“Arya!” pekik Gantari. Ia lemparkan bakul dari bambu berisi pakaian yang baru saja dicuci di sungai begitu saja. Perempuan itu tergopoh-gopoh mencari keberadaan putranya.
“Arya! Dimana kau, Nak?” jeritnya.
Arya Nandika yang tengah menempa besi di samping rumahnya terperanjat. Ia lemparkan lempeng besi yang akan ia jadikan pedang itu ke bejana air hingga mengepulkan asap putih pekat dengan suara desis yang kuat. Pemuda 17 tahun berlari mencari sumber suara ibundanya dengan godam masih dalam genggaman.
“Ada apa, Ibu?” tanya Arya setelah mendapati Gantari tengah berlari ke arahnya. Napas perempuan 37 tahun itu terengah-engah. Sorot mata penuh kekhawatiran membuat Arya Nandika larut dalam emosi yang sama.
“Cepat sembunyi!” seru Gantari mendorong tubuh putranya untuk menjauh. “Prajurit Astagina mencari pemuda dan laki-laki untuk dibawa berperang, cepat sembunyi!” pekik Gantari.
“Apa? Tak puas kah mereka mengambil Ayahanda!” geram Arya Nandika. Bahasa tubuhnya menolak perintah ibundanya untuk sembunyi.
“Pergi lah, Nak! Ibu tak mau kehilangan kau juga,” pinta Gantari setengah memohon.
“Biar, Ibu, biar aku hadapi mereka! Sekaligus Patih bermata satu itu!” tandas Arya Nandika sambil membusungkan dada. Namun tetap saja tubuh kurusnya itu akan menjadi bulan-bulanan prajurit berkuda dan bersenjata.
Deru tapak kuda beradu dengan bumi terdengar dari utara. Getarannya terasa mengguncang tanah tempat Arya Nandika dan ibundanya berpijak. Teriakan para perempuan dan ibu yang terenggut paksa suami, ayah dan anaknya memenuhi udara Desa Girijajar. Beberapa orang yang melawan harus terima dicederai bahkan sampai terenggut nyawa.
“Cepat pergi, Arya! Biar Ibu tahan mereka di sini!” pekik Gantari.
“Kalau hanya sekedar menahan, tak perlu Ibu, aku pun bisa!” pungkas Arya Nandika.
Pemuda itu mengambil busur dan panah yang biasa digunakan untuk berburu bersama pamannya. Ia berdiri dengan gagahnya di jalan desa seorang diri. Anak panah sudah ia pasang di tali busur. Ujung runcing anak panah sudah terhunus setelah Arya Nandika menarik busurnya ke belakang. Lengkung busurnya membentuk garis indah yang menyimpan kekuatan di dalamnya. Sementara Gantari masih saja membujuk putranya untuk pergi.
“Kalau pun aku tertangkap, paling tidak aku sudah melukai atau bahkan membunuh salah satu dari mereka. Ibu, pergi lah!” seru Arya Nandika.
Deru pasukan berkuda itu semakin mendekat. Panji-panji kerajaan Astagina berkibar di ujung-ujung tombak yang mereka bawa. Pasukan ini adalah pengejar. Pasukan di belakangnya bertugas menangkap penduduk desa yang sudah dilumpuhkan. Mereka memperlakukan rakyat seperti musuh di medan perang.
“Ibu, tunggu apa lagi, cepat lah pergi!” pekik Arya Nandika. Gantari tampak ragu, namun baginya tak ada pilihan lain selain mengikuti permintaan putranya. “Tenang saja, aku sudah menguasai Sasra Dasa yang diajarkan Paman Pranawa!” seru Arya Nandika.
Gantari menghambur meninggalkan putranya seorang diri menghadang pasukan Astagina. Sesekali ia menoleh ke belakang memastikan Arya Nandika masih berdiri di sana dengan gagahnya. Perempuan itu bersembunyi di balik dinding rumah dari bambu.
