Arya tak mengerti dengan apa yang terjadi dengan Prabu Ranajaya. Setelah dia menyebutkan nama ayahandanya, Raja Astagina itu segera menyudahi pembicaraan dan pertemuan. Ia langsung meminta Arya untuk kembali ke hanggar pemanah. Tak ada satu pun kata terucap, Prabu Ranajaya hanya terus mengelus janggutnya. “Ah, lebih baik aku temui Ki Bayanaka. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan,” gumam Arya begitu duduk di punggung Aswabrama. Sentakan lembut membuat Aswabrama segera berlari kecil menuju arah yang ditunjukkan tuannya. Beberapa pembesar yang tadi berada di pendopo melihat kepergian Arya dengan tatapan penuh tanya. Mungkin kegundahan di wajah rajanya sudah mereka ketahui. Arya tak peduli, ia tak merasa melakukan kesalahan. Ujung-ujung atap kediaman Ki Bayanaka sudah tampak. Hati Arya berdesir menahan rindu yang tiba-tiba saja membuncah mendesak keluar dari hati. Ia tak sabar bertemu dengan pujaan hati. Itu lah sebenarnya yang ingin ia cari. Menanyakan beberapa hal pada gurunya past
“Gunung Anala? “Ya. Mahaguruku dulu pernah berkawan dengan pemilik Cundhamani. Orang itu menggunakan busur yang terbuat dari serat kayu pohon Sarayu dan anak panah logam murni. Pohon Sarayu hanya ditemukan di Gunung Anala,” terang Ki Bayanaka. Ia tak hiraukan Arya yang begitu lekat menatapnya. “Apa tak ada cara lain, Ki?” ujar Arya. Ia mempertimbangkan dari pada pergi jauh-jauh ke Gunung Anala, ia akan lebih memilih untuk mengunjungi ibundanya di Desa Girijajar. “Kalau kau ingin menguasai Cundhamani secara penuh, apa lagi untuk turun ke medan perang, maka saranku hanya itu. Carilah pohon Sarayu! Tapi semua terserah padamu. Aku hanya mengingatkan, perjalanan ke Gunung Anala tak akan mudah. Anala adalah gunung api yang sangat aktif.” Arya menunduk, lalu sejurus kemudian mengerling pada kekasihnya. Jenar terlihat mengernyitkan kening. Ia sungguh tak rela kekasihnya sudah harus menempuh bahaya padahal baru saja akan dipersiapkan untuk turun ke medan perang. “Baik, aku akan pergi ke Gu
Sang Senopati yang menyamar itu menghampiri Arya. Sesekali ia pastikan lagi apakah perhiasan di kepala, leher dan lengannya sudah ia tanggalkan. Juga simbol Astagina di pengikat rambut yang memang berbeda dengan yang digunakan oleh prajurit biasa. Tentu saja ia tak mengetahui bahwa Arya sudah mengetahui jati dirinya. Arya sebisa mungkin bersikap biasa. Lagi pula ini adalah hal langka, seorang Senopati Astagina bersedia ia minta untuk menemani perjalanan ke Gunung Anala. Belum lagi selama penyamaran Sakuntala harus rela merendahkan dirinya. Arya sudah merencanakan untuk memanfaatkan kondisi ini. “Ketua!” sapa Sakuntala. Di pundaknya sudah tergantung perbekalan untuk perjalanan ini dalam buntalan kain besar. “Apa kau sudah siap, Sakuntala?” tanya Arya sambil mengikatkan perbekalan di pelana Aswabrama. “Aku selalu siap, Ketua. Aku tinggal ikatkan perbekalan ini di kudaku,” jawab Sakuntala. “Maaf ini mendadak, tapi aku tak punya pilihan selain mempercepat penguasaanku pada Cundhamani.
“Serahkan kuda dan harta benda kalian jika ingin selamat!” hardik salah satu pria dengan kumis lebat melintang di atas bibirnya. Pria yang melepaskan anak panah tadi baru saja mendarat di tanah. Sedang ketiga pria lain mulai mencabut pedangnya. “Oh, jadi kalian akan merampok kami? Hah?” seru Sakuntala. Arya memberikan isyarat pada pendampingnya itu untuk menahan diri. Ia berkata, “Ki Sanak, mohon tidak menghalangi perjalanan kami. Kami tidak membawa barang berharga apa pun.” “Lalu kau pikir kami akan percaya, Bocah!” pria berkumis itu mengakhiri hardiknya dengan tawa. “Lihatlah, kalian pasti dari Astagina. Tak mungkin kalian tak membawa uang atau barang berharga!” Kelima pria tak dikenal itu tertawa bersama. Dua lawan lima secara harfiah akan mudah untuk mengalahkan Arya dan Sakuntala. Apa lagi Arya terlihat masih remaja. Sedang Sakuntala masih berusia di bawah mereka berlima. “Ki Sanak, bukankah ini jalanan umum yang biasa dilewati semua orang? Bagaimana mungkin kami harus mening
“Sakuntala, ayo kita pergi!” seru Arya kepada pendampingnya yang mulai bangkit. Meski belum dapat bernapas dengan lega, Sakuntala memaksakan diri untuk naik ke Aswabrama dibantu ketuanya itu. Sambara masih terus meronta dan meraung merasakan panas yang luar biasa di dada kirinya. Ia coba menyibak anak panah yang merupakan sumber dari api. Namun dadanya masih terus terbakar meski anak panah sudah ia singkirkan. Kini justru telapak tangan kanannya ikut terbakar. Arya segera menyentak tali kekang Aswabrama setelah yakin Sakuntala sudah naik di belakangnya. Ia abaikan raungan Sambara yang menyayat hati. Kali ini pemuda itu tak memiliki rasa iba sama sekali. Amarah masih menguasainya, meski tak sebesar saat membakar arena latih panah beberapa waktu lalu. “Aku heran bagaimana panah api seukuran itu mampu membakar dan meledakkan arena latih panah, Ketua!” ucap Sakuntala saat dirasa napasnya sudah kembali normal. “Aku juga tak tahu. Hanya saja amarahku tak lebih besar dari pada hari itu.”
