Arya merasa tak nyaman mengenakan pakaian milik Ki Bayanaka. Ia tampak seperti seorang anak yang memaksa memakai baju ayahnya, kebesaran. Ujung lengan dan celana ia gulung beberapa kali. Sabuk kain tebal yang dikenakan juga terasa menutupi tak cuma pinggang, tapi juga perut.
“Aku berikan baju itu padamu, Anak Muda. Nanti Jenar akan membelikan baju yang lebih baik untukmu,” ujar Ki Bayanaka seraya meletakkan toyanya.
“Terima kasih, Ki,” jawab Arya sambil terus membenahi pakaiannya.
“Siapa namamu, Anak Muda? Dan dari mana kau berasal?” tanya Ki Bayanaka. Ia meminta Arya untuk duduk di balai-balai belakang rumah.
“Namaku Arya Nandika, Ki. Aku dari Desa Girijajar di sebelah selatan kaki Gunung Payoda,” ucap Arya. Ia masih merasa rikuh dengan perlakuan pria tua ini padanya.
Menurut Jenar, karena lukanya parah maka Arya dibawa untuk diobati oleh Ki Bayanaka. Tapi setelah sembuh, ia tak kunjung dikembalikan lagi bersama rekan-rekan sesama calon prajurit. Arya merasa spesial, juga ingin tahu kondisi pemuda desa lainnya.
“Siapa orang tuamu?”
“Ayahandaku bernama Sanggageni, ibundaku Gantari,” jawab Arya singkat.
“Apa kau bilang? Gantari?” Ki Bayanaka memicingkan mata dengan tepian tertutup alis putih panjangnya.
“Benar, Ki. Ibundaku bernama Gantari, seorang penenun terkenal di desaku,” jawab Arya.
“Hmm....” Ki Bayanaka membelai janggut panjangnya. Ia seperti tengah mencoba mengingat sesuatu. “Apa ibumu selalu mengenakan tusuk konde berwarna emas?”
“Bagaimana kau bisa tahu, Ki? Apa kau mengenal ibuku?” tanya Arya seolah melompat. Ia tak menyangka ada penghuni istana yang mengenali ibunya.
Ki Bayanaka memandang pemuda di hadapannya dengan seksama. Ia mencoba menerka kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Pemberontakan Ranajaya belasan tahun lalu memang menyisakan tanya setelah seorang putri Prabu Wirajaya tak ditemukan. Juga seorang pengawal putri dan satu dari tujuh pelindung Prabu.
“Ah, tidak, aku hanya seperti pernah mendengar nama itu,” dalih Ki Bayanaka.
Arya menghela napasnya. Ia pikir ibunya begitu tersohor sampai ke istana yang besar ini. Rupanya tak boleh terlalu berharap hal yang mustahil di tengah pemerintahan penguasa kejam ini.
“Oh ya, Ki, empat tahun lalu Ayahandaku dibawa paksa sepertiku oleh Patih dan pasukannya. Apa kau pernah melihatnya?” tanya Arya. Jika semua calon prajurit dilatih oleh Ki Bayanaka, pasti mereka berdua pernah bertemu.
“Oh ya? Lalu seperti apa rupa Ayahandamu?” Ki Bayanaka menyesap minumannya di gelas bambu.
“Ayahandaku tingginya hampir sama denganku, maksudku dia sedikit lebih rendah. Wajahnya tampan, rambutnya lurus sebahu. Dia mengenakan anting di telinga kiri,” terang Arya.
“Anting di telinga kiri? Apa Ayahandamu mahir menggunakan pedang?”
Kali ini Ki Bayanaka yang bertanya sampai seperti melompat. Ia seperti mendapat titik terang atas keistimewaan Arya. Keistimewaan yang pemuda itu sendiri tak menyadarinya. Denyut nadi itu, anak panah api itu, Ki Bayanaka merasa harus segera mengorek informasi sebanyak-banyaknya.
“Aku tidak tahu pasti, tapi Ayahandaku seorang pandai besi, Ki. Kemampuannya mengendalikan api lah asal mula nama Sanggageni. Sangga artinya menyangga, geni artinya api,” jawab Arya polos.