Pemuda itu tampak menarik busurnya ke belakang beberapa masa, hingga urat-urat di tangan dan lehernya menonjol keluar. Wajah cerah yang masih tampak senggurat anak-anak itu merah padam. Anak panah itu pun melesat meninggalkan tuannya.
“Ayo, bertambah lah!” desis Arya Nandika.
Anak panah itu melesat menuju pasukan berkuda Astagina. Udara yang terbelah menyebabkan benturan energi kuat yang siapa pun pasti dibuat terkesima. Namun belum sempat anak panah itu mengenai targetnya, ia sudah kandas ke tanah beberapa jengkal dari kaki kuda paling depan.
“Tangkap dia!” teriak seorang dengan kuda paling besar dan pakaian paling mewah sambil menghunus pedang.
“Ibuuu!” teriak Arya Nandika mengikuti arah lari ibunya.
Gantari keluar dari persembunyiannya. Ia bermaksud menunggu putranya baru kemudian lari. Namun ternyata Arya Nandika berjarak begitu dekat dengan prajurit-prajurit bertampang sangar di atas kuda itu.
“Suamiku, maafkan aku melanggar sumpahku kali ini saja,” batin Gantari.
Arya masih saja berteriak memanggil ibundanya. Larinya begitu cepat namun tak lebih cepat dari kuda-kuda kekar itu. Salah seorang prajurit paling depan sudah memutar-mutar tali yang biasa digunakan untuk mengekang kuda.
Gantari melompat ke udara melewati Arya Nandika yang hanya bisa mendongak menyaksikan kain milik ibundanya tersingkap hingga di atas lutut. Perempuan itu mendaratkan kakinya tepat di dada prajurit yang membawa tali. Prajurit itu pun terjatuh dari kudanya. Gantari mendarat di tanah disertai ringkik lima ekor kuda di hadapannya.
“Kau pikir anakku ini apa? Mau kau jerat dengan tali!” hardik Gantari. Keempat prajurit lain sibuk menenangkan kuda-kudanya. Sedang prajurit yang memutar tali tengah memegangi dadanya yang sakit.
“Hei, perempuan ja**ng! Minggir lah! Kami hanya ingin membawa anak itu, jangan sampai kau kami luka....”
Kata-kata prajurit itu terhenti. Matanya melotot menyaksikan sebuah tusuk konde menancap di keningnya. Tiga prajurit lain tak sempat melihat sejak kapan benda itu dilemparkan. Mereka hanya menoleh ke rekannya yang tiba-tiba berhenti bicara dan kini mulai limbung dan terhuyung dari kudanya.
Mereka saling berpandangan. Tusuk konde yang menancap di dahi rekannya melesat kembali pada pemiliknya bahkan sebelum rekannya menyentuh tanah. Pandangan mereka beralih ke Gantari yang menyeka darah di tusuk konde keemasannya dengan kain.
“Suji Pati, itu Suji Pati!” pekik salah satu prajurit paling kanan. “Siapa kau sebenarnya?” tanya prajurit itu, matanya dipenuhi rasa takut. Tali kekang kuda ia genggam erat-erat, ia sudah bersiap untuk kabur dari tempat itu.
“Kalian tak perlu tahu siapa aku! Pergilah! Atau tusuk konde ini akan menembus leher kalian sebelum kalian sempat berkedip!” ancam Gantari.
Tusuk konde di tangan kanannya sudah terhunus. Menghadap ke arah tiga orang prajurit di atas kuda. Rambut panjang sepinggang milik Gantari terurai bebas dari belenggu di genggamannya. Matanya tajam menatap penuh kebencian. Siapa pun yang berhadapan pasti akan terkuras keberaniannya. Apa lagi baru saja ia mengalahkan seorang pria tanpa menyentuhnya.
“Baik, Nyai!” sahut prajurit itu dan langsung memutar arah kudanya.
Dua prajurit lainnya tampak ragu, namun segera mengikuti. Sedang prajurit yang diterjang Gantari buru-buru bangkit dan melarikan diri meski ia belum duduk di punggung kuda dengan sempurna.
