Rumah ini terasa begitu sepi tanpa putranya yang terlalu percaya diri itu. Andai Arya menurut padanya, mungkin mereka berdua masih berkumpul. Sepeninggal Sanggageni karena hal yang sama, Gantari dan Arya Nandika hanya hidup berdua. Arya meneruskan profesi ayahandanya menjadi pandai besi. Sedang ibundanya rutin menjual hasil tenunnya.
Nama Sanggageni sendiri merupakan julukan. Penduduk desa mengaitkan kemampuan pria 39 tahun itu menempa besi dengan api hingga tersebutlah nama itu. Sangga yang artinya menyangga, geni berarti api. Namun sebelum ia bermukim di Desa Girijajar, julukan itu sudah melekat padanya.
Satu hal yang tidak Arya ketahui, Sanggageni masih hidup dan selalu mengirimkan kabar pada istrinya melalui pedagang yang memesan senjata. Kadang juga lewat Jenaka, seekor elang yang sejak kecil dipelihara Sanggageni dan tidak ada sama sekali lucunya. Sanggageni sengaja melarang Gantari mengatakan kebaradaannya pada Arya, karena pemuda itu pasti tak akan terima.
“Nyai Gantari! Pedagang senjata yang biasa ditemui anakmu mencarinya di pasar!” seru seorang ibu sambil menggendong putrinya.
“Lalu apa yang kau katakan, Nyai? Apakah dia masih di pasar?” tanya Gantari. Ia segera turun dari rumah panggungnya. Pedagang itu pasti membawa kabar dari Sanggageni untuknya. Gantari harus memberikan kabar bahwa Arya telah tertangkap oleh pasukan Astagina.
“Aku katakan bahwa pemuda di desa ini sudah habis. Sepertinya dia masih di pasar....”
“Terima kasih, Nyai!” seru Gantari tanpa membiarkan perempuan itu menyelesaikan kalimatnya.
Perempuan itu berjalan cepat menuju arah pasar. Matahari masih belum tinggi, artinya pasar belum akan usai. Ia harus bertemu pedagang itu, suaminya harus tahu kondisinya. Gantari tak ingin sendirian sampai mati di desa ini.
Tak seperti biasanya, pasar terlihat sepi. Tak banyak laki-laki yang Gantari temui, hanya wanita, lansia dan anak-anak. Selama perang terus berkecamuk dan singgasana Astagina masih diduduki Prabu Ranajaya, tak akan ada pemuda di Desa Girijajar dan sekitarnya. Lama kelamaan penduduk akan mengungsi dan Desa Girijajar tidak akan ada lagi.
“Nyai Gantari?” sapa seorang pria setelah menambatkan kuda.
“Ya, apakah Ki Sanak pedagang senjata yang selalu dijumpai anakku?” tanya Gantari.
“Betul, Nyai. Apa benar para pemuda desa sudah diambil paksa oleh istana untuk berperang?” tanya pria itu. Sepertinya dia sudah mendapatkan informasi yang cukup.
“Betul, Ki. Jika Ki Sanak bertemu dengan suamiku, Sanggageni, tolong sampaikan kondisi Desa Girijajar ini. Dan untuk senjata yang biasa Ki Sanak beli dari Arya, aku tak bisa berikan karena tak ada lagi yang membuat,” pinta Gantari.
“Baik, Nyai, akan aku sampaikan pada Tuan Sanggageni,” ujar Pria itu dengan sopan.
Gantari tersenyum singkat. Ada hal yang tampak tak biasa ia lihat dari pedagang ini. Pria ini menyebut suaminya ‘Tuan’. Lalu saat berbincang ia selalu menunduk dan memberikan jarak. Perlakuan yang selalu diterimanya samasa hidup di istana.
“Aku tahu kau bukan pedagang senjata, Ki Sanak!”
Pria itu terperanjat. Ia memperhatikan pakaian dan tampilannya. Bagaimana bisa Gantari tahu bahwa dia bukanlah pedagang senjata sungguhan? Padahal ia sudah mengubah tampilannya seperti pedagang pada umumnya.
