“Apa yang kau lakukan Sakuntala? Tampilanmu begitu berubah?” seru Ki Bayanaka setelah melihat Senopati Sakuntala menanggalkan pakaian kebesarannya. Pemuda itu kini layaknya seorang prajurit biasa yang umumnya akan ditugaskan maju lebih dulu di medan perang. “Kalau kau tak mau memberitahu, biar aku sendiri yang mencari tahu siapa sebenarnya anak itu.” Sakuntala tersenyum kecut. Senyum yang membuat gurunya semakin mengerti mengapa pemuda itu bisa dengan cepat menjadi Senopati sekaligus tangan kanan Patih Waradhana. Dua jabatan yang umumnya saling bersaing dan menjatuhkan. “Kau menyamar jadi prajurit?” “Benar!” Tanpa menunggu persetujuan, Sakuntala segera bergegas meninggalkan tempatnya berbincang dengan Ki Bayanaka. Setengah berlari, ia menuju hanggar pasukan panah. Menunggu kedatangan Arya yang kini masih bercengkrama dengan tunggangan barunya. Ki Bayanaka terpekur sendiri. Ini lah sebab ia tak percaya Sakuntala datang hanya untuk mengunjunginya. Ia pasti punya misi tertentu. Dan s
Rintik hujan terasa seperti beban kerinduan yang tak kuasa lagi Jenar pikul. Hanya dua hari sejak cumbu di tepi sungai berlalu, namun rindunya sudah begitu menggunung. Titik-titik air itu beberapa menerpa wajah cantiknya yang menyongsong udara di ambang jendela. Ia biarkan air itu meleleh turun sampai ke dagu. Lalu menetes ke jemarinya yang saling terjalin. “Arya, apakah kau tak rindu? Mengapa tak juga kau berkunjung?” rutuk Jenar dalam hati. Bumi yang tersiram air, tapi hatinya yang basah. Derap langkah kuda terdengar sayup-sayup dan berhenti setelah ringkikan singkat di bawah rumah. Jenar sebenarnya hendak berpaling. Namun ia merasa itu bukan Arya. Kekasihnya tak mungkin datang menunggangi kuda. Ia orang baru di istana dan baru saja menjabat sebagai Ketua saja, tak lebih. “Jenar! Ada yang mencarimu!” teriak Ki Bayanaka setelah mengetuk pintu kamar putrinya. Jenar dengan malas bangkit dari pembaringannya. Terpaksa ia tunda kesyahduan hati menyelami rindu diiringi rintik gerimis. “
“Aku tetap tak percaya dengan teorimu, Ki. Aku hanya Arya Nandika dari Desa Girijajar, seorang pandai besi anak Sanggageni dan Gantari. Aku dan keluargaku tak ada hubungan apa pun dengan Astagina!” bantah Arya. Pemuda itu membuang pandangannya ke pelataran rumah Ki Bayanaka. Ia tak sudi untuk terus membahas hal ini dengan orang tua kekasihnya. Kalau pun memang ibundanya adalah putri raja, lalu mengapa sampai mereka terpinggirkan ke Girijajar? Bahkan ia dan ayahandanya terpaksa menjadi prajurit dengan ancaman. “Hamba tahu ini sulit dipercaya, Raden. Bahkan kalau benar-benar ibundamu adalah satu-satunya keturunan Gusti Prabu Wirajaya yang masih hidup, kau ini sebenarnya Pangeran. Meski bukan dari garis Permaisuri, bisa jadi kau lah Putra Mahkota yang sah!” “Cukup, Ki Bayanaka! Aku rasa kau sudah terlalu lelah melatih ribuan prajurit itu setiap hari!” Bentakan Arya seketika membuat Ki Bayanaka menunduk hormat dan mundur dua langkah. Mungkin benar, ia sudah memberikan beban terlalu bera
Ki Bayanaka tak bergeming. Ia melompat menyusul Arya yang sudah berdiri di pelataran rumah yang basah. Wajah pemuda itu dipenuhi tanda tanya. Ia tak mengerti apa yang dilakukan oleh gurunya. Kalau saja dia tak sempat menangkis mungkin nasibnya akan sama dengan saat dihajar Patih Wardhana tempo hari. “Apa maksudmu, Ki?” tanya Arya. “Aku akan menghilangkan semua keraguan di hatimu, Arya!” Ki Bayanaka kembali menyerang. Kali ini tinjunya hampir saja mengenai wajah Arya. Pemuda itu berkelit dan terus menghidari serangan berikutnya. Ia tak akan membalas kalau belum mengerti untuk apa Ki Bayanaka menyerangnya. Semakin banyak menghindar, rupanya Arya semakin terpojok. Beberapa kali lengan mereka berdua saling beradu. Arya yakin Ki Bayanaka masih menahan diri. Tak mungkin ia bisa mengimbangi guru dari orang-orang besar ini. Sebuah tendangan meluncur deras ke arah dada Arya. Pemuda itu menangkis dengan sekuat tenaga. Tendangan yang dialiri tenaga dalam itu terasa begitu berat hingga Arya te