Tiba-tiba Ki Bayanaka mendekat, kedua tangannya ia letakkan di pundak Arya. Di matanya tersimpan banyak tanya dan juga keterkejutan. Mata yang hampir tertutup oleh alis putih lebat itu memicing. Arya sampai memandangnya dengan tatapan aneh.
“Ayahandamu mampu mengendalikan api kau bilang?” tanya Ki Bayanaka.
Arya mengangguk ragu, ia tak mengerti apa yang tengah terjadi dengan pria tua di hadapannya. Seketika guru calon prajurit itu seperti menemukan hal yang ia cari-cari. Kedua tangan itu mulai meremas pundak Arya.
“Jika Sanggageni adalah julukan, lalu siapa nama asli Ayahandamu, Arya?” Wajah Ki Bayanaka semakin mendekat. Arya semakin merasa tak mengerti.
“Braja, Ki. Braja Adirajasa.”
“Sudah kuduga....”
Ki Bayanaka melepaskan cengkraman tangannya di bahu Arya. Ia terduduk lagi di balai-balai bambu. Kedua tangannya kini gemetar. Tanda-tanda itu benar, tak perlu diragukan lagi. Ia sudah menyangka anak ini ada hubungannya dengan Braja alias Sanggageni.
“Ada apa, Ki? Apa kau mengenal Ayahandaku?” Kali ini Arya yang mendekati Ki Bayanaka.
“Bukan hanya mengenal, Arya! Braja sudah seperti adikku sendiri. Kami saudara seperguruan di Padepokan Rakajiwa,” jawab Ki Bayanaka. Amat jelas dari tempatnya duduk perubahan mimik wajah Arya Nandika. Pemuda itu bagai menemui saudara dekat meski berada di tempat asing dan bahaya.
“Wah, berarti kau tahu dimana Ayahandaku, Ki? Apa dia sampai di istana ini juga?” cecar Arya.
“Arya, empat tahun lalu rombongan yang seharusnya membawa pemuda-pemuda desa calon prajurit tak pernah sampai ke istana.” Ki Bayanaka tertegun menceritakan peristiwa itu. Potongan-potongan cerita masa lalu coba ia kumpulkan kembali.
“Apa yang terjadi, Ki?”
“Pemuda-pemuda itu melawan saat tengah dibawa. Tak banyak yang tahu, kejadian itu bahkan membuat luka di mata Patih Waradhana. Ia menjadi buta sebelah, dan kepalanya tak bisa ditumbuhi rambut lagi karena terbakar,” terang Ki Bayanaka.
“Ya, setelah mengambil Ayahandaku, Patih itu sempat kembali ke desa dengan penampilan yang jauh berbeda,” gumam Arya.
Ki Bayanaka tak sanggup mengatakan bahwa Braja, ayahanda anak muda di hadapannya lah yang memimpin perlawan terhadap Patih Waradhana. Ia juga yang melukai sebelah mata dan membakar rambut kepala dengan Candrasa Agni-nya. Kalau bukan karena pedang bermata dua andalannya, Patih Wardhana mungkin sudah menjadi abu.
“Tunggu, Arya! Kalau Ayahandamu Braja, lalu siapa yang mengajarimu memanah?” tanya Ki Bayanaka lagi. Ia seolah menemukan puing-puing hubungan pemuda ini, Braja dan kemampuan uniknya. Namun seingatnya Braja tak pernah tertarik dengan panah.
“Bagaimana kau tahu aku bisa memanah, Ki?” Arya terkejut.
“Jenar yang mengatakan padaku. Tanda-tanda di jarimu yang membuatnya yakin kau adalah seorang pemanah,” ungkap Ki Bayanaka. Arya memperhatikan jari-jarinya. Ia tak bisa menemukan perbedaan khusus jari seorang pemanah dengan jari orang-orang pada umumnya.
“Paman Pranawa yang mengajariku. Dia sering mengajakku berburu. Pemanku itu pemanah ulung. Dia bisa melontarkan anak panah dan tiba-tiba bertambah menjadi sepuluh buah sebelum mengenai sasaran. Itu sebab ia tak pernah gagal menangkap buruan,” terang Arya.
