Share

2. Uji Penanda

Author: A.R. Ubaidillah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Gantari hanya bisa menitikkan air mata memandang kepergian putranya. Bisa jadi ini kali terakhir ia melihat Arya Nandika. Putranya akan bernasib sama dengan sang ayahanda. Pergi berperang dan tak pernah kembali. Apa lagi Arya Nandika tak memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni.

“Jangan kau melawan, Dewi. Atau akan kulaporkan keberadaanmu di sini pada Gusti Prabu,” ancam prajurit itu.

“Siapa kau sebenarnya, Prajurit? Mengapa kau bisa tahu jati diriku?” tanya Gantari masih penuh dengan kewaspadaan. Bibirnya melenguh menahan perih di lehernya.

“Hanya keluarga istana yang menguasai Suji Pati. Dan setelah Prabu Ranajaya naik tahta, tak ada satu pun perempuan istana yang menguasai tusukan kematian itu,” terang sang prajurit.

Prajurit itu lalu mencabut tusuk konde milik Gantari untuk berjaga-jaga. Meski ia sudah mengancam dan melukai Gantari, prajurit itu masih menaruh hormat yang tinggi padanya. Setelah mengamankan tusuk konde berwarna keemasan itu, pedang kembali ia sarungkan.

“Ampun, Dewi, Hamba hanya menjalankan perintah. Tusuk konde ini akan hamba letakkan di depan rumah. Hamba mohon diri,” ujar prajurit dengan suara yang lirih.

Gantari terdiam, rambut panjangnya kembali tergerai tertiup angin dingin gunung Payoda. Ia tak menyangka masih ada prajurit Astagina yang mengenalinya. Entah apa yang terjadi bila ia tak mengeluarkan Suji Pati tadi.

“Prajurit!”

“Sendika, Dewi,” sahut prajurit itu. Ia berbalik badan dan segera bersimpuh dengan satu lututnya.

“Bangun lah, jangan sampai ada yang melihat hal ini!” lirih Gantari. “Bisakah aku percaya padamu, Prajurit?”

“Mohon sampaikan titah Dewi,” tutur prajurit itu sigap. Ia kini telah berdiri namun masih membungkukkan badannya.

“Tolong jaga anakku Arya Nandika!” titah Gantari.

“Dengan nyawaku, Dewi!” sahut prajurit mantap.

“Pergi lah!”

“Sendika, Dewi.”

Prajurit itu mundur beberapa langkah, lalu memutar tubuhnya berjalan cepat menuju kuda yang ia tambatkan di depan rumah. Ia lemparkan tusuk konde Gantari ke tanah setelah ia naik ke punggung kuda. Dalam sekejap benda itu sudah berada dalam genggaman pemiliknya.

***

Rombongan yang membawa Arya Nandika dan pemuda desa Girijajar sudah sampai di kompleks istana. Mereka dibawa ke sebuah halaman luas jauh dari bangunan megah di tengah-tengah dinding tinggi itu. Beberapa pria bertubuh besar tampak tengah berlatih tanding menggunakan pedang dan perisai.

Arya Nandika dan para pemuda di giring ke rimbun pohon randu. Tak jauh di bawahnya terdapat sungai yang mengalir deras dengan air yang jernih. Di sebelah kanan mereka datang lagi rombongan pemuda dan pria, mungkin dari desa lain.

“Kalian semua istirahat lah! Tak lama lagi kalian akan mendapat tugas terhormat menjadi prajurit Astagina! Prajurit, lepaskan ikatan mereka!” titah seorang pria berkuda dengan congkak.

“Huh! Tugas terhormat? Saling membunuh itu tugas terhormat?” gerutu seorang pemuda bertubuh tinggi di sebelah Arya Nandika. Suara lirihnya hanya bisa terdengar oleh beberapa orang yang dekat dengannya.

“Warman! Jangan berkata sembarangan! Mereka ini kejam, apa kau tak melihat batu besar di sana?” bisik Arya Nandika sambil menunjuk arah dengan bibirnya. “Aku rasa itu tempat hukuman mati,” lirihnya lagi.