Senja baru saja memamerkan keindahannya yang percuma. Karena dua pemuda berpakaian prajurit Astagina itu sibuk menyelesaikan tendanya sebelum gelap. Arya menyiapkan tenda, sedang Sakuntala menyiapkan api. Hingga saat cahaya apa pun sudah tak mampu lagi menerobos hutan yang pekat, mereka sudah punya api unggun dan dua buah obor. “Apa kau sering berkemah seperti ini, Ketua?” tanya Sakuntala memecah keheningan. “Tidak, aku hanya beberapa kali ikut pamanku berburu sampai bermalam di hutan. Bagaimana denganmu? Aku lihat kau begitu lama menyalakan api itu,” timpal Arya. Sakuntala hanya tersenyum. Ia sadar ketuanya itu tengah meledeknya. Tapi ia juga tak mungkin mengatakan ia lupa bagaimana caranya membuat api. Sakuntala memukul beberapa bagian tubuhnya dan mengusir nyamuk yang mulai berdatangan. Mangsa manusia mungkin amat jarang mereka temukan. Sampai kehadiran serangga itu begitu masif dan terorganisir. “Pakai ini!” Arya menyodorkan beberapa helai daun berbentuk panjang dan tipis. Mesk
Tubuh Arya terjerembab ke tanah. Hantaman bola api itu terasa seperti menghancurkan organ dalamnya. Ia tak dapat bergerak, hanya mampu memanggil nama jin penunggu hutan larangan itu tiga kali dengan napas satu-satu. Pemuda itu memaksakan diri untuk tetap tersadar. Tak ingin Lokawigna tiba dan tak tahu harus berbuat apa. Asap putih pekat muncul di sisi Arya. Sosok laki-laki tampan berpakaian mewah dengan mahkota emas di kepala semakin jelas terlihat seiring hilangnya asap putih itu. Berat sekali rasanya bagi Arya untuk mengernyitkan kening. Lokawigna bukan sosok seperti ini. “S-siapa kau?” lirih Arya. Hanya bibirnya lah anggota tubuh yang bisa ia gerakkan. “Hamba Lokawigna, Tuan Arya. Beginilah wujud terbaik hamba. Apa yang terjadi, Tuan?” tanya Lokawigna sambil memperhatikan Arya dan sekitar. Arya tersenyum lega. Ia sudah tak kuasa lagi untuk memaksakan dirinya tetap sadar. “Tolong kami, penunggu tempat ini marah dan menyerang kami.” Arya tak berkata-kata lagi. Matanya yang sejak t
“Pohon sarayu? Apa hamba tak salah mendengar? Untuk apa Tuan mencari pohon sarayu?” Lokawigna merasa terheran dengan maksud tuannya itu. “Apa aku salah mencari pohon sarayu? Menurut guruku, hanya serat kayu pohon sarayu yang bisa memaksimalkan ilmuku. Aku akan membuatnya menjadi busur,” ungkap Arya. “Tapi jalan menuju ke sana amatlah sulit, Tuanku. Pohon sarayu hanya tumbuh di tanah yang terus menerus dialiri guguran lava. Namun tingkat panas lavanya harus sesuai. Itu yang menyebabkan pohon sarayu amat sulit ditemukan.” Lokawigna mmeriksa ikan yang ia bakar, lalu meletakkannya di atas daun jati di hadapan Arya. Ia tahu tuannya itu begitu lapar. Ditambah dengan penjelasannya mengenai pohon sarayu, semoga saja tak mengendurkan semangatnya. Arya tersenyum dan mulai melahap ikan yang tertunda. “Lalu apa yang harus aku lakukan agar dapat dengan cepat menemukannya?” tanya Arya lagi di sela-sela makan malamnya. Ia menyodorkan ikan sebagai isyarat bagi Lokawigna untuk ikut makan, namun mak