Begitu mudah menggali informasi dari anak ini. Semua yang ia ketahui ia katakan meski sebenarnya tak pernah ditanyakan. Ki Bayanaka mencoba mengingat-ingat nama sebuah ilmu memanah yang pernah diajarkan kepada seorang bangsawan di Padepokan Rakajiwa.
“Apa yang kau maksud itu Sasra Dasa?” Ki Bayanaka membelalakkan matanya.
“Ya! Aku lupa menyebutkan nama ilmu kebanggaan Paman Pranawa!” seru Arya. Ia senang perbincangan dengan gurunya ini mulai menarik.
“Pranawa? Pranawa Sakti itu pamanmu?” Ki Bayanaka menganga, ia tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Wah, kau bahkan tahu nama lengkap Pamanku, Ki! Kau luar biasa!” seru Arya sambil tertawa.
Apa yang Ki Bayanaka duga benar adanya. Jika Pranawa Sakti adalah pamannya Arya, besar kemungkinan Gantari yang dimaksud adalah Dewi Gantari. Mereka berdua saudara sepupu. Pranawa anak dari adik Prabu Wirajaya yang diberi kekuasaan di wilayah Wana Menggala, mendirikan kerajaan kecil bernama Astamanggala.
“Arya, ada satu hal lagi yang ingin aku tanyakan padamu.” Wajah Ki Bayanaka tiba-tiba menjadi datar. Ia menghela napas, mempersiapkan diri menerima kenyataan baru tentang remaja di hadapannya.
“Ya, Ki, silahkan, dari tadi pun kau terus bertanya padaku,” seloroh Arya berharap pria tua itu tersenyum. Namun harapannya sia-sia. Ki Bayanaka teguh dengan tatapan datarnya.
“Kau tahu Suji Pati?”
“Suji Pati?” Arya mengerutkan keningnya. Dua kata itu terasa tak asing di telinga. Namun ia tak bisa menemukan peristiwa apa dalam hidupnya yang mengarah pada kata suji pati itu.
“Apa kau pernah melihat Ibundamu menggunakan tusuk kondenya untuk suatu hal yang tak ada kaitannya dengan rambut?” tanya Ki Bayanaka dengan penjelasan yang lebih sederhana.
“Oh ... Ya, sebelum aku dibawa ke sini, Ibuku sempat membunuh prajurit dengan tusuk kondenya. Ibunda cepat sekali, bahkan aku tak melihat kapan dia melemparkan....”
“Terimalah hormat hamba, Raden Arya Nandika!” Ki Bayanaka mendadak bersimpuh dengan sebelah lututnya.
“Ki? Apa yang kau lakukan?”
Tempat latihan memanah ini tampak sepi. Arya ditugaskan oleh sang guru yang sore tadi berlutut padanya untuk berlatih memanah bersama Jenar. Raden Arya Nandika, pria itu menyebutnya, gelar yang tak buruk. Tapi terasa tak berguna. Sia-sia jika seorang Raden harus hidup dengan menempa besi setiap hari. Gadis cantik di depan Arya masih saja bersikap dingin. Ia berjalan cepat mendahului Arya dengan angkuhnya. Beruntung Ki Bayanaka segera memberinya pakaian baru yang sesuai. Arya sama sekali tak merasa nyaman dengan pakaian orang tua itu. “Nah, kita sudah sampai.” Jenar menghentikan langkahnya. Mereka kini berada di tengah-tengah tanah lapang dikelilingi pagar bambu. Banyak sekali bantalan target panah berbahan jerami yang terpasang di pagar itu. “Apa harus malam-malam?” keluh Arya sambil menerima busur dari Jenar. Gadis itu tampak malas mendengar keluhan Arya. “Kalau bukan karena Ayahanda yang meminta, aku juga tak sudi berlatih memanah di malam hari. Berdua dengan orang menyebalkan ma