“Ibu, sejak kapan Ibu menjadi begitu sakti?” tanya Arya Nandika dengan senyum merekah.
Gantari tak menjawab. Ia tampak membenahi kainnya yang tadi sempat tersingkap. Lalu merapikan rambut panjangnya dan menggulungnya ke atas. Tusuk konde tadi ia letakkan di tempatnya semula.
“Mana Sasra Dasa yang kau bicarakan tadi! Dasar anak nakal!” hardik Gantari.
Arya Nandika menggaruk-garuk leher belakangnya yang tidak gatal. Ia menyeringai menyadari kesalahan yang hampir saja membuatnya dan ibunya dalam bahaya.
“Bu, aku juga tak tahu mengapa panah itu tak bertambah,” dalih Arya Nandika.
“Jangan banyak alasan!” gantari menarik daun telinga kiri Arya Nandika. “Ayo cepat sembunyi sebelum prajurit itu kembali!” titah Gantari.
“Prajurit yang mana, Nyai Dewi Gantari?”
Sebilah pedang terhunus di leher Gantari. Arya Nandika terkejut, begitu pula ibundanya. Langkah mereka seketika terhenti. Seorang laki-laki berpakaian prajurit Astagina keluar dari pintu belakang rumah mereka.
“Kau....” lirih Gantari.
“Hei, bocah! Ayo ikut aku! Kau bisa menjadi prajurit Astagina dengan bayaran tinggi! Atau nyawa ibumu aku cabut di depan matamu!” ancam laki-laki itu. Ia tertawa sesudahnya penuh kemenangan.
“Jangan, Arya ... Lari lah, Nak!” lirih Gantari. Bilah pedang itu mulai mengores kulit lehernya.
“Lepaskan Ibundaku! Baik, aku akan ikut denganmu,” ucap Arya Nandika menyerah.
Gantari hanya bisa menitikkan air mata memandang kepergian putranya. Bisa jadi ini kali terakhir ia melihat Arya Nandika. Putranya akan bernasib sama dengan sang ayahanda. Pergi berperang dan tak pernah kembali. Apa lagi Arya Nandika tak memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni. “Jangan kau melawan, Dewi. Atau akan kulaporkan keberadaanmu di sini pada Gusti Prabu,” ancam prajurit itu. “Siapa kau sebenarnya, Prajurit? Mengapa kau bisa tahu jati diriku?” tanya Gantari masih penuh dengan kewaspadaan. Bibirnya melenguh menahan perih di lehernya. “Hanya keluarga istana yang menguasai Suji Pati. Dan setelah Prabu Ranajaya naik tahta, tak ada satu pun perempuan istana yang menguasai tusukan kematian itu,” terang sang prajurit. Prajurit itu lalu mencabut tusuk konde milik Gantari untuk berjaga-jaga. Meski ia sudah mengancam dan melukai Gantari, prajurit itu masih menaruh hormat yang tinggi padanya. Setelah mengamankan tusuk konde berwarna keemasan itu, pedang kembali ia sarungkan. “Ampun, Dew
Orang-orang yang terkena cairan penanda itu mulanya takut. Namun tak ada yang terjadi saat cairan hitam itu mengenai kulit mereka. Hanya saja bekas cairan itu tak bisa hilang meski sudah beberapa kali diseka dengan kuat. “Tak perlu takut, cairan itu hanya tinta. Bagi yang tidak terkena silahkan berdiri di sebelah kanan saya. Sisanya di kiri!” seru Ki Bayanaka. Lebih dari setengah pemuda dari dua desa berkumpul di sisi kiri Ki Bayanaka. Semuanya tampak sebaya dengan Arya Nandika, beberapa bahkan lebih muda. Mereka masih menanti dengan terus mencoba menghapus tanda hitam di bagian tubuh mereka. “Apakah Ayahanda dulu kena cairan penanda ini sama sepertiku?” tanya Arya dalam hati. Para pemuda yang tak terkena cairan penanda meninggalkan tempat itu dipandu seorang prajurit. Ki Bayanaka mendekat ke arah pemuda di sebelah kirinya didampingi Jenar. Gadis itu tampak begitu gagah sekaligus anggun dengan busur berukir menggantung di punggungnya. “Anak-anak muda, mulai hari ini aku lah guru k