Pemuda bernama Warman itu terdiam menelan ludahnya. Matanya memandang batu besar dengan banyak bekas darah di permukaannya. Bau anyir yang sebenarnya tak tercium tiba-tiba menyeruak rongga hidungnya.

Seorang prajurit bertubuh kurus mulai membuka ikatan mereka menggunakan belati. Tak ada satu pun ekspresi di wajahnya. Matanya dipenuhi tekanan dan ketakutan. Namun ia coba tutupi dengan berpura-pura menjadi garang.

Arya Nandika berjalan menuju sungai setelah ikatannya terlepas. Ia basuh wajah dan kepalanya serta meminum banyak air. Berjalan kaki dari pagi hingga tengah hari dengan tangan terikat sungguh melelahkan. Apa lagi dengan suasana hati gusar karena meninggalkan ibunya seorang diri.

Ia lalu duduk di bawah pohon randu yang rindang. Beberapa helai kapuk yang pecah dari buahnya beterbangan di tiup angin. Dari tempatnya duduk, Arya Nandika bisa melihat orang-orang dibagi dalam kelompok-kelompok tertentu. Entah apa maksudnya.

Prajurit berkuda tadi datang lagi dan berkata dengan lantang, “Berkumpul di tengah padang, cepat!”

Deru langkah kudanya segera membangunkan tubuh-tubuh lelah itu. Mereka berlari ke tengah tanah lapang. Seorang pria setengah tua berpakaian serba putih berdiri di sana. Sebelah bahunya terbuka, rambut putihnya ia ikat ke atas dan dikunci dengan simbol keemasan kerajaan Astagina. Ia tampak begitu tenang membelai janggut panjangnya.

Pemuda dan pria dari dua desa itu saling berhadapan. Beberapa terengah-engah mengatur napasnya. Beberapa bahkan belum sempat meneguk air apa lagi beristirahat. Mereka semua menanti takdir apa yang akan mereka terima hari ini.

“Selamat datang calon prajurit Astagina. Saya Ki Bayanaka, akan membimbing dan mengarahkan kalian semua sesuai dengan potensi yang kalian miliki,” ujar pria itu ramah. Tangan kanannya masih membelai janggut, sedang tangan kirinya memegang toya yang ia sembunyikan di belakang tubuh.

Arya merasa sedikit tenang. Di antara banyaknya kegarangan wajah prajurit-parajurit itu, masih ada wajah sejuk setenang Ki Bayanaka ini. Kalau saja ayahdanya masih ada, mungkin perawakannya tak berbeda jauh dengan pria ini. Hanya saja ayahandanya lebih muda.

“Prajurit, siapkan ujinya!” teriak Ki Bayanaka.

Semua orang menatap empat orang prajurit yang tengah mendorong alat pelontar raksasa ke hadapan seorang pria bertubuh besar. Ia memanggul godam yang besar dan pasti berat. Di pelontar itu sudah ada benda besar dalam kantung hitam. Tak ada yang tahu apa isinya.

“Jenar! Apa kau sudah siap?” tanya Ki Bayanaka setelah seorang prajurit mengacungkan ibu jarinya.

“Siap, Ayahanda!” seru seorang gadis dengan busur dan anak panah yang terhunus.

Ki Bayanaka mengangkat tangan kanannya. Semua orang termasuk Arya Nandika tak mengerti apa yang akan terjadi. Mereka hanya saling pandang, menunggu siapa yang akan bertindak lebih dulu. Pria bergodam besar atau gadis cantik yang dipanggil Jenar.

“Hindarilah apa pun yang keluar dari kantung di pelontar itu!” titah Ki Bayanaka.

Ki Bayanaka menurunkan tangan kanannya. Pria bertubuh besar itu menghimpun tenaga dan mengayunkan godamnya. Godam itu menghantam pengait di bawah pelontar, menyebabkan bunyi dentuman yang keras.

Kantung hitam terlontar ke udara. Dari gerakan yang ditimbulkan akibat gesekan udara, kantung itu sepertinya berisi cairan. Orang-orang mulai melangkahkan kakinya menghidari perkiraan kantung itu akan jatuh. Beberapa bahkan ada yang menjadikan rekannya sebagai tameng.