Ki Bayanaka hanya tertawa mendengar cerita Jenar yang begitu kesal padanya. Habis sudah lengannya dicubit dan dipukul oleh putri kesayangannya itu. Ada senggurat malu namun juga suka, tampak dari wajah Jenar yang memerah dan disertai senyum. “Ayahanda mengapa menjerumuskan aku? Mengapa kau suruh aku melatih Arya, sedang Ayahanda tahu dia itu pemanah ulung?” rajuk Jenar. “Bukankah kau sendiri yang bilang dan menemukan tanda-tanda kalau dia pemanah ulung? Tapi mengapa kau justru memamerkan keahlian memanahmu yang tak seberapa itu?” Ki Bayanaka melanjutkan tertawanya. Ia tak menyangka putrinya dan Arya akan akrab secepat ini. Jenar hanya mencebik. Wajahnya memerah menahan malu. Entah sudah berapa kali kedua kaki ia hentakkan ke bumi. Rasa malunya benar-benar tak tertahankan lagi. Rasanya ia tak ingin lagi bertemu dengan Arya, namun itu tak mungkin karena pemuda itu masih tinggal bersamanya dan hari ini mereka berdua akan berlatih memanah di hutan, membidik target bergerak. “Ayolah, Je
“Jangan berbalik, jangan!” desis Arya. “Kau tak boleh lari sekarang!” Jenar mulai melangkah mundur. Langkah kakinya seirama dengan delapan pasang kaki binatang di depannya. Anak panahnya masih terhunus. Namun akan sulit jika keempat singa itu menyerang bersama-sama. Sampai detik ini ia hanya mengandalkan insting untuk berhadapan dengan kawanan singa ini. Sorot mata singa betina yang tadi melumpuhkan rusa membuat Jenar bergidik. Apa lagi taringnya yang masih basah oleh darah rusa. Ia bisa membayangkan bagaimana rasanya benda sebesar itu mengoyak batang lehernya. “Bagus, kau tidak berbalik. Pertahankan posisi mereka,” gumam Arya. Pemuda itu mencabut anak panah dari tempatnya. Segera ia tarik tali busur yang biasa digunakan untuk prajurit berlatih. Rasanya lebih ringan dari busur pemberian Paman Pranawa. Arya mulai membidik. Seekor singa muda mulai bergerak menjauh dari kawanan. Insting berburu dalam kelompok membuatnya seolah memecah perhatian Jenar. Disusul oleh seekor singa lagi. K
Sepasang kekasih duduk berhimpitan di sebuah batu besar di tepi sungai. Di belakangnya dua ekor kuda tak peduli dengan kemesraan tuannya yang baru saja menjalin cinta. Jenar dengan manjanya bersandar pada dada Arya. Mendengarkan syahdu gemericik air sungai di bawah bayang-bayang ranting pohon akasia. “Ceritakan padaku seperti apa Desa Girijajar, Arya!” bisik Jenar di bawah dagu kekasihnya. “Mengapa kau ingin tahu? Apa kau ingin aku bawa pulang menemui Ibu?” goda Arya dengan seuntai senyum terpampang di bibirnya. “Suatu saat aku pasti akan kau bawa kan? Ibumu seperti apa? Ah, mendengar kata ‘ibu’ aku jadi teringat mendiang Ibuku,” rengek Jenar begitu manja. Ia sama sekali berbeda dengan Jenar tadi malam dan beberapa masa yang lalu. “Pertanyaan mana yang harus aku jawab lebih dulu? Hmm?” Arya menjentik ujung hidung Jenar dengan gemas. Perilaku Jenar yang selalu menanyakan banyak hal seperti awal mereka jumpa rupanya memang tabiat asli gadis ini. “Mengapa kau selalu menyebalkan, Arya
“Ya, Arya. Sudah kuputuskan dan sudah disetujui. Kau sekarang bertugas sebagai Ketua Prajurit Pemanah,” ucap Ki Bayanaka mantap. Seluruh prajurit pemanah bertepuk tangan meski sebelumnya saling pandang. Arya Nandika hanya mampu menelan ludah. Ia tatap sekelilingnya, dipenuhi oleh senyum dan sorai yang dipaksakan. Beberapa prajurit di belakang saling berbisik. Sebentar lagi pasti ada yang akan mencemooh. Mungkin menunggu Ki Bayanaka meninggalkan tempat ini. “Baik, silahkan lanjutkan latihan kalian,” seru Ki Bayanaka disusul dengan langkah para prajurit meninggalkan mereka berdua. “Raden, mohon ikuti hamba. Raden sudah resmi menjadi prajurit Astagina. Akan hamba jelaskan tugas dan tanggung jawab Raden. Pakaian Raden juga harus diganti,” bisik Ki Astagina. “Apa yang kau rencanakan, Ki?” Arya masih tak bisa menerima penobatan dirinya. Pasti akan banyak pertentangan antara prajurit senior. “Ampuni hamba, Raden. Hamba sama sekali tak punya niat buruk. Ini semua demi kebaikan dan keselama