“B-Bagaimana Dewi bisa tahu?” tanya pria itu panik.
Benar dugaan Gantari, pria ini tahu jati dirinya. Itu sebab meski sedang menyamar, dia tetap memberikan hormat yang tinggi padanya.
“Apa kau parajurit Astagina?” Gantari mundur dua langkah dari tempatnya semula. Amat berbahaya bila pria ini benar-benar antek-antek Patih Waradhana.
“Ampun, Dewi, dulu hamba memang prajurit Astagina. Namun setelah gagal melindungi Prabu Wirajaya, hamba melarikan diri ke Wana Payoda. Di sana lah hamba bertemu suami Dewi,” terang pria itu begitu takut.
Gantari menganggukkan kepalanya beberapa kali. Terjawab sudah mengapa pria ini begitu menjaga pandangan terhadapnya. Menghormatinya selayaknya dia masih seorang putri raja.
“Siapa namamu, Ki?” Gantari mendekat, namun pria itu segera mundur lagi. Masih selalu menundukkan pandangannya.
“Hamba Sokha, Dewi.” Pria itu tak berani menatap wajah perempuan di hadapannya.
“Sokha? Jadi kau salah satu dari tujuh pelindung Ayahanda Prabu?” Gantari seperti tak percaya dengan apa yang terjadi. Ia mengira ketujuh pelindung itu sudah tewas saat pemberontakan Ranajaya.
“Hamba satu-satunya yang masih hidup, Dewi,” ujar Sokha.
“Sudah, Sokha. Tolong bersikap biasa saja terhadapku. Aku ini bukan lagi anak raja, apa lagi aku sudah menikah dengan orang biasa. Sudah hilang darah istanaku,” ujar Gantari.
“Sendika, Dewi. Bagi hamba semua keturunan Prabu Wirajaya adalah junjungan. Hamba tak berani bersikap biasa kepada Dewi,” tutur Sokha begitu sopan.
Gantari menghembuskan napas panjang. Dalam waktu singkat ia sudah dikenali oleh orang-orang yang dahulu menjunjungnya di istana. Semakin lama ia di pasar, maka semakin banyak orang yang melihat perlakuan Sokha padanya.
“Baik, Sokha, tolong sampaikan pada suamiku untuk menjemputku segera. Aku lebih baik ikut dalam perjuangannya dari pada berdiam diri di sini. Desa ini akan segera menjadi desa mati,” pinta Gantari.
“Sendika, Dewi, akan hamba sampaikan kepada Tuan Sanggageni.” Sokha hampir saja bersimpuh mengamini titah Gantari. Namun ia urungkan karena kondisi di pasar masih ramai.
“Oh iya, Sokha, apa sepupuku, Pranawa Sakti bersama suamiku?” tanya Gantari lagi.
“Benar, Dewi. Gusti Pangeran Pranawa bersama Tuan Sanggageni tengah menggalang kekuatan di selatan lereng Gunung Payoda. Beliau melatih pasukan panah,” jawab Sokha.
“Terima kasih, Sokha. Segera kembali dan sampaikan pesanku!” titah Gantari.
“Sendika, Dewi!”
Sokha terus saja menunduk, meski ia sudah tahu Dewi Gantari sudah meninggalkannya. Kepalanya terangkat setelah dirasa perempuan itu sudah berjalan sepuluh langkah. Ia dapat melihat punggung putri Prabu Wirajaya itu perlahan menjauh. Seorang putri raja yang kini harus terbuang karena ketamakan Ranajaya, Patih Astagina belasan tahun lalu.
Pria itu yakin, di istana Astagina, masih banyak prajurit dan abdi yang setia dengan Prabu Wirajaya. Prabu Ranajaya yang memaksakan diri naik tahta sudah banyak sekali berbuat dzalim. Di awal pemerintahannya, banyak gadis-gadis desa yang diambil paksa. Sebagian dijadikan emban, gadis terpilih dijadikan selirnya. Kini ia merampas paksa para pemuda.