Sebuah anak panah melesat cepat ke arah kantung yang sudah menukik ke bawah. Anak panah itu pun menembus kantung dan memecahkan isinya ke segala penjuru. Orang-orang berlarian tak tentu arah, saling bertabrakan dan saling injak.

Arya Nandika terpental beberapa depa setelah seseorang menabraknya dengan keras. Ia berguling ke kiri beberapa kali untuk menghindari injakan seseorang. Namun karenanya ia tak dapat menghindar dari cairan itu. Wajahnya basah oleh cairan berwarna hitam tak beraroma.

“Usaha yang bagus.” Suara seorang perempuan segera membuka mata Arya. Gadis dengan busur di tangan kirinya itu mengulurkan tangannya mencoba membantu Arya berdiri.

“Ah, cairan apa ini?” Arya menyambut uluran tangan Jenar dan bangkit.

“Itu penanda,” jawab Jenar sambil membalikkan badannya.

“Penanda? Penanda apa? Hei!”

Jenar tak menjawab. Ia melanjutkan langkahnya meninggalkan Arya untuk bergabung dengan ayahandanya. Mata pemuda itu menyipit, dahinya mengernyit. Jantungnya berdegup kencang buah dari apa yang ia lihat di netranya.

“Bukankah itu Patih bermata satu?” batinnya.

Related chapters

  • Cundhamani (Panah Api)   3. Serangan Penuh Dendam

    Orang-orang yang terkena cairan penanda itu mulanya takut. Namun tak ada yang terjadi saat cairan hitam itu mengenai kulit mereka. Hanya saja bekas cairan itu tak bisa hilang meski sudah beberapa kali diseka dengan kuat. “Tak perlu takut, cairan itu hanya tinta. Bagi yang tidak terkena silahkan berdiri di sebelah kanan saya. Sisanya di kiri!” seru Ki Bayanaka. Lebih dari setengah pemuda dari dua desa berkumpul di sisi kiri Ki Bayanaka. Semuanya tampak sebaya dengan Arya Nandika, beberapa bahkan lebih muda. Mereka masih menanti dengan terus mencoba menghapus tanda hitam di bagian tubuh mereka. “Apakah Ayahanda dulu kena cairan penanda ini sama sepertiku?” tanya Arya dalam hati. Para pemuda yang tak terkena cairan penanda meninggalkan tempat itu dipandu seorang prajurit. Ki Bayanaka mendekat ke arah pemuda di sebelah kirinya didampingi Jenar. Gadis itu tampak begitu gagah sekaligus anggun dengan busur berukir menggantung di punggungnya. “Anak-anak muda, mulai hari ini aku lah guru k

  • Cundhamani (Panah Api)   4. Pemanah Ulung

    “Kurang ajar kau, Bocah! Beraninya kau menyerang Patih Astagina!” hardik Patih Waradhana marah. Ia lemparkan pedang bermata duanya yang sebagian sudah menjadi abu. Dengan sekali kuda-kuda, Patih Waradhana melompat di udara dan mendaratkan kaki berisi tenaga dalam di dada Arya Nandika. Pemuda itu terhempas dan terseret beberapa tombak ke belakang. Tubuhnya berhenti setelah terhempas di pohon randu yang besar. Kapuk berguguran terkena hempasan tubuh Arya Nandika. Beriring dengan mulut pemuda itu yang menyemburkan darah segar. Arya Nandika tak sadarkan diri. Dadanya hangus seukuran tapak kaki Patih Waradhana. Panglima perang Astagina itu tak puas. Ia melompat lagi mendekati Arya Nandika dan bersiap memberikan pukulan pamungkas. Namun Ki Bayanaka mencegahnya dengan memegang pergelangan tangan Patih Waradhana. “Ampun, Gusti. Sudah cukup, dia sudah tak berdaya,” pinta Ki Bayanaka. “Lepaskan, Bayanaka! Biar aku habisi bocah ingusan ini!” bentak Patih Waradhana. Ia meronta, namun tenaga d

