap-endap ke arah balkon dan kembali memandang ke arah di mana tadi mereka bisa melihat sosok Agus berdiri mengawasi."Oh, syukurlah!" Dayu melepas napas lega saat melihat bahwa sosok itu sudah tak ada lagi di sana."Kak, kamu juga melihat dia tadi 'kan?" tanya Dimas dengan suara bergetar.Dayu menganggukkan kepala. Dia masih sangat terkejut sampai tak bisa menghentikan la