Sokha melepaskan tambatan kuda. Sekali lompat ia sudah duduk di punggung tunggangannya itu. Seperti titah Gantari, ia harus segera kembali untuk menyampaikan pesan junjungannya itu pada suaminya. Sentakan kuat tali kekang membuat kuda itu melesat meninggalkan pasar.
Sampai di jalan setapak menuju Wana Payoda, Sokha memperlambat laju kudanya. Ia merasa ada banyak mata yang mengawasinya dari atas pohon yang rimbun. Ia dapat merasakan, buah dari latihan menjadi prajurit khusus pelindung raja.
Benar saja, belum lama ia memperlambat, dari berbagai penjuru melesat banyak anak panah menuju ke arahnya. Sokha melompat dari kuda sambil mencabut pedangnya. Beberapa anak panah berhasil ia hindari dan tangkis. Sebagian besar mengenai kudanya. Kuda itu berlari beberapa langkah dan kemudian jatuh.
“Siapa kalian? Keluar! Hanya pengecut yang menyerang dari belakang!” seru Sokha.
Tak ada sama sekali jawaban. Bahkan dahan-dahan pohon tinggi itu tak bergerak sedikitpun. Sokha begitu siaga, pedangnya terhunus siap untuk menangkal bahkan menyerang. Netra dan seluruh indranya bersiap merasakan sedikit gerakan sekalipun.
Seketika Sokha terbelalak, ada rasa perih yang teramat sangat di lehernya. Tenggorokannya tercekat, tak bisa digerakkan untuk menelan ludah. Sebuah anak panah kecil, lebih kecil dari sebilah keris menembus lehernya. Darah memancar membasahi seluruh tubuh. Sokha paksakan untuk terus berdiri, namun pandangannya mendadak gelap.
Arya merasa tak nyaman mengenakan pakaian milik Ki Bayanaka. Ia tampak seperti seorang anak yang memaksa memakai baju ayahnya, kebesaran. Ujung lengan dan celana ia gulung beberapa kali. Sabuk kain tebal yang dikenakan juga terasa menutupi tak cuma pinggang, tapi juga perut. “Aku berikan baju itu padamu, Anak Muda. Nanti Jenar akan membelikan baju yang lebih baik untukmu,” ujar Ki Bayanaka seraya meletakkan toyanya. “Terima kasih, Ki,” jawab Arya sambil terus membenahi pakaiannya. “Siapa namamu, Anak Muda? Dan dari mana kau berasal?” tanya Ki Bayanaka. Ia meminta Arya untuk duduk di balai-balai belakang rumah. “Namaku Arya Nandika, Ki. Aku dari Desa Girijajar di sebelah selatan kaki Gunung Payoda,” ucap Arya. Ia masih merasa rikuh dengan perlakuan pria tua ini padanya. Menurut Jenar, karena lukanya parah maka Arya dibawa untuk diobati oleh Ki Bayanaka. Tapi setelah sembuh, ia tak kunjung dikembalikan lagi bersama rekan-rekan sesama calon prajurit. Arya merasa spesial, juga ingin t
Tempat latihan memanah ini tampak sepi. Arya ditugaskan oleh sang guru yang sore tadi berlutut padanya untuk berlatih memanah bersama Jenar. Raden Arya Nandika, pria itu menyebutnya, gelar yang tak buruk. Tapi terasa tak berguna. Sia-sia jika seorang Raden harus hidup dengan menempa besi setiap hari. Gadis cantik di depan Arya masih saja bersikap dingin. Ia berjalan cepat mendahului Arya dengan angkuhnya. Beruntung Ki Bayanaka segera memberinya pakaian baru yang sesuai. Arya sama sekali tak merasa nyaman dengan pakaian orang tua itu. “Nah, kita sudah sampai.” Jenar menghentikan langkahnya. Mereka kini berada di tengah-tengah tanah lapang dikelilingi pagar bambu. Banyak sekali bantalan target panah berbahan jerami yang terpasang di pagar itu. “Apa harus malam-malam?” keluh Arya sambil menerima busur dari Jenar. Gadis itu tampak malas mendengar keluhan Arya. “Kalau bukan karena Ayahanda yang meminta, aku juga tak sudi berlatih memanah di malam hari. Berdua dengan orang menyebalkan ma