“Kau! Silahkan pilih dari sekarang, kau ingin bangkaimu dibakar atau ditanam?” bentak Arya sambil menghunus anak panahnya ke arah pria yang kini segera menghentikan tawanya. Seluruh prajurit panah seketika terdiam. Beberapa di antara mereka saling pandang. Pria yang mengolok-olok ibu dari Arya tadi sempat terdiam, namun ia melanjutkan lagi tawanya. Di susul rekan-rekan yang berada di dekatnya. “Lihatlah, dia merajuk! Aku tak ingin dibakar atau di tanam, aku hanya ingin tidur di samping Ibumu!” Tawa pria itu semakin keras. Begitupun prajurit lainnya. Hanya ada beberapa prajurit yang menyadari bahwa ketua baru mereka sudah tersulut amarah. Arya tak kuasa lagi menahan energi yang muncul dari dalam tubuhnya. Energi besar yang hadir seiring dengan memuncaknya amarah itu kini tanpa disadari sudah terkumpul di tangan kanannya. Tarikan tali busur itu menjadi begitu mantap dan bertenaga. Tak ada getaran yang biasa terjadi di lengan kiri. Sesaat sebelum dilepaskan, ujung runcing anak panah i
“Jenar! Kau tahu apa yang terjadi hari ini di arena latih panah?” seru Ki Bayanaka sesaat setelah tiba di muka pintu rumahnya. “Ada apa, Ayahanda? Apa sesuatu terjadi pada Arya?” Jenar segera menghambur dari dalam rumah. Ia dapati ayahandanya tengah menaiki lima anak tangga untuk sampai di pendopo rumah. “Cundhamani, Jenar! Arya mengeluarkan Cundhamani!” Wajah Ki Bayanaka begitu bahagia. Tak tampak sedikitpun senggurat kesedihan karena kehilangan toya andalannya. “Benarkah?” “Ya, seluruh arena latih sekarang sudah menjadi abu. Bahkan toyaku sudah tak ada wujudnya lagi. Kalau saja Ayah tak menangkisnya, mungkin anak panah api itu sudah membakar separuh prajurit panah!” pria tua itu masih begitu antusias menceritakan kehebatan Arya pada putrinya. “Lalu dimana Arya sekarang, Ayahanda?” tanya Jenar. Ia mengalihkan pandangannya ke bawah rumah panggung yang tak terlalu tinggi itu. Juga sebuah jalan setapak yang menghubungkan rumah-rumah serupa para abdi istana. “Oh, Ayah lupa mengataka
“Hah? Apa kau tak salah bicara?” “Tidak, Tuan. Ki Bayanaka yang meminta hamba untuk membawakan kuda-kuda pilihan ini. Mereka semua punya keistimewaan. Itu sebab mereka yang akan memilih tuannya.” Pria itu memberikan kode pada kedua rekannya agar menyusun barisan kuda sedemikian rupa agar kuda-kuda itu dapat melihat Arya. “Aku hanya perlu berdiri di sini?” tanya Arya memastikan. “Betul, Tuan.” Tujuh ekor kuda pilihan itu berbaris rapi menghadap Arya Nandika. Tiga orang yang membawa mereka tadi segera mundur dan melepas tali kekang agar kuda-kuda itu dapat bergerak bebas. Semua kuda itu begitu gagah, tubuhnya kekar, dengan kaki-kaki yang kuat. Akan sangat beruntung bagi Arya untuk memiliki salah satunya. Arya melipat kedua tangannya di dada. Ia menunggu dengan sabar kuda mana yang akan memilihnya. Dan bagaimana cara kuda memilihnya pun ia tak paham. Beberapa kuda mematung, satu ekor tampak bosan dan ingin pergi dari tempat itu. Arya memandang pria pengurus kuda dengan penuh tanya. P