  • Cundhamani (Panah Api)   5. Orang Terpilih

    “Jenar!” pekik Ki Bayanaka. “Kemana perginya luka di dada anak ini?” “Hah!” Jenar dan Ki Bayanaka saling tatap. Luka yang tadi masih basah dan membiru di tepiannya kini telah hilang, sembuh seperti tak pernah terjadi apa-apa. Wajah pemuda itu juga terlihat tenang seperti hanya tertidur. “Apa yang terjadi, Ayahanda?” Mata Jenar terbelalak. Ia tak menyangka ada hal yang begitu istimewa dari pemuda ini. “Ayah rasa anak ini punya keistimewaan. Tapi harus dipastikannya terlebih dahulu,” ucap Ki Bayanaka semakin membuat rasa penasaran di hati Jenar tumbuh subur. Ki Bayanaka meletakkan mangkuk berisi ramuan di sisi Arya Nandika. Ia raih pergelangan tangan pemuda itu. Sejenak ia memejamkan mata merasakan denyut nadi. Tak puas, pria berambut putih itu menyentuh nadi utama Arya di area leher dengan jarinya. “Bagaimana, Ayahanda?” tanya Jenar penasaran. Ki Bayanaka tak menjawab. Ia hanya mengangkat telapak tangannya, kode pada Jenar untuk bersabar. Pria itu lalu menempelkan telinganya di d

  • Cundhamani (Panah Api)   6. Pesan Dari Dewi Gantari

    Rumah ini terasa begitu sepi tanpa putranya yang terlalu percaya diri itu. Andai Arya menurut padanya, mungkin mereka berdua masih berkumpul. Sepeninggal Sanggageni karena hal yang sama, Gantari dan Arya Nandika hanya hidup berdua. Arya meneruskan profesi ayahandanya menjadi pandai besi. Sedang ibundanya rutin menjual hasil tenunnya. Nama Sanggageni sendiri merupakan julukan. Penduduk desa mengaitkan kemampuan pria 39 tahun itu menempa besi dengan api hingga tersebutlah nama itu. Sangga yang artinya menyangga, geni berarti api. Namun sebelum ia bermukim di Desa Girijajar, julukan itu sudah melekat padanya. Satu hal yang tidak Arya ketahui, Sanggageni masih hidup dan selalu mengirimkan kabar pada istrinya melalui pedagang yang memesan senjata. Kadang juga lewat Jenaka, seekor elang yang sejak kecil dipelihara Sanggageni dan tidak ada sama sekali lucunya. Sanggageni sengaja melarang Gantari mengatakan kebaradaannya pada Arya, karena pemuda itu pasti tak akan terima. “Nyai Gantari! Ped

  • Cundhamani (Panah Api)   7. Jati Diri

    Arya merasa tak nyaman mengenakan pakaian milik Ki Bayanaka. Ia tampak seperti seorang anak yang memaksa memakai baju ayahnya, kebesaran. Ujung lengan dan celana ia gulung beberapa kali. Sabuk kain tebal yang dikenakan juga terasa menutupi tak cuma pinggang, tapi juga perut. “Aku berikan baju itu padamu, Anak Muda. Nanti Jenar akan membelikan baju yang lebih baik untukmu,” ujar Ki Bayanaka seraya meletakkan toyanya. “Terima kasih, Ki,” jawab Arya sambil terus membenahi pakaiannya. “Siapa namamu, Anak Muda? Dan dari mana kau berasal?” tanya Ki Bayanaka. Ia meminta Arya untuk duduk di balai-balai belakang rumah. “Namaku Arya Nandika, Ki. Aku dari Desa Girijajar di sebelah selatan kaki Gunung Payoda,” ucap Arya. Ia masih merasa rikuh dengan perlakuan pria tua ini padanya. Menurut Jenar, karena lukanya parah maka Arya dibawa untuk diobati oleh Ki Bayanaka. Tapi setelah sembuh, ia tak kunjung dikembalikan lagi bersama rekan-rekan sesama calon prajurit. Arya merasa spesial, juga ingin t