Titik embun baru saja membias dan menyebarkan hawa dingin menusuk tulang. Arya bertolak dari kediaman Ki Bayanaka setelah perbincangan panjang semalam. Sebuah kenyataan pahit yang akan tetap ia simpan. Meski memupuk dendam untuk penguasa Astagina sekarang. Sentuhan lembut di bahhu disusul dengan pelukan kekasih dari belakang membuat Arya menghentikan langkahnya. Sungguh pagi yang berat, apa lagi dengan kerinduan yang belum tuntas. Semakin Arya ingin melangkah, maka pelukan Jenar semakin erat. Seperti seorang istri yang enggan melepas suaminya pergi ke medan perang. “Berjanjilah kau akan segera kembali,” ucap Jenar di punggung kekasihnya. Wajahya masih bersandar di sana. Arya tersenyum sambil mengusap lembut jemari gadis itu. “Jika diijinkan kembali, aku justru ingin membawamu mengunjungi ibundaku. Apa kau bersedia?” Wajah Jenar menghangat. Kebahagiaan segera terpancar dari senyumannya. Senyum penutup kegundahan karena harus berpisah lagi dengan kekasih hati. Ia merasa tak kuasa har
“Sakuntala! Rusa jantan itu lari! Panah dia!” “Hah?” Sakuntala terkejut, ia tak tahu rusa mana yang dimaksud oleh Arya. Setelah sepuluh anak panah mengenai sasarannya masing-masing, ada beberapa rusa yang lari. Namun Sakuntala tak mengerti, karena ia begitu takjub dengan Sasra Dasa milik Arya. “Ah, mengapa kau diam?” pekik Arya. Ia mencabut lagi satu anak panahnya. Beberapa masa ia membidik, lalu melepaskannya hingga anak panah itu dan mengenai sasaran. Seekor rusa besar dengan tanduk lebar bercabang-cabang menggelepar di tanah. Lehernya tertembus anak panah setelah yang pertama menancap di kaki belakangnya. Arya tersenyum lebar. Sasra Dasa yang diajarkan pamannya dapat ia gunakan sebagaimana biasa. Meski belum mahir, Arya sering mengeluarkannya saat berburu bersama pamannya itu. Pemuda itu menyibak semak di hadapannya. Lalu melompat menghampiri rusa-rusa itu. “Ayo, Sakuntala! Apa cara berburumu hanya berdiri diam saja di situ?” ledek Arya. Ia mencabut pedang di pinggangnya sambil
“Tak usah banyak bicara! Akan kukirim kau ke alam baka!” bentak makhluk itu. Ia lalu berteriak dengan garang. Suaranya begitu kuat hingga memecahkan keheningan hutan ini. Burung-burung beterbangan, binatang-binatang lain segera lari menyelamatkan diri. Makhluk itu menghujamkan tinjunya ke arah Arya. Arya segera menghindar dengan melompat ke belakang. Hempasan tinju itu seketika membuat lubang menganga di tanah. Pemuda dengan busur di tangan kiri itu terpental meski hanya terpapar angin. Ia jatuh terduduk, terhempas di semak-semak. “Kekuatan yang luar biasa. Terlambat sedikit saja, tubuhku pasti sudah hancur!” gumam Arya. Pemuda itu segera bangkit dan bersiap akan serangan lanjutan. Makhluk tinggi besar di hadapannya pasti belum puas sampai melihatnya meregang nyawa. “Aaargh!” Makhluk itu kembali berteriak. Ia bersiap melompat dan berniat menimpa tubuh kecil Arya Nandika. Pemuda itu segera melompat sekuat tenaga untuk menghindar. “Tunggu! Kau bilang tadi ini hutan larangan?” seru Ar
“Sudah aku katakan, aku tak tahu. Kalau tahu ini hutan larangan aku tak akan berani memasukinya. Tapi kau sama sekali tak mendengarkanku! Sekarang, rasakan panah ini!” Arya mendengus dan melepaskan anak panah dengan cepat. Entah mengapa ia ingin sekali membidik kepala makhluk itu, bukan bagian lainnya yang lebih dekat dan lebih besar. Anak panah itu melesat dan membara di ujungnya yang runcing, mengenai tanduk kiri makhluk besar itu yang terus bergerak. “Aargh!” Makhluk itu menggeram. Rasa sakit ada di beberapa bagian tubuhnya. Namun tanduk yang mulai terbakar itu seolah meleleh dengan cepat. Panas yang luar biasa, padahal ia cukup terbiasa dengan api sebagaimana asal-usulnya. “Luar biasa, Ketua!” seru Sakuntala dari arah semak. Ia melompat turun dan berlari mendekati Arya yang terengah-engah bertumpu pada busurnya. “Dari mana saja kau, Sakuntala?” Sakuntala tersentak, baru kali ini ia melihat Arya tak seperti biasanya. Tatapan mata pemuda ini begitu tajam, wajahnya merah padam pe