“Kurang ajar kau, Bocah! Beraninya kau menyerang Patih Astagina!” hardik Patih Waradhana marah. Ia lemparkan pedang bermata duanya yang sebagian sudah menjadi abu. Dengan sekali kuda-kuda, Patih Waradhana melompat di udara dan mendaratkan kaki berisi tenaga dalam di dada Arya Nandika. Pemuda itu terhempas dan terseret beberapa tombak ke belakang. Tubuhnya berhenti setelah terhempas di pohon randu yang besar. Kapuk berguguran terkena hempasan tubuh Arya Nandika. Beriring dengan mulut pemuda itu yang menyemburkan darah segar. Arya Nandika tak sadarkan diri. Dadanya hangus seukuran tapak kaki Patih Waradhana. Panglima perang Astagina itu tak puas. Ia melompat lagi mendekati Arya Nandika dan bersiap memberikan pukulan pamungkas. Namun Ki Bayanaka mencegahnya dengan memegang pergelangan tangan Patih Waradhana. “Ampun, Gusti. Sudah cukup, dia sudah tak berdaya,” pinta Ki Bayanaka. “Lepaskan, Bayanaka! Biar aku habisi bocah ingusan ini!” bentak Patih Waradhana. Ia meronta, namun tenaga d
“Jenar!” pekik Ki Bayanaka. “Kemana perginya luka di dada anak ini?” “Hah!” Jenar dan Ki Bayanaka saling tatap. Luka yang tadi masih basah dan membiru di tepiannya kini telah hilang, sembuh seperti tak pernah terjadi apa-apa. Wajah pemuda itu juga terlihat tenang seperti hanya tertidur. “Apa yang terjadi, Ayahanda?” Mata Jenar terbelalak. Ia tak menyangka ada hal yang begitu istimewa dari pemuda ini. “Ayah rasa anak ini punya keistimewaan. Tapi harus dipastikannya terlebih dahulu,” ucap Ki Bayanaka semakin membuat rasa penasaran di hati Jenar tumbuh subur. Ki Bayanaka meletakkan mangkuk berisi ramuan di sisi Arya Nandika. Ia raih pergelangan tangan pemuda itu. Sejenak ia memejamkan mata merasakan denyut nadi. Tak puas, pria berambut putih itu menyentuh nadi utama Arya di area leher dengan jarinya. “Bagaimana, Ayahanda?” tanya Jenar penasaran. Ki Bayanaka tak menjawab. Ia hanya mengangkat telapak tangannya, kode pada Jenar untuk bersabar. Pria itu lalu menempelkan telinganya di d
Rumah ini terasa begitu sepi tanpa putranya yang terlalu percaya diri itu. Andai Arya menurut padanya, mungkin mereka berdua masih berkumpul. Sepeninggal Sanggageni karena hal yang sama, Gantari dan Arya Nandika hanya hidup berdua. Arya meneruskan profesi ayahandanya menjadi pandai besi. Sedang ibundanya rutin menjual hasil tenunnya. Nama Sanggageni sendiri merupakan julukan. Penduduk desa mengaitkan kemampuan pria 39 tahun itu menempa besi dengan api hingga tersebutlah nama itu. Sangga yang artinya menyangga, geni berarti api. Namun sebelum ia bermukim di Desa Girijajar, julukan itu sudah melekat padanya. Satu hal yang tidak Arya ketahui, Sanggageni masih hidup dan selalu mengirimkan kabar pada istrinya melalui pedagang yang memesan senjata. Kadang juga lewat Jenaka, seekor elang yang sejak kecil dipelihara Sanggageni dan tidak ada sama sekali lucunya. Sanggageni sengaja melarang Gantari mengatakan kebaradaannya pada Arya, karena pemuda itu pasti tak akan terima. “Nyai Gantari! Ped
Arya merasa tak nyaman mengenakan pakaian milik Ki Bayanaka. Ia tampak seperti seorang anak yang memaksa memakai baju ayahnya, kebesaran. Ujung lengan dan celana ia gulung beberapa kali. Sabuk kain tebal yang dikenakan juga terasa menutupi tak cuma pinggang, tapi juga perut. “Aku berikan baju itu padamu, Anak Muda. Nanti Jenar akan membelikan baju yang lebih baik untukmu,” ujar Ki Bayanaka seraya meletakkan toyanya. “Terima kasih, Ki,” jawab Arya sambil terus membenahi pakaiannya. “Siapa namamu, Anak Muda? Dan dari mana kau berasal?” tanya Ki Bayanaka. Ia meminta Arya untuk duduk di balai-balai belakang rumah. “Namaku Arya Nandika, Ki. Aku dari Desa Girijajar di sebelah selatan kaki Gunung Payoda,” ucap Arya. Ia masih merasa rikuh dengan perlakuan pria tua ini padanya. Menurut Jenar, karena lukanya parah maka Arya dibawa untuk diobati oleh Ki Bayanaka. Tapi setelah sembuh, ia tak kunjung dikembalikan lagi bersama rekan-rekan sesama calon prajurit. Arya merasa spesial, juga ingin t
Tempat latihan memanah ini tampak sepi. Arya ditugaskan oleh sang guru yang sore tadi berlutut padanya untuk berlatih memanah bersama Jenar. Raden Arya Nandika, pria itu menyebutnya, gelar yang tak buruk. Tapi terasa tak berguna. Sia-sia jika seorang Raden harus hidup dengan menempa besi setiap hari. Gadis cantik di depan Arya masih saja bersikap dingin. Ia berjalan cepat mendahului Arya dengan angkuhnya. Beruntung Ki Bayanaka segera memberinya pakaian baru yang sesuai. Arya sama sekali tak merasa nyaman dengan pakaian orang tua itu. “Nah, kita sudah sampai.” Jenar menghentikan langkahnya. Mereka kini berada di tengah-tengah tanah lapang dikelilingi pagar bambu. Banyak sekali bantalan target panah berbahan jerami yang terpasang di pagar itu. “Apa harus malam-malam?” keluh Arya sambil menerima busur dari Jenar. Gadis itu tampak malas mendengar keluhan Arya. “Kalau bukan karena Ayahanda yang meminta, aku juga tak sudi berlatih memanah di malam hari. Berdua dengan orang menyebalkan ma
Ki Bayanaka hanya tertawa mendengar cerita Jenar yang begitu kesal padanya. Habis sudah lengannya dicubit dan dipukul oleh putri kesayangannya itu. Ada senggurat malu namun juga suka, tampak dari wajah Jenar yang memerah dan disertai senyum. “Ayahanda mengapa menjerumuskan aku? Mengapa kau suruh aku melatih Arya, sedang Ayahanda tahu dia itu pemanah ulung?” rajuk Jenar. “Bukankah kau sendiri yang bilang dan menemukan tanda-tanda kalau dia pemanah ulung? Tapi mengapa kau justru memamerkan keahlian memanahmu yang tak seberapa itu?” Ki Bayanaka melanjutkan tertawanya. Ia tak menyangka putrinya dan Arya akan akrab secepat ini. Jenar hanya mencebik. Wajahnya memerah menahan malu. Entah sudah berapa kali kedua kaki ia hentakkan ke bumi. Rasa malunya benar-benar tak tertahankan lagi. Rasanya ia tak ingin lagi bertemu dengan Arya, namun itu tak mungkin karena pemuda itu masih tinggal bersamanya dan hari ini mereka berdua akan berlatih memanah di hutan, membidik target bergerak. “Ayolah, Je
“Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”
Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati
Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini
“Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi
Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya
“Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan
Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati
Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka
Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat