“Hormat hamba, Gusti Prabu. Gusti memanggil hamba?” Patih Waradhana bersimpuh dengan sebelah lututnya. Di hadapannya duduk dengan gagahnya Prabu Ranajaya, duduk di singgasana emas dengan ukiran naga berkepala dua. Binatang mitologi yang juga menjadi simbol Astagina. “Bangkitlah, Waradhana! Aku dengar Sakuntala tengah menyamar menjadi prajurit pendamping anak yang menghancurkan pedangmu. Benar begitu? Apa kau yang menyuruhnya?” tanya Prabu Ranajaya. Lelaki itu begitu gagah dan berwibawa dengan mahkota dan banyak perhiasan di leher dan lengannya. “Benar, Gusti Prabu. Sakuntala memang menyamar, tapi itu kehendaknya sendiri. Hamba tak pernah menyuruhnya demikian,” jawab Patih Waradhana setelah bangkit dan berdiri dengan pakaian kebesarannya. “Hmm, apa yang dia inginkan?” “Ceritanya panjang, Gusti. Hamba tak mungkin menceritakan hal penting ini di depan orang lain,” ujar Patih Waradhana sekaligus permintaan tersembunyi agar mereka berbincang empat mata saja. Prabu Ranajaya mengelus jan
“Ah, percuma saja! Tak mungkin kau orang jahat kalau tak menghidar.” Arya mengurungkan tebasan pedangnya dan menyarungkan kembali bilah besi tajam itu. Sebuah tindakan yang sekaligus melegakan Sakuntala. “Huft, hampir saja.” Sakuntala mengelus dadanya. Tindakan tanpa perhitungan dan tanpa sengaja itu berhasil membuat Arya percaya. Meski mungkin memang kemampuan interogasi Arya yang tak mumpuni. “Maafkan aku, Sakuntala. Ayo kita pulang sekarang. Tapi mulai besok kau tak perlu lagi jadi pendampingku. Aku lebih nyaman sendiri. Akan aku bicarakan hal ini dengan Ki Bayanaka.” Arya segera mengarahkan Aswabrama meninggalkan hutan larangan dan semua hasil buruan mereka. Sakuntala tersenyum, ketuanya ini benar-benar polos. Hampir setiap ketua pasukan atau divisi prajurit tertentu memang memiliki pendamping. Namun dia sendiri lah yang memilih pendampingnya. Jika memang tak berkenan dan merasa tak perlu, seorang ketua tak harus memiliki pendamping. Namun mendengar Arya akan membicarakan hal i
Arya turun dari kudanya. Baru kali ini melihat pendopo istana yang begitu megah. Prajurit jaga segera menanyakan maksud kedatangannya. Setelah mengetahui dia diundang Prabu Ranajaya untuk bertemu, dua prajurit itu segera memberikan hormat. Seorang membantu mengikat tali kekang Aswabrama, satu lagi mengantarkan Arya masuk. Dinding berukir menutupi semua sisi pendopo. Ornamen-ornamen cantik keemasan menghias setiap sudut ruangan. Lantai marmer terasa begitu dingin mengenai telapak kaki. Puncak singgasana Prabu Ranajaya sudah tampak. Prajurit yang mengantarnya segera bersimpuh setelah menaiki empat anak tangga. “Hormat hamba, Gusti Prabu. Arya Nandika mohon ijin bertemu!” seru prajurit itu. Dengan jarak yang hampir tujuh tombak, wajar bila prajurit itu setengah berteriak pada junjungannya. “Kemarilah, Arya!” Suara Prabu Ranajaya begitu bijak dan berat. Di ujung sana pria itu duduk dengan gagahnya di singgasana emas. Dua dayang senantiasa menjaga udara selalu sejuk di sisi Raja Astagina
Arya tak mengerti dengan apa yang terjadi dengan Prabu Ranajaya. Setelah dia menyebutkan nama ayahandanya, Raja Astagina itu segera menyudahi pembicaraan dan pertemuan. Ia langsung meminta Arya untuk kembali ke hanggar pemanah. Tak ada satu pun kata terucap, Prabu Ranajaya hanya terus mengelus janggutnya. “Ah, lebih baik aku temui Ki Bayanaka. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan,” gumam Arya begitu duduk di punggung Aswabrama. Sentakan lembut membuat Aswabrama segera berlari kecil menuju arah yang ditunjukkan tuannya. Beberapa pembesar yang tadi berada di pendopo melihat kepergian Arya dengan tatapan penuh tanya. Mungkin kegundahan di wajah rajanya sudah mereka ketahui. Arya tak peduli, ia tak merasa melakukan kesalahan. Ujung-ujung atap kediaman Ki Bayanaka sudah tampak. Hati Arya berdesir menahan rindu yang tiba-tiba saja membuncah mendesak keluar dari hati. Ia tak sabar bertemu dengan pujaan hati. Itu lah sebenarnya yang ingin ia cari. Menanyakan beberapa hal pada gurunya past
