Share

6. Pesan Dari Dewi Gantari

Rumah ini terasa begitu sepi tanpa putranya yang terlalu percaya diri itu. Andai Arya menurut padanya, mungkin mereka berdua masih berkumpul. Sepeninggal Sanggageni karena hal yang sama, Gantari dan Arya Nandika hanya hidup berdua. Arya meneruskan profesi ayahandanya menjadi pandai besi. Sedang ibundanya rutin menjual hasil tenunnya.

Nama Sanggageni sendiri merupakan julukan. Penduduk desa mengaitkan kemampuan pria 39 tahun itu menempa besi dengan api hingga tersebutlah nama itu. Sangga yang artinya menyangga, geni berarti api. Namun sebelum ia bermukim di Desa Girijajar, julukan itu sudah melekat padanya.

Satu hal yang tidak Arya ketahui, Sanggageni masih hidup dan selalu mengirimkan kabar pada istrinya melalui pedagang yang memesan senjata. Kadang juga lewat Jenaka, seekor elang yang sejak kecil dipelihara Sanggageni dan tidak ada sama sekali lucunya. Sanggageni sengaja melarang Gantari mengatakan kebaradaannya pada Arya, karena pemuda itu pasti tak akan terima.

“Nyai Gantari! Pedagang senjata yang biasa ditemui anakmu mencarinya di pasar!” seru seorang ibu sambil menggendong putrinya.

“Lalu apa yang kau katakan, Nyai? Apakah dia masih di pasar?” tanya Gantari. Ia segera turun dari rumah panggungnya. Pedagang itu pasti membawa kabar dari Sanggageni untuknya. Gantari harus memberikan kabar bahwa Arya telah tertangkap oleh pasukan Astagina.

“Aku katakan bahwa pemuda di desa ini sudah habis. Sepertinya dia masih di pasar....”

“Terima kasih, Nyai!” seru Gantari tanpa membiarkan perempuan itu menyelesaikan kalimatnya.

Perempuan itu berjalan cepat menuju arah pasar. Matahari masih belum tinggi, artinya pasar belum akan usai. Ia harus bertemu pedagang itu, suaminya harus tahu kondisinya. Gantari tak ingin sendirian sampai mati di desa ini.

Tak seperti biasanya, pasar terlihat sepi. Tak banyak laki-laki yang Gantari temui, hanya wanita, lansia dan anak-anak. Selama perang terus berkecamuk dan singgasana Astagina masih diduduki Prabu Ranajaya, tak akan ada pemuda di Desa Girijajar dan sekitarnya. Lama kelamaan penduduk akan mengungsi dan Desa Girijajar tidak akan ada lagi.

“Nyai Gantari?” sapa seorang pria setelah menambatkan kuda.

“Ya, apakah Ki Sanak pedagang senjata yang selalu dijumpai anakku?” tanya Gantari.

“Betul, Nyai. Apa benar para pemuda desa sudah diambil paksa oleh istana untuk berperang?” tanya pria itu. Sepertinya dia sudah mendapatkan informasi yang cukup.

“Betul, Ki. Jika Ki Sanak bertemu dengan suamiku, Sanggageni, tolong sampaikan kondisi Desa Girijajar ini. Dan untuk senjata yang biasa Ki Sanak beli dari Arya, aku tak bisa berikan karena tak ada lagi yang membuat,” pinta Gantari.

“Baik, Nyai, akan aku sampaikan pada Tuan Sanggageni,” ujar Pria itu dengan sopan.

Gantari tersenyum singkat. Ada hal yang tampak tak biasa ia lihat dari pedagang ini. Pria ini menyebut suaminya ‘Tuan’. Lalu saat berbincang ia selalu menunduk dan memberikan jarak. Perlakuan yang selalu diterimanya samasa hidup di istana.

“Aku tahu kau bukan pedagang senjata, Ki Sanak!”

Pria itu terperanjat. Ia memperhatikan pakaian dan tampilannya. Bagaimana bisa Gantari tahu bahwa dia bukanlah pedagang senjata sungguhan? Padahal ia sudah mengubah tampilannya seperti pedagang pada umumnya.

“B-Bagaimana Dewi bisa tahu?” tanya pria itu panik.

Benar dugaan Gantari, pria ini tahu jati dirinya. Itu sebab meski sedang menyamar, dia tetap memberikan hormat yang tinggi padanya.

“Apa kau parajurit Astagina?” Gantari mundur dua langkah dari tempatnya semula. Amat berbahaya bila pria ini benar-benar antek-antek Patih Waradhana.

“Ampun, Dewi, dulu hamba memang prajurit Astagina. Namun setelah gagal melindungi Prabu Wirajaya, hamba melarikan diri ke Wana Payoda. Di sana lah hamba bertemu suami Dewi,” terang pria itu begitu takut.

Gantari menganggukkan kepalanya beberapa kali. Terjawab sudah mengapa pria ini begitu menjaga pandangan terhadapnya. Menghormatinya selayaknya dia masih seorang putri raja.

“Siapa namamu, Ki?” Gantari mendekat, namun pria itu segera mundur lagi. Masih selalu menundukkan pandangannya.

“Hamba Sokha, Dewi.” Pria itu tak berani menatap wajah perempuan di hadapannya.

“Sokha? Jadi kau salah satu dari tujuh pelindung Ayahanda Prabu?” Gantari seperti tak percaya dengan apa yang terjadi. Ia mengira ketujuh pelindung itu sudah tewas saat pemberontakan Ranajaya.

“Hamba satu-satunya yang masih hidup, Dewi,” ujar Sokha.

“Sudah, Sokha. Tolong bersikap biasa saja terhadapku. Aku ini bukan lagi anak raja, apa lagi aku sudah menikah dengan orang biasa. Sudah hilang darah istanaku,” ujar Gantari.

“Sendika, Dewi. Bagi hamba semua keturunan Prabu Wirajaya adalah junjungan. Hamba tak berani bersikap biasa kepada Dewi,” tutur Sokha begitu sopan.

Gantari menghembuskan napas panjang. Dalam waktu singkat ia sudah dikenali oleh orang-orang yang dahulu menjunjungnya di istana. Semakin lama ia di pasar, maka semakin banyak orang yang melihat perlakuan Sokha padanya.

“Baik, Sokha, tolong sampaikan pada suamiku untuk menjemputku segera. Aku lebih baik ikut dalam perjuangannya dari pada berdiam diri di sini. Desa ini akan segera menjadi desa mati,” pinta Gantari.

“Sendika, Dewi, akan hamba sampaikan kepada Tuan Sanggageni.” Sokha hampir saja bersimpuh mengamini titah Gantari. Namun ia urungkan karena kondisi di pasar masih ramai.

“Oh iya, Sokha, apa sepupuku, Pranawa Sakti bersama suamiku?” tanya Gantari lagi.

“Benar, Dewi. Gusti Pangeran Pranawa bersama Tuan Sanggageni tengah menggalang kekuatan di selatan lereng Gunung Payoda. Beliau melatih pasukan panah,” jawab Sokha.

“Terima kasih, Sokha. Segera kembali dan sampaikan pesanku!” titah Gantari.

“Sendika, Dewi!”

Sokha terus saja menunduk, meski ia sudah tahu Dewi Gantari sudah meninggalkannya. Kepalanya terangkat setelah dirasa perempuan itu sudah berjalan sepuluh langkah. Ia dapat melihat punggung putri Prabu Wirajaya itu perlahan menjauh. Seorang putri raja yang kini harus terbuang karena ketamakan Ranajaya, Patih Astagina belasan tahun lalu.

Pria itu yakin, di istana Astagina, masih banyak prajurit dan abdi yang setia dengan Prabu Wirajaya. Prabu Ranajaya yang memaksakan diri naik tahta sudah banyak sekali berbuat dzalim. Di awal pemerintahannya, banyak gadis-gadis desa yang diambil paksa. Sebagian dijadikan emban, gadis terpilih dijadikan selirnya. Kini ia merampas paksa para pemuda.

Sokha melepaskan tambatan kuda. Sekali lompat ia sudah duduk di punggung tunggangannya itu. Seperti titah Gantari, ia harus segera kembali untuk menyampaikan pesan junjungannya itu pada suaminya. Sentakan kuat tali kekang membuat kuda itu melesat meninggalkan pasar.

Sampai di jalan setapak menuju Wana Payoda, Sokha memperlambat laju kudanya. Ia merasa ada banyak mata yang mengawasinya dari atas pohon yang rimbun. Ia dapat merasakan, buah dari latihan menjadi prajurit khusus pelindung raja.

Benar saja, belum lama ia memperlambat, dari berbagai penjuru melesat banyak anak panah menuju ke arahnya. Sokha melompat dari kuda sambil mencabut pedangnya. Beberapa anak panah berhasil ia hindari dan tangkis. Sebagian besar mengenai kudanya. Kuda itu berlari beberapa langkah dan kemudian jatuh.

“Siapa kalian? Keluar! Hanya pengecut yang menyerang dari belakang!” seru Sokha.

Tak ada sama sekali jawaban. Bahkan dahan-dahan pohon tinggi itu tak bergerak sedikitpun. Sokha begitu siaga, pedangnya terhunus siap untuk menangkal bahkan menyerang. Netra dan seluruh indranya bersiap merasakan sedikit gerakan sekalipun.

Seketika Sokha terbelalak, ada rasa perih yang teramat sangat di lehernya. Tenggorokannya tercekat, tak bisa digerakkan untuk menelan ludah. Sebuah anak panah kecil, lebih kecil dari sebilah keris menembus lehernya. Darah memancar membasahi seluruh tubuh. Sokha paksakan untuk terus berdiri, namun pandangannya mendadak gelap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status