Ki Bayanaka hanya tertawa mendengar cerita Jenar yang begitu kesal padanya. Habis sudah lengannya dicubit dan dipukul oleh putri kesayangannya itu. Ada senggurat malu namun juga suka, tampak dari wajah Jenar yang memerah dan disertai senyum. “Ayahanda mengapa menjerumuskan aku? Mengapa kau suruh aku melatih Arya, sedang Ayahanda tahu dia itu pemanah ulung?” rajuk Jenar. “Bukankah kau sendiri yang bilang dan menemukan tanda-tanda kalau dia pemanah ulung? Tapi mengapa kau justru memamerkan keahlian memanahmu yang tak seberapa itu?” Ki Bayanaka melanjutkan tertawanya. Ia tak menyangka putrinya dan Arya akan akrab secepat ini. Jenar hanya mencebik. Wajahnya memerah menahan malu. Entah sudah berapa kali kedua kaki ia hentakkan ke bumi. Rasa malunya benar-benar tak tertahankan lagi. Rasanya ia tak ingin lagi bertemu dengan Arya, namun itu tak mungkin karena pemuda itu masih tinggal bersamanya dan hari ini mereka berdua akan berlatih memanah di hutan, membidik target bergerak. “Ayolah, Je
“Jangan berbalik, jangan!” desis Arya. “Kau tak boleh lari sekarang!” Jenar mulai melangkah mundur. Langkah kakinya seirama dengan delapan pasang kaki binatang di depannya. Anak panahnya masih terhunus. Namun akan sulit jika keempat singa itu menyerang bersama-sama. Sampai detik ini ia hanya mengandalkan insting untuk berhadapan dengan kawanan singa ini. Sorot mata singa betina yang tadi melumpuhkan rusa membuat Jenar bergidik. Apa lagi taringnya yang masih basah oleh darah rusa. Ia bisa membayangkan bagaimana rasanya benda sebesar itu mengoyak batang lehernya. “Bagus, kau tidak berbalik. Pertahankan posisi mereka,” gumam Arya. Pemuda itu mencabut anak panah dari tempatnya. Segera ia tarik tali busur yang biasa digunakan untuk prajurit berlatih. Rasanya lebih ringan dari busur pemberian Paman Pranawa. Arya mulai membidik. Seekor singa muda mulai bergerak menjauh dari kawanan. Insting berburu dalam kelompok membuatnya seolah memecah perhatian Jenar. Disusul oleh seekor singa lagi. K
Sepasang kekasih duduk berhimpitan di sebuah batu besar di tepi sungai. Di belakangnya dua ekor kuda tak peduli dengan kemesraan tuannya yang baru saja menjalin cinta. Jenar dengan manjanya bersandar pada dada Arya. Mendengarkan syahdu gemericik air sungai di bawah bayang-bayang ranting pohon akasia. “Ceritakan padaku seperti apa Desa Girijajar, Arya!” bisik Jenar di bawah dagu kekasihnya. “Mengapa kau ingin tahu? Apa kau ingin aku bawa pulang menemui Ibu?” goda Arya dengan seuntai senyum terpampang di bibirnya. “Suatu saat aku pasti akan kau bawa kan? Ibumu seperti apa? Ah, mendengar kata ‘ibu’ aku jadi teringat mendiang Ibuku,” rengek Jenar begitu manja. Ia sama sekali berbeda dengan Jenar tadi malam dan beberapa masa yang lalu. “Pertanyaan mana yang harus aku jawab lebih dulu? Hmm?” Arya menjentik ujung hidung Jenar dengan gemas. Perilaku Jenar yang selalu menanyakan banyak hal seperti awal mereka jumpa rupanya memang tabiat asli gadis ini. “Mengapa kau selalu menyebalkan, Arya
“Ya, Arya. Sudah kuputuskan dan sudah disetujui. Kau sekarang bertugas sebagai Ketua Prajurit Pemanah,” ucap Ki Bayanaka mantap. Seluruh prajurit pemanah bertepuk tangan meski sebelumnya saling pandang. Arya Nandika hanya mampu menelan ludah. Ia tatap sekelilingnya, dipenuhi oleh senyum dan sorai yang dipaksakan. Beberapa prajurit di belakang saling berbisik. Sebentar lagi pasti ada yang akan mencemooh. Mungkin menunggu Ki Bayanaka meninggalkan tempat ini. “Baik, silahkan lanjutkan latihan kalian,” seru Ki Bayanaka disusul dengan langkah para prajurit meninggalkan mereka berdua. “Raden, mohon ikuti hamba. Raden sudah resmi menjadi prajurit Astagina. Akan hamba jelaskan tugas dan tanggung jawab Raden. Pakaian Raden juga harus diganti,” bisik Ki Astagina. “Apa yang kau rencanakan, Ki?” Arya masih tak bisa menerima penobatan dirinya. Pasti akan banyak pertentangan antara prajurit senior. “Ampuni hamba, Raden. Hamba sama sekali tak punya niat buruk. Ini semua demi kebaikan dan keselama
“Kau! Silahkan pilih dari sekarang, kau ingin bangkaimu dibakar atau ditanam?” bentak Arya sambil menghunus anak panahnya ke arah pria yang kini segera menghentikan tawanya. Seluruh prajurit panah seketika terdiam. Beberapa di antara mereka saling pandang. Pria yang mengolok-olok ibu dari Arya tadi sempat terdiam, namun ia melanjutkan lagi tawanya. Di susul rekan-rekan yang berada di dekatnya. “Lihatlah, dia merajuk! Aku tak ingin dibakar atau di tanam, aku hanya ingin tidur di samping Ibumu!” Tawa pria itu semakin keras. Begitupun prajurit lainnya. Hanya ada beberapa prajurit yang menyadari bahwa ketua baru mereka sudah tersulut amarah. Arya tak kuasa lagi menahan energi yang muncul dari dalam tubuhnya. Energi besar yang hadir seiring dengan memuncaknya amarah itu kini tanpa disadari sudah terkumpul di tangan kanannya. Tarikan tali busur itu menjadi begitu mantap dan bertenaga. Tak ada getaran yang biasa terjadi di lengan kiri. Sesaat sebelum dilepaskan, ujung runcing anak panah i
“Jenar! Kau tahu apa yang terjadi hari ini di arena latih panah?” seru Ki Bayanaka sesaat setelah tiba di muka pintu rumahnya. “Ada apa, Ayahanda? Apa sesuatu terjadi pada Arya?” Jenar segera menghambur dari dalam rumah. Ia dapati ayahandanya tengah menaiki lima anak tangga untuk sampai di pendopo rumah. “Cundhamani, Jenar! Arya mengeluarkan Cundhamani!” Wajah Ki Bayanaka begitu bahagia. Tak tampak sedikitpun senggurat kesedihan karena kehilangan toya andalannya. “Benarkah?” “Ya, seluruh arena latih sekarang sudah menjadi abu. Bahkan toyaku sudah tak ada wujudnya lagi. Kalau saja Ayah tak menangkisnya, mungkin anak panah api itu sudah membakar separuh prajurit panah!” pria tua itu masih begitu antusias menceritakan kehebatan Arya pada putrinya. “Lalu dimana Arya sekarang, Ayahanda?” tanya Jenar. Ia mengalihkan pandangannya ke bawah rumah panggung yang tak terlalu tinggi itu. Juga sebuah jalan setapak yang menghubungkan rumah-rumah serupa para abdi istana. “Oh, Ayah lupa mengataka