  • Cundhamani (Panah Api)   8. Berlatih Memanah

    Tempat latihan memanah ini tampak sepi. Arya ditugaskan oleh sang guru yang sore tadi berlutut padanya untuk berlatih memanah bersama Jenar. Raden Arya Nandika, pria itu menyebutnya, gelar yang tak buruk. Tapi terasa tak berguna. Sia-sia jika seorang Raden harus hidup dengan menempa besi setiap hari. Gadis cantik di depan Arya masih saja bersikap dingin. Ia berjalan cepat mendahului Arya dengan angkuhnya. Beruntung Ki Bayanaka segera memberinya pakaian baru yang sesuai. Arya sama sekali tak merasa nyaman dengan pakaian orang tua itu. “Nah, kita sudah sampai.” Jenar menghentikan langkahnya. Mereka kini berada di tengah-tengah tanah lapang dikelilingi pagar bambu. Banyak sekali bantalan target panah berbahan jerami yang terpasang di pagar itu. “Apa harus malam-malam?” keluh Arya sambil menerima busur dari Jenar. Gadis itu tampak malas mendengar keluhan Arya. “Kalau bukan karena Ayahanda yang meminta, aku juga tak sudi berlatih memanah di malam hari. Berdua dengan orang menyebalkan ma

  • Cundhamani (Panah Api)   9. Kawanan Singa

    Ki Bayanaka hanya tertawa mendengar cerita Jenar yang begitu kesal padanya. Habis sudah lengannya dicubit dan dipukul oleh putri kesayangannya itu. Ada senggurat malu namun juga suka, tampak dari wajah Jenar yang memerah dan disertai senyum. “Ayahanda mengapa menjerumuskan aku? Mengapa kau suruh aku melatih Arya, sedang Ayahanda tahu dia itu pemanah ulung?” rajuk Jenar. “Bukankah kau sendiri yang bilang dan menemukan tanda-tanda kalau dia pemanah ulung? Tapi mengapa kau justru memamerkan keahlian memanahmu yang tak seberapa itu?” Ki Bayanaka melanjutkan tertawanya. Ia tak menyangka putrinya dan Arya akan akrab secepat ini. Jenar hanya mencebik. Wajahnya memerah menahan malu. Entah sudah berapa kali kedua kaki ia hentakkan ke bumi. Rasa malunya benar-benar tak tertahankan lagi. Rasanya ia tak ingin lagi bertemu dengan Arya, namun itu tak mungkin karena pemuda itu masih tinggal bersamanya dan hari ini mereka berdua akan berlatih memanah di hutan, membidik target bergerak. “Ayolah, Je

  • Cundhamani (Panah Api)   10. Sasra Sayaka

    “Jangan berbalik, jangan!” desis Arya. “Kau tak boleh lari sekarang!” Jenar mulai melangkah mundur. Langkah kakinya seirama dengan delapan pasang kaki binatang di depannya. Anak panahnya masih terhunus. Namun akan sulit jika keempat singa itu menyerang bersama-sama. Sampai detik ini ia hanya mengandalkan insting untuk berhadapan dengan kawanan singa ini. Sorot mata singa betina yang tadi melumpuhkan rusa membuat Jenar bergidik. Apa lagi taringnya yang masih basah oleh darah rusa. Ia bisa membayangkan bagaimana rasanya benda sebesar itu mengoyak batang lehernya. “Bagus, kau tidak berbalik. Pertahankan posisi mereka,” gumam Arya. Pemuda itu mencabut anak panah dari tempatnya. Segera ia tarik tali busur yang biasa digunakan untuk prajurit berlatih. Rasanya lebih ringan dari busur pemberian Paman Pranawa. Arya mulai membidik. Seekor singa muda mulai bergerak menjauh dari kawanan. Insting berburu dalam kelompok membuatnya seolah memecah perhatian Jenar. Disusul oleh seekor singa lagi. K

Latest chapter

  • Cundhamani (Panah Api)   228 Penerus

    “Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”

  • Cundhamani (Panah Api)   227. Terkurung

    Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   226. Kepercayaan

    Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini

  • Cundhamani (Panah Api)   225. Mati Di Samping Aswabrama

    “Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi

  • Cundhamani (Panah Api)   224. Asa Ksatria Cundhamani

    Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya

  • Cundhamani (Panah Api)   223. Menebus Dosa

    “Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan

  • Cundhamani (Panah Api)   222. Amarah Jenar

    Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   221. Titah Jenar

    Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka

  • Cundhamani (Panah Api)   220. Menyelamatkan Sanggageni

    Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat

DMCA.com Protection Status