“Gunung Anala? “Ya. Mahaguruku dulu pernah berkawan dengan pemilik Cundhamani. Orang itu menggunakan busur yang terbuat dari serat kayu pohon Sarayu dan anak panah logam murni. Pohon Sarayu hanya ditemukan di Gunung Anala,” terang Ki Bayanaka. Ia tak hiraukan Arya yang begitu lekat menatapnya. “Apa tak ada cara lain, Ki?” ujar Arya. Ia mempertimbangkan dari pada pergi jauh-jauh ke Gunung Anala, ia akan lebih memilih untuk mengunjungi ibundanya di Desa Girijajar. “Kalau kau ingin menguasai Cundhamani secara penuh, apa lagi untuk turun ke medan perang, maka saranku hanya itu. Carilah pohon Sarayu! Tapi semua terserah padamu. Aku hanya mengingatkan, perjalanan ke Gunung Anala tak akan mudah. Anala adalah gunung api yang sangat aktif.” Arya menunduk, lalu sejurus kemudian mengerling pada kekasihnya. Jenar terlihat mengernyitkan kening. Ia sungguh tak rela kekasihnya sudah harus menempuh bahaya padahal baru saja akan dipersiapkan untuk turun ke medan perang. “Baik, aku akan pergi ke Gu
Sang Senopati yang menyamar itu menghampiri Arya. Sesekali ia pastikan lagi apakah perhiasan di kepala, leher dan lengannya sudah ia tanggalkan. Juga simbol Astagina di pengikat rambut yang memang berbeda dengan yang digunakan oleh prajurit biasa. Tentu saja ia tak mengetahui bahwa Arya sudah mengetahui jati dirinya. Arya sebisa mungkin bersikap biasa. Lagi pula ini adalah hal langka, seorang Senopati Astagina bersedia ia minta untuk menemani perjalanan ke Gunung Anala. Belum lagi selama penyamaran Sakuntala harus rela merendahkan dirinya. Arya sudah merencanakan untuk memanfaatkan kondisi ini. “Ketua!” sapa Sakuntala. Di pundaknya sudah tergantung perbekalan untuk perjalanan ini dalam buntalan kain besar. “Apa kau sudah siap, Sakuntala?” tanya Arya sambil mengikatkan perbekalan di pelana Aswabrama. “Aku selalu siap, Ketua. Aku tinggal ikatkan perbekalan ini di kudaku,” jawab Sakuntala. “Maaf ini mendadak, tapi aku tak punya pilihan selain mempercepat penguasaanku pada Cundhamani.
“Serahkan kuda dan harta benda kalian jika ingin selamat!” hardik salah satu pria dengan kumis lebat melintang di atas bibirnya. Pria yang melepaskan anak panah tadi baru saja mendarat di tanah. Sedang ketiga pria lain mulai mencabut pedangnya. “Oh, jadi kalian akan merampok kami? Hah?” seru Sakuntala. Arya memberikan isyarat pada pendampingnya itu untuk menahan diri. Ia berkata, “Ki Sanak, mohon tidak menghalangi perjalanan kami. Kami tidak membawa barang berharga apa pun.” “Lalu kau pikir kami akan percaya, Bocah!” pria berkumis itu mengakhiri hardiknya dengan tawa. “Lihatlah, kalian pasti dari Astagina. Tak mungkin kalian tak membawa uang atau barang berharga!” Kelima pria tak dikenal itu tertawa bersama. Dua lawan lima secara harfiah akan mudah untuk mengalahkan Arya dan Sakuntala. Apa lagi Arya terlihat masih remaja. Sedang Sakuntala masih berusia di bawah mereka berlima. “Ki Sanak, bukankah ini jalanan umum yang biasa dilewati semua orang? Bagaimana mungkin kami harus mening
“Sakuntala, ayo kita pergi!” seru Arya kepada pendampingnya yang mulai bangkit. Meski belum dapat bernapas dengan lega, Sakuntala memaksakan diri untuk naik ke Aswabrama dibantu ketuanya itu. Sambara masih terus meronta dan meraung merasakan panas yang luar biasa di dada kirinya. Ia coba menyibak anak panah yang merupakan sumber dari api. Namun dadanya masih terus terbakar meski anak panah sudah ia singkirkan. Kini justru telapak tangan kanannya ikut terbakar. Arya segera menyentak tali kekang Aswabrama setelah yakin Sakuntala sudah naik di belakangnya. Ia abaikan raungan Sambara yang menyayat hati. Kali ini pemuda itu tak memiliki rasa iba sama sekali. Amarah masih menguasainya, meski tak sebesar saat membakar arena latih panah beberapa waktu lalu. “Aku heran bagaimana panah api seukuran itu mampu membakar dan meledakkan arena latih panah, Ketua!” ucap Sakuntala saat dirasa napasnya sudah kembali normal. “Aku juga tak tahu. Hanya saja amarahku tak lebih besar dari pada hari itu.”
“Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”
Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati
Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini
“Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi
Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya
“Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan
Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati
Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka
Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat